Politik Dalam Makna Progresif
MAKNA politik sering diputar dan diubah tergantung dengan situasi dan kondisi tertentu oleh orang yang berkepentingan terhadapnya. Makna politik tergantung oleh orang-orang yang berbicara politik di media televisi, media sosial, akademisi, ataupun aktivis gerakan. Sering saya mendengar anak muda menganggap politik dalam makna yang “kotor” dan “najis,” sehingga mereka apolitis terhadap segala macam isu yang berbau politik. Sementara, saya juga sering mendengar para politikus kita mereduksi makna politik sedemikian parah, hanya menjadi ajang pertarungan kekuasaan dan mencari keuntungan finansial melalui jabatan tertentu. Kemudian saya juga sering mendengar para aktivis gerakan yang paham akan politik, namun tidak tertarik untuk membangun kekuatan politik yang konkrit untuk mengubah keadaan yang dekaden pada saat ini.
Persoalan utama bangsa ini bukan hanya banyaknya pejabat yang korupsi, atau banyaknya penjahat yang menjarah kekayaan negeri ini, ataupun kurangnya warga negara dalam memahami nasionalisme. Salah satu persoalan utama bangsa ini adalah kurangnya kesadaran pemuda untuk membangun kekuatan politik nasional berbasis gerakan sosial, seperti yang sudah pernah dilakukan oleh generasi pemuda sebelumnya. Misalnya, oleh generasi pemuda tahun 1920-an yang dimotori oleh Soekarno, Syahrir, Hatta. Kemudian, generasi pemuda tahun 1945 seperti Wikana, Aidit, Njoto. Lalu, generasi pemuda tahun 1998 seperti Budiman Sudjatmiko, Wiji Thukul, Nezar Patria. Pemuda di masa lalu sangat aktif dalam percaturan politik nasional. Mereka mampu membangun partai besar, seperti PNI, PSI, PKI, dan PRD. Itu merupakan contoh bagaimana partisipasi politik pemuda merupakan hal yang mutlak penting guna mendorong perubahan sosial yang progresif bagi kemajuan bangsa.
Kita semua tahu bahwa percaturan politik nasional di Indonesia hanya dikuasai oleh elit oligarki dan sisa-sisa Orde Baru yang orientasi politiknya hanya mencari proyek di pemerintahan serta mendapatkan kue dari penjualan aset-aset sumber daya alam di Indonesia. Sudah banyak akademisi yang melakukan kritik terhadap realitas ini, seperti Jeffrey Winters, Richard Robison, Benedict Anderson dan Vedi Hadiz. Namun, apabila realitas ini dianggap lumrah dan wajar, serta tidak ada kekuatan sosial yang dapat mengubahnya, itu merupakan keadaan berbahaya yang harus segera dipecahkan oleh pemuda. Tidak ada cara lain untuk mengubah hal itu kecuali dengan membangun kekuatan politik baru yang terwujud dalam bentuk Partai Politik untuk Pemilu nasional. Tentunya, image partai politik begitu buruk bagi pemuda saat ini, dan politik merupakan sesuatu yang “najis” yang harus segera dijauhi. Namun, kita tidak boleh naif dalam berpikir dan bertindak. Segala kebijakan publik dan nasional adalah produk politik yang di dalamnya partai-partai politik memainkan peran sebagai pembuat kebijakan. Semua kebijakan di negara ini tergantung pada konsesi politik di antara partai-partai.
Ketika pemuda tidak lagi memainkan perannya sebagai kekuatan politik nasional, maka negara ini hanyalah “labirin” bagi partai-partai predator dan elit oligarki yang meraup keuntungan finansial dan membiarkan rakyat Indonesia tetap miskin-kelaparan. Walaupun politik mempunyai makna “baik” dan “buruk” secara moralitas, namun di luar makna baik dan buruk, kita tetap butuh berpolitik karena politik merupakan inti dari semua pengaturan kebijakan negara. Baik kebijakan pendidikan, kebudayaan, ekonomi, sosial, agama, hubungan luar-negeri ditentukan oleh proses politik. Maka dari itu, sudah saatnya pemuda ikut merancang berbagai strategi dan perjuangan untuk membangun partai politik baru yang mampu bersaing dalam kancah politik nasional.
Partai Politik Baru dan Gerakan Sosial Sebagai Jawaban Atas Pesimisme Publik
Tentunya akan ada banyak pertanyaan dari publik atas wacana yang saya tulis di sini. Saya akan menjelaskannya satu-persatu agar publik memahami pentingnya partai politik baru yang dibangun oleh kekuatan pemuda dan elemen gerakan sosial untuk mewujudkan transformasi sosial yang progresif bagi rakyat Indonesia.
Kenapa pemuda harus membangun partai politik baru? Setelah 17 tahun pasca reformasi, sejak PRD terpecah menjadi beberapa faksi dan tersingkir dari percaturan politik di parlemen, pemuda tidak mempunyai wadah dalam partai politik. Kegagalan ini seharusnya bukan menjadi contoh buruk bagi pemuda, namun sebagai pengalaman historis untuk kembali membangun basis massa dengan belajar dari kekurangan-kekurangan PRD di masa lampau. Seharusnya kegagalan itu menjadi sarana pembelajaran bagi generasi muda saat ini untuk tidak takut bertarung lewat jalur partai. Ada survei yang menarik dari Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia bahwa 80 persen kursi parlemen di senayan dikuasai oleh para pengusaha, pebisnis, dan bagian dari elit partai, sementara 20 persen diisi oleh sanak saudara dari elit partai dan sebagian kecil mantan aktivis gerakan sosial serta akademisi. Kita bisa membayangkan bagaimana pertarungan politik di parlemen yang sangat timpang. Bagaimana mungkin anggota parlemen dapat membuat Undang-Undang dan kebijakan yang membela rakyat miskin, sementara mayoritas yang duduk di parlemen diisi oleh kelas sosial menengah-atas, yang menurut Max Weber, secara sosiologis selalu ingin menjaga status quo dan kemapanannya. Tentunya kebijakan-kebijakan dan pembuatan UU hanya untuk menjaga kekayaan, sumber daya materiil dan keuntungan kelas menengah-atas.
Oleh sebab itu, tidak ada cara lain kecuali meramaikan pertarungan politik di parlemen melalui jalur partai politik untuk mengubah ketimpangan ini. Soekarno berhasil membangun PNI menjadi kekuatan politik nasional karena ia mampu memobilisasi gerakan sosial dan pemuda menjadi satu-kesatuan dari partai. Partai menjadi saluran yang mutlak karena di lembaga inilah semua kebijakan menyangkut rakyat diputuskan. Kemudian PKI di bawah D.N. Aidit berhasil membangun partai yang mayoritas diisi oleh anak muda, yang mampu bersaing di Pemilu 1955 hingga berada di peringkat keempat untuk mengisi parlemen dan jabatan negara. Keberhasilan PNI dan PKI dalam membangun gerakan sosial kerakyatan yang diinisiasi oleh pemuda, menjadi bukti bahwa tidak ada kebijakan progresif tanpa adanya partai politik pemuda yang progresif. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemuda menyadari potensi besar untuk mengubah Indonesia ke arah yang lebih baik dengan membangun partai politik baru.
Mengapa kita harus secepatnya mengonsolidasikan kekuatan pemuda untuk bersaing dengan partai-partai oligarki? Pada Pemilu 2014, banyak kelompok gerakan sosial yang ramai mendukung Jokowi sebagai presiden tandingan untuk melawan elit oligarki. Dengan segudang harapan dan cita-cita yang dititipkan kepada Jokowi, rakyat seakan-akan menemukan orang yang polos dan berperilaku merakyat ini akan membela kepentingan wong cilik. Namun apa daya, kita semua tahu bahwa di sekeliling Jokowi terdapat elit oligarki dan sisa-sisa Orde Baru yang tujuan politiknya berbeda dengan agenda kerakyatan gerakan sosial. Hal itu terbukti ketika pemilihan menteri ataupun pembuatan kebijakan negara, para elit oligarki lebih aktif untuk bermain proyek pemerintahan ketimbang serius merealisasikan agenda-agenda progresif gerakan sosial.
Sebaik apapun orangnya, ketika ia bekerjasama dengan elit oligarki, ia akan tersandera dalam kepentingan bagi-bagi kekuasaan. Pemilu 2014 menjadi pembelajaran yang berharga untuk aktivis gerakan sosial dan pemuda bahwa jalan satu-satunya untuk memenuhi agenda kerakyatan adalah membuat partai politik baru yang terdiri dari berbagai elemen gerakan sosial, seperti gerakan feminisme, gerakan buruh, gerakan petani, gerakan mahasiswa, gerakan lingkungan hidup, gerakan HAM, dsb. Mereka perlu bersatu padu membangun konsolidasi yang besar dan merumuskan partai politik baru yang berjuang secara independen dan menolak bekerja sama dengan elit oligarki. Bertarung melawan partai oligarki dengan partai progresif adalah lebih rasional ketimbang kita hanya berharap pada sosok individu yang dianggap sebagai penjelmaan “Ratu Adil,” yang hanya ada dalam mistisisme. Lebih baik berjuang sampai titik penghabisan daripada menyerah melihat kenyataan yang pahit ini. Hal itu bisa dimulai dengan pembangunan jaringan antar elemen gerakan sosial di pelbagai daerah untuk melakukan sosialisasi partai dan pengadvokasian masalah sosial masyarakat.
Permasalahan klasik yang dihadapi gerakan sosial di Indonesia adalah ego sektoral dari berbagai elemen gerakan yang melakukan kerja-kerja sosial, namun tidak berjejaring luas dengan elemen gerakan yang lain. Oleh sebab itu, saya mempunyai konsep bahwa partai politik dan gerakan sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Gerakan politik parlemen tidak boleh terpisah dari gerakan sosial masyarakat. Hal itu pernah dilakukan oleh PNI dan PKI, yang terbukti berhasil memperoleh kepercayaan masyarakat. Apalagi di zaman ini, teknologi dan informasi begitu canggih sehingga lebih mudah bagi pemuda untuk saling berjejaring dan membangun partai ketimbang generasinya Soekarno dan Aidit yang belum merasakan kemajuan teknologi dan informasi seperti saat ini. Membangun partai politik baru merupakan syarat mutlak yang harus kita lakukan. Oleh sebab itu, mari bersama-sama, bergotong royong, berjuang dalam agenda kerakyatan dan percaya diri membangun partai untuk bertarung dengan partai-partai oligarki. Ini dunia, bukan surga! Semuanya butuh perjuangan dan pergulatan sosial untuk memperoleh kemenangan, demikian kata Pramoedya Ananta Toer.
Belajar dari pengalaman generasi pemuda sebelumnya dan menggunakannya sebagai basis teori maupun praksis gerakan saat ini tentunya bukan hal yang utopis. Namun, kita juga harus mengelaborasi cara-cara baru dan belajar dari kesalahan di masa lalu. Hal itu bukan berarti saya memuja atau meromantisir masa lalu ataupun individu-individunya. Kata Nieztche, manusia terserak-serak karena terlalu “membaikkan” masa lalu dan “mencemooh” masa sekarang. Tetapi, belajar dari masa lalu lebih baik ketimbang tidak belajar sama sekali, dan itulah yang harus kita lakukan saat ini. Kita harus membangun partai politik baru yang tidak terpisah dari gerakan sosial dari bawah untuk membuka peluang ikut dalam percaturan politik nasional melalui Pemilu.***
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNY dan Pegiat Komunitas Mazhab Colombo
Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Qureta, 18 September 2016. Dimuat kembali di sini untuk tujuan Pendidikan.