SALAH satu capaian terpenting gerakan massa rakyat di Indonesia kontemporer, bagi saya, adalah peluncuran Koperasi Syariah 212 (KS212) pada Jumat, 7 Januari 2017 yang lalu di Sentul, Bogor. KS212 ini digagas dan dikawal pembentukannya, dengan melibatkan banyak elemen yang menjadi motor penggerak Aksi Bela Islam tanggal 2 bulan 12 (Desember) 2016 silam, oleh Dewan Ekonomi Syariah (DES) Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI). Dalam pembentukannya, disepakati juga bahwa Ketua DES, yang juga adalah anggota Dewan Pengawas Syariah, M. Syafi’i Antonio, sebagai Ketua KS212. Target KS212 sangat ambisius: 212 Miliar dalam 1 tahun, 2,12 Triliun dalam 3 tahun, dan 212 Triliun dalam 10 tahun. Tidak hanya ambisius, KS212 sangat optimis akan target ini.
Tulisan ini tidak hendak memberikan evaluasi bagi KS212 ini, tidak pula hendak memberikan komentar terhadap aspek teologis-ekonomis. Poin yang ingin ditekankan oleh tulisan ini adalah bahwa baik even peluncuran maupun eksistensi dari KS212 ini merupakan hal yang penting untuk kita simak, ambil pelajaran, dan bahkan (dengan derajat tertentu) replikasi. Tentunya “kita” yang saya maksud terbatas pada mereka yang berada di jajaran aktivis gerakan sosial progresif yang berjuang demi transformasi sosial, atau, dengan kata yang lebih jujur, revolusi.
Fardhu Kifayah
Mengapa KS212 adalah salah satu capaian terpenting—jika bukan yang ter-penting? Ada dua alasan. Pertama, karena peluncuran KS212 ini adalah respon ekonomi politik kongkrit atas aksi dan aspirasi politik dari umat Islam “alumni 212” yang adalah konstituennya. Sebagaimana disampaikan Syafi’i Antonio, KS212 adalah inisiatif yang bersumber dari pemikiran untuk memberikan landasan kokoh bagi gerakan-gerakan Islam di kemudian hari. Landasan yang kokoh ini tentunya tidak lain adalah ekonomi, atau, dalam bahasa yang lebih familiar bagi kita, basis material. Basis material dari seluruh politik, kita tahu, adalah ekonomi. Atau, lebih spesifiknya lagi, upaya pengorganisasian kehidupan dan sarana-sarana penghidupan. Ia meliputi beragam relasi sosial dan relasi produksi yang terkumpul dalam satu kesatuan relasi sosial produksi (social relations of production). Kekuatan dan manuver politik yang kuat akan selalu membutuhkan topangan ekonomi yang juga kuat dan kokoh. Dengan kata lain, tidak akan ada oligarki, tanpa ada oilgopoli. Sedemikian rupa sehingga perhatian berlebihan akan oligarki tanpa mendasarkannya pada jejaring penguasaan akses, sumber dan sarana-sarana penghidupan (oligopoli) hanya menghasilkan ke-nyinyir-an histeris cum konspiratorial di mata perspektif materialisme. Inisiatif pengorganisasian basis material bagi politik Islam (versi KS212 tentunya) adalah yang coba dilakukan oleh KS212.
Yang tidak kalah menariknya bahkan, secara terbuka dan eksplisit dinyatakan bahwa salah satu tujuan besar KS212 adalah menumbangkan kapitalisme! Seperti kata Ketua KS212, Syafi’i Antonio, dalam Grand Launching KS212,
“Mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut, produk yang digunakan umat adalah hasil karya kaum kapitalis. Uang yang dibelanjakan umat dibawa pulang ke negara asal produsen. Ini yang melandasi GNPF MUI untuk memperkuat basis ekonomi umat lewat Koperasi Syariah 212 dan menumbangkan ekonomi kapitalis.”
Ya, tentu saja kita bisa mengritisi alur argumentasi bapak Ketua ini. Yaitu bahwa ia mengasumsikan seolah-olah yang kapitalis adalah selalu ‘asing’, dan karenanya mengaburkan kenyataan (sekaligus memperkuat) eksploitasi yang dilakukan oleh kapitalis lokal seraya berlindung di ‘narasi asing’ ini. Bahkan, kita juga bisa memperdebatkan dan mempertanyakan sejauh mana KS212 adalah anti-kapitalis, dan sejauh mana implementasinya di lapangan tidak akan mengulangi pola-pola yang sudah mual kita jumpai dalam kapitalisme. Saya sendiri memiliki argumentasi kritis dan beberapa pertanyaan interogatif untuk aspek-aspek yang lebih terperinci dari KS212. Namun demikian, terlepas dari ini semua, dan terlepas dari sukses tidaknya nanti, harus kita akui bahwa KS212 menorehkan prestasi tersendiri dalam senarai upaya untuk menantang kapitalisme global tepat dari jantung basis materialnya.
Dalam penggagasannya, proyek besar ekonomi umat (atau, mengapa tidak, kerakyatan) yang dibangun melalui KS212 ini memiliki landasan doktrinal dalam teologi Islam. Lebih khususnya, adalah konsep fardhu kifayah yang dimobilisasi di sini. Ya, saya tahu saya adalah termasuk golongan al-Kafirun dan karenanya saya cukup tahu diri untuk tidak menyentuh aspek teologis ini. Namun demikian yang saya yakin saya punya hak adalah menimbangnya sejauh ia dimobilisasi untuk melawan kapitalisme; adalah aspek anti/non-kapitalisnya yang akan saya komentari dan interogasi, dan sekaligus yang menurut saya penting untuk kita pertimbangkan. Sebagaimana yang disampaikan Ketua KS212, Syafi’i Antonio, fardhu kifayah adalah
“..kewajiban kolektif satu kaum, satu komunitas, satu tim, untuk melakukan tugas tertentu. Contohnya, ada anak kecebur, wajib diselamatkan; ada mayat, wajib disholatkan. Tapi ternyata ada yang lebih besar ternyata menyangkut yang hidup. Karena tidak mungkin ibu-ibu yang cantik bisa menutup auratnya tanpa ada kerudung dan garmen. Oleh karena itu adanya umat yang menguasai pabrik garmen dan tekstil: fardhu kifayah! Tidak mungkin bapak-bapak bisa hadir di sini tanpa kendaraan roda dua dan roda empat. Oleh karena itu adanya umat yang menguasai pabrik kendaraan roda dua dan roda empat adalah fardhu kifayah!”
Mobilisasi narasi ini saja, menurut saya, cukup untuk menyarikan strategi ekonomi politik Islam secara ringkas. Narasi serupa, sebenarnya, juga sudah diajukan oleh Dodi Mantra terkait gerakan ekonomi buruh dalam tulisannya “Koperasi sebagai Gerakan Ekonomi Buruh.” Alur logika dari ketua KS212 di atas memiliki banyak kemiripan dengan yang dipakai Dodi di artikel tersebut walaupun dengan menggunakan langgam yang berbeda. Bedanya, tentu saja, yang pertama direspon dan disokong secara masif, sementara yang terakhir relatif mendapatkan respon dan dukungan yang ya gitu deh saja.
Aspek politis dari mobilisasi fardhu kifayah ini tampak jelas dalam penekanan Syafi’i Antonio, “tapi ternyata ada yang lebih besar ternyata.” Kalimat ini menunjukkan dengan jelas bagaimana Syafi’i Antonio mencoba memberi pemaknaan struktural akan pemahaman umum mengenai fardhu kifayah yang umumnya bersifat parokhial dan keseharian. Apabila pemaknaan umumnya (“ada anak kecebur, wajib diselamatkan; ada mayat, wajib disholatkan”) masih mengasumsikan kewajiban kolektif dari individu sebagai individu, pemaknaan Syafi’i Antonio ini menandaskan kewajiban kolektif dari individu sebagai satu kesatuan kolektif. Saya tidak tahu, walau cukup optimis, bahwa di dalam Al-Quran telah dimaksudkan seperti yang disampaikan Syafi’i Antonio. Namun terlepas dari ini, Syafi’i Antonio menyasar rezim pemaknaan dominan yang jauh dari mengoptimalkan potensi progresif dari konsep fardhu kifayah, dan kemudian memberikan pemaknaan yang baru atasnya yang lebih progresif.
Bahkan, tidak hanya struktural, ia pun bergerak lebih jauh dengan memancangkannya ke dalam pemaknaan politis. Melalui KS212, fardhu kifayah menghidupkan politik di ranah ekonomi dengan cara, pertama-tama memberikan kritik terhadap sistem ekonomi yang ada; kedua, menawarkan solusi untuk menggantinya; dan ketiga, mengorganisasi dan mengonsolidasikan subyek-subyek untuk memanifestasikan kritik dan solusi ini melalui apa yang disebutnya ‘jihad ekonomi berjamaah’. Subyek yang tercipta kemudian dengan jelas terseparasi disepanjang garis kawan dan lawan, ‘umat’ dengan ‘kapitalis’ pendosa.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, semuanya berdosa. Kenapa? Karena sudah membesarkan bank konvensional. Kita semuanya berdosa karena sudah menaruh uang dari desa, ditarik ke kelurahan, ke kecamatan, ke kabupaten, ke propinsi, ke jakarta, ditarik ke kantor pusat (misalnya) di London, di Singapura, di Amerika.”
Perlawanan Islam terhadap kapitalisme tentu saja bukan hal baru di era kontemporer. Namun mengorganisir perlawanan secara masif terhadap kapitalisme di tataran basis material ekonomi, mendeklarasikannya secara terbuka, dan mengeksekusinya secara kongkrit jelas adalah hal baru yang patut mendapatkan apresiasi dan respon yang serius.
Aspek ini penting untuk ditandaskan, soalnya perlawanan yang kerap dilakukan terhadap kapitalisme, umumnya, berada di tataran aksi politik massa, perebutan tampuk kekuasaan, kritik pengetahuan, dan—dengan berat hati harus saya paparkan juga—sumpah serapah etis-moralis dan status dan seruan heroik di media sosial saja. Upaya-upaya ini jelas memiliki peran penting (tapi saya curiga tiga yang terakhir tidak), tapi umumnya ini semua mau tidak mau harus mengasumsikan suatu landasan material yang kokoh yang pada kenyataan, apes-nya, justru memprihatinkan. Seringkali kita kehabisan energi dan nafas di tengah jalan yang berujung pada demoralisasi dan bahkan, brengseknya, pengorupsian kerja-kerja idiologis demi kepentingan-kepentingan egois pragmatis pribadi. Memang sudah terdapat beberapa kerja-kerja perintisan kemandirian ekonomi di kalangan kaum progresif, dan saya dengan jelas melihat percepatan pertumbuhannya (baik di tingkat kesadaran maupun eksperimentasi) belakangan. Namun demikian, kita masih belum memiliki pengorganisasian skala luas (nasional) yang memadukan dan mensinkronisasikan kerja-kerja ini dan yang mengupayakan kesepakatan orientasi yang jelas secara idiologis, strategis dan programatik. Kekhawatiran saya, kerja-kerja ini, karena tidak memiliki dukungan kongkrit dan partisipatif yang luas (dan bukan sekedar dukungan retoris dan solidaritas tak berjejak), akan segera terkikis oleh derasnya arus kompetisi pasar dan remuk dihimpit industri-industri besar dari segala penjuru. Apabila kita berpaling ke gerakan yang disokong oleh KS212, bisa jadi, ia akan terhindar dari kekhawatiran saya tersebut.
Basis Material Ekonomi Politik
Alasan kedua sekaligus yang terpenting menurut saya adalah bahwa fenomena KS212 ini menunjukkan relevansi dari slogan lama “politik adalah panglima.” Slogan ini dinyatakan oleh Njoto dalam Kongres Lekra di Solo pada tahun 1959 untuk menandaskan pentingnya politik bagi kebudayaan dan kesenian karena, “djika kita menghindarinja (politik), kita akan digilas mati olehnja.” Sebenarnya, lebih dari sekedar upaya pertahanan antisipatif, slogan ini ingin menyampaikan bahwa seni dan kebudayaan adalah juga medan perjuangan politik kelas yang harus disadari para seniman, dan yang tidak boleh ditinggalkan oleh kaum revolusioner pada umumnya. Beralih ke masa kini, KS212 mampu mengonfirmasi dan bahkan menyuarakan dengan nyaring relevansi slogan Njoto “politik adalah panglima”—sekalipun hampir pasti nama Njoto tidak akan mungkin sedikit pun menyempil di narasi pada pejabatnya. KS212 melakukannya dengan cara memberikan orientasi politis bagi serangkaian aktivitas ekonomi yang digagas dan direncanakannya. Diakui atau tidak, KS212 mengafirmasi total slogan Njoto, kali ini di ranah ekonomi. Perencanaan (planning) ekonomi, sebagaimana ditunjukkan KS212, adalah politis. Itulah mengapa dinamakan ekonomi politik.
Namun demikian, ada satu hal lain yang bisa kita lihat dari fenomena KS212 terkait relevansi kontemporer (jika bukan universal) dari slogan “politik adalah panglima.” Yaitu bahwa bahkan di dalam perencanaan bisnis pun juga berlaku “politik adalah panglima.” Poin ini teramat sangat penting untuk ditekankan, pertama-tama karena kita cukup sering melihat ekonomi dan bisnis sebagai sesuatu yang sinonim. Padahal, kedua terma ini memiliki batasan ruang lingkup yang bisa dibilang cukup berbeda. Apabila ekonomi adalah berkaitan dengan aktivitas pengorganisasian, pengarahan dan pengaturan akses, sumber dan sarana penghidupan, maka bisnis sebenarnya lebih berkaitan dengan aspek mekanisnya, yaitu bagaimana aktivitas ekonomi secara kongkrit dan teknis dilakukan. Apabila ekonomi adalah menyangkut artikulasi kapital di dalam sistem pasar kapitalis, maka bisnis menyibukkan diri dengan operasi kapital dalam megintervensi senarai materialitas di lapangan (gawai, perangkat lunak dan keras, standar prosedur operasi, infrastruktur, buruh, aturan, aparat lokal, isu/gosip masyarakat, dst.). Bisnis selalu merujuk pada keseharian aktor kapitalis spesifik dalam memobilisasi kapital untuk mengakumulasi profit. Bahkan bisa dikatakan bahwa ‘bisnis politik’ (political business) adalah “basis material” bagi ekonomi politik (political economy).
Alasan lainnya adalah karena kita cenderung mengonotasikan “buruk” dan “tidak progresif” pada hal-hal yang berkaitan dengan ‘bisnis’ dan saudara-saudarinya seperti: ‘profit’, ‘manajemen’, ‘akuntansi’, ‘pasar’, ‘investasi’, ‘perusahaan’, ‘korporasi’, ‘kartel’, ‘bank’, ‘proyek’, ‘logistik’, ‘industri’, ‘iklan’, ‘saham’, dst. Seolah-olah saat bersentuhan dengan ini, maka seketika lunturlah keprogresifan dari seseorang. Seolah-olah adalah tidak mungkin terbersit potensi revolusioner dari bisnis. Alhasil, tidak jarang kita jumpai para aktivis progresif yang melakukan hal-hal ini (karena mengalami kesulitan finansial yang tidak mampu ditopang oleh aktivismenya) harus dengan sinis berkata “saya kapitalis dulu deh untuk saat ini,” sementara yang lainnya malu-malu dan diam-diam dalam melakukannya karena takut mendapat judgement tidak progresif dari kawan-kawannya. KS212 mampu menunjukkan bahwa: 1) bisnis memiliki aspek politis; 2) politik yang kuat adalah didasarkan pada ekonomi politik yang kokoh, yang pada gilirannya perlu ditopang oleh perencanaan bisnis yang cemerlang. Terkait kedua hal ini, seolah-olah KS212 ingin mengatakan “djika kita menghindarinja (bisnis politik), kita akan digilas mati olehnja.”
Di kalangan kaum progresif di tanah air harus diakui bahwa bisnis masih belum mendapatkan apresiasi yang serius sebagaimana dilakukan terhadap ekonomi. Bahkan, di kesehariannya, praktik-praktik bisnis yang kita lakukan cenderung jatuh pada satu di antara dua ini: disadari atau tidak justru mengulangi operasi kapital dalam kapitalisme, atau malah payah sama sekali. Berapa banyak tanah hasil reclaim yang menjadi tidak terurus dengan baik, dan malah melahirkan tuan-tuan tanah baru? Berapa banyak usaha buruh yang mandeg dan stagnan? Berapa banyak koperasi layu sebelum berkembang? Ya, secara minoritas, memang ada beberapa yang survive dan berkembang, namun sayangnya mayoritas bernasib malang. Tapi, umumnya, minimnya pengetahuan, kepakaran dan pengalaman dalam menjalankan usaha bisnis yang baik dan sukses—namun tetap revolusioner—membuat praktik-praktik bisnis kita cenderung tidak menentu, jika bukan bernafas pendek.
Dalam pengamatan saya, ada empat permasalahan mendasar yang sering dijumpai dalam inisiatif usaha aktivis: 1) kekurangan modal (under-investment); 2) lambat dalam pertumbuhan skala (scaling-up); 3) produk yang kurang kompetitif (karena kekurangan modal untuk pengembangan) dan karenanya, 4) keterbatasan akses pasar alias tidak laku. Empat permasalahan ini, menariknya, sudah banyak dibahas dan ditawarkan solusinya, tidak hanya secara teoritis dan kalkulasi matematis-ekonomis, namun juga secara empiris menyangkut strategi bisnis! Banyak penulis-penulis dalam tradisi Marxis yang membahas hal ini seperti Jaroslav Vanek, Benjamin Ward, Daniel Egan, Bruno Jossa, Vera dan Stefano Zamagni, dan Tito Menzani untuk perusahan koperasi swakelola buruh, lalu Michael Bauwens (P2P Foundation) dan Akseli Virtanen (Robin Hood Asset Management Cooperative) untuk perusahaan koperasi berbasis teknologi tingkat tinggi.0F[1] Daftar ini tentunya bisa bertambah lebih panjang lagi, namun kompetensi tulisan saya sekarang tidak untuk membahas ini. Tapi poinnya adalah bahwa masih amat jarang perhatian serius diberikan terhadap nama-nama ini dan terhadap isu praksis dari apa yang disebut kawan kita Hanny Wijaya “bisnis gerakan” yang mereka kaji dan kembangkan.
Minimnya sirkulasi dan artikulasi pengetahuan mengenai bisnis gerakan ini membuat minimnya imajinasi untuk melakukan kemandirian ekonomi.1F[2] Selalu saja diputar kaset lama mengenai retorika “pentingnya kemandirian ekonomi aktivis bla..bla..” tapi sayangnya saat dihadapkan dengan persoalan cash flow dan perencanaan usaha, banyak dari kita yang angkat tangan dan memilih menyerahkan ke orang lain—syukur-syukur kalo seidiologi, bagaimana kalau tidak?—Sudah pasti praktik-praktik empirik kesehariannya adalah selalu mengasumsikan normalitas dan universalitas sistem ekonomi pasar yang kapitalistik. Siapa yang mengira, misalnya, bahwa sistem akuntansi pencatatan berganda (double entry bookkeeping) yang berlaku saat ini adalah salah satu determinan bagi lahir dan berkembangnya kapitalisme?2F[3] Belum lagi persoalan perencanan bisnis strategis, perencanaan keuangan, pemodelan bisnis, pemetaan pasar, manajemen produksi, manajemen pekerja/anggota, pengendalian mutu, penetrasi pasar, strategi branding, penentuan harga, komunikasi pemasaran, manajemen rantai pasokan, pengembangan produk, pengembangan personalia, merjer dan akuisisi, motivasi pegawai, dll., yang seringkali dipersepsikan sebagai jatuh di luar teritori “aktivisme.” Sementara cakupan aktivisme adalah selalu seputar aksi massa, demonstrasi, advokasi, konsolidasi serikat, pemberdayaan, kritik, dst. yang umumnya lebih mampu memancarkan aura progresif lagi radikal nan revolusioner ketimbang persoalan-persoalan bisnis tadi. Lagi-lagi, untuk hal ini, KS212 sudah mampu memiliki perencanaan dan proyeksi pengembangan bisnisnya dengan baik untuk memberikan landasan kongkrit bagi ekonomi politiknya.
Menemukan formulasi yang tepat bagi bisnis gerakan progresif adalah hal yang penting untuk segera dilakukan. Apabila kita memberikan kesempatan bagi bisnis untuk bisa merekahkan dimensi progresif dan revolusionernya, maka tidak bisa dielakkan lagi bahwa menjadi tugas kita semua untuk mulai memikirkan, mendirikan dan mengoordinasikan suatu bisnis sosialis dengan skala luas. Bisnis sosialis menggunakan kapital secara progresif demi transformasi sosial menuju dunia tanpa kapitalisme. Bisnis sosialis, dengan demikian, menggunakan kapital justru untuk membatalkan kapital itu sendiri. Kajian dan riset mengenai bisnis sosialis adalah penting untuk juga dilakukan. Untuk itu, produksi pengetahuan, kaderisasi pemikir dan inkubasi praksis eksperimental di bidang ini juga menjadi agenda yang penting bagi gerakan. Kajian-kajian seperti Bisnis Politik, Studi Manajemen Kritis, dan Akuntansi Kritis yang mencoba keluar dari perspektif arus utama studi bisnis, manajemen dan akuntansi, adalah perlu untuk mulai digalakkan. Karena hanya dengan pemahaman obyektif akan bisnis saja kita bisa mengimplementasikan slogan ‘politik adalah panglima’ di ranah ekonomi secara kongkrit, dan karenanya memungkinkan kita untuk menggelar pertempuran kelas di setiap lini operasi bisnis, berkembang secara kekuatan dan volume bisnis, lalu merebut tampuk kekuasaan dan dominasi di sirkuit pasar dan industri, dan akhirnya menyudahi seluruh kegilaan kapitalisme. Harapan saya, di titik ini kita sudah mulai dapat membayangkan trajektori yang menghubungkan ‘bisnis’ dan ‘revolusi’.
Penutup
Munculnya KS212 adalah peringatan keras untuk mulai serius memikirkan dan kemudian melakukan hal yang serupa. Tentu saja, refleksi kritis terhadap model dan manuver KS212 adalah mutlak untuk dilakukan. Terkait dengan ini, adalah penting bagi kita untuk memiliki pedoman dalam menakar dan menentukan suatu model bisnis, manajemen dan perencanaan keuangan. Bahkan, menakar suatu praktik sebagai kapitalis atau bukan kapitalis. Minimnya produksi dan pengembangan pengetahuan di seputar bidang ini dari perspektif Marxis, khususnya di Indonesia, membuat kita harus meraba-raba untuk mengevaluasi inisiatif-inisiatif yang secara retoris adalah anti-kapitalis. Soalnya, kalau hanya sekedar mengatakan anti-kapitalis, ABG labil yang baca Marx baru tiga halaman, atau aktivis yang menjadikan aktivisme sebagai proyek-proyek untuk cari untungnya sendiri pun juga tidak mengalami kesulitan mengatakannya keras-keras.
Sebagaimana diskusi yang berkembang di seputar fenomena KS212, beberapa mendukungnya karena ia merepresentasikan dan mengartikulasikan kepentingan rakyat banyak, beberapa lainnya menahan diri untuk memberikan dukungan karena mengantisipasi anasir-anasir ekstrimis yang membayang-bayanginya. Menurut saya, apapun kritik terhadap KS212, satu yang mesti kita pegang: tingkat revolusioner dan progresifnya haruslah diukur dari sejauh mana ia mampu membuka front perlawanan terhadap kapitalisme di sektor bisnis dan tidak mengulanginya di kesehariannya (dan bukan cuma di retorika publiknya). Jika dijabarkan lebih mendetil, hal ini bisa dilakukan dengan melihat kesuksesannya dalam sejauh mana ia mampu 1) mengidentifikasi bias kelas dalam permasalahan ekonomi harian umat; 2) melembagakan prinsip-prinsip non/anti-kapitalis dalam aturan dan prosedur (SOP) yang berlaku di setiap unit usahanya; 3) mengoordinasikan kegiatan ekonomi konstituennya (umat) sedemikian rupa untuk menopang agenda-agenda politiknya; 4) mengatur surplusnya dan mengarahkannya untuk melemahkan kapitalisme sampai titik nol, ketimbang mengulangnya dengan langgam yang berbeda. Selain dari empat ini, saya cukup curiga kritik yang diberikan akan bersifat lebih emosional dan personal, ketimbang obyektif.
Akhirnya, yang terlebih penting dari itu semua adalah bahwa kenyataan KS212 mampu melakukan perumusan strategi bisnis di level nasional dan mengarahkannya untuk menopang gerakan politiknya adalah pertanda keras bagi kita untuk lebih serius lagi dalam mengaplikasikan slogan “politik adalah panglima” di ranah bisnis. Untuk ini, saya cukup yakin kita perlu mulai mendudukkan pebisnis-pebisnis kita di pendulum bisnis di sebelah kiri, mulai merapatkan strategi dan manuver perebutan market share di pasar kapitalis, dan (mengapa tidak) menerjemahkan fardhu kifayah ke dalam langgam-langgam perjuangan revolusioner rakyat melawan kapitalisme. [HYP]
Penulis adalah Peneliti di Koperasi Riset Purusha, dan psikoterapis di Minerva Co-Lab
———————-
[1] Lihat, misalnya, Daniel Egan, “Toward a Marxist Theory of Labor-Managed Firms: Breaking the Degeneration Thesis,” Review of Radical Political Economics, 22, 4 (1990); Stefano Zamagni & Vera Zamagni, Cooperative Enterprise: Facing the Challenge of Globalization (Edward Elgar Pub., 2010) dan Bruno Jossa, Producer Cooperatives as a New Mode of Production (Routledge, 2014).
[2] Persoalan ini yang lantas menyebabkan lahirnya Studi Manajemen Kritis. Lihat, misalnya, Stefano Harney, “Socialization and the Business School,” Management Learning, 38, 2, 2007; Stephen Dunne, Stefano Harney, Martin Parker & Tony Tinker, “Discussing the Role of the Business School,” Ephemera: Theory & Politics in Organization, 8, 3 (2008); Armin Beverungen, Whither Marx In the Business School? Disertasi Doktoral, School of Management, University of Leicester, 2009.
[3] Kata Marx, seorang kapitalis “keep(s) a set of books. His stock-book contains a catalogue of the useful objects he possesses, of the various operations necessary for their production, and finally of the labour-time that specific quantities of these products have on average cost him” dlm., Capital, vol. 1 (Penguin Classic, 1976), h. 170. Lihat juga karya-karya penulis dari sub-disiplin Akuntansi Kritis, misalnya, R.A. Bryer, “Double-Entry Bookkeeping and the Birth of Capitalism: Accounting for the Commercial Revolution in Medieval Northern Italy,” Critical Perspectives on Accounting, 4, 2 (1992) dan Eve Chiapello, “Accounting and the birth of the notion of capitalism,” Critical Perspectives on Accounting, 18, 3, 2007.