PILKADA DKI Jakarta saat ini memperlihatkan gambaran yang paling baik dari pertentangan yang tak bisa didamaikan lagi antara para borjuis (mafia) rente di satu pihak melawan borjuis reformis (borjuis nasional) di pihak yang lain. Kini adalah saat-saat penentuan dari perseteruan mereka.
Tesis saya masih sama sampai sekarang, yaitu politik masa kini adalah pertentangan tak terelakkan antara kaum borjuis rente (kapitalis birokrat) dengan kaum borjuis nasional. Ini adalah pertentangan terakhir untuk menentukan siapa yang harus tunduk pada siapa. Kita tahu bahwa kaum kapitalis rente adalah anakronisme sejarah di dalam kapitalisme millennium abad 21 sekarang. Kenyataan adanya keberadaan mereka memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia masih menyimpan sisa-sisa feodal yang akut. Kapitalisme Indonesia masih menyisakan keberadaan kapitalisme primitif yang tak juga mau mati-mati dan ingin terus hidup.
Kita tahu bahwa kapitalisme rente bisa terus hidup dan berkembang karena hubungan sosial produksinya masih dikekang oleh keberadaan hubungan-hubungan produksi yang pra-kapitalis. Dalam konteks di Indonesia dapat dilihat dari masih rendahnya hubungan industri manufaktur dan masih dominannya hubungan produksi perkebunan dan ekstraktif (pertambangan). Akibatnya kelas-kelas yang dihasilkannya adalah juga kelas-kelas perkebunan dan ekstraktif, yang bukan merupakan borjuis industri. Eksploitasinya berasal dari nilai jual komoditas mentah, bukan dari nilai tambah industri.
Kelas-kelas borjuis perkebunan dan borjuis ekstraktif ini juga kebanyakan berasal dari hak-hak istimewa yang diberikan oleh Negara, bukan karena hak usaha kapitalis yang berasal dari mekanisme pasar. Kita masih sering dengar bahwa “ledakan besar” otonomi daerah di Indonesia menghasilkan Raja-raja kecil, baik yang dikenal sebagai dinasti politik ataupun dari kekuatan oligarki partai-partai politik. Itulah persis cerminan dari masih kuatnya kekuatan politik sisa-sisa feodal di Indonesia. Nama lain yang sekarang umum dipakai adalah kaum oligarkis.
Kaum oligarkis sisa feodal bertumbuh, dipelihara dan sangat kuat di masa Orde Baru. Jenderal Suharto sebagai “Raja Jawa”nya, atau Raja dari kekuasaan oligarki tersebut, atau Raja dari para kapitalis rente. Kapitalisme rente inilah yang tumbuh subur di masa Orde Baru. Terutama piramida paling atas dikuasai oleh Grup Cendana (keluarga Suharto) dan disekitarnya oleh kroni-kroni Suharto, yang dulu dikenal sebagai Grup Prasetya Mulya (para konglomerat keturunan Tionghoa). Pada masa reformasi, terjadi re-formasi kekuasaan, yaitu regenerasi dan reproduksi kaum bisnis baru, menggantikan generasi konglomerat lama. Para borjuis rente ini wataknya tidak berubah, yaitu masih bergantung pada Negara dan bergantung pada sektor-sektor ekonomi non-industri. Karenanya mudah saja dimengerti bahwa industrialisasi di Indonesia tidak pernah serius dijalankan, dan hanya menjadi pengekor saja dari industri Jepang, Taiwan, Korea dan sekarang Tiongkok.
Pada masa Orde Baru ini, “Raja Jawa” Suharto dengan keluarga dan kroninya sangat dominan. Bahkan diceritakan menguasai hingga 70 persen perekonomian nasional. Karena itu dapat dibayangkan, bahwa sulit sekali bagi pengusaha nasional yang berada di luar perkronian tersebut untuk bisa berkembang. Pengusaha nasional yang bersih dan jujur, atau disebut borjuasi nasional inilah yang tidak bisa bergerak dan terus-terusan dirugikan oleh praktek KKN yang melanda dan mewabah di semua sektor ekonomi dan bisnis. Borjuasi nasional yang terpinggirkan dan kelas menengah profesional inilah yang menjadi bagian utama dari gerakan reformasi 1998 dan setelahnya.
Ada beberapa faksi kapitalis rente di Indonesia selepas kekuasaan Suharto. Pertama, adalah konglomerat keturunan Tionghoa generasi kedua; kedua, borjuis rente pribumi kroni Suharto; ketiga, borjuis rente militer; dan keempat, borjuis nasional reformis. Hanya kaum borjuis nasional reformis yang kadang terikut sistem rente bukan karena kemauannya. Secara perlahan kelas borjuis nasional inilah yang bisa mulai merangkak naik setelah pasca Suharto, baik lewat otonomi daerah maupun lewat reformasi sistem birokrasi dan tata-pemerintahan.
Sementara itu di tengahnya adalah lautan borjuis kecil atau borjuis menengah, yang siap untuk sebuah sistem kapitalisme modern, sebuah reformasi atau pembaruan atas sistem kapitalisme rente yang tidak mungkin lagi dipertahankan. Dalam hal ini, kapitalisme rente dan kapitalisme modern sedang mengalami keretakan untuk akhirnya berhadapan satu sama lain, bertentangan satu sama lain tak terdamaikan. Dapat kita katakan, generasi baru borjuis nasional itulah yang sekarang direpresentasikan oleh Jokowi dan Ahok, disamping tokoh reformis lain yang ada di jajaran kabinet Jokowi, seperti Sri Mulyani (Menkeu), Susi Pujiastuti (Men.KKP), Ignasius Jonan (Men.ESDM) dan lainnya. Di level lain, adalah para bupati dan walikota generasi baru yang juga sangat reformis, seperti Jokowi dan Ahok sendiri, Ridwan Kamil (walikota Bandung), Tri Rismaharini (walikota Surabaya), Prof. Nurdin Abdullah (bupati Bantaeng) dan lainnya.
Karenanya pertentangan antara Ahok dengan para penentangnya saat ini, haruslah dibaca dalam konteks pertentangan kelas antara kaum borjuis reformis melawan para borjuis rente. Pertentangan ini merupakan pertentangan tingkat mikro di Jakarta, yang dengan jelas merepresentasikan pertentangan tingkat makro di Indonesia, antara Jokowi dengan para borjuis rente yang sudah meledak semenjak Pilpres 2014 yang lalu. Karena itu Jokowi-Ahok memang tidak bisa dipisahkan, karena mereka adalah simbol dari perjuangan kaum borjuis reformis dalam melawan “sekarang dan selamanya” (once and for all) kekuatan borjuis rente yang terus menerus menggerogoti perekonomian dan perpolitikan Indonesia. Kini saatnya dan tidak ada waktu lainnya. “The battle of the century” antara borjuis hitam (mafia) lawan borjuis putih (modernis).
Musuh-musuh Ahok paling utama bisa dilihat sejak awal adalah dari kalangan borjuis birokrat di kalangan DPRD yang adalah para mafia anggaran. Mereka merupakan sub-mafia saja dari mafia yang lebih besar yang tentunya juga tinggal di Jakarta. Karena itu kita bisa lihat seru dan hiruk-pikuknya Pilkada Jakarta tahun 2012 ketika Jokowi menghadapi Foke, yang sebenarnya tidak banyak berbeda dengan Pilkada Jakarta sekarang. Musuh-musuh Jokowi dan Ahok masihlah sama, yaitu rezim oligarki rente Jakarta, yang sebenarnya representasi saja dari rezim oligarki rente nasional.
Saat ini tiga cagub dan cawagub Pilkada DKI Jakarta mencerminkan hal ini: Ahok-Djarot di satu pihak melawan dua kekuatan oligarki rente besar, yaitu dari Agus-Sylvi yang mewakili kekuatan SBY dan Anis-Sandi yang mewakili Prabowo. Jelas sekali pertentangan ini adalah kelanjutan dari pertentangan di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Dan kalau disimpulkan, maka ini adalah pertentangan mutakhir antara kaum borjuis nasional reformis melawan kaum borjuis rente oligarkis. Jelas sekali kan!
Mengapa yang mencuat ke permukaan adalah aliansi ormas (yang mengatasnamakan) Islam yang terkenal ke-premanannya? Tentu saja, sebagaimana pertentangan-pertentangan sebelumnya, ormas preman, apalagi dengan topeng agama, adalah alat paling ampuh dalam memobilisasi massa yang mudah sekali dibakar sentimen-sentimen SARA. Di lain pihak, kita bisa lihat juga peran kelompok militer, yang juga adalah kaum borjuis rente militer. Mereka adalah kaum rente juga yang telah menikmati hak-hak istimewanya selama ini dalam perkembangan kapitalisme rente/primitif Indonesia. Tidak heran kaum militer – Jenderal-jenderal terutamanya, adalah penikmat rente sejak Orde Baru hingga sekarang, yang juga tidak mau kehilangan kekayaan dan kenikmatannya. Sebenarnya dua kelompok inilah yang merupakan anjing penjaga utama dari kapitalisme primitif Indonesia. Kalau ormas preman agama akan selalu memakai sentimen agama melawan “kafir”, maka militer akan selalu memakai sentimen anti-komunis/PKI dalam melawan musuh-musuhnya. Ini resep sederhana yang dipakai terus-menerus oleh dua anjing penjaga oligarki Orde Baru.
Jadi bagaimana kita melihat fenomena peradilan sesat atas nama penistaan agama yang ditujukan kepada Ahok? Bagaimana kita melihat fenomena dimunculkannya terus-menerus bahaya komunisme/PKI, bahkan kepada presiden Jokowi sendiri? Mudah saja kan analisanya.
Kaum Oligarki Rente ini akan selalu memakai cara-cara demikian dalam melawan kaum reformis sejati. Reformasi total adalah bahaya paling nyata di mata mereka saat ini. Karenanya pertentangan saat ini akan menentukan jalannya sejarah Indonesia ke depan. Pertentangan paling mematikan dan paling berbahaya yang bisa terjadi terus menerus, semenjak Pilkada DKI Jakarta sekarang hingga nanti Pilpres 2019 kelak.***