DALAM setiap elaborasi mengenai potensi serta kapasitas gerakan rakyat, problem fragmentasi selalu menjadi problem mendasar yang tak pernah lupa diacu. Konon, kegagalan gerakan rakyat sekarang untuk menjadi kekuatan yang serius dalam menantang dominasi kelas berkuasa dikarenakan masih terpencar-pencarnya organisasi gerakan. Tidak heran jika gerakan rakyat sering dilihat layaknya buih-buih yang berserak, yang tuntutannya seringkali dapat diabaikan oleh politik negara.
Walau begitu, penjelasan yang diberikan melalui deskripsi ini seringkali menjadi pembenaran akan ketidakberdayaan gerakan dibandingkan sebagai suatu masalah yang harus ditangani. Sebagai contoh, ketika seseorang atau suatu kelompok hendak menggagas suatu inisiatif persatuan dalam tubuh gerakan, banyak kalangan (seringkali berasal dari kalangan internal gerakan itu sendiri) yang secara langsung bersikap pesimis akan inisiatif tersebut. Argumennya adalah argumen lama, sulit bagi kita menciptakan persatuan karena gerakan rakyat sudah terfragmentasi. Di sini kita akhirnya terjebak dalam logika sirkuler tanpa bisa membedakan mana sebab mana akibat. Akhirnya, alih-alih mendorong upaya untuk mengatasi masalah yang ada, penjelasan seperti ini justru menjadi pembenaran atas ketidakberdayaan gerakan rakyat.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, kita harus menukik lebih dalam ketika berbicara mengenai fragmentasi gerakan rakyat ini. Penelusuran akan penyebab mengapa fragmentasi gerakan rakyat perlu diungkap secara eksplisit. Harus ada upaya analitis untuk menjawab pertanyaan mengapa fragmentasi gerakan rakyat menjadi tak terhindarkan bahkan cenderung sangat akut.
Tiga Tingkatan Penyebab Fragmentasi
Bagi saya sendiri, fragmentasi gerakan harus ditempatkan dalam kompleksitas relasi yang melingkupinya. Dalam arti tidak ada satu faktor tunggal yang dapat diacu sebagai penyebab utama. Setidaknya, terdapat relasi-relasi utama yang berkontribusi secara krusial bagi pengondisian fragmentasi itu sendiri. Saya melihat relasi-relasi ini beroperasi dalam tiga tingkatan utama, yakni relasi makro-struktural, meso-institusional, dan mikro-individual.
Relasi makro-struktural terkait dengan sistem ekonomi-politik neoliberal yang beroperasi dalam ranah sosietal masyarakat Indonesia sekarang. Neoliberalisme bukan sekadar agenda kebijakan pro-pasar, namun sebagai suatu proyeksi politik kelas berkuasa (borjuasi) untuk membangun tatanan masyarakat berbasis pasar. Dalam hal ini, relasi masyarakat dicacah-cacah menjadi sebatas individu yang berkonsumsi dalam pasar. Di sini tercipta relasi kompetitif antar individu yang mana tiap orang didorong untuk memuaskan hasrat konsumsinya masing-masing. Semenjak kompetisi-individual menjadi yang utama, setiap keterikatan hidup bersama (the common) melalui kolektivitas sosial harus dihancurkan. Karena ikatan hidup bersama ini berpotensi untuk mengancam kepentingan kelas berkuasa. Dengan argumen bahwa ikatan ini mendistorsi pasar maka subsidi negara harus ditarik, serikat pekerja harus dihancurkan (union busting), serta kerja kontrak dan outsourcing harus diperbanyak.
Situasi inilah menjadi pendasaran makro bagi fragmentasi gerakan rakyat, karena secara sosietal keterpecahan (dan fragmentasi) selalu memengaruhi gerak organisasi gerakan rakyat itu sendiri. Tidak heran jika kemudian kita menemukan banyak pengalaman dimana aktivis gerakan rakyat harus terjepit penghidupannya yang kemudian memaksanya untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Akibatnya perhatian untuk membangun agenda perlawanan bersama menjadi minim.
Relasi kedua yang ikut memengaruhi fragmentasi adalah relasi meso-institusional. Hal ini tampak pada tendensi perjuangan dalam organisasi gerakan sebagai suatu institusi, dimana perjuangan gerakan dibatasi pada advokasi berbasis isu-isu tunggal (single-based issues) tanpa ada kebutuhan untuk melihat keterkaitan politis antar tiap isu yang diperjuangkan. Tendensi ini harus dipahami secara kontekstual. Menurut saya, hal ini pada dasarnya muncul dari pengalaman perlawanan gerakan rakyat itu sendiri yang dihadapkan pada keras serta represifnya rezim otoritarian Orde Baru. Dengan menggunakan perjuangan advokasi berbasis isu tunggal, organisasi gerakan dapat membuka ruang pengorganisiran bagi mereka yang di marjinalisasi dalam pembangunan agar bisa memunculkan aspirasinya. Selain itu, pola ini juga melindungi serangan langsung aparatus negara karena klaim perlawanannya bukanlah politik, namun bersifat moralistis karena organisasi gerakan eksis sejauh ada isu sosial yang harus diadvokasi.
Akan tetapi, bentuk perjuangan gerakan seperti ini memiliki keterbatasan ketika dihadapkan pada iklim demokrasi liberal. Advokasi berbasis isu justru membuka kesempatan untuk dinegosiasikan dengan kelas berkuasa karena karakter parsial advokasi isu tunggal. Terhadap parsialitas ini, Airlangga Pribadi (2016) memberikan analisanya yang penting bahwa proses ini membuka ruang bagi penguasaan hegemonik kelas berkuasa terhadap gerakan rakyat. Disinilah kita kemudian menemukan banyaknya proses kooptasi agenda gerakan rakyat oleh kelas berkuasa.
Proses kooptasi ini bukan sekedar menciptakan fragmentasi aspirasi perjuangan, namun juga fragmentasi kepentingan. Dimana ada elemen dalam gerakan rakyat itu sendiri yang sudah terpengaruh oleh pola relasi kekuasaan yang dominan. Di titik ini kita menghadapi hambatan internal untuk mengusung agenda persatuan dalam gerakan karena adanya perbedaan kepentingan terkait bagaimana perlawanan terhadap kelas berkuasa dilakukan.
Relasi terakhir adalah relasi mikro-individual. Relasi ini sedikit banyak ikut memengaruhi pada sulitnya membangun agenda persatuan. Seringkali, karena dinamika perjuangan organisasi gerakan rakyat, perbedaan serta konflik muncul antar aktivis. Konflik-konflik ini, sayangnya, tidak mampu dikelola oleh organisasi yang dengannya justru menciptakan friksi subjektif yang menajam antar individu aktivis. Hal inilah yang kemudian menciptakan pola relasi interaksi yang penuh dengan ketidak-percayaan, bahkan kebencian, di antar sesama aktivis gerakan. Karena ketidakpercayaan ini, komunikasi di antara aktivis gerakan rakyat menjadi tersendat untuk membicarakan secara agenda persatuan. Implikasi praktisnya, tentu saja, dipertahankannya situasi fragmentatif dari perjuangan organisasi gerakan rakyat yang ada.
Apa yang harus Dilakukan?
Fragmentasi gerakan rakyat tidak jatuh dari langit. Ada kondisi sosial yang dimungkinkan untuk diubah secara kolektif jika ia dipahami secara riil oleh gerakan rakyat itu sendiri. Yang diperlukan kemudian adalah perumusan secara strategis bagaimana kondisi material yang menyebabkan fragmentasi gerakan rakyat ini dapat diatasi.
Bagi saya, secara politik, posisi politik yang kemudian harus diacu oleh siapapun yang bersepakat untuk membangun persatuan adalah dengan membangun program minimum. Titik berangkat untuk pembangunan program minimum adalah mengakui bahwa perbedaan pandangan tentang perjuangan tidak terelakkan. Namun dalam setiap pandangan terdapat posisi yang sama yang mampu mengatasi perbedaan yang ada. Persamaan posisi ini harus kemudian menjadi pengikat atas gerakan persatuan ke depan. Disinilah subjektivitas individual yang tidak memiliki dasar politis dapat diatasi
Namun patut dicatat bahwa program minimum ini harus pula mempertimbangkan relasi sosial yang telah berkembang dalam tubuh gerakan rakyat itu sendiri. Persatuan perjuangan harus memiliki garis yang tegas dengan pola kekuasaan yang domnan. Hal ini menuntut adanya penyaringan politis dalam proses persatuan, dimana elemen internal gerakan yang telah terkooptasi oleh kelas berkuasa harus dapat ditundukkan; jika tidak ingin dikatakan dihancurkan sama sekali. Tanpa adanya keberadaan kekuatan gerakan rakyat yang independen dari kelas berkuasa, mustahil ada program perjuangan yang koheren dalam memenangkan agenda politik kerakyatan itu sendiri.
Dalam program minimum harus pula melakukan tantangan atas struktur ekonomi politik neoliberalisme. secara khusus, yang harus diacu dalam perlawanan terhadap neoliberalisme adalah mendorong kebijakan yang menciptakan kondisi sosial untuk hidup bersama. Keberhasilan untuk memenangkan agenda anti neoliberal bukan hanya menciptakan ruang kemungkinan yang memperkecil sekat fragmentasi antar gerakan, namun ia juga berpotensi untuk memperdalam kontradiksi kelas yang berguna untuk perjuangan besar menuju sosialisme.
Penutup
Identifikasi akan penyebab ini setidaknya memberikan petunjuk bahwa fragmentasi gerakan rakyat bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah. Pengungkapan atas kondisi-kondisi yang menyebabkan fragmentasi memberikan kita kemungkinan perihal bagaimana situasi ini dapat diubah. Yang harus ditekankan kemudian adalah ia memerlukan determinasi serta keinginan yang kuat untuk mengubahnya. Di sini, sikap tak berdaya atau biasa disebut sebagai kekalahan-isme (defeatism) harus ditolak sekuat-kuatnya. Karena pada dasarnya sikap seperti itu tidak lebih sebagai suatu pengkhianatan bagi agenda politik emansipasi di Indonesia.***
Penulis adalah Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)