Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto (kerja.pembebasan)
KULONPROGO merupakan salah satu wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terletak di wilayah selatan Samudra Hindia. Awal mula lahirnya Kulonprogo tidak terlepas dari peristiwa penyerangan Raden Trunojoyo ke kerajaan Mataram yang kala itu dipimpin oleh Amangkurat I.
Peristiwa penyerangan itu terjadi sekitar tahun 1674, dengan kekalahan di kubu kerajaan Mataram. Amangkurat I pun melarikan diri dan meminta bantuan ke Belanda. Karena wilayah Mataram yang kosong, maka dipimpinlah oleh Adipati Anom yang kala itu mendeklarasikan dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar Amangkurat II. Tak lama berselang, raja baru ini kemudian berhasil menundukkan pemberontakan Tronojoyo melalui bantuan Bupati Ponorogo dengan pasukan khusunya para Warok. Keberhasilan penumpasan disambut dengan pemberian hadiah istimewa kepada Warok, berupa lahan yang berada di sebalah barat kraton Mataram. Wilayah tersebut kemudian diberi nama Kulon Ponorogo lalu berubah menjadi Kulon Progo.
Seiring bergantinya kepemimpinan kerajaan Mataram, belum terusik secercak nasib Kulon Progo. Hingga tiba pada suatu masa lahirlah sebuah perjanjian Giyanti yang melibatkan VOC dan kerajaan Mataram pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut melahirkan beberapa kesepakatan, diantaranya adalah pembagian wilayah Mataram menjadi dua bagian, yakni wilayah di sebelah timur dan wilayah sebelah barat, yang selanjutnya menyebabkan kerajaan pecah menjadi dua bagian. Lebih jelasnya, untuk wilayah Kali Opak-melintasi daerah Prambanan dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) yang berkedudukan di Surakarta. Adapun untuk bagian wilayah di sebelah barat – wilayah pusat kerajaan Mataram yang sesungguhnya, diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta.
Jika kita menelisik lebih dalam akan Perjanjian Giyanti 1755 sebagai asal-usul Kasultanan dan Perjanjian Paku Alam-Rafles 1813 sebagai asal-usul Pakualaman, sebenarnya tidak ada sama sekali yang menyebutkan bahwa Kraton adalah pemilik sah dari seluruh tanah di wilayah DIY. Kedua perjanjian tersebut justru menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta (1755-1945) dan Kadipaten Pakualaman (1813-1945) adalah Badan Hukum Swapraja Feodal, berada di bawah kedaulatan Pemerintah Kolonial, tunduk pada Hukum Kolonial (Rijksblad), dan sejak semula tidak pernah memiliki tanah, sehingga tidak pernah mewariskan tanah
Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Pada tahun 1961, bekas tanah-tanah swapraja telah menjadi objek Reforma Agraria (landreform) melalui PP No 224 /1961. Kemudian Pada 1984, melalui Keputusan Presiden 33/1984 tentang Pemberlakuan UUPA sepenuhnya di DIY, diterbitkan karena desakan Sri Sultan HB IX (Kepala Daerah) dan DPRD, aturan ini pun mulai berlaku sejak 1 April 1984.
Selain itu, hal yang juga tidak bisa dilewatkan adalah adanya dinamika politik yang tercatat dalam serpihan sejarah ihkwal penerbitan Keputusan Presiden. Yakni diterbitkanya Perda DIY No 3 Tahun 1984. Melalui Kemendagri No 66/1984 dan Perda DIY No 3/1984 yang isinya menghapuskan Rijksblad-rijksblad yang jadi dasar hukum Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Bisa diartikan bahwa sejak 1984, secara resmi dan atau bisa diastikan jika sudah tidak ada SG/PAG lagi di DIY. Bukti bahwa SG/PAG tidak berlaku kemudian diterbitkanya sertifikat hak milik dari tanah dari letter C/D/E yang pada tahun 1918 tidak bersertifikat.
Ketika SG dan PAG sudah dinyatakan tidak berlaku oleh HB IX, banyak warga di wilayah pesisir Kulonprogo dan sekitarnya kemudian membuka lahan baru, yang awalnya merupakan alas dan semak- semak tak berpenghuni. Tak hanya itu, banyak warga juga yang mendiami wilayah pesisir mulai bercocok tanam, karena melihat lahan kosong tak berproduksi. Maka rakyat itu kemudian menyulap lahan kosong tersebut menjadi lahan pertanian untuk menunjang kehidupan masyarakat.
Namun apa yang terjadi saat ini? Di wilayah Kulonprogo hampir seluruhnya diklaim sebagai tanah SG dan PAG melalui produk Undang-Undang Kesitimewaan nomor 13 tahun 2012 yang dilahirkan kembali sebagai sebuah upaya untuk menguasai tanah di seluruh DIY. Hal tersebut bisa dilihat dari pasal- pasal yang mempunyai kekuatan besar dalam menghidupkan kembali roh tanah Sultan dan Pakualaman, di antaranya pasal 5, 7, 32 dan 33 yang menyatakan jika semua tanah yang ada di DIY adalah milik Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman. Tidak sampai di situ, Sultan HB X juga pernah dengan tegas mengungkapkan jika di DIY tidak ada tanah Negara.
Hal inilah kemudian menjadi titik awal munculnya konflik agraria dengan desa-desus polemik hak atas tanah yang kini diklaim oleh kasultanan dan Kadipaten Pakualaman melalui legitimasi UUK dengan simbol-simbol (SG) dan (PAG).
Jika memang dalih-dalih Sultan adalah tinjauan historikal “sejarah kerajaan”, maka harusnya tanah di Kulonprogo itu bukan lagi milik Sultan atau Pakualaman. Itu punya kerajaan Mataram dan kerajaan Mataram pun sudah memberikan hadiah kepada Warok yang berjasa atas penuntasan Raden Trunojoyo. Warok tersebutlah yang menempati tanah-tanah pemberian Amangkurat II untuk dihuni. Diperkuat lagi dengan penghapusan SG dan PAG oleh HB IX. Sehingga tanah di atas tanah yang kini diduduki warga Kulonprogo sebenaranya tidak ada hubunganya dengan Sultan Ground dan Pakualaman Ground.
Perlawanan Petani di Kulonprogo
Setelah kurang lebih 20 tahun berlalu, gerakan tani kembali bangkit sebagai aktor yang memainkan peran penting dalam menggerakkan sektor-sektor pertanian lokal. Para petani berdiri di garis terdepan untuk melakukan perlawanan terhadap rezim kapitalis-neoliberal. Seperti halnya yang dilakukan oleh gerakan-gerakan petani di Brazil.
Upaya- upaya perlawanan terus mengelora, bak riak gelombang ombak yang berderu dari hari ke hari. Tak pernah surut, apalagi behenti. Hal ini menjadi pertanda jika amuk gerakan petani berbasis lokal memang menjadi motor penggerak. Mereka (kaum tani) ini secara serentak melakukan mobilisasi massa, kemudian melakukan pendudukan atas tanah yang mereka inginkan. Seperti yang dilakukan oleh MST (buruh tani yang tak bertanah di Brazil), kemudian gerakan petani di Bolivia dan daerah sekitarnya yang berhasil menurunkan penguasa yang korup dan bahkan mampu melawan rezin perdangan bebas yang diciptakan oleh Negara Adidaya-Amerika.
Sampai saat ini cara-cara yang dirasa masih efektif dari perjuangan petani dengan basis lokal ialah melakukan tindakan turun langsung ke jalan melalui aksi massa dan menyuarakan suara-suara yang diresahkan oleh petani. Banyak di antara mereka memlih jalan turun langsung ketimbang mengupayakan sistem elektoral yang, bagi petani, tidak akan menyelesaiakn persoalan utama. Sebab tidak ada jalan lain, tipu-tipu muslihat kaum borjous sudah melekat diigatannya para petani. Ketika kaum tani sudah bergerak, maka jalan satu-satunya yang dapat mengubah tata sosial-kultural rakyat adalah dengan turun ke jalan, melakukan blokade, menduduki pemerintahan, dan kampanye langsung isu-isu yang diperjuangkan.
Selain itu, kaum tani yang berada di sektor desa pada khusunya, kini sudah banyak yang menyadari dampak yang diterima jika lahan produktif mereka diambilalih dan atau diubah menjadi sebuah lahan produksi yang jauh dari pekerjaan petani. Kesadaran kolektif tersebut kemudian mengonstruksi stigma perlawanan yang mengakar.
Di wilayah Kulonprogo yang sebagian warganya merupakan petani, riak-riak perlawanan sudah mulai diteriakkan untuk memperjuangkan hak atas petani sendiri. Kenapa itu dilakukan? Sebab ruang hidup petani sudah direbut oleh rezim penguasa yang sudah melahirkan kembali SG dan PAG.
Kelahirannya tersebut kemudian menuai kontroversi dan bahkan perlawanan dari rakyat sendiri. Betapa tidak, misi besar dari kelahiran bayi dengan mengklaim seluruh tanah di DIY sudah menyengsarakan rakyat. Warga yang menempati tanah mereka sejak dulu, kini mulai mendapatkan represi yang sangat tinggi dari pemerintahan. Mereka dipukul, ditendang, dirampas haknya bahkan ada yang sampai di penjara. Kemunculan SG dan PAG inilah yang menjadi muara dari lahirnya konflik agraria di DIY.
Menurut catatan Pemda DIY, tanah-tanah SG dan PAG yang berhasil diinventarisir pada 2014 lalu sebanyak 744 bidang, dengan rincian 166 bidang di Kota Jogja, 471 bidang di Bantul, 216 bidang di Kulonprogo, 54 bidang di Gunungkidul dan 137 bidang di Sleman.
Jika dibandingkan dengan tahun 2013, setahun setelah UU disahkan, DIY juga berhasil menginventarisasi 2.000 bidang di Gunungkidul, 1000 bidang di Bantul. Inventarisir tanah-tanah ini terus dilakukan oleh pemerintah sampai seluruh tanah berhasil dikuasai.
Proses penjarahan tanah besar-besaran yang dilakukan pihak kerajaan atas nama pemerintah ini kemudian menimbulkan keresahan rakyat. Ketenangannya diusik, ketentramannya diberangus, sumber kehidupanya dirampas.
Menyaksikan penderitaan yang kian hari kian menjadi-jadi, rakyat Kulonprogo kemudian membentuk gerakan sosial yang berorientasi hak atas tanah dengan misi melawan penguasa yang merampas tanah-tanah rakyat dengan cara feodalistik. Tak sampai di situ, mereka juga menyusun agenda-agenda perlawanan baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Maka pada 1 April tahun 2006, warga pesisir dari 4 kecamatan dan 10 desa membentuk Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLPKP), dengan misi menolak penambangan pasir besi yang dikelola oleh PT JMI yang kini sebagian sahamanya dikelola oleh keluarga Sultan HB X.
Perlawanan dengan aksi-aksi langsung kemudian diterapkan oleh gerakan petani di Kulonprogo, seperti menduduki kantor Lurah, kantor Bupati sampai Kantor Gubernur. Tidak berhenti di situ, gerakan petani ini kemudian melakukan kampanye besar-besaran di sepanjang jalan raya yang menjadi basis perjuangan mereka. Mereka juga tetap menanam walaupun lahan mereka akan digusur. Bagi warga PPLP “Menanam adalah Melawan”
Melihat reaksi petani yang kencang, pemerintah pada tahun 2014 kemudian mengkriminalisasi Tukijo, salah satu warga PPLP. Tak berselang lama ia kemudian ditangkap dan dicebloskan ke dalam penjara dengan masa kuruangan 3 tahun. Tidak sampai di situ, rezim monarki-fasis ini juga melakukan intimidasi yang kian kuat, agar petani menyerahkan tanahnya. Namun hal tersebut tidak menyurutkan proses perjuangan petani untuk terus berjuang. Sampai detik ini, PPLP terus melakukan perlawanan dengan misi mengembalikan hak yang sepenuhnya dimiliki oleh warga dan menolak penambangan pasir besi.
Tak hanya PPLP, Wahana Tri Tunggal (WTT) yang juga merupakan gerakan petani yang lahir atas luapan-luapan kebengisan sang Raja, juga melakukan perlawanannya. Misi utamannya jelas penolakan bandara internasional yang akan dibangun di atas lahan pertanian produktif warga seluas 634,5 hektar.
Rakyat yang sudah sejak dulu menanam, kini harus menerima kenyataan jika saat ini ada bahaya besar melanda. Pembangunan bandara akan menggusur 2.87 5KK dengan populasi 11.501 jiwa di 6 desa. Tak hanya itu, adanya bandara juga akan menghilangkan penghasilan pertanian sebanyak 30 ton semangka, 50 ton cabai, 7, 5on jagung dan 2500 buah melon permusim tanam dalam hitungan satu hektar tanah warga.
Akumulasi dari keresahan-keresahan rakyat itulah kemudian mengonstruksi pikiran rakyat untuk terus bertahan dan melawan. Hal ini selanjutnya menciptakan landasan perjuangan gerakan petani di Kulonprogo, sehingga mereka masih tetap konsisten berdiri di atas tanah mereka sendiri. Tak hanya itu, WTT dan PPLP juga merumuskan strategi dan taktik pelawanan yang konkrit untuk menolak SG dan PAG.
WTT dengan sikapnya tidak mengikuti semua agenda dari pemerintah yang berkaitan dangan bandara serta membangun propaganda berupa perayaan hari perjuangan untuk menstimulus perjuangan WTT. Pun hal yang sama dilakukan oleh PPLP, dimana mereka coba menyuarakan suara-suara rakyat dengan membuat pamflet-pamflet perjuangan menolak SG dan PAG di pinggir-pinggir jalan dan membangun jaringan solidaritas kepada seluruh warga yang terdampak penggusuran oleh rezim penguasa.
Kesamaan misi untuk menolak SG dan PAG menjadikan gerakan petani di Kulonprogo semakin kuat. Ditambah lagi dengan solidaritas dari Akademisi-NGO-aktivis, dan kaum miskin kota, sehingga membuat gerakan petani di Kulonprogo semakin merasakan kepercayaan diri untuk terus melakukan penolakan atas SG dan PAG.
Hidup manusia memang tidak ada yang abadi. Satu-satunya yang akan terus ada sampai keturunan yang akan datang hanyalah tanah. Jika tanah kaum tani sudah dirampas, maka jangan salahkan ketika gelombang perlawanan muncul dengan jumlah yang besar.
Lantas yang menjadi pertanyaan yang masih terngiyang-ngiyang dalam benak pikiran, apakah gerakan petani di Kulonprogo akan terus bertahan dan semakain kuat membendung serangan investor dan penguasa kapitalis-neoliberalis? Ataukah ini memang menjadi sebuah pertanda akan muncul Warok-Warok baru untuk melawan penguasa?
Bait lagu Dialita dalam album “Dunia Milik Kita” pada judul lagu ‘Salam Harapan’ mengingatkan kita akan perjuangan WTT dan PPLP yang gigih berjuang untuk merebut hak hidup mereka. Rakyat pasti akan menang. Yakinlah!!!
Bagai gunung karang di tengah lautan
Tetap tegak didera gelombang
Lajulah laju p’rahu kita laju
Pasti ‘kan capai pantai cita
Penulis aktif di lembaga Komunitas Penikmat Senja
Kepustakaan:
Sejarah dan Hukum Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Berita harian Jogja http://harianjogja.bisnis.com/read/20150807/1/2679/berapakah-luas-sultan-ground-dan-paku-alam-ground, 22 September 2016
Sejarah Kerajaan TrunoJoyo https://id.wikipedia.org/wiki/Trunojoyo, 22 September 2016
Rekam Jejak erjuangan Masyarakat Pesisir Kulonprogo:
https://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com/2011/02/10/rekam-jejak-perjuangan-masyarakat-pesisir-kulon-progo-versi-singkat/, 22 September 2016