MOMEN kontestasi Pilkada DKI kini memasuki putaran yang makin garing, yakni bergulirnya kembali sentimen SARA setelah sebelumnya tertimbun oleh isu ketidakadilan sosial dan diskriminasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI terhadap rakyat miskin.
Mencuatnya isu SARA yang merupakan bagian dari Politik Identitas ini, membuat kontestasi Pilkada ini lebih mengutamakan emosi ketimbang rasio. Tidak ada diskusi kritis lagi mengenai program-program seperti apa yang ditawarkan oleh para kandidat, tetapi seberapa persuasif para kandidat ini mengulik-ulik emosi calon pemilihnya. Bukannya mempertanyakan, “bagaimana membangun DKI yang bersih dan efisien tanpa harus menggusur rakyat miskin”, atau “bagaimana menjadikan DKI sebagai rumah bagi semua lapisan sosial masyarakat, bukan hanya bagi kalangan yang berduit dan berkuasa”, atau “bagaimana membangun kota yang partisipatif,” atau “bagaimana membangun sistem transportasi yang lancar dan nyaman”, dst, dst.
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan saja memaksa para kandidat untuk berpikir secara serius, tetapi juga menuntut para calon pemilih turut berpikir serius. Sementara isu SARA, jelas tidak membutuhkan keseriusan seperti itu.
Tetapi menyesalkan bergesernya isu kampanye ke isu SARA tidak menyelesaikan masalah. Apalagi hanya dengan menghimbau agar supaya para kandidat dan tim horenya tidak memanfaatkan isu ini untuk kepentingan mereka. Yang lebih mendesak adalah, adakah alternatif di luar politik identitas yang seperti mengepung kita dari semua sisi ini?
Kami secara tegas menolak Politik Identitas ini, dan sebagai alternatifnya kami menawarkan Politik Kelas. Dan inilah penjelasannya. Sederhananya, kalau ditanya apa kebutuhan paling mendasar manusia? Jawabannya adalah kebutuhan untuk bertahan hidup (survive). Dan untuk bisa bertahan hidup, hal paling mendesak dan mendasar yang dibutuhkan adalah kebutuhan untuk makan, pakaian dan perumahan. Jawaban ini, kata psikolog Abraham Maslow, adalah kebutuhan dasar/primer (basic needs), sebelum kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan psikologis dan kebutuhan pemenuhan diri sendiri. Dengan kata lain, sebelum kita butuh bahasa, musik, seni, agama, dan ilmu pengetahuan, kebutuhan-kebutuhan dasar ini dulu yang harus dipenuhi.
Karena itu, seluruh pergulatan hidup manusia dari beragam ras, etnis, warna kulit, agama, bangsa, dan bahasa yang berbeda dipersatukan oleh tujuan untuk mempertahankan hidupnya: untuk makan, berpakaian, dan tempat tinggal. Pada satu masa, pemenuhan kebutuhan hidup mendasar itu diusahakan dan untuk kepentingan hidup bersama. Lalu muncul situasi sejarah dimana pemenuhan kebutuhan mendasar itu tidak digunakan untuk kepentingan hidup bersama. Masyarakat kemudian tercacah-cacah di antara mereka yang menguasai dan yang dikuasai, dan yang tidak atau sedikit memiliki akses terhadap kemakmuran dan mereka yang memiliki lebih banyak atau menguasai akses terhadap kemakmuran. Dalam masyarakat kapitalis dimana kita hidup sekarang, masyarakat terbagi dalam dua kelas besar, yakni mayoritas yang harus menjual tenaga kerjanya untuk bisa hidup dan minoritas yang menguasai alat-alat produksi.
Keterbelahan sosial inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kelas-kelas sosial. Inilah pembelahan sosial yang paling mendasar dan paling menentukan dalam masyarakat, karena berjangkar pada soal pemenuhan kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Ketika masyarakat telah terbelah ke dalam kelas-kelas, maka perjuangan paling utama adalah bagaimana mengusahakan terwujudnya kondisi sosial dimana kebutuhan mendasar manusia tersebut bisa diakses secara merata oleh semua orang. Sehingga kita tidak lagi melihat ada segelintir orang yang hidupnya bergelimang harta sehingga ia bisa merealisasikan seluruh potensi-potensi kemanusiaannya, sementara mayoritas orang hidupnya papa sengsara, dimana kebutuhan utamanya dan hidupnya hanya berkisar pada “apa yang bisa kita makan hari ini.” Inilah yang disebut perjuangan kelas.
Dalam wujudnya yang konkrit, perjuangan kelas ini mengambil bentuk yang berbeda-beda. Ibu-ibu pegunungan Kendeng yang mempertahankan tanah dan alamnya dari serobotan pihak korporasi, adalah bentuk perjuangan kelas itu. Aksi massa ForBali yang mempertahankan kelestarian Teluk Benoa melawan kepentingan korporasi, adalah bentuk perjuangan kelas. Warga Bukit Duri yang mempertahankan hak hidupnya dari penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI, adalah bentuk perjuangan kelas. Masyarakat Adat yang melawan agresi perusahaan tambang dan perkebunan, adalah bentuk perjuangan kelas. Kaum buruh yang menuntut kenaikan upah, tunjangan pensiun dan perbaikan kondisi kerja dalam pabrik, adalah bentuk perjuangan kelas. Warga yang menuntut jaminan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang murah dan berkualitas, adalah bentuk perjuangan kelas. Rakyat Papua yang menuntut hak menentukan nasib sendiri dari Indonesia karena penindasan yang dilakukan pemerintah selama ini, adalah bentuk perjuangan kelas.
Perjuangan kelas juga mewujud ketika korporasi dengan segala cara berusaha memperpanjang jam kerja, menekan upah buruh serendah-rendahnya, memberlakukan sistem kerja fleksibel. Juga ketika korporasi membiayai para politisi untuk memfasilitasi dan mengamankan kepentingan bisnisnya, Juga ketika mereka membiayai para intelektual untuk menghegemoni kesadaran rakyat miskin bahwa kemiskinan itu adalah pengaruh kultural. Atau juga ketika individu korporasi berkompetisi dengan individu korporasi yang lain untuk memenangkan penguasaan pasar.
Begitu mendasarnya perjuangan kelas ini, maka segala macam cara dilakukan oleh kelas berkuasa (secara ekonomi dan politik) untuk membungkamnya. Itu sebabnya, kelas berkuasa sebenarnya tidak takut dengan adanya kelas-kelas sosial, karena itu adalah realitas sehari-hari yang tampak di depan mata. Yang mereka takutkan adalah jika perjuangan kelas itu muncul terbuka ke permukaan. Sebab itu artinya mayoritas rakyat yang tidak memiliki akses terhadap kemakmuran atau yang terancam kehilangan sumberdaya yang mereka miliki mulai memiliki kesadaran untuk melawan ketidakadilan yang menimpanya.
Bentuk-bentuk pembungkaman yang dilakukan kelas berkuasa bisa dalam rupa kekerasan bersenjata, pengunaan kelompok-kelompok paramiliter atau yang kita kenal sebagai preman, serta ancaman pidana penjara. Bisa juga dalam bentuk lunak melalui pengarusutamaan Politik Identitas, dan yang saat ini paling mudah adalah dengan menggunakan isu-isu keagamaan.
Dengan pengarusutamaan isu-isu identitas ini, maka tuntutan rakyat bukan pada mengubah struktur kepemilikan yang timpang, melainkan tuntutan akan pengakuan bahwa identitasnyalah yang superior dibanding identitas lainnya. Bukan menentang kebijakan penggusuran rakyat miskin di DKI, tapi berlomba menjadi penafsir paling benar atas ayat-ayat suci. Konsekuensinya, mereka tidak peduli bahwa dalam identitas yang sama itu sesungguhnya tidak pernah benar-benar sama, karena di sana ada yang tidak memiliki akses pada kemakmuran dan ada yang menguasai sumberdaya kemakmuran itu. Itu sebabnya, kita jarang menemukan bahwa mereka yang mengusung politik identitas ini mempertanyakan tindakan pemerintah dan korporasi yang merugikan atau menindas rakyat banyak. Kalau toh ada pemihakan, maka pemihakan itu bersifat parsial, yakni menyasar pada kelompok yang memiliki identitas yang sama dengannya.
Sederhananya, Politik Kelas konfrontasinya bersifat vertikal, yakni melawan kelas berkuasa dan kebijakan-kebijakannya yang menindas rakyat miskin yang mayoritas. Sementara Politik Identitas konfrontasinya bersifat horizontal, melawan sesamanya yang sama-sama ditindas oleh kelas berkuasa. Karenanya “mari kita tinggalkan Politik Identitas ini dan memajukan Politik Kelas”.***