Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)
SELASA 21 Oktober 2016. Sekelompok mahasiswa dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian ketika akan melakukan demonstrasi damai menyambut dua tahun pemerintahan Jokowi-JK di Lapangan Merdeka, kota Ambon. Sempat terjadi adu mulut sebelum aksi pembubaran. Aparat kepolisian menuduh mahasiswa tidak menyampaikan surat pemberitahuan kegiatan unjuk rasa. Namun mahasiswa menyanggah dengan mengatakan bahwa mereka telah melayangkan surat pemberitahuan unjuk rasa.
Tidak terima dengan sanggahan mahasiswa, komandan polisi di lokasi yang berpangkat kapten naik pitam. Ia menyeret seorang demonstran menuruni tangga pendopo Lapangan Merdeka dengan kepala terbalik menghantam lantai marmer, membawanya ke dalam mobil polisi untuk diangkut ke sel. Kepada media massa, komandan polisi itu berdalih jika tindakan penyeretan dilakukan karena mahasiswa tersebut ingin merebut senjata salah satu anak buahnya. Keesokan harinya, dengan jumlah massa yang sedikit bertambah, kelompok mahasiswa ini datang ke Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Maluku. Mereka menuntut pencopotan komandan polisi yang bertindak brutal tersebut serta dibebaskannya teman mereka yang ditangkap. Namun aksi ini malah dibubarkan dan empat orang mahasiswa ditangkap. Dua peristiwa berselang sehari tersebut diliput oleh kanal tv lokal dengan nada yang simpati terhadap mahasiswa.[1]
Tindakan brutal polisi tidak segera memantik solidaritas yang luas dari gerakan mahasiswa maupun pegiat demokrasi di Ambon untuk turun ke jalan menyatakan sikap. Walaupun terdapat aksi solidaritas berskala kecil yang dilakukan sejumlah organisasi mahasiswa, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, namun aksi solidaritas tersebut terlambat dalam merespon keadaan. Langkah-langkah konsolidasi untuk menyusun aksi solidaritas ini pun terbatas di beberapa organisasi mahasiswa saja tanpa upaya mendorong khayalak luas untuk ikut terlibat.
Kasus brutal ini hanyalah satu dari sekian fragmen kasus-kasus pelanggaran hak rakyat yang sepertinya akan terus berlanjut. Substansi dari kasus ini, yaitu ancaman terhadap kebebasan berpendapat, tidak akan dipersoalkan lebih jauh dan segera tiarap ke dalam timbunan informasi serta peristiwa publik yang datang menjelang. Saya malah khawatir kasus pengebirian demokrasi dan hak-hak rakyat di Maluku, yang sesungguhnya menempati konteks yang sama dengan kasus pelanggaran hak rakyat yang kini marak di Indonesia, akan berulang tanpa ada solidaritas luas dan nyata untuk melawannya.
Tulisan pendek ini hendak membahas faktor-faktor yang mendasari lemahnya solidaritas masyarakat sipil[2] di Maluku dalam merespon kasus-kasus pelanggaran hak rakyat. Sebagai tulisan pendek, saya tidak berpretensi menawarkan jalan keluar. Saya hanya ingin memotret situasi dari lemahnya solidaritas masyarakat sipil di Maluku. Dengan tulisan ini diharapkan dapat memancing diskusi yang lebih luas di kalangan masyarakat sipil di Maluku.
Banyak Kasus, Sedikit Respon
Tanpa mengesampingkan upaya tak kenal lelah sebagian individu dan kelompok di Maluku yang terus memperjuangkan partisipasi rakyat, jika kembali melihat kasus-kasus pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan hak rakyat serta melihat beragam problem sosial yang terjadi, kita akan menemukan lemahnya perhatian dan solidaritas masyarakat sipil dalam meresponnya.
Belum setahun kita menyaksikan publik di Jakarta berdebat tentang rencana eksplorasi gas di Ladang Abadi Blok Masela, yang terbagi ke dalam pilihan strategi eksplorasi offshore atau onshore. Debatnya memanjang hingga ke Maluku. Namun tidak terdapat sikap untuk menolak eksplorasi gas yang sarat akan lobi-lobi elit politik, korupsi, serta membawa dampak pada tersisihnya masyarakat di sekitar area eskplorasi dari ruang hidup mereka. Debat-debat soal eksplorasi blok Masela justru berlangsung dalam nada menyetujui.[3] Tidak terjadi sekalipun (konsolidasi) aksi massa di Ambon untuk menolak rencana eksplorasi ini.
Pada penghujung 2013, kampanye ‘Save Aru Islands’ digalakkan untuk menolak rencana penguasaan tanah masyarakat Aru seluas 500.000 hektar oleh PT. Menara Grup yang akan mendirikan perkebunan tebu.[4] Kampanye ini menjadi trending topic dan efektif menggalang solidaritas di media sosial. Beberapa artis nasional menyatakan solidaritasnya. Warga berdarah Maluku di mancanegara juga mengirimkan dukungan. Komunitas orang Maluku di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta tidak ketinggalan ikut dalam jaringan kampanye ini. Di Ambon, kelompok-kelompok kecil yang menjadi penggerak utama kampanye menggelar diskusi, mencetak poster-poster serta kaos untuk penggalangan dana. Dari keseluruhan proses kampanye “Save Aru Islands’, boleh dibilang tulang punggungnya adalah kelas menengah, mereka yang punya akses terhadap internet. Walaupun menuai keberhasilan, kampanye ini tidak sampai menggalang aksi massa yang kuat di jalanan. Saya melihat kampanye ini tidak meninggalkan pelajaran soal taktik dan strategi bagi pembangunan aliansi gerakan masyarakat sipil di Maluku.
Pada akhir 2015 mulai berlangsung proses pembangunan rumah sakit Siloam di Ambon. Bangunan rumah sakit yang masih terus dalam pengerjaan ini berlokasi di pantai teluk Ambon. Sebagian lokasi rumah sakit adalah timbunan (reklamasi) di pesisi pantai teluk.Warga di sekitar area pembangunan sempat protes akibat tingginya pasang laut yang diakibatkan oleh aktivitas penimbunan.Terdapat juga keberatan yang dari beberapa pemerhati perikanan terkait dengan reklamasi ini. Hanya saja keberatan-keberatan ini tidak mampu ditindaklanjuti menjadi aksi terbuka. Proses pembangunan rumah sakit Siloam pun berlangsung tanpa adanya penolakan berarti dari masyarakat sipil. Padahal proyek pembangunan rumah sakit ini sarat akan korupsi dan manipulasi perizinan.[5] Jelas bahwa reklamasi pesisir pantai teluk Ambon mencemari lingkungan laut, merusak keanekaragaman biota laut di pesisir teluk, serta yang paling penting, menghancurkan mata pencaharian masyarakat sekitar. Akibat yang lebih jauh, reklamasi ini dapat memicu berbagai usaha reklamasi lainnya di pesisir teluk Ambon demi proyek pembangunan.
Kasus yang belum lama berselang adalah kematian Yanes Balubun, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan pegiat hak masyarakat adat di Maluku. Yanes ditemukan meninggal dengan posisi tubuh menindih sepeda motor. Warga di lokasi kejadian awalnya menganggap seperti terjadi kecelakan lalu lintas. Namun terdapat beberapa kejanggalan atas meninggalnya Yanes, terutama kejanggalan yang ditemukan di lokasi kejadian. Komnas HAM yang turun tangan menyelidiki kasus ini menemukan indikasi kematian yang tidak wajar. Mereka telah mendorong kepolisian untuk mengungkap kasus ini, namun sampai sekarang belum dijumpai titik terangnya.[6] Kasus kematian Yanes ini, bagi saya, menjadi tanda bahaya bagi perjuangan HAM di Maluku.
Sekilas, yang baru saja dikemukakan adalah beberapa kasus pelanggaran terhadap demokrasi dan hak rakyat yang terjadi di Maluku. Kasus-kasus ini mestinya dapat membangkitkan perlawanan dari gerakan masyarakat sipil. Apalagi kini banyak sekali rencana investasi besar-besaran untuk konsesi tambang dan perkebunan yang akan menyasar pulau-pulau di Maluku, merusak ruang hidup dan mengubah wajah kebudayaan rakyat di Maluku. Tetapi, perhatian dan respon dari masyarakat sipil cenderung rendah. Hal ini tentu saja memberikan dampak pada minimnya rasa solidaritas yang bagi upaya menjahit aliansi yang luas dalam melawan balik setiap bentuk kasus dan pelanggaran terhadap demokrasi dan hak rakyat.
Mental Politik Praktis dan Wacana Perdamaian
Faktor dari rendahnya perhatian dan solidaritas masyarakat sipil atas kasus-kasus pelanggaran berdemokrasi dan hak rakyat, bagi saya, diakibatkan oleh condongnya gerakan masyarakat sipil di Ambon, terutama gerakan mahasiwa dan pemuda, ke arah politik praktis. Faktor berikutnya adalah penggunaan wacana konflik-perdamaian yang berlebihan di ruang publik sehingga membuatnya menjadi hegemonik, dan dengan begitu menghalangi wacana-wacana kritis lain yang muncul. Kedua faktor ini menjadi latar belakang cukup dominan yang mewarnai corak masyarakat sipil hari ini di Maluku.
Kita mulai dari yang pertama. Arah gerakan mahasiswa dan pemuda, yang menjadi bagian besar dari masyarakat sipil di Maluku, sangat berorientasi politik praktis. Organisasi mahasiswa dan organisasi pemuda berbasis ideologi maupun suku, dianggap mentereng jika dapat mencetak anggota yang mahir berakrobat politik. Adalah mudah melihat alumni organisasi mahasiswa dan pemuda menjabat sebagai anggota partai tingkat daerah. Tradisi dan kajian keilmuan memang hidup di dalam organisasi, namun jika diperiksa kurikulum dan temanya, akan muncul tema tentang ketuhanan, ontologi, eksistensi diri serta beragam tema abstrak lain yang sulit dipijakkan pada realitas, serta sulit dipakai untuk meneropong problem sosial yang dihadapi rakyat. Kalaupun kajian mengambil tema tentang politik, itu sebagian besar berhubungan dengan praktik berpolitik. Jika mendekati momen pemilu atau pilkada, organisasi-organisasi ini berubah menjadi mesin-mesin pemenangan calon, dimana sang calon tidak lain adalah alumni organisasi. Tentu saja tipikal organisasi-organisasi bermental politik praktis seperti ini bukanlah khas Maluku. Kita dapat menjumpai tipikal organisasi-organisasi serupa di kota-kota besar lainnya.
Di kota-kota besar di mana institusi pendidikan tinggi tumbuh menjamur, organisasi-organisasi bermental politik praktis makin kehilangan daya pikatnya. Ini dikarenakan informasi bisa diakses dengan mudah dan beragam kegiatan dapat diikuti dengan gampang. Mahasiswa atau pemuda memiliki banyak pilihan berorgansiasi. Mulai dari menjadi anggota klub selam hingga menjadi kader dari partai kiri. Namun di Maluku, khususnya di Ambon, organisasi-organisasi bermental politik praktis ini cukup diminati dan selalu mempunyai pasokan anggota yang konstan dari tahun ke tahun. Dikarenakan jarangnya model-model organisasi atau klub-klub aktivitas yang menawarkan cara pandang dan tujuan baru bagi anggotanya, sehingga mahasiswa atau pemuda tidak memiliki opsi lain selain bergabung ke dalamnya.
Saya tidak menampik adanya organisasi pecinta alam dan organisasi non pemerintah yang dengan agenda dan strategi tersendiri (jauh dari kecenderungan politik praktis), juga memainkan peran penting dalam ruang publik. Namun daya jangkau mereka ke kalangan mahasiswa dan pemuda masih terbatas. Media massa lokal berbasis cetak maupun daring memang kadang kritis dalam pemberitaanya, namun mereka belum menjadi corong yang stabil untuk gerakan alternatif dan suara-suara yang kritis.
Faktor berikutnya yang mengakibatkan rendahnya solidaritas masyarakat sipil adalah terlalu hegemoniknya wacana konflik-perdamaian. Masyarakat sipil di Maluku lebih faham dan dekat dengan wacana konflik-perdamaian ketimbang isu-isu atau wacana yang terkait ekspansi kapital yang menerbitkan perilaku korupsi, pelanggaran hak rakyat dan penjarahan sumber daya alam. Hal ini dikarenakan trauma akan konflik berdarah berkepanjangan yang pernah melanda Maluku. Konflik sipil yang terjadi dalam rentang waktu 1999 hingga 2004 terlalu banyak meminta korban, menguras energi masyarakat untuk berperang antar saudara.
Ketakutan akan terjerumus kembali ke dalam kubangan konflik mendesak pemerintah dan masyarakat berpikir jangka panjang untuk terus menjaga perdamaian di Maluku. Konflik dan perdamaian menjadi kesatuan pemaknaan yang tidak bisa dipisahkan. Ketika orang menganjurkan perdamaian, maka yang tergambar dari anjuran serupa adalah kilatan-kilatan kengerian akan konflik. Dalam setiap kesempatan yang mengambil tempat di ruang publik, wacana konflik-perdamaian ini selalu dikemukakan baik oleh pemerintah, politikus, maupun masyarakat sipil. Media massa tentu saja memainkan peran besar dalam pembentukan hegemoni dari wacana konflik-perdamaian ini.
Ekspresi politik, budaya, dan kesenian yang ada cenderung menonjolkan wacana konflik-perdamaian, dengan menyitir kehidupan yang harmonis dalam ikatan pela gandong di Ambon (dan Maluku secara keseluruhan). Sehingga iklim demokrasi yang terbangun dari kecenderungan ini adalah iklim ‘demokrasi perdamaian’, dimana wacana konflik-perdamaian menjadi penanda utama dari artikulasi politik di ruang publik. Bagi masyarakat, demokrasi dianggap bermakna sejauh ia dapat menjadi wadah bagi terciptanya perdamaian di Maluku.
Dalam situasi tertentu kecenderungan menonjolkan wacana konflik-perdamaian ini dapat dimaklumi. Seperti pada peringatan hari besar keagamaan atau pada festival-festival adat dan kebudayaan, sebagai himbauan kerukunan antar umat beragama, juga sebagai himbaun untuk meredakan sentimen berbasis agama yang muncul dan menebal dalam birokrasi maupun institusi pendidikan. Ini memang konteksnya di level permukaan. Namun akan menjadi berbahaya jika kita hanya terpaku pada level permukaan, mereplikasi wacana konflik-perdamaian untuk melihat situasi sosial di Maluku. Sebab situasi sebenarnya yang dihadapi oleh masyarakat kian kompleks.
Bila dilihat jauh lebih dalam, wacana perdamaian yang telah menjadi hegemonik ini tidak memiliki bobot yang transformatif. Ia sekedar menjadi template yang digunakan sebagai slogan-slogan politik tapi tanpa memiliki tautan yang kuat dengan persoalan yang lebih luas menimpa rakyat di Maluku sekarang ini. Yang selalu ditonjolkan dari wacana perdamaian adalah aspek identitas dan kebudayaan dari masyarakat, semisal keharmonisan antar agama dalam ikatan pela gandong. Aspek-aspek ekonomi-politik (baca: kelas) dari wacana perdamaian ini dilupakan sama sekali. Padahal wacana konflik-perdamaian dapat menjadi pintu masuk bagi ekspansi kapital yang akan merusak ruang-ruang dimana identitas rakyat berpijak.
Inilah latar dari keberadaan masyarakat sipil di Maluku pasca konflik di Maluku. Gerakan masyarakat sipil di Maluku berkelindan dalam kedua faktor yang memperlemah respon dan solidaritas tersebut. Faktor-faktor tersebut lebih jauh mengaburkan pandangan yang jernih ke arah problem sosial yang sebenarnya dihadapi oleh rakyat. Di balik mental politik praktis dari masyarakat sipil dan hegemoniknya wacana perdamaian, telah berlangsung ekspansi kapital yang merusak. Tentu saja, seperti yang telah disinggung di muka, terdapat kelompok-kelompok kecil yang berjuang bersama rakyat, bersama-sama membuka mata terhadap problem krisis agraria, kerusakan lingkungan, kekuatan oligarki lokal yang korup, serta problem pelanggaran terhadap hak rakyat yang terjadi di Maluku.***
Penulis bergiat di Komunitas Belajar Transformatif Tagalaya, Ambon. Dapat dihubungi di latingorijalo@gmail.com
————-
[1]Video penyeretan oknum mahasiswa pada 22 Oktober dapat dilihat di sini https://yotu.be/JvUVCaAdpxM Serta video aksi di Mapolda Maluku dapat dilihat di sini https://youtu.be/2VEn8NIcMjY
[2] Masyarakat sipil yang saya maksud adalah gerakan mahasiswa, aktivitas pro demokrasi, ornop, media massa lokal serta komunitas-komunitas kreatif lainnya yang kini tumbuh menjamur di Pulau Ambon, di Pulau Seram, Pulau Buru, dan lainnya.
[3]Lihat pemberitaan media lokal, diakses dari, ambonekspres.fajar.co.id/2016/04/05/sdm-maluku-kuasai-blok-masela/, https://satumaluku.com/2016/03/26/jangan-gaduh-kabupaten-mbd-dan-mtb-rebutan-lokasi-kilang-blok-masela/, www.tribun-maluku.com/2016/04/penerimaan-mahasiswa-untuk-sdm-blok-masela-akan-dibuka-juli-2016.html?m=1
[4]Diakses dari Http://regional.kompas.com/read/2013/12/10/1411587/Tolak.Perkebunan.Tebu.Koalisi.Save.Aru.Galang.Dukungan, untuk membaca lebih jelas kasus penguasaan lahan oleh PT. Menara Grup ini, lihat https://awasmifee.potager.org/?p=829&lang=id
[5]Diakses dari, www.ambonekspres.fajar.co.id/2015/07/30/dprd-hentikan-pembangunan-rsu-siloam/
[6] Diakses dari, www.terasmaluku.com/komnas-ham-nilai-kematian-yanes-tidak-wajar/