ENTAH ulamnya tiba atau tidak, pembaca pasti pernah mencintai pucuk. Syukur kalau pucuk dicinta ulam pun tiba. Kalaupun tidak, pernah mengalaminya saja bisa jadi suatu berkah. Cinta itu apa sih? Apakah cinta bisa diciptakan, ataukah seperti anugrah pada umumnya yang harus ditunggu saja kedatangannya? Apakah cinta itu abadi dan berada di bawah kendali hukum termodinamika ataukah cinta itu fana sefana ruang dan waktu menurut teori relativitas? Mungkin ini pertanyaan-pertanyaan paling ngawur yang pernah tayang di rubrik Logika. Tapi kata orang bijak, pertanyaan ngawur saja punya hikmah. Setidaknya menolong kita yang menyadari kengawurannya untuk bisa merumuskan pertanyaan bagus.
Kalau ditanya soal cinta, saya cuma bisa bilang bahwa cinta itu sesuatu yang kualitatif, imaterial, dan tak berdimensi. Sebagai yang kualitatif dan imaterial, bahkan intuisi subjektif kita saja tidak akan memberi tahu kita soal cinta yang sedang membara itu. Artinya, kalau kita ingin tahu seberapa besar, sebarapa dalam, seluas apakah, atau seberat apakah cinta kita, kita haruslah membuatnya material, berdimensi, dan dengan demikian bisa diukur. Mungkin ini tergolong perbuatan penistaan terhadap cinta. Betapa tidak, sesuatu yang polos murni tanpa noda keterkungkungan mesti dikotori oleh materi berdimensi. Bagaimana tidak mengotori, dengan membuatnya material dan berdimensi, kita memberangus cinta ke dalam hal-hal duniawi nan kasat mata. Tapi itulah kehidupan. Penuh kontradiksi. Sekali kita ingin tahu seberapa besar cinta kita, kita mau tak mau mesti mengkuantifikasinya. Dalam bahasanya Martin yang filsuf, sesuatu yang multak hanya bisa diketahui dengan mengenali negasinya, yaitu yang fana. Artinya, sesuatu yang kualitatif mesti dinegasi ke dalam yang kuantitatif.
Pertama-tama, materialisasikanlah cinta ke dalam kehendak di dalam tubuh karena satu-satunya yang paling dekat sekaligus material dengan sumber cinta itu ialah tubuh kita sendiri, bukan tubuh orang lain. Tapi sekadar kehendak mencintai tak akan membuat kita tahu keluasannya. Jangankan orang yang kita tuju, kita sendiri pasti masih meraba-raba seberapa dalam cinta kita padanya. Jadi, kehendak itu mesti diutarakan ke dalam tuturan fasih agar terdengar ke telinga yang dituju. Asumsikan saja bahwa tuturan fasih kita tak hanya didengar sambil lalu tapi juga disimak sungguh-sungguh dan kita pun jadian. Namun ini saja masih belum cukup. Kita baru tahu seberapa besar cinta kita hanya dari barisan kata-kata yang kita tuturkan saja. Apabila kita sungguh-sungguh ingin mengetahuinya, kita harus mengubah kehendak dan tuturan itu menjadi tindakan. Ambil contoh, kecengan meminta dijemput di bandara yang jaraknya 100 km padahal kita cuma punya motor butut keluaran 1980. Kalau kita menolak dengan alasan tersebut terlalu jauh, sedang sibuk, dan lain sebagainya, maka bisa diukurlah sebenarnya cinta kita tak sedalam lautan seluas samudra. Dalam timbangan (al-mizan) cinta, 100 km menjadi suatu beban amat berat manakala cinta kita begitu ringan. Apabila kita menerima permintaan 100 km itu, apalagi dengan hanya mengendarai motor butut keluaran 1980an, di tengah-tengah gerimis dan kemacetan Jakarta pula, maka baik kita maupun kecengan bisa mengukur bahwa beban itu tak seberat cinta yang kita punya. Ternyata kehendak mencintai kita cukup besar untuk menaklukkan 100 km macet dan gerimis.
Apakah itu semua cukup? Ternyata tidak. Karena cinta itu kualitatif, seberapa banyak pun upaya kita untuk mengkuantifikasikannya, kita tak akan pernah secara paripurna mengetahui kesublimannya. Cinta, seperti halnya ide berubah-ubah rentangannya. Toh ia imaterial tak berdimensi. Untuk mengetahuinya kita mesti mengubah hasil kuantifikasi yang sudah dijalankan kembali menjadi kualitatif. Dalam bahasanya Martin yang filsuf, negasi akan meng-aufhebung, negasi dalam rupa kuantifikasi itu akan mengangkat derajat cinta satu tingkat secara kualitatif. Ketika cinta naik satu derajat, perjalanan baru kuantifikasi baru dan pengkualitatifannya akan berulang lagi dan lagi. Boleh dibilang, tak seperti definisi di awal, alih-alih ‘sesuatu’ (a thing) cinta itu nyatanya ialah proses. Bagi mereka yang watak cintanya empirisis tentu sekadar ngajak jalan-jalan, belanja, atau jemput sudah cukup. Namun mereka tak paham bahwa cinta dialektis. Semakin tinggi taraf cinta yang telah terbuktikan, semakin berat beban kuantifikasi yang mesti dijalankan. Cinta tak selesai diukur hanya dengan menghitung ongkos jalan-jalan dan belanja. Jalan-jalan dan belanja, berkorban harta dan waktu, yang sifatnya kuantitatif itu haruslah menjalani operasi dialektika berikutnya, yakni negasi-atas-negasi. Ujungnya bukanlah suatu jalan buntu yang tak ada apa-apa di baliknya, tapi jalan baru lagi dan lagi.
Sampai sini tentu pembaca bertanya-tanya: apa hubungannya omongan tentang cinta dengan rubrik Logika yang selama diasuh Martin begitu mentereng isinya?
Sekecil apapun, semua Marxis pasti punya iman pada keruntuhan kapitalisme dan terbitnya fajar sosialisme sebagai bentuk penataan masyarakat yang paling baik. Terlepas dari iman itu dibumbui oleh ‘yang ilmiah’, tetap saja ia itu iman yang hakikatnya sekualitatif kehendak atau cita-cita. Iman, kehendak, atau cita-cita itu kualitatif, rohani, imateriil. Untuk tahu seberapa besar kehendak, tak cukuplah sekadar bayang-bayang di benak, gerutu di mulut, atau curhatan di Facebook. Ia mesti dimaterialisasi ke dalam tindakan. Kehendak revolusioner mesti dinegasikan menjadi tindakan revolusioner. Kalau kehendak revolusioner itu kehendak untuk mengganti, bukan sekadar menambal-sulam, tatanan kapitalisme, lalu apa itu tindakan revolusionernya? Tentu saja tindakan-tindakan yang menyulih kapitalisme dengan sosialisme. Tapi tindakan seperti apa yang menyulih kapitalisme dengan sosialisme itu? Apakah tindakan seperti Revolusi Maret 1848? Pendirian Komune Paris 1870an? Revolusi Soviet 1917? Ataukah seperti perang pembebasan Tiongkok 1940an? Revolusi Kuba? Atau Revolusi Kebudayaan Tiongkok 1970an?
Seperti cinta, kita tidak bisa mengandalkan rencana tindakan pada kisah-kisah telah lalu yang pernah dilakukan orang lain. Kisah-kisah lalu hanya sebagai sumber kita mengambil pelajaran, bukan resep siap pakai. Mengapa? Orang yang kita mintai saran belum pernah menjadi kita. Mereka menempati ruang-waktu yang berbeda dengan kita. Satu-satunya hal yang diambil dari kisah mereka ialah kerangka umum tindakan atau, dengan kata lain, teori. Dan itu artinya mensyaratkan abstraksi di sisi kita.
Seperti kehendak mencintai, kehendak revolusioner berada dalam semesta materiil-objektif yang spesifik. Boleh saja kisah cinta seseorang itu kita anggap sukses atau gagal. Tapi kesuksesan dan kegagalan bukanlah kategori universal. Seperti semua hal di dunia ini, mereka terikat pada ruang-waktu yang tidak direplikasi. Realitas itu tidak bisa disalin karena ia itu proses. Boleh saja kita abstraksikan ia ke dalam rumusan-rumusan tertentu. Tapi ingat bahwa di setiap abstraksi kita akan kehilangan rincian. Terutama aspek ruang-waktunya. Jadi, bukan langkah-langkah atau prosedur yang menghantar ke kesuksesan atau ke kegagalan itu yang mestinya dipetik menjadi hikmah karena meskipun telah kita sari dan dijadikan sepotong teori, tidak semua langkah itu niscaya berhasil di dalam ruang-waktu yang berbeda. Windu boleh saja berkehendak menjadi pacarnya Raisa setelah meninjau kisah-kisah kesuksesan kawannya menjalin cinta. Namun, ada semesta materiil-objektif yang menentukan mungkin tidaknya kehendak dan teori itu tercapai. Tak cuma soal seberapa banyak pendapatan bulanan untuk mengongkosi makan malam di Singapura, bahkan untuk mendekat saja paling banter dia akan dianggap fans saja dan pertama-tama akan dihadapi manajernya. Boleh saja kehendak kita menggebu-gebu, tapi selusin pemuda-pemudi dengan bambu runcing tak akan mudah menang dalam peperangan melawan sebatalion pasukan kavaleri, hanya karena konon Bung Tomo mengalahkan pasukan Inggris dengan pasukan bambu runcing.
Apa yang pernah dilakukan orang-orang terdahulu tak bisa dijadikan resep revolusi. Paling banter catatan sejarahnya bisa menjadi bahan pelajaran bahwa revolusi itu mungkin. Soal seperti apa jalannya sekarang atau di masa depan, sejarah cuma bisa menyediakan bahan baku untuk dipungut lewat abstraksi pula. Kapasitas teoritis untuk menyari anasir-anasir apa yang bisa dipelajari, menjadi syarat mutlak landasan kehendak revolusioner. Lenin pernah bilang bahwa tak ada tindakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Teori dan praktik bukanlah dua ranah yang berdiri sendiri. Sejarah revolusi memberi kita pelajaran bagaimana teori dipraktikkan, teori dimaterialisasi. Hasilnya, entah sukses ataupun gagal, mesti dijadikan bahan baku pokok dalam menyusun teori baru. Artinya, kehendak mestilah teoritis untuk menjadi tindakan, dan teoritis artinya kita mesti insaf bahwa senantiasa ada yang hilang dalam proses pembuatannya. Tak ada yang salah dengan kehendak menggebu-gebu. Tak salah pula meyakini kebenaran teoritis yang dirumuskan dari pengalaman masa lalu orang lain. Namun kehendak dan teori bukanlah realitas yang bisa mengada dalam dirinya sendiri. Mereka bertaut secara organik dengan praktik dan tindakan seperti halnya kehendak akan cinta mesti dikuantifikasi ke dalam tindakan, dan tindakan, pada gilirannya, mesti menjadi bahan baku mengangkat kualitas kehendak.***
Jatinangor 8-11-2016