Kredit ilustrasi pada www.kiaisemprul.blogspot.com
TEPAT satu tahun lalu, saya sempat menulis artikel berjudul “Strategi Alternatif Politik Elektoral (kiri)”. Di situ saya menyatakan perlunya melawan kekuatan oligarki melalui penggunaan kekuatan partai politik alternatif dalam arena politik elektoral, untuk merebut dan meraih kuasa atas peran distribusi sumber daya.[1] Setelah satu tahun berlalu, berbagai diskursus dan dinamika terjadi begitu cepat terkait perubahan struktur politik yang hendak dilakukan secara bertahap melalui regulasi kepemiluan. Sementara jaringan oligarki politik di Indonesia semakin mengonsolidasikan diri membangun struktur politik yang stabil, di sisi lain kalangan gerakan masih ragu dan berkutat pada pertanyaan ‘apa itu politik alternatif?’, ‘bagaimana strategi politik alternatif dilakukan?’, dan ‘kenapa harus partai politik alternatif?’ Tidak terasa waktu yang tersisa semakin terbatas dan sempit, yang membuat peluang transformasi gerakan sosial menjadi gerakan politik semakin menipis.
Untuk menakar hal tersebut, mari kita melihat apa yang sedang terjadi. Dinamika dan diskursus seperti apa yang ada terkait isu-isu krusial tentang pemilu menjelang pembahasan RUU Pemilu antara pemerintah dan DPR. Hal teknis bahkan cenderung prosedural dan legal formal terkait kepemiluan, tetap sangat berguna bagi strategi gerakan membangun partai politik alternatif dan menjadi peserta pemilu yang akan datang. Hutan politik elektoral dan berbagai perangkat aturannya begitu kompleks, tetapi hal tersebut harus diketahui dan underlying structure yang bekerja harus dipahami. Bagaimana dan untuk tujuan apa, aturan-aturan tersebut dibentuk.
Tidak banyak waktu yang tersisa bagi rakyat dan seluruh elemen gerakan sosial untuk menyelamatkan ruang dan nafas partisipasi politik rakyat serta menghadirkan partai politik alternatif sebagai peserta pemilu. Momentum dan titik krusialnya adalah pada pembahasan RUU Pemilu yang sebentar lagi akan masuk pada pembahasan bersama pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dan DPR. Jika kita menghitung mundur sesuai ketentuan UU, dimana proses tahapan dan persiapan dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu 2 tahun sebelum hari pemilihan, maka paling lambat Maret tahun 2017, UU Pemilu yang baru harus sudah disahkan.
Jika kita bandingkan pada tahun 2016, dua tahun pasca pemilu 2014, terdapat gagasan dan wacana yang hampir serupa dengan periode tahun 1973 dimana Orde Baru mulai menggagas fusi partai politik setelah pemilu tahun 1971. Pembentukan struktur politik yang tertib dan stabil dalam mendorong pembangunan ekonomi adalah ciri utama yang akan kembali dihadirkan saat ini. Pembahasan tentang hal ini lebih dalam bisa dilihat dalam artikel “Mencoba Orde Baru Sekali Lagi.”[2]
Rancangan UU Pemilu yang akan dibahas dan disahkan oleh pemerintah dan DPR untuk mengatur pemilu 2019 sangat berbeda dari sebelumnya, karena UU Pemilu kali ini merupakan sebuah proses penggabungan 3 (tiga) Undang-undang menjadi satu naskah Undang-undang. Ketiga UU yang selama ini terpisah yaitu UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD, dan UU No.15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu hendak disatukan menjadi satu kitab UU Pemilu (penyatuan ini kerap disebut kodifikasi atau simplifikasi).
Saya akan coba membagi artikel ini dalam dua bagian. Pertama akan membahas hal-hal penting dan isu-isu krusial tentang rancangan Undang-undang Pemilu, terutama terkait ide dan strategi dari pihak-pihak yang ingin mengonsolidasikan kekuatan oligarki di Indonesia. Bagian kedua akan membahas konsekuensi bagi gerakan serta langkah antisipasinya.
Isu-isu Krusial dalam Rancangan Undang-undang Pemilu Sebagai Upaya Konsolidasi Kekuatan Oligarki
Pertama, upaya penguatan sistem presidensial. Para elit politik tengah berkolaborasi untuk memuluskan wacana ini melalui beberapa instrumen perekayasaan struktur politik (UU Pemilu dan UU Partai Politik). Saat ini, melalui berbagai opini sejumlah ahli tata negara dan ahli politik, pandangan masyarakat diarahkan pada pentingnya menghadirkan pemerintahan yang kuat dari hasil pemilu untuk mewujudkan stabilitas politik dalam mendukung agenda pembangunan. Argumentasinya adalah pemerintah yang terbentuk dari hasil pemilu selama ini tidak efektif, karena kerap harus melakukan negosiasi politik dengan kekuatan partai politik agar dapat menguasai mayoritas parlemen. Penguasaan di parlemen (DPR) dianggap penting untuk memuluskan program-program pemerintah terutama dalam proses legislasi dan budgeting. Kerinduan akan stabilitas politik di era Orde Baru dengan model akselerasi pembangunan jangka panjang tengah ditindaklanjuti melalui upaya-upaya nyata yang dilakukan secara sistemik.
Kita semua paham formula yang digunakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, selalu dan akan selalu memilih strategi membagi kursi kabinet untuk partai pendukung pemerintah maupun mengimingi oposisi untuk bergabung di kabinet agar di parlemen memiliki kekuatan suara dan kursi mayoritas. Argumentasi ini tentu sah saja, menjadikan pemerintah kuat dan efektif nampak tidak ada salahnya. Tetapi hal yang lebih penting bukan hanya memperkuat salah satu pihak antara eksekutif atau legislatif, yang justru utama adalah menghadirkan balance of power. Dibalik itu semua, wacana penguatan sistem presidensialisme hanyalah pintu masuk bagi strategi-strategi penguatan oligarki politik di Indonesia. Hal ini terlihat dari konsekuensi dan pilihan yang mengikuti untuk mewujudkan pemerintah yang kuat dan efektif tersebut. Pilihan yang hendak ditempuh oleh para elit politik adalah perekayasaan sistem pemilu (pada pembahasan RUU Pemilu tahun 2016) dan kepartaian (Revisi UU Partai Politik pada tahun 2017 yang akan datang).
Untuk mendorong penguatan sistem presidensial, pilihan yang akan dilakukan adalah penyederhanaan partai politik atau mudahnya, pengurangan jumlah partai politik di parlemen (DPR).
Kedua, upaya penyederhanaan partai politik atau upaya mengurangi jumlah partai politik di parlemen memiliki sejumlah langkah perekayasaan, yang hendak dilakukan antara lain: mempersulit syarat pendirian partai politik melalui Kemenkumham (yang memang sudah sulit dan berbiaya mahal[3]); mempersulit syarat partai politik yang ada menjadi peserta pemilu (yakni merubah syarat memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota menjadi 100% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan di tiap kabupaten kota dengan memastikan adanya kantor kepengurusan); menaikkan electoral dan parliamentary threshold untuk menyaring partai politik yang bisa ikut pemilu maupun mendapatkan kursi di parlemen, dengan menetapkan ambang batas minimal perolehan suara dalam pemilu lebih tinggi dari 3,5%, yaitu menjadi 7-10%; mengganti sistem penghitungan suara dan konversi kursi melalui metode kuota yang saat ini menguntungkan partai kecil menjadi sistem penghitungan dengan metode D’hondt yang menguntungkan partai besar; hingga mendorong argumentasi irasional sekaligus lucu (setidaknya dari beberapa ahli politik) yang mengatakan bahwa ideologi yang eksis di Indonesia hanya tiga yakni nasionalis, agama (religius), dan developmentalism (modern). Oleh karena itu, partai cukup berjumlah 6 dengan argumen jumlah ideologi yang ada, yakni tiga yang disebutkan tadi dikali 2.
Para elit politik ini berharap jumlah partai yang sedikit di parlemen akan memudahkan negosiasi politik pemerintah yang berkuasa, karena tidak harus berurusan dengan banyak partai politik. Sebenarnya langkah ini bisa diidentifikasi sebagai upaya oligarki politik mengonsolidasikan diri dalam menguasai sumber daya negara. Karena sedikitnya jumlah atau kuantitas partai politik tidak akan menghilangkan kecenderungan bernegosiasi politik untuk menguasai parlemen (tanpa basis platform, identitas, dan kepentingan ideologi). Partai politik yang ada saat ini tidak berbeda satu sama lain, sehingga jumlah menjadi tidak penting, apakah itu 10 ataupun hanya 5 partai politik di parlemen, bahkan ketika hanya tersisa 3 partai saja. Karena secara sederhana partai yang ada di parlemen saat ini bisa dibuktikan tidak bersandar pada identitas dan kepentingan ideologi yang jelas. Coba jawab saja pertanyaan berikut, apa yang bisa membedakan partai politik yang ada saat ini. Jika sulit menjawabnya, maka memang diantara partai politik saat ini tidaklah berbeda. Partai mana yang merepresentasikan kelompok marginal (buruh, tani, nelayan, difabel, perempuan, masyarakat adat)? Pertanyaan tersebut membuat kita sulit mengasosiasikan partai politik mana yang berdiri pada satu pilihan posisi politik secara tegas dan konsisten.
Ketiga, memperkuat kelembagaan partai politik melalui sistem pemilu tertutup. Pemerintah melalui Kemendagri telah menentukan posisi yang sangat akomodatif terhadap keinginan partai politik di parlemen, yakni mengusung apa yang disebut oleh Mendagri Tjahjo Kumolo (13/9) sebagai sistem terbuka terbatas, yang secara praktek sebenarnya adalah sistem tertutup, tetapi dengan daftar calon yang bisa dipilih oleh masyarakat. Akan tetapi partai yang menentukan siapa yang berhak mendapat kursi dan belum tentu peraih suara terbanyak. Saat ini, kalangan partai politik berpendapat bahwa sistem pemilu terbuka telah melemahkan kelembagaan partai politik. Karena dengan sistem terbuka, dimana calon dengan suara terbanyak dalam pemilu yang akan terpilih menjadi anggota legislatif, membuat mereka tidak memiliki kontrol terhadap anggota yang terpilih dan duduk di parlemen. Selain itu, sistem terbuka dianggap mendorong partai untuk hanya mencalonkan figur populer semata tanpa kualitas. Tidak cukup di situ, para elit partai politik menambahkan sistem terbuka membuat kandidat harus mengeluarkan biaya politik tinggi agar dapat terpilih, juga membuat tingginya politik uang kepada masyarakat/pemilih.
Semua alasan tersebut bukanlah motif sesungguhnya dalam mengubah sistem terbuka menjadi sistem tertutup. Alasan utamanya justru pada upaya memastikan para elit partai politik ini bisa terpilih dan melakukan konsolidasi agenda politik dengan mudah. Karena selama ini, posisi dipilih secara langsung telah menghadirkan tanggung jawab anggota dewan kepada konstituennya paralel dengan tanggung jawab kepada partai. Selain itu keragaman anggota terpilih kerap menyulitkan para elit partai politik mengambil keputusan dan mengonsolidasikan anggota. Karena pemilu sistem terbuka membuka ruang dari kalangan aktivis dan gerakan untuk masuk partai dan mencalonkan diri dalam strategi diaspora elit.
Sejauh ini efektivitas politik uang justru semakin dipertanyakan asosiasinya dengan orientasi memilih pemilih. Data riset Puskapol UI dalam survei di berbagai daerah menunjukkan bahwa efektivitas politik uang memengaruhi pilihan politik hanyalah 18%. Biayapolitik yang tinggi justru disebabkan karena para elit politik dan ekonomi yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif tidak memiliki basis dukungan sosial yang kuat di akar rumput, sehingga cara dan formula yang digunakan selalu mengandalkan uang untuk menaikkan popularitas dan pencitraan yang tidak murah (melalui iklan, media sosialisasi, politik uang, dll.). Apalagi harus membayar mahal untuk menggunakan konsultan politik yang begitu banyak menawarkan jasa pemenangan. Artinya para elit partai politik memang mau menang dengan cara mudah dan manipulatif ketimbang mengandalkan pola kerja pertisipatif yang dilakukan di tingkat akar rumput. Jika sistem terbuka terus dipertahankan, peluang para aktivis sosial yang memiliki basis pengorganisasian di masyarakat justru semakin menguat ketimbang para elit yang ingin mendapatkan popularitas dan dipilih menggunakan kekuatan uang.
Betapa nikmatnya sistem tertutup ini jika diterapkan. Karena para petinggi partai politik bisa dengan bebas memilih dapil pencalonannya yang sejalan dengan basis kekuatan partai politik tersebut untuk memastikan dirinya terpilih. Meski orang tersebut tidak tinggal dan dikenal di suatu dapil, ia bisa saja terpilih karena partainya kuat di daerah tersebut. Bisa juga dengan strategi menempatkan orang-orang yang punya basis kekuatan akar rumput pada nomor urut bawah hanya untuk menjadi pengumpul suara, tapi tidak akan terpilih dan memudahkan kerja calon nomor urut satu terpilih tanpa perlu bekerja.
Keempat, pendanaan partai politik melalui APBN. Setelah partai politik disederhanakan jumlahnya, sistem pemilu juga telah dipastikan kembali ke tertutup (baca: terbuka terbatas) dan memudahkan para elit oligarki untuk menembus dan mempertahankan diri di parlemen. Partai politik yang berada dalam lingkar jaringan oligarki akan dikuatkan posisinya agar tidak tergantikan melalui pendanaan negara. Oleh karena itu, pada tahun 2017 yang akan datang, akan diagendakan revisi UU Partai Politik untuk mengatur bagaimana uang negara bisa masuk untuk membantu partai politik. Selain itu, revisi juga ditujukan untuk menambah syarat yang cenderung mempersulit berdirinya partai politik baru sejalan dengan poin-poin yang telah dikemukakan di atas. Niat awalnya, kelompok penggagas model pendanaan negara kepada partai politik ini beranggapan partai politik perlu dikuatkan agar bisa mandiri dan tidak korupsi. Dengan memberikan uang negara sebagai bantuan, harapannya parpol bisa mandiri dan jika korupsi uang negara, bisa dijerat secara hukum. Pandangan ini cenderung naif, karena hanya melihat secara normatif tanpa membaca niat partai politik menjaga rantai jaringan oligarki untuk menguasai proses distribusi sumber daya. Bagaimana mungkin ide seperti ini justru muncul dari jaringan masyarakat sipil dan akademisi, ketimbang mendorong pendanaan partai politik dari iuran anggota dan masyarakat. Tapi itu tentu bisa dijawab, partai politik memang tidak berniat memperbaiki diri menjadi lebih baik serta menjalin hubungan dengan masyarakat sehingga dipercaya dan ada kontrol dari anggota serta masyarakat luas sebagai pemilik sejati partai politik. Mereka lebih suka berurusan dengan uang negara dari APBN yang sesungguhnya adalah uang rakyat yang bisa saja tanpa persetujuan rakyat, kelak tetap diberikan kepada partai.
Kelima, pelaksanaan pemilu yang mudah, murah, efektif, dan efisien. Konteks perekonomian Indonesia yang mengalami defisit APBN akan mejadi pintu masuk utama jargon pemilu mudah, murah, efektif dan efisien. Seluruh perekayasaan sistem pemilu yang telah dijabarkan sebelumnya dalam empat poin di atas tidak perlu lagi melalui perdebatan substantif di masyarakat, karena akan dijustifikasi dan dikemas menjadi satu produk unggulan komunikasi politik sederhana yang masif, yakni ‘pemilu harus mudah, murah, efektif dan efisien’. Mudah dengan partai politik yang lebih sedikit serta tidak perlu memusingkan memilih caleg secara langsung yang membutuhkan penelusuran rekam jejak lebih dulu. Seolah pemilih di Indonesia kurang cerdas dan butuh dimudahkan pilihan-pilihannya. Murah karena biaya penyelenggaraan, termasuk pengadaan logistik mencetak surat suara dan proses penghitungan suara, menjadi lebih sederhana dan murah tentunya. Efektif dan efisien karena dengan presiden/pemerintah kuat melalui penyederhanaan partai, maka pengambilan keputusan di parlemen akan sedikit mirip dengan era Orde Baru dulu, tidak ada tantangan berarti di parlemen. Saya tidak tahu apakah kata tukang stempel akan kembali relevan nantinya. Pemilu memang akan didorong ke titik jenuh dan memunculkan akumulasi antipati masyarakat, karena hanya akan menjadi proses rutin transisi kekuasaan belaka yang seolah seru secara kontestasi wajah dan sosok, sementara isinya sama saja. Tepat di situlah kekuatan oligarki akan merebut makna politik dan mendominasi arena politik elektoral. Penguasaan arena elektoral adalah pintu masuk kekuasaan redistribusi sumber daya (legislasi dan anggaran) di parlemen.
Konsekuensi Bagi Gerakan serta Langkah Antisipasinya
Bagi pihak yang berupaya membangun politik alternatif dan menggagas hadirnya partai politik alternatif, sejumlah langkah konsolidasi oligarki di atas tentu akan semakin menyulitkan, karena hendak menutup ruang yang masih sedikit tersisa hingga benar-benar tertutup rapat. Kenyamanan gerakan dan aktivisme sosial selama kurun waktu lebih dari 15 tahun lalu hingga saat ini yang menggunakan pendekatan diaspora elit, turut berkontribusi terhadap penyakit akut sulitnya konsolidasi gerakan yang paripurna dilakukan. Diaspora elit yang diimani sebagian besar kalangan gerakan, berupa melangkah masuk ke dalam partai politik yang ada dan berniat mengubah wajah dari dalam, adalah strategi yang perlu dirombak total.
Seberapa capaian model strategi diaspora elit ini yang masuk ke dalam partai politik oligarki untuk mengubah wajah parlemen? Seberapa capaian kawan-kawan yang telah masuk ke dalam kementerian, Kantor Staf Kepresidenan, dan lembaga negara untuk mengubah wajah pemerintah? Masih membutuhkan waktu lebih lama lagikah? Bagaimana jika cara membacanya begini, diaspora elit justru lebih menjadi instrumen kekuatan oligarki melemahkan gerakan agar tidak pernah mencapai konsolidasinya, ketimbang apa yang diyakini sebagai strategi memengaruhi dan mengubah. Pendekatan yang begitu elitis dalam strategi diaspora elit ini termasuk hal utama yang harus direvisi dalam agenda politik alternatif. Bentuk revisi tersebut adalah mensinergikan strategi diaspora elit dengan strategi partai politik alternatif. Ya, membangun partai, karena individu-individu unggul dalam gerakan tidak boleh hanya menggunakan gerakan sebagai batu loncatan karier politik, bangunlah partai politik alternatif untuk menjadi lawan bagi oligarki politik.
Bagi yang masih meyakini strategi disapora elit, tidak apa. Tetapi paling tidak, ada agenda bersama yang bisa dilakukan, yakni melawan penutupan ruang berdiaspora elit yang dilakukan melalui sistem pemilu tertutup. Karena bagaimana mungkin individu-individu yang ingin masuk memengaruhi melalui pencalonan di partai politik yang ada, bisa terpilih jika tidak diberikan nomor urut kecil dan tidak lagi berlaku aturan suara terbanyak yang mendapatkan kursi. Lantas apa ruang yang tersisa bagi gerakan untuk memiliki wakil di parlemen jika itu pun tertutup.
Oleh karena itu, agenda strategis konsolidasi gerakan sosial saat ini ada pada dua hal, yakni
- Merespon segera upaya penutupan ruang politik yang hendak menyederhanakan partai politik melalui mempersulit syarat berdirinya partai politik baru, mempersulit partai politik menjadi peserta pemilu, menutup ruang gerakan berdiaspora dalam pencalonan melalui kembalinya sistem tertutup, yang semuanya sedang dibahas dalam RUU Pemilu mulai sekarang hingga selambatnya Maret 2017 (sekitar lima bulan tersisa).
- Menuntut segera perombakan regulasi terkait kontestasi dalam UU Pemilu, bahwa syarat partai politik baru harus memulai kontestasi pemilu secara bertahap di tingkat lokal kemudian beranjak ke tingkat nasional. Agar partai politik baru punya kesempatan tumbuh kuat dan berkembang dari bawah sebagai partai politik yang berakar dari rakyat. Hal ini sebagai bentuk reformasi kepartaian di Indonesia.
Untuk elaborasi pentingnya poin (2) di atas terkait regulasi memulai kontestasi di tingkat lokal bisa dibaca lebih lanjut pada artikel strategi alternatif politik elektoral bagian pertama.[4]
Maka selanjutnya yang diharapkan adalah agar tulisan ini bisa mendorong upaya-upaya konsolidasi kekuatan untuk merespon rancangan UU Pemilu yang hendak menutup ruang transformasi gerakan sosial menjadi gerakan politik (partai politik alternatif) dan ruang partisipasi rakyat secara luas dalam pemilu.***
Penulis adalah dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
————-
[1] Lihat Dirga Ardiansa, “Strategi Alternatif Politik Elektoral (kiri),” Indoprogress, 14 September 2015, diunduh dari https://indoprogress.com/2015/09/strategi-alternatif-politik-elektoral-kiri/.
[2] Lihat Dirga Ardiansa, “Mencoba Orde Baru Sekali Lagi,” Indoprogress, 20 Juni 2016, diunduh dari https://indoprogress.com/2016/06/mencoba-orde-baru-sekali-lagi/.
[3] Lihat lebih lanjut artikel Mohamad Zaki Hussein, “UU Partai Politik: Menyempitkan Demokrasi, Memperbesar Pengaruh Kapital,” Indoprogress, 7 September 2016, diunduh dari https://indoprogress.com/2016/09/uu-partai-politik-menyempitkan-demokrasi-memperbesar-pengaruh-kapital/.
[4] Dirga Ardiansa, “Strategi Alternatif Politik Elektoral (kiri),” op. cit.