SAYA yakin beberapa teman Anda mempunyai ketakutan yang sama tentang drama-horor terbaru yang diperankan Donald Trump, presiden terpilih Amerika Serikat (AS). Bagaimana mungkin seorang yang rasis, seksis, xenophobic, bahkan di identikan dengan the old-fascist sekelas Hitler dan Mussolini ini bisa terpilih? Satu dan yang paling jelas terlihat dari banyak hal tentang kemenangan Trump adalah blunder yang dilakukan Partai Demokrat sendiri. Mulai dari disingkirkannya Bernie Sanders hingga kegagalan komite kampanye Hillary untuk melihat retorika politik macam apa yang dibutuhkan masyarakat AS saat ini.
Demagog ulung tanpa pengalaman menduduki jabatan politik ini menukuk Hillary Clinton pada menit awal ronde pertama sejak dibukanya pemungutan suara. Dengan minimnya dukungan media dan anggaran kampanye, Trump berhasil menandingi perolehan suara popular vote yang didapatkan Hillary. Trump hanya mengeluarkan—kurang lebih setengah dari dana yang digelontorkan Hillary. Dari 50 surat kabar terbesar di AS, Trump hanya mendapatkan satu endorsement, yaitu Las Vegas Review-Journal, setelah New York Post menarik kembali dukungannya.
Bahkan serangan yang didapatkan Trump dari dalam tubuh Partai Republik sendiri juga tidak memberikan dampak apapun. Ia akan akan dilantik sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat pada Januari 2017 mendatang tanpa restu dari Bush Familly dan Koch Brothers.
Momentum Populis
Kemenangan Trump memperpanjang perdebatan tentang fenomena “The Rise of Populism”, setelah pada bulan Juni lalu Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa. Brexit menyulut gaung skeptisisme yang tidak terbayangkan sebelumnya bagi publik di beberapa negara kunci Uni Eropa.
Referendum Brexit memberikan keyakinan bagi Front Nasional Prancis (NF) untuk mendorong dilakukannya referendum serupa jika Marine Le Pen terpilih dalam Pemilihan Presiden 2017. Meskipun Euroscepticism telah menjadi platform politik NF sejak lama, gema Frexit dalam satu tahun terakhir menjadikan Prancis berada di posisi kedua setelah Yunani sebagai negara dengan opini publik paling negatif terhadap Uni Eropa.
Dampak krisis finansial global 2008, yang disertai ledakan imigran dari Timur Tengah dan wilayah konflik lainnya, merupakan perpaduan sempurna bagi terbukanya ruang gerak kelompok populis untuk mengakses struktur kekuasaan. Mereka bisa mendapatkan dukungan publik dalam waktu singkat.
Populisme bisa muncul dengan rupa dan retorika politik apapun, mematahkan argumen semakin kontrasnya polarisasi Kiri—dan—Kanan dalam politik domestik sebuah negara sebagai kesadaran politik kelas. Seperti Bernie Sanders yang berhasil menghimpun dukungan dari akar-rumput dengan cepat, dan dengan cepat pula— sesaat setelah ia memberikan dukungan kepada Hillary, para pendukungnya memutuskan untuk memilih Trump.
Retorika Anti-establishment yang digunakan populis kanan di Eropa dan Amerika Serikat, jauh berbeda dengan 10 bahkan 20 tahun lalu. Untuk menarik massa yang sedang resah, mereka belajar bagaimana krisis bisa terjadi dan siapa yang harus disalahkan.
Nigel Farage, salah satu orang paling penting di balik Brexit, muncul kehadapan publik dengan memperlihatkan krisis Eurozone sebagai penyebab guncangan ekonomi yang dialami Inggris dan negara-negara lainnya. Ia kemudian menyerukan perlawanan terhadap korporatisme global dan Uni Eropa serta menawarkan kemandirian ekonomi. Pidato pertama Farage di Parlemen Eropa paska-Brexit, semacam kuliah singkat yang diberikan kepada para teknokrat—entah itu dari faksi kiri atau kanan—untuk bersikap lebih dewasa jika masih ingin menjadi teknokrat yang baik. Farage mengajak untuk lebih sensitif—mendengarkan suara dari bawah sembari tetap menjaga perdagangan bebas tanpa harus ada institusi tunggal yang memayunginya.
“Why don’t we just be pragmatic, sensible, grown-up, realistic and let’s cut between us a sensible, tariff-free deal and thereafter recognise that the UK will be your friend, that we will trade with you, we will co-operate with you, we will be your best friends in the world but do that, do it sensible and allow us to go off and pursue our global ambitions and future.”[1]
Mengapa kita tidak bersikap pragmatis saja, masuk akal, dewasa, realistis dan marilah di antara kita bersepakat tentang bebas bea dan kemudian mengenali bahwa UK akan menjadi teman Anda, lalu kita bisa melakukan perdagangan dengan bersama, saling bekerjasama, lalu menjadi teman terbaik Anda di dunia, tapi lakukan itu, lakukan dengan bijaksana dan izinkan kami melangkah dan mencapai ambisi-ambisi global dan masa depan kami.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikerjakan Marine Le Pen untuk mendongkrak suara Front Nasional pada Pemilihan Presiden Prancis tahun 2012. Sejak menduduki jabatan penting di dalam partai, ia berusaha memutus citra NF sebagai partai dengan platform anti-semit dan neo-fasis. Le Pen memang masih mewarisi ekspresi politik yang dibawa ayahnya untuk menjaga basis pendukung dan orang-orang lama. Le Pen mengganti retorika kampanye yang penuh kebencian terhadap minoritas dengan isu-isu ekonomi, bertepatan dengan momentum paska-krisis yang menjadikan argumen terhadap pengetatan kebijakan imigrasi menjadi bisa diterima oleh banyak orang.
Hal serupa dilakukan oleh Trump. Para pendukungnya melihat rencana untuk mendeportasi 2 hingga 3 juta imigran sangat berdasar, bukan karena mereka berbeda secara rasial.
”What we are going to do is get the people that are criminal and have criminal records — gang members, drug dealers — we have a lot of these people, probably 2 million, it could be even 3 million. We’re getting them out of our country or we’re going to incarcerate. But we’re getting them out of our country, they’re here illegally.”[2]
Apa yang akan kami lakukan adalah menangkap para kiriminal dan mereka yang memiliki catatan kriminal – anggota geng, pedagang obat terlarang – kami memiliki banyak sekali orang-orang seperti ini, mungkin 2 juta, bahkan bisa 3 juta. Kami ingin mengusirnya dari negeri ini atau kami akan memenjarakannya. Tapi kami akan mengusir mereka ke luar dari negeri ini, keberadaan mereka di sini adalah ilegal.
Terlepas dari permasalahan kompleks mengapa angka kriminalitas masih tetap tinggi, benar atau tidaknya jutaan orang yang akan di deportasi mempunyai masalah hukum, Trump tidak peduli. Yang jelas, ia mempunyai argumen untuk melakukan itu semua dan diamini oleh para pendukungnya.
Populis Melakukan Apa Yang Dibutuhkan
Jika meletakan analisa dalam konteks garis kebijakan atau retorika politik Kiri—dan—Kanan, tentu inkonsistensi akan selalu terlihat. Dalam kacamata para populis, garis kebijakan Kiri dan Kanan sudah selesai. Namun bukan berarti mereka tidak mempunyai proyeksi politik yang matang. Trump, Le Pen dan Farage memperlihatkan kegagalan proyeksi politik yang selama ini di jalankan oleh partai dengan jargon lama. Pun, dalam momen seperti sekarang, ambisi politik yang serius akan percuma jika tidak tahu betul massa seperti apa yang akan mereka bawa.
Populis semacam Donald Trump, Marine Le Pen dan Nigel Farage bisa muncul dimanapun dalam kondisi krisis yang serupa. Mereka tahu apa yang harus di katakan, kapan membawanya ke ruang publik, dengan bahasa se-vulgar apapun. Dan tentunya mereka juga tahu bahwa mantra political correctness tidak akan bekerja dalam momentum populis. Jadi, simpan umpatan Anda bahwa mereka terbelakang dan tidak terpelajar. Setelah kemenangan Trump, bukan tidak mungkin beberapa partai populis kanan di Eropa pada tahun-tahun mendatang juga akan menggunakan sentimen rasial yang dikaitkan dengan isu imigrasi untuk menghangatkan tensi, kemudian menariknya kembali, seperti halnya Trump.
Satu hal lagi, Trump bukan hanya memunggungi aspirasi para liberal-demokrat sejak awal mencalonkan diri, namun juga memperlihatkan bukti konkret kekalahan ‘anak sekolahan’ dengan segala gagasan ideal multikulturalisme dan politik identitasnya.***
Penulis adalah Editor Postwar Magazine
[1] Pidato Nigel Farage di Parlemen Eropa paska-Brexit http://www.independent.co.uk/news/uk/politics/nigel-farage-brexit-speech-european-parliament-full-transcript-text-a7107036.html
[2] Wawancara Trump tentang rencana deportasi 2 hingga 3 juta imingran bermasalah http://www.cbsnews.com/videos/60-minutes-preview-donald-trump/