Foto David Riazanov, diambil dari http://www.filosofia.mx
DAVID RIAZANOV namanya. Sedari muda, ia sudah terlibat dalam gerakan politik revolusioner. Di tengah-tengah kekuasaan otokratik Tsar di Kekaisaran Rusia, perlahan namanya mulai dikenal sebagai seorang tukang onar bagi otoritas setempat – tak heran apabila ia akrab dengan jeruji dan lantai dingin bui. Awalnya, serikat buruh adalah arena di mana ia matang secara politik. Pasca Revolusi Boshevik menang di tanah airnya, ia dengan sadar mengambil dan menempuh jalan sunyi: membangun lembaga penelitian Institut Marx-Engels yang berfokus kepada produksi pengetahuan Kiri. Sialnya, ia kena teror Stalin, dan sampai kini namanya dan amalnya cenderung jarang terdengar, jikalau bukan dilupakan sama sekali.
Dalam artikelnya, Dede Mulyanto menjelaskan secara jernih kiprah dan amal Riazanov: bermula dari pemahaman atas kondisi Rusia di bawah Tsar dan pengalamannya berbakti di serikat buruh dan berpolitik sebagai eksil, ia kemudian mengambil jalan lain pasca Revolusi – membuka jalan baru bagi perkembangan dan kemajuan sains emansipasi. Jalan yang sunyi.
Tetapi, yakin saja, meski sunyi, tidak ada kemajuan pengetahuan Kiri dan gerakan rakyat tanpa kerja-kerja rapih yang seringkali tidak terdeteksi radar ala Riazanov.
Kerja-kerja politik revolusioner yang tekun, sunyi, tidak terdengar, dan jauh dari gegap gempita dan sorak sorai orang kebanyakan, yang bertujuan untuk membangun, atau setidaknya memberi jalan, bagi basis dan kemajuan pengetahuan mengenai sains emansipasi serta memperkuat pembangunan gerakan rakyat, bolehlah kita sebut sebagai kerja-kerja Riazanov.
Kerja-kerja Riazanov berangkat dari pemahaman bahwa untuk memahami realitas objektif kapitalisme, menghajarnya, melampauinya, untuk kemudian menuju sosialisme dan pada akhirnya, masyarakat tanpa kelas, kita memerlukan kerja-kerja panjang yang printilan, yang bisa jadi dianggap tidak penting dan dianggap ‘kurang seksi’ tetapi sesungguhnya perlu dan mendesak untuk dilakukan dan pada akhirnya memiliki implikasi penting bagi gerakan rakyat.
Dengan kata lain, esensi dari kerja-kerja Riazanov adalah memajukan basis pengetahuan Kiri, basis pengetahuan sains emansipasi, serta aplikasi popularnya.
Sejumlah contoh dari kerja-kerja seperti ini antara lain 1) penerjemahan teks-teks klasik dan kajian-kajian yang relevan lainnya, 2) mempelajari bahasa baru untuk riset, 3) melakukan kerja-kerja riset lapangan dengan perspektif ekonomi-politik/materialis-kritis, 4) merancang dan mengelola berbagai skema pendidikan popular untuk membentuk kader-aktivis dan kader-rakyat, 5) melakukan peningkatan kecakapan pengorganisiran politik, ekonomi, pengetahuan, dan kebudayaan terutama di kalangan massa luas.
Sepintas, ini merupakan hal yang sudah sering dirapal dan diulang-ulang, yang terkadang membuat mulut berbusa-busa dan telinga rada capek dan panas. Tetapi, dalam hemat saya, seringkali kerja-kerja seperti ini seringkali luput dalam perhatian kita, entah karena dikotomi yang terlalu rigid antara ‘kerja tekun’ dan ‘kerja kobar’ yang membuat kita berpikir bahwa yang satu lebih penting dari yang lain, atau anggapan-anggapan karikatural yang masih saja bergentayangan seperti ‘terlalu susah,’ ‘gak penting,’ ‘terlalu intelektual,’ ‘sok nge-basis’ dan lain sebagainya.
Kita tahu, menghajar kapitalisme dan membangun masyarakat sosialis yang demokratik dan revolusioner tidak dilakukan dalam satu tarikan nafas dan sekali hantam. Perkara transisi menuju sosialisme tidak selesai hanya dengan mengadakan seminar dan diskusi publik tentang isu-isu kerakyatan kontemporer, membaca dan membuat suatu kajian atas karya-karya Žižek, Badiou, atau pemikir-pemikir postkolonial kontemporer, ataupun fetisisme aksi dan turba tanpa orientasi membangun tendensi progresif, tanpa tujuan yang jelas, atau sebaliknya, terlalu terburu-buru misalnya. Ini bukan berarti hal-hal yang saya sebut di atas tidak penting dan tidak memiliki tujuan strategis. Kerja-kerja tersebut juga penting, tetapi ada kerja-kerja lain yang juga tidak kalah penting.
Misalnya, untuk memperkaya khasanah Marxisme gerakan sosial di Indonesia, kita perlu memikirkan penerjemahan karya-karya aktivis-pemikir maupun epos-epos sejarah yang relatif masih kurang tereksplor di sini, seperti misalnya pemikiran Rosa Luxemburg dan E.P. Thompson ataupun sejarah Komune Paris dari perspektif para komunard misalnya. Kemudian, bagi sebagian dari kita, adalah fardu khifayah hukumnya untuk mempelajari atau mempertajam kemampuan bahasa-bahasa baru, baik bahasa-bahasa asing maupun daerah sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi masing-masing, baik untuk membaca arsip ataupun berinteraksi dengan massa rakyat di tingkat basis.
Dalam ranah pemajuan dan dalam beberapa derajat tertentu aplikasi dari Marxisme dalam analisa sosial, analisa-analisa yang kritis dan menyeluruh, yang ketat dalam hal perspektif teoritiknya sekaligus data, sensitif dengan realitas empiris yang ada, menjadi sangat diperlukan. Berbicara tentang politik perburuhan misalnya, mensyaratkan kita mengetahui bukan hanya gambaran makro dari pertarungan antara serikat-serikat buruh di satu sisi dengan negara dan kapital di sisi lain atau mengenai fragmentasi di antara serikat-serikat yang ada. Tetapi, kita juga perlu mengetahui konteks politik produksi misalnya, yaitu bagaimana tatanan rezim kerja di dalam pabrik memengaruhi imajinasi-imajinasi politik kaum buruh dan lain sebagainya. Atau bagaimana pengalaman keseharian dalam suatu rezim produksi tertentu – misalnya rumah potong hewan – memengaruhi relasi sosial aktor-aktor (baik aktor insani maupun hewani) dan berbicara banyak mengenai dampak kapitalisme industrial kepada komoditas yang kita sangat akrab dengannya yaitu makanan
Atau misalnya dalam kajian agraria kritis, satu bidang yang sedang saya tekuni akhir-akhir ini. Memahami dinamika politik agraria tidak cukup hanya dengan mempelajari konflik-konflik agraria yang sifatnya terbuka dan mudah diidentifikasi. Diperlukan juga kesabaran untuk memahami hal-hal yang sifatnya ‘teknis’ atau bahkan ‘tidak penting’ dan data-data yang ‘menjemukan’ serta ‘jarang dilihat.’ Misalnya, bagaimana peranan dan fungsi institusi korporatis pedesaaan seperti kelompok tani? Atau berapa jumlah pompa air diesel yang tersedia dalam Kelurahan X atau Kabupaten Y misalnya? Berapa ton jumlah pupuk, atau komponen pengganti pupuk dalam konteks pertanian organik, yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan produksi pertanian? Bahkan, mungkin kita perlu juga mengetahui, bagaimana kondisi-kondisi alam seperti naik-turunnya curah hujan memengaruhi produkvitas dan efisiensi pertanian?
Hal-hal seperti ini kerap kali hanya menjadi semacam obrolan sambil lalu saja, dirasa penting namun tidak betul-betul dibahas secara serius lebih-lebih dilaksanakan. Lagipula, siapa juga yang merasa perlu untuk repot-repot mempelajari relief-relief reruntuhan candi di Jawa dan bahasa-bahasa seperti Jawa Kuna dan Belanda untuk memahami arsip-arsip dan bukti-bukti material sejarah abad-abad yang lampau? Atau mempelajari bahasa Sumba dan Konjo demi keperluan interaksi sosial yang lebih intens dan mendalam dengan massa rakyat di pedesaan? Untuk apa juga sih mempelajari jumlah dan proses distribusi pompa air diesel, pupuk, dan alat-alat pertanian, ketika ada hal-hal lain yang sifatnya lebih ‘seksi’ baik secara teoretik maupun organisasional, seperti, misalnya, persoalan kemunculan fasisme dalam konteks kontemporer, menulis pernyataan-pernyataan politik, atau berorasi di depan massa?
Dan tatkala kita masih berdebat mengenai persoalan ini, lawan-lawan kita sudah mengamalkan langkah-langkah itu. Di dalam kajian filsafat klasik misalnya, penerjemahan terkemuka atas Politik-nya Aristoteles dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Carnes Lord, seorang konservatif yang mengajar di perguruan tinggi militer di Amerika Serikat. Pengetahuan yang detail mengenai data-data pertanian, misalnya, direkam oleh lembaga-lembaga teknokratis – dalam artiannya yang sempit – seperti Bappenas. Padahal, pengetahuan-pengetahuan ini penting untuk direbut oleh kalangan gerakan demi pemajuan agenda-agenda transformasi sosial baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Lebih lanjut lagi, jalan-jalan menuju pengetahuan yang lebih luas ini juga berhubungan dengan dan memiliki implikasi terhadap proses-proses pengorganisiran pendidikan popular di basis-basis rakyat. Implikasinya bukan hanya sebatas pengayaan atas materi-materi pendidikan, tetapi juga persoalan bagaimana mengangkat narasi-narasi rakyat dan melakukan abstraksi dan teoretisasi atasnya dan berkomunikasi dan berperilaku di hadapan massa.
Proses tersebut juga mensyaratkan apa yang dalam bahasa teknis-developmentalis disebut sebagai ‘peningkatan kapasitas’ – suatu hal yang penggunaan istilahnya boleh kita cibir namun pelaksanaannya perlu kita perluas. Keterampilan-keterampilan teknis seperti segenap kualikasi kecakapan organisasi dan intelektual bagi para pegiat dan peneliti-aktivis, keterampilan menulis, dokumentasi (dalam berbagai bentuknya, mulai dari reportase hingga perekaman video), dan analisa sosial bagi kader-kader rakyat, kemampuan advokasi bagi lapisan-lapisan termaju dari kelas-kelas sosial yang progresif, peningkatan kemampuan pengorganisiran ekonomi mulai dari kemampuan menciptakan benih atau varietas pangan baru yang unggul hingga identifikasi pasar bagi produk-produk serikat rakyat mulai dari rokok, kopi, sembako, hingga kaos, dan lain sebagainya.
Bayangkan, misalnya, apabila segenap pemuda desa memiliki pemahaman yang ideologis dan militan atas perjuangan kelas yang ditopang oleh kemampuan paralegal dan advokasi yang handal. Atau apabila Ibu-ibu desa memiliki kemampuan untuk melakukan analisa ekonomi-politik yang dimulai dari kebutuhan dapur mereka, atau buruh-buruh dapat melakukan kalkulasi atas proses-proses produksi di dalam pabrik sebelum kemudian direbut oleh mereka. Atau anak-anak korban gusuran dapat berpartisipasi dalam proses-proses teater partisipatoris. Atau, yang tidak kalah penting, kelompok-kelompok pengajian, zikiran, dan kebaktian-kebaktian dapat menggabungkan sesi peribadatan dengan analisa sosial yang ditopang dengan tradisi fiqh atau liturgi progresif. Bukankah ini menunjukkan bahwa sains emansipasi yang termaktub dalam Marxisme dan tradisi-tradisi progresif lainnya, terlepas dari keruwetan korpusnya, dapat dipahami secara luas oleh massa? Bukankah ini menunjukkan bahwa aplikasi dari sains emansipasi, dengan kesadaran atas dilema-dilemanya, dapat dilakukan oleh massa?
Lagi-lagi, ini semua mensyaratkan perluasan jalan menuju pengetahuan-pengetahuan emansipatoris, menuju pemahaman yang lebih utuh mengenai sains emansipasi. Dan karena itulah kerja-kerja Riazanov, meski kadang terlihat tak menarik, menjadi semakin diperlukan. Di tengah-tengah hegemoni dan ofensi kapitalisme-neoliberal yang semakin merajalela, massif, dan elusif, maka hanya dengan kerja-kerja Riazanovlah, meski pelan dan seringkali tidak segera kelihatan hasilnya, kita dapat meniti jalan terjal menuju puncak pengetahuan demi pemajuan dan percepatan agenda-agenda transformasi sosial.***
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University. Beredar di twitland dengan id @libloc