Foto Rumah Contoh di Kampung Tongkol
Catatan Diskusi Arsitektur Partisipatoris di Ruang Gerilya, Bandung, 11 November 2016
PADA akhir tahun 2015 dan awal 2016, sekelompok arsitek muda yang tergabung dalam Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) melakukan pendampingan arsitektur pada masyarakat Kampung Tongkol di tepi kali Ciliwung, Jakarta. Inisiatif datang dari warga. Posisi kampung yang terletak di tepi kali Ciliwung sekaligus membelakangi tembok benteng Belanda membuat Kampung Tongkol rentan menjadi target penggusuran. Mengantisipasi ancaman penggusuran inilah seorang tokoh penggerak masyarakat setempat yang akrab dipanggil Mas Gugun mengundang kawan-kawan ASF-ID untuk melakukan uji-coba penataan-ulang ruang hidup yang melibatkan warga. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa pemukiman urban di tepi kali dapat tumbuh dalam koeksistensi yang saling-menunjang dengan keadaan sekeliling dan, dengan demikian, menjadi lenyaplah rationale bagi penggusuran terhadapnya.
Demikianlah, akhirnya terjadi kerja bersama membangun rumah contoh di Kampung Tongkol yang konstruksinya selesai pada bulan Januari 2015. Dengan dana talangan yang berhasil dihimpun oleh Urban Poor Consortium (UPC) sebesar 160 juta rupiah, warga kampung berhasil membangun ulang sebuah rumah yang dihuni tujuh keluarga. Rumah contoh ini dirancang menjadi tiga lantai dengan dua lantai pertama dikonsepkan sebagai ruang hunian yang disekat-sekat, sedangkan lantai ketiga sedianya dimaksudkan sebagai ruang bersama.
Yang menarik dari proses ini bahwa keseluruhan pekerjaan merancang dan membangun dilakukan oleh warga sendiri. Peran para arsitek, dalam hal ini kawan-kawan ASF-ID, hanyalah untuk memberikan saran dan gagasan bandingan. Inisiatif awal dan keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan warga. Pendekatan semacam ini, seperti dinyatakan oleh Kamil Muhammad, salah seorang arsitek muda yang tergabung dalam upaya tersebut, merupakan pendekatan arsitektur partisipatoris.
Apa itu Arsitektur Partisipatoris?
Saya sendiri tidak mendalami kajian arsitektur. Namun berkat diskusi dengan kawan-kawan ASF-ID dan forum Rembuk! (yang merupakan asosiasi antar berbagai organisasi arsitektur alternatif), saya beroleh gambaran tentang apa yang menjadi isu-isu penting dalam arsitektur kontemporer. Salah satunya ialah peran dan posisi arsitek dalam membidani lahirnya perubahan sosial melalui kerja arsitektural. Profesi arsitek dan seni arsitektur itu sendiri dengan mudah dikooptasi oleh kepentingan industri yang hanya memperalat keindahan sekaligus mengerdilkan gagasan keindahan itu sendiri demi mendulang laba sebesar-besarnya. Masalah perubahan sosial dianggap bukan urusan arsitek. Arsitektur partisipatoris merupakan salah satu jawaban terhadap permasalahan tersebut.
Gagasan kunci arsitektur partisipatoris adalah bahwa seluruh kekuasaan penentu keputusan arsitektural berada di tangan warga. Persoalannya kemudian: siapakah yang dimaksud dengan “warga”? Baiklah kita coba artikan warga sebagai pihak yang berkepentingan terhadap konstruksi arsitektural yang akan dihasilkan lewat campur-tangan arsitek. Pengertian ini tentunya meliputi juga klien bermodal besar dalam praktik arsitektur konvensional. Dalam kerja-kerja arsitektur konvensional seperti membangun hunian mewah atau mall, bukankah arsitek kerapkali juga mesti menurut pada selera klien yang memegang kendali atas modal? Tidakkah visi pengembang macam Agung Podomoro Group atau Agung Sedayu Group ikut menentukan apa yang dirancang arsitek-upahan mereka? Dalam pembangunan piramida di Mesir Kuno, tidakkah keputusan Firaun ikut menentukan kerja para juru-bangun yang mengawasi para pekerja? Dengan kata lain, tidakkah sang klien bermodal besar atau sang penguasa itu ikut berpartisipasi dalam kerja arsitektural? Apakah itu yang dimaksud arsitektur partisipatoris? Kalau ya, maka bukankah setiap kerja arsitektural—dan seni arsitektur itu sendiri—secara inheren sudah berciri partisipatoris? Dan sudah jelas—dari visi Agung Podomoro Group ataupun Firaun—bahwa hal itu sama sekali tak berhubungan dengan cita-cita perubahan sosial. Apakah itu berarti tak ada hubungan yang niscaya antara partisipasi dan perubahan sosial dalam praktik arsitektur partisipatoris?
Dihadapkan pada persoalan ini, kita dipaksa untuk memeriksa kembali konsep “warga”. Mau tidak mau, konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris bukanlah konsep yang netral secara ekonomi-politik. Sebab kalau kita mengartikan “warga” sebagai siapa saja yang berkepentingan terhadap proyek arsitektural, yang kepadanya sang arsitek bekerja, maka gagasan tentang arsitektur partisipatoris itu sendiri akan menjadi sebanal arsitektur konvensional. Karena itu, kita mesti mengakui bahwa konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris itu dicirikan oleh struktur ekonomi-politik masyarakat. “Warga” mesti diposisikan sebagai kaum marginal, kaum yang tertindas oleh tata ekonomi-politik yang berlaku. “Warga”, dengan kata lain, mesti dipandang sebagai kategori politik. Tanpa pengertian itu, kita akan kembali pada business as usual. Dengan demikian, nampak bahwa arsitektur partisipatoris tak mungkin ingkar pada dimensi politisnya sendiri, bahwa kerja arsitektur partisipatoris adalah suatu kerja politik.
Persoalan kemudian muncul. Kalau ciri politis dalam arsitektur partisipatoris menuntut peran aktif sang arsitek dalam menyulut kesadaran politik dalam benak warga, tidakkah ini bertentangan dengan ciri partisipatoris dalam arsitektur partisipatoris yang meniscayakan sentralnya peran warga sebagai pengambil keputusan arsitektural utama, yang menempatkan warga sebagai pusat gravitasi seluruh kerja arsitektural?
Partisipasi versus Kompetensi
Warga dalam konsepsi arsitektur partisipatoris adalah pusat kebenaran. Namun arsitek yang setiap pada visi arsitektur partisipatoris, setia pada visi politik-nya, didorong oleh kewajiban untuk membantu membuka jalan menuju perubahan sosial yang sesungguhnya, yang barangkali belum disadari warga—jalan menuju perubahan sosial yang sebenarnya. Dengan demikian, kita berhadapan pada dua kebenaran: kebenaran warga dan kebenaran arsitek. Di atas kertas, dalam permenungan intelektual, keduanya dengan mudah dapat disatukan: idealnya, warga dan arsitek tinggal berdialog saja maka akan tercapai kesatuan kebenaran. Namun di lapangan persoalannya sama sekali tidak sederhana. Tidak ada kondisi ideal di sana.
Problem ini juga nampak dalam kerja arsitektural yang didukung ASF-ID di Kampung Tongkol. Kamil bercerita, beberapa bulan setelah rumah contoh selesai dibangun, ia kembali berkunjung ke sana dan mendapati fakta bahwa common room yang diciptakan di lantai 3 ternyata sudah ditempati oleh satu keluarga baru dan ruang yang tersisa digunakan sebagai gudang. Kenyataan ini bukannya tak berkaitan dengan keyakinan kukuh warga sejak awal bahwa rumah yang akan dibangun harus distruktur oleh sekat-sekat yang akan menandai teritori milik masing-masing keluarga. Artinya, terdapat tendensi untuk mengorbankan pengorganisasian kolektif atas ruang demi kepemilikan privat atas ruang. Warga memang bukan malaikat (dan memang tidak seharusnya dipandang sebagai malaikat). Cara mereka berpikir dan bertindak dikondisikan oleh lingkungan sekitarnya dan struktur ekonomi-politik yang melatarinya, dalam hal ini lingkungan kebudayaan urban dan tata ekonomi kaum miskin kota Jakarta. Dalam suasana ini, wajar bila warga cenderung bersikap individualistik—itu sudah bagian dari metode mereka untuk bertahan hidup selama ini di perkampungan kumuh perkotaan yang keras.
Apa yang bisa disimpulkan dari sini? Menurut saya, itu menunjukkan adanya kontradiksi yang belum terpecahkan di ranah hubungan sosial. Membangun hunian baru yang lebih baik tidak serta-merta mengubah hubungan sosial menjadi lebih baik. Itu adalah dua jenis kerja yang berbeda, sekalipun terkait. Kaum miskin di tiap-tiap perkampungan kumuh kota besar tidak akan bertahan tanpa bersatu sebagai entitas kolektif. Berjuang sendiri-sendiri, dengan mengandalkan tenaga seorang diri atau satu keluarga saja, akan membuat mereka digulung oleh kenyataan ekonomi-politik urban. Mereka hanya mungkin bertahan sebagai kolektif. Masalahnya, kenyataan kebudayaan urban pula yang mendorong mereka ke arah individualisme, mencerabut mereka dari satu-satunya sarana untuk bertahan hidup. Ke manapun mereka menoleh, mereka melihat individu dengan barang miliknya sendiri. Ideologi inilah yang mendorong mereka untuk mempertahankan tanah sejengkal milik mereka sendiri, kalau perlu dengan cara baku-tikam dengan tetangganya.
Pertanyaannya buat sang arsitek partisipatoris: mesti bagaimana menghadapi warga semacam ini? Sang arsitek tahu bahwa mereka tidak akan selamat kalau terus mengekalkan kepentingan diri sendiri masing-masing. Sang arsitek tahu bahwa mereka hanya bisa selamat kalau mereka memupuk kesadaran kolektif dan kultur gotong-royong. Namun apa yang mesti dilakukan bila ternyata warga sendiri memilih membuang ruang-ruang kolektif demi mengamankan ruang privatnya sendiri dan dengan begitu, tanpa mereka sadari, pelan-pelan melenyapkan satu-satunya syarat keberadaan mereka sendiri? Haruskah sang arsitek, dengan tanggung-jawab politiknya pada visi arsitektur partisipatoris, mengintervensi warga dan menunjukkan jalan ke arah pengorganisasian ruang kolektif baru? Ataukah sang arsitek hanya bisa menyerahkan masalahnya pada mereka dengan anggapan bahwa toh bangunan sudah selesai, kerja arsitek sudah selesai? Haruskah sang arsitek partisipatoris menenangkan-diri dengan mengulang-ulang dalam hatinya “reorganisasi hubungan sosial bukan urusan arsitek”? Tapi bukankah masyarakat adalah seperti juga suatu bangunan—suatu bangunan hidup bersama—dan sang arsitek partisipatoris yang bertanggung-jawab mesti juga menjadi seorang “arsitek masyarakat”? Begitu banyak pertanyaan.
Sederhananya, pertanyaan pokok sang arsitek partisipatoris adalah ini: mestikah arsitek mengintervensi warga apabila dipandangnya ada gelagat ke arah yang kontra-produktif terhadap cita-cita jangka panjang partisipasi itu sendiri? Namun pertanyaan tersebut merupakan muara dari suatu pertanyaan purba.
Di sini kita sebetulnya berhadapan dengan sebuah teka-teki tua dalam sejarah pemikiran politik. Teka-teki itu dapat dirumuskan dalam sebaris pertanyaan: dapatkah rakyat keliru? Pertanyaan ini serupa sungai bawah tanah yang menghubungkan berbagai benua pemikiran politik sepanjang zaman, mulai dari fasisme, liberalisme, sosialisme hingga anarkisme. Dan tak hanya pemikiran politik, tetapi juga semua pemikiran yang beririsan dengan problem politik (termasuk pemikiran seni-budaya, yang di dalamnya terdapat pula arsitektur) dilatari oleh pertanyaan purba itu. Postulat demokratik mewajibkan kita mengukur benar-salahnya suatu tindakan politik dengan acuan pada kepentingan rakyat, dengan menjadikan kepentingan rakyat sebagai mistarnya kebenaran politik. Suatu tindakan politik adalah keliru apabila itu bertentangan dengan kepentingan rakyat dan benar apabila bersesuaian dengannya. Namun pertanyaan purba kita lebih tricky. Sungguhkah rakyat selalu benar sehingga bisa dijadikan acuan dalam mengukur segala fenomena politik? Jangan-jangan mistar kita salah dan butuh dikalibrasi ulang?
Di sini kita perlu teliti membedakan apa yang disebut “suara rakyat” dan “kepentingan rakyat”. Kebenaran politik diukur dari keseuaian dengan “kepentingan rakyat”, dan itu tidak sama dengan “suara rakyat”. Rakyat bisa saja bersuara lantang mendukung fasisme. Tapi apakah itu sesuai dengan kepentingannya sebagai rakyat? Tentu tidak, sebab fasisme justru menghancurkan kepentingan rakyat dan menggantikannya dengan kepentingan sang pemimpin. Namun, apabila memang ada gap antara “suara rakyat” dan “kepentingan rakyat” sehingga “kepentingan rakyat” bisa saja diamankan oleh seorang atau sekelompok orang yang menahkodai bahtera politik sekalipun itu bertentangan dengan “suara rakyat”, tidakkah ini membatalkan semangat dasar demokrasi itu sendiri, yakni bahwa rakyat lah yang seharusnya mengatur dirinya sendiri. Kalau begitu, apakah demokrasi adalah gagasan yang kontradiktif?
Orang bisa saja menggeser asumsi awalnya dengan menyatakan bahwa kebenaran politik tidak diukur berdasarkan kesesuaian dengan “kepentingan rakyat” tetapi dengan “suara rakyat” secara langsung, tanpa perantaraan. Tapi masalah segera mengemuka. Bagaimana kalau rakyat menyuarakan kehendak untuk menghancurkan dirinya sendiri, misalnya dengan mendukung fasisme? Di Tiongkok pada masa Revolusi Kebudayaan, atas dasar keyakinan demokratik pada rakyat, seluruh hierarki sosial dihapuskan, termasuk hierarki di rumah sakit antara dokter spesialis dan perawat magang. Akibatnya, tak terhitung berapa jumlah rakyat yang meninggal akibat malpraktek karena kurangnya pengetahuan kedokteran para perawat yang baru magang. Agaknya memang terdapat hierarki pengetahuan yang tidak bisa digantikan begitu saja dengan “kebebasan berpendapat” dan keyakinan pada kebenaran suara rakyat. Namun, kalau kita mengamini bahwa suara rakyat bisa salah sehingga dapat diwakili oleh suatu mesin aparatus negara yang mengklaim lebih tahu “kepentingan rakyat” daripada rakyat itu sendiri, apa bedanya kita dengan kaum ultra-konservatif pendukung monarki absolut dan para perindu otoritarianisme Orba?
Apabila mau dirumuskan secara ringkas, persoalan kita adalah tegangan antara partisipasi dan kompetensi. Semua pemikir anti-demokrasi di sepanjang zaman selalu memobilisir argumen soal kompetensi untuk mencampakkan klaim partisipasi. Pertanyaan pokok mereka: kompetenkah rakyat dalam mengetahui kepentingannya sendiri sehingga dapat mengatur dirinya sendiri? Sebaliknya, semua pemikir pro-demokrasi di seluruh sejarah selalu mengedepankan partisipasi di atas kompetensi. Pertanyaan pokok mereka: adilkah tatanan politik di mana partisipasi seluruh rakyat digantikan dengan klaim kompetensi segelintir elit dalam menerawang rahasia kepentingan rakyat dan memimpin tatanan politik berdasarkan terawangan itu?
Tapi apa hubungan ini semua dengan arsitektur partisipatoris? Gantilah istilah “rakyat” dalam beberapa paragraf di atas dengan istilah “warga” dan kita akan temui bahwa dilema kaum demokrat adalah juga dilema sang arsitek partisipatoris. Ini, bagi saya, adalah tantangan terbesar arsitektur partisipatoris pada tataran konseptual. Para arsitek partisipatoris mesti berpikir keras mengenai masalah-masalah partisipasi versus kompetensi, suara warga versus kepentingan warga dan semacamnya karena masalah-masalah itu pasti mereka hadapi di lapangan dalam berbagai manifestasinya.
Di Bawah Bayang-Bayang Negara
Ada satu catatan lagi berkenaan dengan tantangan arsitek partisipatoris. Sering kita dengar keluhan atau rerasan di antara arsitek partisipatoris, demikian pula di kalangan perupa partisipatoris, bahwa praktik-praktik partisipatoris seperti timbul-tenggelam dan tak pernah berhasil mengkonsolidasikan kekuatan ke dalam skala yang lebih massif. Di seni rupa, misalnya, praktik seni partisipatoris sudah muncul pada tahun 1980-an oleh Moelyono tanpa perbesaran skala yang berarti sampai kemudian muncul bentuk baru seni partisipatoris sekitar 20 tahun kemudian oleh Jatiwangi art Factory. Ada kesan bahwa praktik-praktik partisipatoris dalam seni dan arsitektur hanya terjadi dalam skala kecil-kecilan dan sporadis. Padahal masing-masing praktisinya punya mimpi tentang perubahan sosial yang tentu saja melibatkan banyak variabel dan mau tak mau mesti berurusan setidaknya dengan pengaruh di tingkat nasional. Mengapa demikian?
Saya menduga akar persoalannya ada pada pendekatan yang dianut para praktisinya. Seni partisipatoris era 1980-an berkembang dalam lingkup pengaruh gerakan masyarakat sipil dan LSM yang ketika itu sedang gandrung pada visi “small is beautiful”. Ada semacam prasangka yang bersumber pada “hati nurani”. Misalnya kecemasan bahwa pembangunan skala makro akan melenyapkan ketahanan komunitas lokal yang otonom, ketakutan bahwa segala bentuk akumulasi akan membuat manusia jadi serakah, kekhawatiran bahwa pengorganisasian secara massif akan membawa birokratisasi dan alienasi. Sehingga muncul persepsi bahwa lebih baik membuat gerakan mikro di tingkat akar rumput, kecil-kecil, yang berorientasi pada subsistensi komunitas dan otonomi dari pengaruh kekuasaan. Biar kecil asal sesuai hati nurani—boleh jadi asumsi advokasi macam inilah yang membuat praktik seni partisipatoris tidak bisa berekskalasi hingga ke level nasional.
Namun sejarah menunjukkan: kapitalisme tidak bisa dilawan dengan berkebun di rumah sendiri, otoritarianisme tidak bisa ditumbangkan dengan olah raga dan imperialisme tidak bisa dihancurkan dengan ngopi-ngopi terpelajar. Kecil adalah kecil.
Praktik seni partisipatoris, termasuk juga arsitektur partisipatoris, rasanya perlu memeriksa kembali asumsi-asumsi dasarnya sendiri. Adakah kita terjebak dalam romantisasi gerakan kecil dan otonom? Adakah kita selama ini hanyut dalam nina-bobo hati nurani? Salah satu kisah pengantar tidur paling populer di kalangan aktivis sedap malam sampai sekarang adalah cerita hantu tentang negara. Konon, negara itu seperti makhluk raksasa angker dari dasar samudra dengan kepala menyerupai gurita dan punggung ditumbuhi sayap naga. Seperti Cthulhu dalam dongeng Lovecraft, negara merupakan personifikasi dari kedurjanaan paripurna. Cara kita memandang negara seperti ini, dalam banyak hal, memang dibenarkan oleh praktik negara Orde Baru yang sejak lahirnya ditandai dengan pembantaian dan penyiksaan jutaan orang. Dari pengalaman 32 tahun itulah kita mewarisi sikap berjarak tiap kali nama “negara” disebut. Untuk sebagian kasus, memang benar bahwa praktik negara yang represif itu masih berlanjut hingga kini. Inilah yang membuat sebagian praktisi seni partisipatoris kukuh memposisikan diri di luar negara dan, sebagai akibatnya, cenderung kembali merayakan toko kelontong pencerahannya sendiri.
Kita mesti mengubah sikap mental semacam itu. Mesti disadari bahwa tumbangnya Orde Baru juga membuka lapangan intervensi politik yang baru. Negara pasca-Orde Baru semestinya tidak lagi dilihat sebagai bangunan monolitik tempat bersemayamnya roh-roh jahat, tetapi sebagai situs kontestasi antar berbagai kelompok yang selalu dapat berubah wataknya seturut pasang-surut kekuatan kelompok-kelompok yang bertarung di sana. Tentu ada risiko kita terombang-ambing oleh apa yang dewasa ini sering disebut-sebut sebagai “pertarungan antar faksi elit oligarkis”. Hal itu wajar saja dan pembelajaran politik muncul dari situ. Artinya, para praktisi arsitektur partisipatoris menjajaki kemungkinan melibatkan anasir-anasir negara kalau memang mencita-citakan perluasan gerak yang signifikan. Contoh yang bisa saya berikan adalah apa yang dikerjakan oleh kolektif seniman di Jatiwangi art Factory. Dalam menggelar kerja seni partisipatorisnya, mereka dapat melibatkan satu desa (rekor skala terbesar praktik seni partisipatoris di Indonesia setahu saya) karena membangun hubungan dekat dengan kepala desa dan aparatur desa. Mereka melibatkan tentara, polisi dan sekolah-sekolah untuk menggelar Festival Musik Tanah Liat. Mereka tidak jijik pada aparatus ideologis dan aparatus represif negara yang diteorikan Louis Althusser. Mereka meninggalkan “prasangka kelas menengah” mereka tentang Negara dan berpikir konkrit untuk membesarkan keterlibatan warga. Ini contoh yang bagus.
Saya tidak punya ilusi bahwa negara dan para aktivis seni partisipatoris akan berjalan berdampingan secara harmonis menuju hari esok yang cerah. Dalam momen-momen tertentu, pada isu-isu tertentu, kita memang perlu menyatakan sikap melawan negara. Tapi sikap antagonistik ini tidak bisa digeneralisasi menjadi sikap umum terhadap negara, kecuali kita mau memencilkan diri sendiri. Para aktivis seni partisipatoris perlu melihat segala kemungkinan yang bisa digunakan untuk memperbesar skala operasinya: bangun jejaring dengan simpul seni partisipatoris lain, dari cabang seni lain, dengan gerakan sosial, bekerja dengan negara sejauh ada kepentingan gerakan yang bisa dimajukan, dan seterusnya. Dengan kata lain, bangun kekuatan terlebih dulu. Semua ini mensyaratkan pergeseran cara pandang terhadap negara dan politik secara keseluruhan. Dan ini memang tidak mudah. Itulah tantangan praktis yang dihadapi arsitektur partisipatoris.
Bisa disimpulkan bahwa terdapat dua tantangan besar yang menghadang gerakan arsitektur partisipatoris (dan juga seni partisipatoris) di Indonesia. Yang pertama ialah tantangan konseptual untuk menempatkan secara jernih hubungan antara “suara warga” dan “kepentingan warga”, antara klaim partisipasi dan klaim kompetensi. Yang kedua ialah tantangan praktis untuk menempatkan negara sebagai situs kontestasi antar kepentingan bersifat cair dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perluasan skala gerakan arsitektur (dan seni) partisipatoris. Apabila kedua tantangan ini berhasil dijawab, maka masa depan arsitektur dan seni partisipatoris di Indonesia sungguh cerah.***
18 November 2016
Catatan: artikel ini pernah diterbitkan di situs ASF-ID dan Rembuk. Diterbitkan ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.