Melawan Sistem Registrasi Parpol di Indonesia: Perbandingan dengan India dan Eropa

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

 

SEPERTI halnya di negara demokrasi nan beradab lainnya, partai politik telah menjadi alat bagi kaum pergerakan kita untuk memperjuangkan kepentingan publik. Di masa penjajahan Belanda, berbagai partai politik dibentuk tanpa menghiraukan larangan pemerintah kolonial. Banyak yang terang-terangan memperjuangkan Indonesia merdeka, tapi tak sedikit yang bertekad lebih jauh lagi dengan melawan kapitalisme. Dan saat Dewan Rakyat (Volksraad) dibuat pemerintah kolonial Belanda sebagai lembaga perwakilan wilayah jajahan, sebagian parpol itu ikut menempatkan para legislatornya untuk menjalankan fungsinya memperjuangkan kepentingan masyarakat tersebut. Dengan kata lain, berjuang melalui parpol adalah hal yang normal bagi aktivis pergerakan, baik moderat maupun radikal, kiri maupun kanan.

Setelah diselingi masa pelarangan parpol oleh penjajah Jepang, situasi itu berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan hingga munculnya Orde Baru. Sayangnya, hal itu jauh berubah saat ini. Mayoritas aktivis, terutama yang kiri, bukan cuma meninggalkan ide berpartai, tapi juga melecehkannya. Golput terus (di)lestari(kan), bahkan Pemilu diboikot. Akibatnya, parpol maupun keluarannya – terutama anggota DPR – disesaki oleh para oportunis dan perampok dana publik. Dan kenyataan itu semakin membuat parpol dilecehkan. Makin paripurnalah lingkaran setan itu.

Tentu saja sikap anti parpol ini sangat wajar dan mudah dimengerti, terutama mengingat busuknya sistem kepartaian ala Orde Baru. Adalah realita bahwa parpol-parpol yang ada saat ini lebih mewakili kepentingan kelompok mereka ketimbang masyarakat banyak. Namun sangat disayangkan bila sikap tersebut juga mengikis kepercayaan perlunya parpol baru sebagai pilihan alternatif bagi parpol busuk tersebut. Di samping itu, tradisi perjuangan melalui parpol yang menjadi ciri khas kaum pergerakan sejak satu abad lalu turut terhapus begitu saja. Meski perlu dicatat bahwa ada saja kelompok-kelompok yang tetap mau berjuang memunculkan parpol baru tersebut. Tapi tantangan mereka sungguh dahsyat, baik dari dalam kalangan aktivis kiri sendiri maupun dari rezim oligarki partai yang ingin memelihara status quo.

Di sisi lain, fenomena diaspora aktivis ke parpol yang ada saat ini tidak cukup membantu mengembalikan kepercayaan terhadap pentingnya parpol bagi kaum pergerakan. Bahkan tak sedikit yang berdiam diri terhadap buruknya sistem registrasi kepartaian yang sejak 1999 kian mempersulit munculnya parpol baru tersebut. Hal itu tercermin dari pengakuan Masinton Pasaribu, aktivis yang menjadi legislator dari PDI-P saat ini, bahwa “adalah hak setiap warga Negara untuk berhimpun dan berserikat, termasuk membentuk partai politik. Masalahnya, parpol baru yang dibentuk harus mengikuti persyaratan ketat sesuai UU tentang Partai Politik.” Lebih lanjut ditambahkannya, “untuk memperjuangkan lolos administrasi pemilu saja susah. Karena syarat administrasinya memang sudah sulit. Boro-boro dukungan masyarakat, dukungan kepengurusan saja juga belum tentu lengkap.”[1]

Sistem registrasi partai yang diciptakan oligarki partai dan turut dipertahankan para mantan aktivis yang berdiaspora itulah yang akan disoroti tulisan ini. Sistem tersebut secara efektif mampu mematikan bibit-bibit partai baru, terutama yang dibangun tanpa modal dari cukong besar. Untuk lebih memahami realitanya, akan disajikan juga beberapa perbandingan dengan negara demokrasi lainnya.

 

Sistem Registrasi Parpol Indonesia

 Sistem registrasi parpol di dalam tulisan ini diartikan sebagai perangkat aturan berikut tata laksana mulai dari pembentukan suatu parpol hingga parpol tersebut bisa ikut serta dalam pemilihan umum. Lazimnya, aturan itu tertuang dalam dua jenis legislasi: UU tentang parpol dan UU tentang elektoral/pemilu. Tata cara pembentukan parpol umumnya diatur dalam UU tentang parpol sedangkan tata cara maupun persyaratan suatu parpol untuk dapat ikutpemilu diatur dalam UU tentang pemilu.

Saat ini, sistem registrasi parpol tersebut terutama terdapat dalam UU no. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang telah direvisi oleh UU no 2 tahun 2011, dan UU no. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Seperti dimaklumi, pasca Soeharto, sistem registrasi parpol kembali membebaskan masyarakat untuk membangun partai politiknya sendiri melalui UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Seiring waktu, sistem tersebut terus diperketat. Hasilnya, dari 3 parpol (termasuk Golkar) di masa Orde Baru, jumlah parpol yang ikut dalam pemilu melonjak menjadi 48 (tahun 1999), dan kembali mengecil hingga 12 parpol pada pemilu 2014 lalu.

Berdasarkan sistem registrasi yang berlaku sekarang, sebuah parpol harus melalui 3 tahap yang rumit dan ketat sebelum dapat ikut pemilu: tahap pembentukan, pendaftaran sebagai badan hukum, dan pendaftaran sebagai peserta pemilu.

Dalam tahap pembentukan melalui akta notaris, sistem itu mensyaratkan adanya jumlah pendiri sebanyak 30 orang yang tersebar merata secara geografis di setiap provinsi (Pasal 2 (1) UU no. 2 tahun 2011). Aturan ini terkesan sepele, tapi praktiknya sangat merepotkan mengingat tak ada satupun LSM atau organisasi massa di Indonesia yang memiliki cabang di seluruh provinsi kita. Belum lagi faktor geografis yang menuntut biaya transportasi yang cukup besar untuk menjangkaunya.

Jika tahap ini berhasil dilalui, parpol baru tersebut ternyata masih belum diakui berbadan hukum. Tentu saja ini agak membingungkan mengingat suatu akta yang dikeluarkan seorang notaris yang notabene adalah pejabat umum secara hukum sudah mengikat para pihak, termasuk dipakai oleh hakim di pengadilan.

Terlepas dari itu, syarat yang ketat tersebut diantaranya adalah:

  1. Memiliki kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota dan 50% kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan (Pasal 3 (2c) UU no. 2 tahun 2011). Perlu diingat bahwa persyaratan ini akan diverifikasi kebenaran datanya oleh pemerintah dan konon, hal ini menjadi celah tawar-menawar yang ujung-ujungnya adalah soal fulus. Oleh karena itu, jika tidak mampu menyediakan dana yang cukup, pengurus parpol tersebut harus berjaga-jaga dari permainan nakal para birokrat dan partai pesaing dengan menaikkan angka persyaratan kepengurusan itu. Dengan pertimbangan tersebut, dalam salah satu perhitungan kami, jumlah kepengurusan itu adalah 34 kepengurusan parpol di tingkat provinsi, 446 kepengurusan kabupaten/kota (yakni 75% plus 1 atau 2, dari total 514 kabupaten/kota), dan 3.252 kepengurusan kecamatan (yakni 60% dari 446 kepengurusan kabupaten/kota). Artinya, harus dibentuk 3.732 kepengurusan selain di tingkat nasional. Jika setiap kepengurusan terdiri dari 3 orang, dibutuhkan 11.196 orang pengurus yang masing-masing harus membuat surat bermeterai berisikan pernyataan orang tersebut benar sebagai pengurus parpol tersebut dan tidak menjadi pengurus anggota parpol lainnya. Selain itu, setiap kepengurusan harus meminta Surat Keterangan Kepengurusan Parpol dari pemerintah setempat (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri, dan kecamatan). Secara teoritis, Surat Keterangan ini juga perlu dilakukan berjenjang dari bawah, yakni di tingkat kecamatan, karena seluruh surat tingkat kecamatan tersebut akan dimintakan aslinya oleh Bakesbangpol tingkat kabupaten/kota. Begitu juga selanjutnya di tingkat provinsi dan nasional. Implikasinya, pembentukan kepengurusan harus dilakukan dari tingkat bawah ke atas. Sungguh keadaan ideal yang sangat sulit ditemukan praktiknya.
  1. Syarat kedua adalah adanya kantor hingga tingkat kabupaten/kota (Pasal 3 (2d) UU no. 2 tahun 2011). Artinya, pengurus partai baru harus membuktikan adanya 481 kantor yang berfungsi hingga pemilu. Bukti itu tidak hanya soal keabsahan status kantor, tetapi juga surat keterangan domisili partai dari kantor kelurahan/desa setempat.
  1. Dan yang paling menyakitkan adalah tafsir seenaknya dari pemerintah terhadap Pasal 4 (1) di UU no. 2 tahun 2011 bahwa seluruh proses itu harus dilakukan dalam waktu relatif singkat, yakni maksimal pada Juli 2016, dua tahun setelah pemilu presiden. Padahal pasal tersebut sama sekali tidak mencantumkan periode atau waktu pendaftaran. Dengan tafsir sepihak tersebut, jika semua euforia pilpres berikut bulan madunya memakan waktu 6 bulan hingga sekelompok orang tersadar akan perlunya membentuk partai baru, waktu yang dimiliki kelompok tersebut untuk membentuk 3.732 kepengurusan dan 481 kantor beserta seluruh persyaratan dokumen administratifnya adalah 18 (delapan belas) bulan saja. Artinya, jika uang tidak menjadi masalah, setiap bulan rata-rata harus terbentuk 207 kepengurusan dan 26 kantor. Dengan kata lain, setiap hari harus terbentuk sekitar 7 kepengurusan dan 1 buah kantor!

 

Karena itu, tak mengherankan bila parpol yang tidak memiliki dana besar hampir bisa dipastikan gagal memenuhi persyaratan tersebut dengan cara-cara yang normal.

Padahal, bila tahap kedua ini terpenuhi, status badan hukum ini bukan jaminan untuk bisa lolos dalam tahap ketiga, yakni berpartisipasi dalam pemilu. Syarat untuk tahap ini sebenarnya sama dengan syarat di tahap kedua. Bedanya adalah adanya syarat jumlah anggota partai yang tercantum di UU no 8 tahun 2012, yakni sejumlah minimal 1.000 orang (atau satu per seribu dari jumlah penduduk) di setiap kabupaten/kota yang ada kepengurusannya. Dalam hitungan kami, minimal harus ada 168.050 orang anggota di 446 kabupaten/kota yang akan dibentuk kepengurusannya.

Selain itu, di tahap ini juga diberlakukan batasan waktu terkait pendaftarannya. Bedanya, jadwal tersebut lebih jelas, dan tercantum di Pasal 14 (4) di UU no. 8 tahun 2012, yakni paling lambat 20 (dua puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara. Itu artinya bulan Agustus 2017. Karenanya, aturan ini esensinya sama saja dengan sebelumnya, yakni tidak adil dan bersifat menghambat parpol baru untuk dapat ikut pemilu 2019 dengan dalih persoalan teknis pelaksanaan pemilu.

 

andre

Kredit ilustrasi: Andreas Iswinarto (kerja.pembebasan)

 

Perbandingan dengan India

Ada beberapa alasan menarik untuk membandingkan sistem registrasi parpol kita dengan negara berkembang lainnya di Asia seperti India. Tidak hanya tingkat kerumitan penyelenggaraan pemilunya setara (jika India tidak lebih rumit), tetapi wilayah geografis yang luas, tingkat populasi yang tinggi beserta data demografis lainnya, termasuk keragaman budaya dan bahasa, juga mirip. Dan alasan penting lainnya adalah negara berpopulasi terbanyak kedua dunia itu juga menganut demokrasi dengan sistem multipartai.

Nyatanya, sistem registrasi parpol India sangat berbeda dengan Indonesia. Di sana tidak ada UU Parpol yang mengatur tata cara pembentukan parpol. Karena itu, suatu organisasi yang menyatakan dirinya sebagai parpol dapat membentuk cabangnya sesuai kemampuannya, misalnya hanya di satu negara bagian saja. Begitu pula, tidak ada ketentuan jumlah cabang – apalagi ranting – partai di negara bagian tersebut.

Bagi organisasi yang menyebut dirinya sebagai parpol, ada aturan mengenai pendaftaran parpol di Bagian 29A dari UU Perwakilan Masyarakat tahun 1951. Meski begitu, secara prinsip tidak ada kewajiban bagi organisasi tersebut untuk melakukan pendaftaran ke Komisi Pemilu India (ECI), karena setiap organisasi atau individu bisa mengikuti pemilu.

Keuntungan bagi parpol yang terdaftar pada ECI, baik partai nasional atau partai negara bagian, adalah dapat menggunakan tanda gambar yang disediakan oleh ECI. Tapi, jumlah tanda gambar ini pun sengaja dibatasi, yakni 84 buah, mulai dari gambar balon, kelapa, jendela, karpet, hingga AC.

Persyaratan pendaftaran itu juga tidak berat, meski ada batasan waktu 30 hari untuk memenuhi proses pembentukan hingga mendaftar ke ECI. Mayoritas pendaftaran bersifat administratif seperti dokumen konstitusi partai, dll. Mungkin syarat “terberat” adalah jumlah minimal 100 anggota yang merupakan pemilih yang terdaftar, berikut salinan daftar yang mencantumkan nama yang bersangkutan. Tak heran bila dalam waktu 2 minggu ECI telah dapat memberikan hasil dari pendaftaran parpol tersebut.

Status partai terdaftar ini dapat meningkat lagi, yakni menjadi diakui. Keistimewaan partai yang berstatus diakui adalah berhak memakai tanda gambar milik mereka sendiri di dalam pemilu. Ini sedikit berbeda dengan status partai terdaftar yang hanya dapat memakai tanda gambar yang disediakan ECI.

Sesuai ruang lingkupnya, partai berstatus diakui ini ada dua macam, yakni partai negara bagian dan partai nasional. Sebuah partai dapat diakui sebagai partai negara bagian jika berhasil memperoleh 4% kursi Lok Sabha (Majelis Rendah), atau 3,3% kursi Majelis Tinggi, atau minimal 6% dari jumlah suara di negara bagian tersebut. Sedangkan untuk menjadi partai nasional, sebuah partai negara bagian harus memenuhi syarat tersebut di minimal 4 negara bagian (dari total 36 buah negara bagian).

Konsekuensi dari sistem yang melindungi hak-hak publik membentuk parpol ini adalah membengkaknya jumlah partai yang terdaftar di India. Hingga Agustus 2015, jumlahnya mencapai 1.866 buah. Hal ini tentu mencerminkan beragamnya kepentingan publik India – yang memiliki ratusan kasta dan ribuan bahasa ‒ yang ingin diwakili oleh parpol tersebut. Namun menariknya, hanya sekitar 30% dari parpol itu yang betul-betul ikut dalam pemilu. Dari 464 partai yang ikut pemilu lokal maupun nasional pada 2014, hanya 56 partai yang kemudian berstatus diakui. Dan dari 56 partai yang diakui tersebut, hanya ada 6 (enam) partai yang bersifat partai nasional dan sisanya adalah partai negara bagian.

Pengalaman India ini menunjukkan bahwa banyaknya penduduk bukan alasan untuk membatasi atau menyederhanakan jumlah partai politik. Dengan jumlah penduduk 1,3 milyar orang – lima kali lipat dari Indonesia – negara ini mampu menyelenggarakan pemilu tanpa perlu memperketat persyaratan parpol yang berarti mengorbankan hak asasi untuk berserikat (right to association). Begitu pula, kekhawatiran bahwa aturan yang bersifat minimal tersebut akan menimbulkan kekacauan tidak terbukti. Tanpa perlu direkayasa, pengelompokan parpol tetap berlangsung secara alamiah. Bahkan, partai nasional di India jumlahnya tetap lebih sedikit ketimbang di Indonesia (yang mewajibkan partai ada di 100% provinsi). Artinya, secara keseluruhan, masyarakatlah – bukan pemerintah – yang betul-betul menyeleksi mereka yang mengakui diri sebagai parpol melalui suatu pemilu.

 

Sistem di Eropa

Selain India, beberapa negara demokrasi yang matang di Eropa juga menarik untuk dibahas. Setidaknya, negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang tergabung dalam Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE) memiliki Dokumen Kopenhagen pada 1990 yang mensyaratkan negara anggotanya untuk “menghormati hak warga negaranya untuk memperoleh jabatan politik atau publik, baik secara sendiri-sendiri atau sebagai wakil dari partai atau organisasi politik, tanpa diskriminasi” (paragraf 7.5). Lebih tegas lagi, paragraf 7.6 menyatakan bahwa mereka “menghargai hak individu dan kelompok untuk membentuk, dengan kebebasan penuh, partai politik mereka sendiri … dan memberikan jaminan hukum yang perlu bagi partai tersebut untuk memungkinkan mereka berkompetisi satu sama lain berdasarkan perlakuan yang setara di depan hukum dan oleh otoritas yang berwenang.”

Di dalam Pedoman Regulasi Partai Politik yang menjadi implementasi dari Dokumen Kopenhagen tersebut ditegaskan bahwa partai politik adalah perkumpulan privat yang memainkan peran kritis sebagai aktor politik dalam domain publik. Karenanya, negara-negara tersebut berupaya menjaga keseimbangan antara regulasi negara terhadap parpol sebagai aktor politik, dan di sisi lain, penghormatan terhadap hak asasi mereka yang menjadi anggota partai tersebut sebagai warga privat, terutama hak berserikat (right to association) yang salah satunya mewujud dalam bentuk partai politik. Jika ada, legislasi tersebut tidak boleh mengganggu kebebasan berserikat tersebut.[2]

Tak mengherankan bila setidaknya ada empat negara di Eropa, yakni Belgia, Perancis, Luksemburg dan Malta, yang tidak memiliki UU tentang Parpol dan tidak memiliki syarat apapun bagi parpol terkait dengan pelaksanaan pemilu. Meskipun Belgia dan Perancis memilikinya, aturan tersebut hanya mengatur parpol saat sudah terbentuk, khususnya dibatasi hanya mengatur pendanaan partai oleh negara dan kontrol terhadap keuangannya. Dengan demikian, masyarakat di negara-negara tersebut dapat membentuk parpol kapanpun dirasa perlu dan ikut di dalam pemilu jika menginginkannya, tanpa ada campur tangan dari pemerintah.

Di negara-negara lainnya yang telah memiliki UU Parpol dan/atau UU Pemilu, tujuan pendaftaran parpol umumnya ada dua, yakni menentukan siapa yang bisa berpartisipasi dalam proses elektoral dan yang berhak menerima dana negara dan subsidi tak langsung. Untuk mencegah partai-partai yang hanya ingin memperoleh dana publik itu, banyak negarakemudian memberlakukan persyaratan minimal dalam registrasi partai. Selain salinan statuta partai, yang paling lazim adalah jumlah anggota minimum atau tanda tangan pendukungnya dan pembayaran uang administrasi atau sejenisnya.

Meski persyaratan jumlah anggota parpol itu bervariasi, hanya satu negara yang mengharuskan anggota itu tersebar secara geografis, yakni Rumania. Berbeda dengan Indonesia yang penyebarannya harus merata di seluruh provinsi, di Rumania para pendiri partai sejumlah 25.000 orang hanya perlu berasal dari minimal 18 distrik (dari total 42 distrik). Jumlah pendiri partai di Rumania itu juga menjadi jumlah minimum tertinggi di antara 24 negara Uni Eropa yang diteliti. Jumlah minimum terendah adalah Latvia (200 orang). Negara lain yang memakai syarat jumlah anggota itu adalah Bulgaria (50 komite inisiatif dan 500 pendiri), Ceko (1.000 orang, melalui petisi), Lithuania (1.000), Polandia (1.000), Portugal (7.500), Denmark (1/175 dari suara sah pemilu terakhir), Slovenia (200), Finlandia (5.000) dan Swedia (1.500). Sedangkan negara-negara seperti Jerman, Irlandia, Spanyol, Belanda, Austria, dan Inggris tidak mensyaratkan jumlah anggota atau pendiri.

Di Inggris, sejak munculnya parpol pada abad ke-19 hingga tahun 1998 lalu, pemerintahnya memang tidak merasa perlu melakukan pendaftaran bagi mereka. Hal itu baru diubah sejak diundangkannya UU Pendaftaran Parpol. Meski demikian, seperti halnya di India, pendaftaran parpol tidak wajib. Parpol dapat mengkampanyekan calonnya di dalam pemilu tanpa perlu mendaftar ke Komisi Elektoral sama sekali.

Kemunculan legislasi itu pun sebenarnya unik, yakni adanya preseden penggunaan nama partai baru yang mirip dengan partai yang sudah mapan di Inggris, yakni Literal Democrats, Conversative Party dan Labor Party yang mirip dengan Liberal Democrats, Conservative Party dan Labour Party. Oleh karena itu, UU Pendaftaran Parpol tersebut dibuat untuk mengatur nama partai yang digunakan dalam pemilu agar tidak ada yang merasa dirugikan. Soal pencantuman identitas partai di kertas suara inilah yang menjadikan pendaftaran partai dianggap perlu dan menguntungkan.

Meski legislasi itu berjudul parpol, namun pendaftaran itu juga terbuka untuk organisasi politik atau pihak lainnya yang ingin terlibat dalam pemilu. Syarat untuk mendaftar juga sederhana, yakni formulir aplikasi yang telah lengkap berisi nama partai berikut alamat kantor pusatnya dan penjelasan yang diperlukan, konstitusi partai, skema keuangan partai, dan sejumlah uang pendaftaran. Sejak proses pendaftaran parpol tersebut dimulai pada 1999, tercatat ada 507 pihak yang terdaftar, dimana 371 di antaranya adalah partai politik yang aktif di Inggris dan Irlandia Utara.

 

Perlunya Membuka Pintu Bagi Parpol Progresif

Sistem registrasi parpol kita termasuk yang sangat ketat sehingga cenderung menegasikan munculnya parpol yang dibangun oleh akar rumput. Meski demikian, ada dua periode pendek dimana kita memiliki sistem registrasi yang memihak kepentingan banyak pihak, yakni setelah proklamasi kemerdekaan dan setelah Soeharto jatuh. Keduanya sama-sama periode kebebasan dari penindasan. Namun seiring waktu, sejarah kembali berulang dengan pembatasan hak publik untuk membentuk parpolnya sendiri.

Pengalaman berbagai negara di Eropa dan India menunjukkan bahwa pengetatan persyaratan bagi parpol baru itu bukan saja melanggar hak asasi, yakni hak untuk berserikat (right to association), tetapi juga sama sekali tidak perlu. Perlindungan atas hak membentuk parpol terbukti dapat dilakukan oleh negara-negara demokratis tersebut dengan campur tangan yang minimal dari negara. Proses penyelenggaraan pemilu pun dapat diselenggarakan dengan relatif baik. Jadi, alasan kesulitan teknis dari penyelenggara pemilu tidak valid lagi dikemukakan, apalagi dengan mengorbankan hak asasi tersebut.

Begitu pula, pengalaman menunjukkan bahwa kebebasan membentuk parpol tersebut tidak berarti hadirnya kekacauan karena banyaknya partai yang ada. India dan Inggris justru menunjukkan kekhawatiran itu berlebihan. Oleh karena itu, adalah fatal bila kita ingin menggunakan UU pemilu untuk menciptakan sistem multipartai sederhana di parlemen. Hal itu mengakibatkan diskursus tentang revisi UU Pemilu akan selalu mengarah pada pengetatan persyaratan bagi parpol baru.

Padahal pemikiran itu muncul dari asumsi keliru – yang cenderung paranoid – bahwa akomodasi yang luas terhadap parpol baru akan mengundang munculnya petualang-petualang politik untuk mengejar kekuasaan sehingga mengakibatkan pemerintahan yang tidak efektif. Asumsi tersebut jelas keliru karena realitanya adalah bahwa para petualang politik sudah malang-melintang di parpol-parpol besar dan berurat berakar serta saling melindungi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan kepentingan publik yang lebih luas.

Saat ini, yang justru dibutuhkan adalah munculnya kekuatan progresif baru di parlemen maupun pemerintahan, dimana pengaruh para petualang politik yang telah menjadi oligarki partai tersebut di atas minim terhadap parpol-parpol progresif itu. Sudah mendesak saatnya kita mendorong demokrasi substansial dimana kualitas partai politiknya beserta legislator dan pemimpin daerah yang menjadi kadernya jauh lebih dipentingkan untuk memperjuangkan kepentingan publik secara luas. Dan sudah saatnya pula publik tidak terus-menerus dininabobokan oleh wacana demokrasi prosedural berupa penyelenggaraan pemilu yang aman dan damai.***

 

Penulis adalah anggota Pokja Pemilu – Partai Hijau Indonesia; aktivis antinuklir; Liverpudlian

 

Kepustakaan:

The ACE Electoral Knowledge Network. The ACE Encyclopaedia: Parties and Candidates. 2012. www.aceproject.org.

Berita Satu.com, Masinton: Parpol Baru Sulit Taklukkan yang Lama, 14 Juli 2015, http://www.beritasatu.com/nasional/291055-masinton-parpol-baru-sulit-taklukkan-yang-lama.html. Diakses pada 28 Desember 2016.

Document of the Copenhagen Meeting of the Conference on the Human Dimension of the CSCE, Copenhagen, 1990. http://www.osce.org/odihr/elections/14304?download=true.

Dubbudu, Rakesh. Number of Political Parties in India growing Faster than the Economy. 17 Maret 2015. https://factly.in/number-of-political-parties-in-india-growing-faster-than-the-economy/.

Election Commission of India. FAQs – Registration of Political Parties. http://eci.nic.in/eci_main1/RegisterationPoliticalParties.aspx. Diakses pada 3 Januari 2017.

Election Commission of India. Guidelines and Application Format for Registration of political parties under Section 29A of the Representation of the People Act, 1951. http://eci.nic.in/eci_main/ElectoralLaws/guidelinesandformat.pdf.

Election Commission of India. Registration of political parties under section 29A of the Representation of the People Act, 1951. http://eci.nic.in/eci_main/ElectoralLaws/OrdersNotifications/Registration_of_Political_Party.pdf.

The Electoral Commission (UK). Introduction to Registering a Political Party. http://www.electoralcommission.org.uk/__data/assets/pdf_file/0004/107680/intro-registration-rp.pdf.

The Electoral Commission (UK). Process for Registering a Political Party. http://www.electoralcommission.org.uk/__data/assets/pdf_file/0003/107697/sp-application-rp.pdf.

Indonesia. Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 mengenai anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik. https://id.wikipedia.org/wiki/Maklumat_3_November_1945.

Indonesia, Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 Tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.

Indonesia. Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1960 Tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-partai.

Indonesia, Undang-undang No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilu.

Indonesia. Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

Indonesia. Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Indonesia. Undang-undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Indonesia. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Indonesia. Undang-undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Indonesia. Undang-undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Komisi Venesia (European Commission for Democracy Through Law). Guidelines on Political Party Regulation By OSCE/ODIHR (Office for Democratic Institutions and Human Rights) and Venice Commission. Diadopsi oleh Komisi Venesia pada Sidang Paripurna ke-84. Venesia, 15-16 Oktober 2010. http://www.venice.coe.int/webforms/documents/default.aspx?pdffile=CDL-AD(2010)024-e.

Pilet, Jean-Benoit, dan Van Haute, Emilie. Criteria, Conditions, and Procedures for Establishing a Political Party in the Member States of the European Union. European Parliament’s Committee on Constitutional Affairs, 2012. http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/etudes/join/2012/462512/FIPOL-AFCO_ET(2012)462512_EN.pdf.

Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu. Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum. Yayasan Perludem. Jakarta: April 2016.

 

—————

[1] Berita Satu.com, Masinton: Parpol Baru Sulit Taklukkan yang Lama, 14 Juli 2015, http://www.beritasatu.com/nasional/291055-masinton-parpol-baru-sulit-taklukkan-yang-lama.html.

[2] Paragraf 6, hal. 7, Guidelines on Political Party Regulation By OSCE/ODIHR (Office for Democratic Institutions and Human Rights) and Venice Commission. Diadopsi oleh Komisi Venesia pada Sidang Paripurna ke-84, Venesia, 15-16 Oktober 2010.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.