KALAU kita membaca sejarah perkembangan ekonomi, maka ia tidak pertama-tama berlangsung secara aman dan damai. Sejarah pembangunan ekonomi (ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi), selalu diawali dengan tindakan kekerasan (perampasan hak, pengusiran, pemenjaraan, pembunuhan, dst).
Lihatlah apa yang dilakukan kolonial Belanda di Nusantara beratus tahun lalu. Untuk bisa membangun kekuatan ekonominya, pemerintah kerajaan Belanda mendukung secara total perusahaan dagang Belanda VOC. Dengan dukungan ekonomi dan bala tentara kerajaan, VOC sukses menaklukkan Nusantara untuk kemudian dengan mudahnya mengeruk sumberdaya alam dan manusia koloninya. Dan ketika VOC bangkrut, kerajaan Belanda mengambilalih seluruh aktivitas VOC, dan melanjutkan kolonisasinya demi memudahkan ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi kekayaan mereka.
Begitu pula yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kisah sukses pembangunan yang tercetak dalam buku-buku teks akademik dan pidato-pidato para pejabat, bermula dari tindakan kekerasan yang sangat brutal. Tapi tindakan kekerasan ini, lenyap dari halaman buku teks, pidato pejabat, maupun artikel-artikel opini para intelektualnya yang terpapar di koran-koran dan majalah-majalah. Secara sengaja dan sistematis, dilakukan pemisahan antara tindakan-tindakan represif Soeharto dan rezim Orbanya dengan prestasi-prestasi pembangunan ekonominya. Sehingga kemudian, orang-orang mulai berfantasi bahwa kalau saja Soeharto orangnya baik, tidak korup, tidak mementingkan keluarganya di atas segalanya, atau tidak KKN, maka kita sudah melesat ke jenjang yang sama dengan negara-negara maju lainnya. Dengan kata lain, di lapangan politik Soeharto memang bajingan, tetapi di bidang ekonomi prestasinya tak bisa disangkal.
Karena pembangunan ekonomi selalu bermula dengan kekerasan, maka peran militer dan polisi menjadi niscaya. Mereka menjadi tukang pukul kapital dalam berhadapan dengan aksi-aksi perlawanan yang dilakukan oleh kelompok yang tergusur dan terusir dari tanahnya, dari mata pencahariannya. Tetapi kita akan keliru total jika memahami fungsi dan peran polisi dan tentara hanya sekadar tukang gebuk, sekadar centeng kapital. Di era kapitalisme, tentara juga ikut berbisnis baik langsung maupun tidak langsung.
Di Ameriks Serikat keterlibatan militer dalam bisnis ini dikenal dengan sebutan industrial-military complex (MIC), dimana terjadi kolaborasi antara militer dengan industri-industri pertahanan. MIC ini bersandar pada teori Keynesian dimana dalam kondisi ekonomi nasional yang lesu, maka negara berperan penting dalam merangsang pergerakan ekonomi dengan cara intervensi ke pasar. Dan industri pertahanan merupakan ladang bisnis yang menggiurkan. Pada masa neoliberalisme saat ini, kolaborasi baru yang terbentuk adalah prison industrial complex (PIC).
Di Indonesia bisnis militer atau keterlibatan militer dalam urusan”pembangunan” belum mencapai taraf seperti MIC dan PIC. Industri pertahanan kita tidak berkembang, demikian juga penjara masih belum dikelola oleh swasta. Bisnis militer masih sebatas bisnis yang bergerak di bidang jasa keamanan, properti, dan pengerukan sumberdaya alam. Data resmi 2007 yang dikutip HRW (Human Right Watch), bisnis militer meliputi sedikitnya 20 yayasan dan lebih dari 1000 koperasi, termasuk kepemilikan atas 55 perusahaan serta penyewaan ribuan properti dan gedung-gedung pemerintah. Diperkirakan nilai aset kotornya mencapai Rp. 3,2 trilyun dan menghasilkan laba sekitar Rp 268 milyar.
Inilah yang saya sebut sebagai militerisasi ekonomi. Artinya sebuah pembangunan ekonomi yang bersandar pada penggunaan secara massif alat-alat kekerasan negara, seperti polisi dan tentara. Dan di era pemerintahan Jokowi-JK ini, militerisasi ekonomi memasuki babak baru seperti di masa-masa orba. Dalam pengertian, demi kelancaran pembangunan ekonomi maka penggunaan kekerasan adalah perlu, bahwa stabilitas politik adalah prasyarat utama berjalannya roda ekonomi.
Tidak heran jika kemudian Jokowi merasa perlu mendorong agar “TNI dan polisi bisa berkolaborasi untuk membantu dalam pembebasan lahan, sehingga program pemerintah bisa segera terwujud” (Rappler, 29/1/2016). Dan yang terbaru adalah bagaimana Jokowi menunda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, demi fokus mengurus “uang negara” (IPT, 25/8).
Tetapi di sini, sekali lagi, tentara dan polisi bukan hanya tukang gebuk untuk kepentingan bisnis, tetapi mereka sendiri telah menjadi pelaku bisnis. Sehingga keterlibatan mereka, tidak sekadar mengamankan “kebijakan pemerintah” yang pro-bisnis, tapi sekaligus mengamankan kepentingan ekonomi mereka sendiri. Dan dalam realitas ini, maka argumen bahwa dalam pasar bebas Negara (beserta aparatusnya) dipaksa menjauh dari pasar, tidak mendapatkan pembuktian empirisnya. Justru sebaliknya, agenda-agenda kebijakan neoliberal dan pasar bebas itu tidak akan terealisasi tanpa sokongan total dari Negara. Dalam kata lain, semakin kuat tekanan agar agenda pasar bebas direalisasikan, semakin besar pula kebutuhan akan peran Negara yang intervensionis.
Pada titik ini, militerisasi ekonomi ini hanya akan melahirkan lingakaran setan kekerasan bagi rakyat pekerja: (1) Demi kelancaran dan kemajuan pembangunan ekonomi, maka (2) dibutuhkan “pengorbanan” dari rakyat, baik itu dengan merelakan tanahnya diambil, tempat hidupnya digusur, dan mata pencahariannya lenyap. Agar “pengorbanan” rakyat itu berlangsung lancar maka (3) dibutuhkan keterlibatan aktif dari TNI dan Polisi, sehingga pada akhirnya (4) pembangunan berjalan lancar.
Bagaimana menyikapi militerisasi ekonomi ini? Pertama-tama, kita harus mengubah cara kita dalam berpikir, bahwa segala praktik kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah selama ini, misalnya, berdiri terpisah dari agenda pembangunan ekonominya. Cara kita berpikir yang terkotak-kotak itulah yang selama ini membuat aktivitas kita selalu bersifat parsial, dan dalam hal tertentu, gontok-gontokkan tanpa dasar yang jelas. Dalam masyarakat berkelas-kelas seperti sekarang ini, pembangunan ekonomi niscaya mensyaratkan dilakukannya tindakan-tindakan kekerasan oleh Negara.
Kedua, kita harus berhenti berpikir dan bertindak secara parsial dan terpisah-pisah. Spesialisasi aktivitas itu perlu, tapi tidak boleh terisolasi dari narasi besar militerisasi ekonomi. Spesialisasi membuat kita paham secara mendalam dan detail bidang aktivitas kita, tetapi kalau kita terisolasi dari narasi besar itu maka kita menjadi spesialis yang berkacamata kuda. Para aktivis HAM, misalnya, tidak bisa lagi hanya teriak-teriak soal ingkar janji Jokowi untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, atau mengecam tindakan brutal dari polisi dan tentara selama pelaksanaan penggusuran berlangsung. Kita harus berpikir bahwa ingkar janji itu dilakukannya demi memuluskan agenda pembangunan ekonominya dan agenda pembangunan ekonomi itu hanya akan lancar jika ia mendapat sokongan penuh dari aparat kekerasan negara seperti TNI dan Polisi.
Ketiga, militerisasi ekonomi ini hanya bisa dilawan dengan aliansi besar massa rakyat tertindas. Adalah khayalan belaka jika para aktivis HAM atau aktivis anti-korupsi atau aktivis hak masyarakat adat akan sanggup memaksa Jokowi-JK agar memenuhi janji-janji masa kampanyenya. Para aktivis ini mutlak berkolaborasi secara organik dengan kelas pekerja, petani dan buruh tani, serta kalangan informal proletariat yang membanjir di kota-kota besar.***