Suatu pemberontakan yang mengklaim kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat: kita terima pembuangan ini sebagai suatu resiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita melawan penjajahan. Pihak yang bersalah ialah pemerintah kolonial. Kita harus melawanya juga, di tanah pembuangan ini (Ali Archam)[1]
Setelah kamu pulang, kamu musti siap berjuang demi revolusi (Pesan Musso untuk puteranya)
PERAWAKANNYA gempal dan parasnya kukuh. Ia dikenal pemberani dan pintar bicara. Bahasanya agitatif dan lugas. Soekarno sempat kagum padanya. Dekat dengan Tjokroaminoto. Pernah bareng dengan Tan Malaka. Ia bukan sekadar pemberontak. Tapi juga petualang. Hidupnya diburu. Terutama saat PKI berontak pertama kalinya pada 1926. Ia tak tahan melihat taktik yang berbelit-belit. Baginya Kolonialisme saatnya disudahi. Bukan dengan perundingan. Tidak dengan perlawanan sporadis. Namanya Munawar Musso atau terkenal dengan Musso.
Lahir pada 1897, di Pegu, Kediri, Musso bertempur secara terbuka. Sabotase dan pertempuran jalanan. Ini memang hitung-hitungan nekat. Konon Tan Malaka tak setuju. Tapi Musso mengawali jalan progresif: kota jadi ladang pertempuran. Belanda melihat pria ini bahaya. PKI ditumpas dengan sadis. Sebagian dibunuh sebagian dibuang. Setidaknya ada 1300 orang dibuang. Musso dengan cerdik bisa lolos. Pergi ke Rusia. Di sana ia menemukan kiblat perjuangan. Keyakinanya pada komunis makin teguh. Sang pemberontak itu berada di sana. Kelak ia pulang dengan membawa badai.
Badai itu namanya revolusi. Saat ketika Belanda belum enyah sepenuhnya dan kemerdekaan sedang dipertaruhkan. Musso tak tahan melihat jalan perundingan. Ia mungkin pria yang tak sabar. Baginya kemerdekaan tak bisa ditawar dan perundingan hanya membuat segalanya jadi ruwet. Kala itu dunia dihadapkan pada perang antara blok kapitalis dan sosialis. Musso berdiri di sisi kaum sosialis. Kebenciannya pada Amerika serupa dengan sikap permusuhannya pada kolonial. Terlebih dirinya setia dengan jalan Stalin. Taktik front persatuan dibangun. Serupa dengan Persatuan Perjuangan. Dikumpulkannya semua gerakan rakyat untuk bersikap seragam: menolak berunding dengan Belanda. Ini zaman dimana ide-ide perubahan diperagakan. Ini masa dimana pemerintah sedang mencari pijakan. Berdiri di atas pijakan perundingan atau terus berkonfrontasi. Soekarno, Hatta, Sjarir, Amir hingga Musso merupakan lapisan yang terlibat dalam ‘perumusan’ pijakan. Mereka semua saling kenal, pernah hidup bersama dan saling hormat.
Itu sebabnya saat Soekarno ketemu Musso-pertama kalinya- ada rasa rindu dan hangat. Catatan Soepeno, pimpinan redaksi ‘Revolusioner’ melukiskan dengan haru:
….Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka menggambarkan kegembiraan itu. Sesudah penyambutan itu selesai, barulah Bung Karno berkata: ‘Lho, kok masih awet muda? Dijawab pak Musso” ‘O ja. Tentu sadja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda’.[2]
Musso setelah itu ketemu dengan Hatta. Mereka berdua bicara. Hatta lebih banyak mendengar. Situasi kala itu memang rumit. Kabinet jatuh bangun. Tiap perundingan membawa kecaman. Renville salah satunya. Musso melihat ini semua sebagai ekspresi kekuasaan imperialis. Bekal Soviet membuat dirinya lebih percaya diri. Mengusulkan sebuah front dengan lebih dulu melakukan evaluasi atas PKI. Dikuliti satu-persatu masalah yang kelak dimuat dalam risalah yang sangat terkenal Djalan Baru. Risalah yang mengutuk Tan Malaka sekaligus mengevaluasi PKI. Musso menganggap PKI telah banyak meninggalkan jalan massa. Seruannya untuk revolusi mendapat sambutan. Tiap pidato selalu ada massa yang mengelu-elukannya. Musso dalam semua ceramahnya selalu meyakini akan cara Moskow. Tak perlu berunding karena itu membuat Amerika mudah campur tangan. Baginya bertarung dengan senjata jauh lebih terhormat ketimbang berada di meja perundingan. Pandangannya itu bukan tak masuk akal. 1948 situasinya masih keruh dan rusuh.
Keruhnya situasi ini diperuncing oleh kebijakan rasionalisasi. Akibat Renville maka pasukan harus hijrah keluar dari wilayah Belanda. Diantaranya adalah Siliwangi. Pasukan ini musti keluar dari Jawa Barat dan dipindahkan ke Solo. Di sana pasukan ini tak cocok dengan Senopati. Pasukan yang sudah ada di Solo. Lebih-lebih Siliwangi dianggap elit, latar belakang kosmopolit dan terpelajar. Hawa perseteruan kian berlanjut saat ada penculikan dan pembunuhan anggota Senopati. Pemerintah tak kuasa mengusut itu semua. Bahan bakar perselisihan sudah dipupuk. Apinya menjalar saat keadaan tak bisa diatasi. Perang saudara di pintu Solo terbuka. Front Demokrasi Rakjat, elemen gerakan penyatu kekuatan kiri, jadi pendukung Senopati. Gerakan Revolusi Rakjat, sejak tokohnya diculik, berada bersama Siliwangi. Pemerintah yang merasa terancam oleh tekanan Front Demokrasi Rakjat membutuhkan pendekatan tangan besi. Gatot Subroto, mantan Marsose, diangkat jadi gubernur militer untuk mengatasi keadaan ini. Solo hanya pintu membuka sebuah arus yang kelak membawa Madiun dalam sebuah arus revolusi. Saat dimana kekuasaan memilih mengatasi situasi dengan menggunakan senjata dan meniadakan inisiatif untuk diskusi serta tatap muka.
Madiun meletus setelah mendapat aliran informasi Solo. Musso yang ketika itu sedang pidato di mana-mana diminta untuk datang ke Madiun. Saat itu dirinya masih di Kediri. Waktu tahu Madiun memutuskan membuat Republik Soviet, Musso tak mengelak. Ia berada di tengah massa yang mau membuat belokan tajam pada arah Republik. Pidatonya kala itu menunjukkan bagaimana dirinya kecewa dengan sikap penuh perundingan, kekalahan yang beruntun dan kekecewaan yang berulangkali dialami oleh rakyat. Suara pidato itu tak mirip dengan pesan pemberontakan tapi kritik atas taktik yang ditempuh penguasa saat itu:
Revolusi telah berjalan selama tiga tahun di bawah pimpinan kelas borjuis nasional, yang selalu ragu-ragu dan kabur sikapnya dalam menghadapi kaum imperialis pada umumnya dan Amerika pada khususnya. Inilah salah satu sebab, mengapa kondisi politik dan ekonomi di dalam Republik terus-menerus menjadi lebih jelek. Itulah sebabnya rakyat pada umumnya dan kaum buruh pada khususnya belum bisa membedakan kondisi-kondisi sekarang dan kondisi zaman Belanda dan Rezim Jepang….[3]
Itulah Musso yang tak ingin negeri ini penguasanya hanya jadi kaki tangan. Pidato itu jawaban dari pidato Soekarno yang keras dan tegas-tegas mau meringkus Musso di Madiun. Dianggap melakukan pemberontakan hingga mau menjatuhkan pemerintah maka tindakan militer diambil. Perang saudara meledak dengan korban yang tak sedikit: orang yang kena tuduh PKI dibunuh dan dibantai. Hal yang sama terjadi pada Musso: ia ditembak dengan laras senapan. Itulah upaya penguasa pertama kali untuk meyakinkan pada Barat kalau mereka itu anti komunis. Musso yang baru tiga bulan datang harus tewas diterjang peluru: pria yang memuja revolusi itu dihabisi oleh serdadu bangsanya sendiri.
Ditilik dari sejarah dirinya: Musso memang pemberontak. Konfrontasinya dengan Belanda terus-terang dan terang-terangan. Sedari awal hidupnya memang penuh ombak: setia kepada Insulinde, ikut Sarekat Islam dan ISDV. Pernah melindungi Tjokroaminoto ketika dirinya dituduh terlibat dalam pemberontakan. Keunggulan pria ini adalah mampu membuat PKI berintegrasi dengan Islam: Banten yang puritan jadi basis pemberontakan kiri. PKI Jawa Barat punya kekuatan dahsyat ketika Musso-Alimin yang memimpin[4]: November 1926 revolusi kiri berkobar di Banten. Digebuk oleh pemerintah kolonial dengan kekuatan hebat: PKI kalah dengan ditangkapnya ratusan ribu petani. Penangkapan ratusan ribu anggota PKI itu menunjukkan bagaimana keunggulan Musso dalam memimpin. Musso mampu memikat kesadaran petani untuk jadi anggota PKI. Saat pemberontakan dirinya sedang cari dukungan Soviet: balik ke Indonesia tahun 1935 dengan merapatkan semua elemen kiri. Tugasnya kini melawan fasisme Jepang. Bukti sejarah memberitahu: PKI Musso yang paling aktif melawan praktik fasisme Jepang. Musso sejak itu dikenal sebagai buron: Belanda maupun Jepang memburunya.
Laki-laki ini sangat bahaya. Ia bukan hanya seorang komunis tapi sosok yang sanggup memengaruhi pikiran rakyat jelata. Ketika tahun 1928 orang-orang PKI dibuang terentang sebuah himpunan kader yang menjanjikan: ada 823 yang dibuang-ini tak termasuk yang di penjara-15 di antaranya perempuan dan 10 orang Tionghoa, 629 di antaranya dari Jawa, 77 dari Sumatera dan 33 dari Maluku: 9 di antaranya berumur kurang dari 20 tahun, 422 berumur 20-29 tahun, 81 berumur 40-49 tahun: 383 di antaranya adalah pegawai rendah, 79 petani, 361 guru, supir dan pedagang kecil. Kala itu ada 13.000 kader ditangkap oleh Belanda.[5] Analis banyak yang bertanya: bagaimana bisa terbentuk keyakinan politik yang homogen dengan kemampuan berinisiatif politik radikal? Musso paham jawabnya: revolusi jalan satu-satunya yang bisa dilakukan dengan menempatkan kelas pekerja sebagai pemimpin. Ia memang loyalis Soviet: tapi jauh sebelum itu dirinya memang begitu benci pada kolonialisme Belanda. Taktiknya dirangkum dalam satu kalimat singkat: ‘keberanian, keberanian, sekali lagi keberanian’. Di tengah krisis ekonomi yang menganga, kehidupan yang sulit, kepemimpinan politik yang belum kokoh, Musso seperti membangun harapan yang masuk akal. Ia hendak meneruskan konfrontasi.
Pria ini seperti tak letih untuk meledakkan pertempuran. Banyak kalangan meyebutnya sebagai sosok yang emosional dan sulit menerima pandangan lain. Mungkin karena Muso paling senior dan mengalami banyak pengalaman bertempur. Mirip dengan Tan Malaka: tak setuju dengan jalan diplomasi. Hidupnya malang-melintang untuk mengorbarkan pertempuran dengan percaya pada kekuatan rakyat. Itu sebabnya ia jauh berbeda dengan Soekarno atau Hatta: berusaha untuk berunding sedang Musso terus meyakinkan untuk berperang. Sikapnya yang keras, lugas dan sulit untuk menerima pandangan lain membawa Musso berseteru dengan banyak kalangan. Tapi sikap radikalnya itu yang membawa dirinya dihormati, didukung dan dipercaya oleh anak muda. Musso seperti sebuah kritik atas jalannya sejarah kedaulatan: ia mau kemerdekaan itu berjalan 100% dan ingin agar buruh, petani dan orang miskin punya kekuasaan. Mimpi revolusi itu mungkin menggelikan di masa sekarang tapi itu pernah jadi sebuah cita-cita yang dikobarkan: Musso melakukanya dengan antusias, penuh percaya diri hingga tewas karena keyakinan itu.
Sayang namanya terus dilukai dan dicemarkan: dianggap sebagai pemberontak yang tak punya niatan baik apapun. Disebut sebagai biang keladi pengkhianatan Republik, seakan pemberontakan Madiun merusak harapan jadi bangsa Merdeka. Yang tak dimengerti saat itu, Musso tak mau kita sepenuhnya tunduk pada perundingan dengan Belanda. Keinginannya sama dengan tuntutan kita saat ini: Republik berdiri tegak di atas payung kemandirian dengan melindungi mereka yang miskin dan lemah. Musso bukan mau menegakkan benang basah, tapi ingin meneguhkan tiang Proklamasi. Itu sebabnya, jauh hari kemudian Soekarno-saat diwawancarai Cindy Adams- mengakui kalau Musso itu gurunya. Musso memang bukan pria bodoh: menguasai banyak bahasa dan pernah jadi guru. Terlibat dalam pemberontakan SI pada usia 18 tahun yang membuat dirinya ditangkap oleh penguasa kolonial. Di penjara itulah ia disiksa dengan keji. Gagasan revolusinya dibentuk sejak muda, terutama dipahat selama di penjara. Hidupnya memang singkat, tapi perjalanan hidupnya mengharukan: ikut SI, merintis gerakan kiri, dipercaya oleh Soviet, melawan Jepang, mengajak perang dengan Belanda dan mati oleh tentara Republik. Ia tak sekadar pejuang, tapi martir bagi sebuah kedaulatan yang tetap tak bisa tegak hingga hari ini. Musso bukan orang hina, tapi manusia besar yang pernah punya mimpi agung: merdeka di atas tanah yang bebas penjajahan dan tak tergantung pada bangsa lain. Itulah Musso!***
———
[1] Lih Imam Soedjono, Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, Resist Book, 2006
[2] Lih Harry A Poezoe: Madiun 1948, PKI Bergerak, KITLV dan YOI, 2011
[3] Lih Soemarsono, Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Hasta Mitra, 2008
[4] Lih Bonnie Triyana, Jalan Berliku Tuan Mussote, Kolom Tempo edisi Musso, Si Merah di Simpang Jalan, KPG, 2011
[5] Lih Jacques Leclerc: Mencari Kaum Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka, Margin Kiri, 2011