SETELAH merebaknya teror atas nama Islam di berbagai belahan penjuru dunia, seperti penyerangan dan peledakan bom bunuh diri di tempat-tempat publik seperti gereja, bandara, stasiun kereta api dan pusat-pusat perbelanjaan, dan puncaknya adalah pembajakan pesawat yang ditabrakkan ke menara kembar WTC dan Pentagon, yang menjadi simbol kedigdayaan Amerika, pada 11 September 2001, segera saja Islam dituding sebagai biang kekerasan dan diberi label sebagai agama teror yang mengobarkan kebencian dan kekerasan. Bahkan secara terbuka oleh pemimpin megalomania semacam George W. Bush Jr. dan publik Barat yang mengidap Islamophobia, Islam ditempatkan sebagai personifikasi setan dunia yang harus dimusnahkan dari muka bumi. Apa yang disebut sebagai Jihad melawan kafir Barat oleh para pelaku kekerasan, sebenarnya tak hanya terjadi di belahan dunia Barat, negeri-negeri yang dianggap kafir, melainkan juga ke berbagai belahan dunia Islam di luar timur Tengah, seperti Indonesia yang hingga sekarang turut menyumbang bangkitnya sektarianisme dan fanatisme beragama.
Di tengah marabahaya kebencian dan kekerasan atas nama Islam seperti sekarang ini, narasi Islam yang menyelamatkan dan memberi rahmat pada seluruh alam, yang kemudian populer dengan terma “Islam rahmatan lil alamin”, mendapat momentumnya untuk digemakan kembali. Kekerasan terorisme rupanya mengakibatkan dua efek sekaligus. Selain menaikkan gelombang anti Islam di berbagai belahan dunia, juga telah mendorong banyak orang beramai-ramai mencari tahu Islam lebih jauh. Benarkah Islam mengajarkan kekerasan sebagaimana selama ini ditudingankan? Tidak sedikit orientalis yang menganggap Islam sebagai agama teror. Namun banyak juga di antara mereka menilai secara objektif, bahkan simpatik pada Islam, bahwa Islam, sebagaimana agama-agama lain di dunia, mengajarkan cinta kasih, penghargaan atas manusia, dan persaudaraan, sebagaimana arti kata “Islam” yang berarti keselamatan, yang sebenarnya secara tidak langsung telah menggambarkan visi kemanusiaan agama yang paling dicurigai di abad ini. Maka “keselamatan”, alih-alih diimposisikan dari luar Islam, meerupakan nilai yang embedded dalam Islam.
Berangkat dari situasi historis dan politis yang menempatkan Islam sebagai agama yang paling dipersalahkan atas terjadinya berbagai teror yang melanda dunia, mendorong banyak kalangan intelektual Islam, terpanggil untuk turut mendudukkan makna Islam sesungguhnya, baik pada publik Islam sendiri, sebagai upaya pencegahan bangkitnya ekstrimisme, juga pada publik di luar Islam sebagai ikhtiar menepis tudingan yang keliru pada Islam. Di sinilah letak persoalannya. Kebutuhan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama ramah, dan toleran via narasi Islam rahmatan lil alamin, meski telah memberi jawaban yang kokoh atas kegalauan berpikir di seputar tafsir dan praktik beragama yang fanatic, namun di sisi lainnya, justru telah mendegradasi universalitas rahmatan lil alamin itu sendiri, yang hanya berkutat pada persoalan pluralitas dan multikulturalitas. Universalitas dan keluasan aspek rahmatan lil alamin, tanpa disadari telah tergerus dan terkikis pengertian fundamentalnya sehingga berimplikasi pada bagaimana narasi ini hendak dioperasikan. Termasuk kegagalannya dalam menjawab persoalan yang lebih fundamental, yaitu skema besar penghancuran kemanusiaan secara global.
Bagaimana, misalnya, Islam bisa menjawab problem ketimpangan global, penjarahan ruang-ruang hidup non kapitalistik oleh korporasi. Persis disinilah saya kira letak urgensi mempertanyakan ulang atau setidaknya mengelaborasi kembali proyek ambisius menjadikan Islam sebagai juru selamat dunia, yang belakangan populer dengan label “Islam rahmatan lil alamin” dalam konteks kapitalisme mutakhir. Kita uji kembali kemungkinan dan ketidakmungkinannya rahmatan lil alamin dioperasikan dalam sistem kapitalisme mutakhir. Mengingat selama dua dekade proyek pembaruan pemikiran Islam, kita saksikan terjadinya kejumudan teoritik dan kegagalan yang sangat akut dalam jantung pemikiran Islam di Indonesia untuk mengoperasikan atau mematerialkan gagasan pembaruannya dan modernisasinya di hadapan mesin kapitalisme. Pembaruan pemikiran Islam menemukan dirinya lumpuh, oleng, dan terhempas dari realitas dimana dirinya bepijak. Pembaruan pemikiran Islam sejak semula mengalami kegagalan karena selain terjebak pada perdebatan simplistis dikotomi modern dan tradisional, juga terjebak pada jump to conclusions mengenai “Islam modern”. Islam yang dibayangkan setara dengan Barat dalam pencapaian pengetahuan dan ekonomi, namun lupa pada prasyarat-prasyarat materialnya, bahwa kemodernan yang diidealkannya, yakni negara-negara kapitalis, itu dibangun di atas air mata dan darah jutaan umat manusia. Inilah yang membuat kita tidak kaget jika pada akhirnya pembaruan pemikiran Islam, oleh para penerusnya di Indonesia, justru tengah diselaraskan dengan kapitalisme. Problem inilah yang akan menjadi subjek kajian atau analisis kita kali ini.
Sebisa mungkin tulisan ini menjawab pertanyaan fundamental yang sepertinya dilupakan: apakah mungkin Islam rahmatan lil alamin bisa dioperasikan dalam sistem kapitalisme? Jika tidak mungkin, mengapa rahmatan lil alamin, justru belakangan seringkali dipropagandakan sebagai nilai yang compatible dengan kapitalisme? Melalui tulisan ini, kita akan mencoba mengurai tiga hal sekaligus: pertama, menggali pengertian rahmatan lil alamin. Kedua, mengujinya dalam konteks sistem kapitalisme mutakhir. Dan ketiga, mengembalikan universalitas rahmatan lil alamin yang terkikis. Meski demikian, pertanyaan yang kita ajukan ini sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai upaya mencongkel agenda narasi besar Islam rahmatan lil alamin, melainkan justru menebali apa yang terkikis dari narasi tersebut dan mengembalikan peran historis rahmatan lil alamin sebagaimana dimaksudkan pada mulanya.
***
Dalam frase rahmatan lil alamin, terdapat dua kata penting yang perlu untuk digali pengertiannya lebih dalam, yakni kata rahmah dan alamin. Karena dua kata inilah yang menjadi penguat makna “Islam” yang berarti keselamatan.
Kata rahmah (رَحْمَةٌ) atau rahmat berasal dari akar kata rahima-yarhamu-rahmah (رَحِمَ ـ يَرْحَمُ ـ رَحْمَةً). Di dalam berbagai bentuknya, kata ini terulang sebanyak 338 kali di dalam Al-Qur’an. Yakni, di dalam bentuk fi’il mâdhi (telah lampau) disebut 8 kali, fi’il mudhâri (tengah berlangsung) 15 kali, dan fi’il amar (perintah) 5 kali. Selebihnya disebut di dalam bentuk isim (kata benda) dengan berbagai bentuknya. Kata rahmah sendiri disebut sebanyak 145 kali.
Kata rahmah yang digunakan di dalam Al-Qur’an hampir semuanya menunjuk kepada Allah Swt, sebagai subyek utama pemberi rahmat. Atau dengan kata lain, rahmah di dalam Al-Qur’an berbicara tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan kasih sayang, kebaikan, dan anugerah rizki Allah terhadap makhluk-Nya. Di samping itu, dari akar kata rahima, lahir beberapa kata yang menjadi nama dan sifat utama Allah Swt. Misalnya, kata ar-râhim (الرَّاحِمُ) yang disebut sebanyak 6 kali, ar-rahmân (الرَّحْمَانُ) yang berwazan fa’lân yang berarti Allah memberi rahmat pada semua makhluknya di dunia, disebut sebanyak 57 kali, dan ar-rahîm (الرَّحِيْمُ) yang berwazan fa’îl yang berarti Allah rahmat kelak di akhirat, disebut sebanyak 95 kali, dan sekali sebagai adjective pribadi Rasulullah Muhammad Saw sebagaimana dalam ayat:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِینَ
“Kami tidak mengutus kamu, wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya’:107)
Kalau kita tinjau ayat ini secara i’rāb, kata رَحْمَة dalam ayat tersebut dibaca naṣab, karena berkedudukan sebagai ḥāl dari ḍhamir mukhaṭab maf’ūl (huruf كَ) sehingga bermakna bahwa kepribadian Nabi Muhammad adalah rahmat. Kata رَحْمَة juga bisa menjadi ḥāl dengan membuang muḍāf yang asalnya adalah ذا رحمة , jadi Nabi Muhammad adalah seorang penyayang.[1] Kata رَحْمَة juga bisa berkedudukan sebagai maṣdar yang menempati tempat ḥāl dari ḍamir fā’il (huruf نَا ) dengan makna أرسلناك راحمین للعالمین (Kami mengutusmu sebagai Dzat Yang Maha Pengasih kepada seluruh alam). Kata رَحْمَة juga dapat menjadi maf’ūl min ajlih: أن لله رحم العالمین بإرسال سیدنا محمد (Allah merahmati seluruh alam semesta dengan mengutus Nabi Muhammad).[2] Sementara, menurut Quraish Shihab, ayat ini menyebut empat hal pokok, yakni: Dzat Yang mengutus Nabi Muhammad (Allah); Rasul Allah (Nabi Muhammad); Nabi Muhammad yang diutus pada alam Semesta; dan risalah. Keseluruhan empat hal itu, masing-masing mengisyaratkan adanya sifat “rahmat” yang bersifat umum, serta tidak terbatas waktu dan tempat karena kata raḥmat dalam ayat tersebut menggunakan isim nakirah (indefinitif)[3]. Sifat belas kasih yang melekat pada sosok Nabi Muhammad dengan demikian adalah rahmat dari Allah yang bersifat umum (alamin) yang melampaui batas agama dan ras, tak hanya pada manusia tapi juga pada seisi alam raya. Nabi juga menyebut sosoknya sebagai رحمة مھداة yakni rahmat yang dihadiahkan oleh Allah pada alam semesta.[4]
Mengenai kelemahlembutan yang melekat pada diri Nabi Muhammad sebagai rahmat dari Allah dijelaskan dalam ayat berikut:
فَبِمَا رَحمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لهَمُ
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka” (QS. 3:159)
Bahkan dalam Al-Qur’an, tidak ditemukan satu figurpun yang dijuluki sebagai raḥmat selain Nabi Muhammad dan tidak ada satu makhluk pun yang disifati al-raḥīm selain Nabi Muhammad. Allah berfirman:
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”.
Lebih lanjut, Kata rahmah ( رَحْمَة ) juga sebenarnya berhubungan dengan kata rahim, yang berarti rahim perempuan yang menjadi simbol kasih sayang sebagaimana hadis berikut ini:[5]
عن عبد الرحمن بن عوف: أنه سمع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: “قال الله عز وجل
أنا الرحمن، خلقتُ الرَّحم وشققتُ لهامن اسمي اسماً، فمن وصلها وصلتُه، ومن قطعها بتَتُّه”.
“Allah berfirman: ‘Aku adalah Dzat Yang Maha Pengasih, Aku telah menciptakan rahim dan menamainya dari NamaKu. Barangsiapa yang menyambungnya, maka Aku bersambung dengannya, dan barangsiapa memutusnya, maka Aku juga memutusnya”
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa rahmatan lil alamin bersifat universal, yang rahmatnya mencakup segala aspek kehidupan ini.
***
Setelah kita tinjau sekilas pengertian rahmatan lil alamin, sebagaimana pertanyaan yang kita ajukan dimuka, kini kita akan mengujinya dalam sistem kapitalisme.
Sebagaimana sudah kita tahu, dibentuknya Bank Dunia dan lembaga moneter internasional (IMF), pasca Konferensi Bretton Woods tahun 1944, telah menjadi tanda awal mula malapetaka bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia. Rezim kapitalisme global (IMF dan Bank Dunia) menjerat negara dunia ketiga melalui utang sebagai jalan memaksa negara-negara tersebut agar menjalankan agenda-agenda liberalisasi di berbagai bidang, seperti: pembukaan pasar bebas; pencabutan subsidi; dan peralihan kontrol negara terhadap Sumber Daya Alam pada investor. Negara-negara yang mendapat kucuran utang dibuat tergantung dan dimiskinkan. Di negara yang tergantung ini disparitas sosial sangat tinggi, jarak antara yang kaya dan miskin tak lagi bisa dijembatani. Sumber daya alamnya dikeruk habis dan tenaga buruhnya dihisap. Yang tersisa hanya makin membengkaknya kemalangan dan ketidakberdayaan jutaan rakyat, dan makin kayanya kelas komprador (compradore class) yang menjadi kepanjangan tangan kapitalisme global.
Fatalnya, oleh pemerintah Indonesia, hingga hari ini, utang luar negeri tidak dilihat berdasarkan konsekuensi ekonomi politik di belakangnya. Sehingga berdasar laporan Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2016 tercatat 324,2 miliar Dollar AS. Ini artinya utang luar negeri Indonesia naik 6,4 persen secara tahunan atau year on year.[6]
Ketimpangan dan incompabilities yang melanda hanya bisa diselesaikan melalui perubahan yang mendasar, yakni membongkar konstruksi pembangunan yang tak berkeadilan. Karena ketimpangan sosial bukanlah suatu kondisi yang tiba-tiba terjadi begitu saja melainkan akibat dari relasi akumulasi, eksploitasi, penjarahan dalam dinamika kapital, yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif, yakni sebuah proses historis yang memisahkan produsen dari alat produksinya dan proses penyingkiran relasi-relasi sosial non kapitalistik yang terus terjadi tanpa akhir (endless). Bahkan seringkali bekerja dengan melibatkan instrumen-instrumen kekerasan, sebagaimana dicontohkan oleh Marx tentang ekspropriasi atau pengambilalihan lahan pertanian di Inggris. Dimana para produsen, yaitu petani, diubah menjadi tenaga upahan.
Semua fitur akumulasi primitif yang disebut Marx bekerja dalam sebuah proses historis tertentu, ternyata masih eksis dalam geografi historis kapitalisme hingga sekarang, yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara perampasan)[7] yang bekerja jauh lebih brutal dan lebih massif menjarah ke seluruh penjuru dunia. Bila diamati lebih dekat deskripsi Marx mengenai akumulasi primitif menunjukkan adanya beberapa proses, diantaranya: komodifikasi dan privatisasi tanah serta pengusiran secara paksa petani; mengubah berbagai bentuk hak milik kolektif menjadi hak milik pribadi; komodifikasi tenaga kerja dan penyangkalan terhadap bentuk-bentuk produksi dan konsumsi alternatif; proses-proses pengambilalihan secara kononial, neo-kolonial dan imperial aset-aset seperti Sumber Daya Alam; yang semuanya telah terjadi dan masih terjadi di Indonesia.[8] Menurut Harvey, “apa yang dilakukan melalui accumulation by disposession sesungguhnya adalah melepaskan serangkaian aset (termasuk tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam banyak hal sungguh tanpa biaya). Modal yang telah terakumulasi secara berlebihan dapat dipakai untuk merampas rangkaian aset tersebut dan segera memasukkannya ke dalam suatu usaha baru pelipatgandaan keuntungan”.[9]
Singkatnya, dalam proses akumulasi dengan cara perampasan, Harvey menekankan pentingnya produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumber daya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) sehingga membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja.[10] Reorganisasi dan rekonstruksi geografis sebagai akibat dari pembukaan ruang baru bagi kapitalisme atau reproduksi perluasan kapital, tidak bisa tidak, telah mengakibatkan ketidakadilan, dan bahkan kekerasan di tempat-tempat baru yang dijarah. Karena kapital mensyaratkan adanya nilai lebih dan nilai lebih mensyaratkan produksi kapitalis, sementara produksi kapitalis mensyaratkan ketersediaan dalam jumlah besar kapital dan tenaga kerja di tangan produsen komoditi. Sementara sebagai prasyarat untuk yang terakhir, produksi kapitalis mensyaratkan pemisahan antara tenaga kerja dari kepemilikan alat produksi sebagai kondisi yang memungkinkan untuk terciptanya tenaga kerja bebas. [11]
Salah satu dampaknya di sektor agraria adalah terjadinya ketimpangan dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan tanah yang mengakibatkan banyaknya rumah tangga tani yang menjadi tuna kisma dan mengalami proletarianisasi. Jika kita runut hasil sensus Pertanian dari tahun ke tahun akan terlihat tingginya angka kesenjangan penguasaan alat produksi berupa lahan garapan bagi petani. Berdasar hasil sensus Pertanian 1993, misalnya, terdapat sebanyak 43% dari rumah tangga pedesaan merupakan tunakisma (landless), di lain pihak 16% rumah tangga menguasai 69% luas tanah yang tersedia, dan 41% rumah tangga menguasai hanya 31% luas tanah yang tersedia.[12]
Meski demikian, para intelektual Islam liberal, yang begitu takzimnya dengan para ekonom madzab Austria, telah meletakkan Islam rahmatan lil alamin di dalam sirkuit akumulasi kapital. Dengan itu, alih-alih mematerialkan Rahmatan lil alamin yang pekat dengan cinta kasih, solidaritas, pengorbanan atas yang lain, yang itu artinya berwatak membebaskan, justru disandingkan dengan individualisme dan ketamakan. Mereka mengimani doktrin Adam Smith dalam risalahnya The Wealth of Nations tahun 1776, mengenai tangan tak terlihat (invisible hand) yang menggerakkan pasar menuju tercapainya efisiensi ekonomi. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh ekonom Ha Joon Chang, Amerika dan Inggris, yang kini paling getol mengampanyekan perdagangan bebas di dunia, justru aktif menerapkan kebijakan proteksi selama tahun-tahun awal pembangunannya. Amerika memiliki perekonomian yang paling terproteksi di dunia selama pertengahan abad ke -19 dan perang dunia II. BUMN, juga memegang peran penting selama periode ini di Perancis, Austria, dan Norwegia. Meski Amerika tidak pernah mengakuinya. Faktanya negara ini sangat tergantung pada kebijakan industri. Misalnya, investasi negara dan dukungan besar-besaran terhadap penelitian dan pembangunan untuk subsidi di bidang pertahanan, farmasi serta pertanian yang memberi dampak besar terhadap sektor swasta. [13] Artinya, sebagaimana juga telah disinggung Harvey, transisi menuju pembangunan kapitalis telah dan terus menjadi sesuatu yang sangat bergantung pada negara.
Melalui teori “tangan tak terlihat” ini para pendukung pasar menganggap bahwa diri mereka telah berbuat baik bagi masyarakat ketika mereka berbuat baik bagi dirinya sendiri. Dengan ini mereka bukannya merasa bersalah atas kerakusannya, melainkan justru bangga atas penjarahan yang telah dilakukannya.[14] Ini pula yang tengah digembar-gemborkan oleh eksponen Islam Liberal di Indonesia, dimana Islam rahmatan lil alamin hendak diselaraskan dengan kapitalisme, yang justru mendegradasi dan mengikis visi penyelamatan dan cinta kasih Islam itu sendiri.
Menjadi absurd jika rahmatan lil alamin yang dekat dengan cinta kasih, persaudaraan, dan solidaritas disandingkan atau bahkan diletakkan di dalam sistem kapitalisme yang dekat dengan sesuatu yang fasad (kerusakan), munkar (tidak diridlai), sayyi’ah (jelek atau salah), fahisyah/fahsya’(keji atau sangat jelek).[15] Bukankah ini justru makin jauh dari agenda besar Islam? Di sinilah pentingnya mereparasi pemahaman sempit yang menganggap perjuangan rakyat di dunia ketiga melawan hegemoni kapitalisme global sebagai bukan dari agenda Islam rahmatan lil alamin. Perjuangan petani, masyarakat adat dll melawan dominasi dan kekuatan modal merupakan artikulasi Islam rahmatan lil alamin, bahkan yang paling utama. Jika tidak, maka visi cinta kasih yang membebaskan menjadi absurd dan sekedar desas desus. Naudzubillah mindzalik***
Jombang, 4 Januari 2016
—————–
[1] Muhy al-Din bin Ahmad Muṣṭafa Darwish, I’rāb al-Qur’ān wa Bayānuh, vol.VI (Beirut: Dar Ibn Kathīr, 1415 H), hal. 372.
[2] Abu al-Qasim Muhammad bin Ahmad al-Kalby, al-Tashīl li ‘Ulūm al-Tanzīl, vol.II (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Alamiyah, 1995), hal. 46.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. VIII, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 519.
[4] Ibid., hal. 519.
[5] Husain bin Muhammad al-Aṣfihany, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412 H), hal. 347
[6] “Utang Luar Negeri RI Naik 64 Persen”, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/09/19/182656026/juli.2016.utang.luar.negeri.ri.naik.6.4.persen diakses pada 23 Desember 2016.
[7] David Harvey, The New Imperialism (New York: Oxford University Press, 2003), hal. 137.
[8] Ibid., hal. 145.
[9] Ibid., hal. 149.
[10] Ibid., hal. 116.
[11] Karena dihadapkan dengan permintaan dalam negeri yang stagnan dan kenaikan tajam biaya produksi di negaranya masing-masing, perusahaan-perusahaan multi nasional lalu mengalihkan basis produksinya ke negara-negara sedang berkembang dimana pasar barang dan jasa dalam negeri sedang tumbuh dan biaya produksi lebih murah, karena melimpahnya bahan baku dan tenaga kerja yang sangat murah. Pada tahun 80-an dan 90-an, ekspansi kapital makin massif, yang seringkali disebut oleh para pengamat ekonomi sebagai globalisasi produksi.
[12] Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir (Yogyakarta: Insist Press & KPA, 2000) hal. 86-87.
[13] Ha-Joon Chang & Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan (Yogyakarta: Insist Press, 2008) hal. 6-7.
[14] Lih. Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan Era 90-an Dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang: Marjin Kiri, 2006)
[15] Kata fasada dalam QS. al-Baqarah: 11, 27, & 205; QS. an-Nahl: 88; Al-Qasas: 77, kata munkar dalam QS. Ali Imran: 104, 110 &114; QS. al-Maidah: 79, kata sayyi’ah dalam QS. al-Baqarah: 81; QS. an-Naml: 90, kata fawahisy dalam QS. al-An’am: 151; al-Isra’: 32; QS. al-A’raf: 33 dll.