SEBAGIAN besar orang mengira fasisme sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya dan hanya sekedar menjadi cerita milik bangsa Italia, Jerman, Spanyol dan Jepang saja. Atau fasisme dilihat semata milik manusia maniak dan brangasan[1] semacam Benetto Mussolini, Adolf Hitler, dan kaisar Hirohito. Cara pandang semacam ini tidaklah tepat. Sebagai cara berpikir dan pandangan politik, sesungguhnya fasisme semacam wabah yang tiap saat bisa menjangkiti siapa saja. Entah sekular maupun relijius, ateis maupun beragama, Ulama maupun umat biasa. Namun, umumnya fasisme tumbuh subur di dalam militer dan agama, karena keduanya sangat mudah terjerumus ke dalam kekerasan dan rasisme. Sebagai wabah, fasisme tak ubahnya tumor ganas yang kadangkala tak disadari oleh orang yang mengidapnya dan bisa jadi telah bersarang di batok kepalanya. Meski demikian, fasisme bukanlah penyakit fisik yang menggerogoti tubuh manusia. Melainkan penyakit mental yang menyerang dan mendegradasi kesadaran manusia yang membuatnya terjatuh menjadi sub human. Sehingga mereka yang mengidap fasisme secara lahiriah tidak akan terlihat sebagai pesakitan. Malah mereka terlihat sangat sehat, kuat dan bahkan relijius. Kita hanya bisa tahu, seseorang berkecenderungan fasis dari cara berpikir dan perilakunya.
Mengingat kemampuannya menjangkiti siapa saja, maka fasisme tak bisa dianggap gampangan oleh siapapun yang percaya pada pembumian cita-cita sosialisme dan demokrasi seluas-luasnya di Indonesia, khususnya kita, kaum kiri progresif yang di atas pundaknya memanggul tugas berat mewujudkan kesetaran dan persaudaraan kemanusiaan. Karena meski kita tidak hidup di bawah rezim fasis, minimal sebagai kecenderungan berpikir dan bertindak, fasisme selalu ada dan terus berlipat ganda.
Jadi, penyakit apakah sebenarnya fasisme itu? Hingga sekarang fasisme masih menjadi perdebatan hangat banyak pemikir dan sejarawan.[2] Saya sendiri lebih sepakat dengan cara pandang Roger Eatwell yang melihat fasisme tidak sebatas sebuah rezim, melainkan melihat fasisme terutama sebagai serangkaian ide atau kecenderungan berpikir.[3] Tak jauh berbeda dengan Eatwell, pada tahun 1960 dan 1970-an, Georg Lukacs dan Ernesto Laclau, melihat fasisme sebagai sebuah ideologi atau kerangka berpikir yang menekankan aspek irasional sebagai ciri utamanya. Nah, dalam arti inilah, Herbert Marcuse melihat fasisme sebagai puncak idealisme dalam filsafat.[4] Tentu saja, bagi beberapa kalangan Marxis, khususnya yang berada dibarisan Trostky akan keberatan dengan cara pandang ini, dimana fasisme dilepaskan dari kapitalisme. Pemikir seperti Ted Grant dan Ernest Mandel saya kira berada dibarisan ini.[5]
Namun di luar debat teoritik fasisme, untuk memudahkan memahami ciri-cirinya, Roger Griffith sebagaimana dikutip Dhakidae, memberi batasan, suatu ideologi dianggap fasis bila ia memenuhi sepuluh persyaratan minimum yang disebutnya sebagai fascist minimum:
- Fascism is anti liberal—menolak ide-ide liberal seperti otonomi dan kemerdekaan pribadi, pluralisme, toleransi dan demokrasi parlementer;
- Fascism is anti-conservative—sistem kekuasaan turun temurun, pemulihan kemanan dan ketertiban tanpa membangun identitas baru dalam orde baru;
- Fascism tends to operate as a charismatic form of politics—;
- Fascism is anti-rational—bukan akal, bukan humanisme, tetapi perilaku heroic action yang menuntut pengorbanan;
- Fascisst ‘socialism’—menganut sosialisme dalam pengertian ekonomi korporatis, perencaan ekonomi;
- Fascism links to totalitarianism—dalam pengertian mengatur suatu masyarakat homogen, seragam, masyarakat yang bisa dan harus diatur dalam segala hal;
- The heterogenity of fascism social support—tidak ada dukungan yang berasal dari kelas tertentu. Akan tetapi gabungan dri segala golongan kiri dan kanan;
- Fascism rasism—pada dasarnya fasisme terikat kuat dengan suatu dasar rasisme karena paham ultra nasioalisme memuja identitas, kemurnian bangsa yang disusun secara organik;
- Fascist internationalism—membentuk suatu semangat interasionalisme sendiri dengan suatu karakter khas dalam identitas seperti internasionalisme Eropa yang menjadi nasionalisme Eropa;
- Fascism eclectisism—dari dalamnya, sifatnya sudah sinkretik dalam arti mencampur baur segala jenis ide dalam suatu kesatuan yang longgar akan tetapi dengan suatu ide jelas membangun suatu orde baru.[6]
Jadi, sebagai ideologi dan serangkaian ide, setidaknya kita bisa mengetahui ciri-ciri utama fasisme, diantaranya: memuja masa lalu, anti rasional, anti semit, rasis, xenophobia, anti kebebasan, menggunakan kekerasan, mengglorifikasi nasionalisme, ketaatan pada pemimpin kharismatik, dan memuja pengorbanan.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia. Sebagaimana dikemukakan sosiolog Tamrin Amal Tamagola, setidaknya terdapat tiga periode fasisme memeragakan dirinya di Indonesia: pertama, selama tiga tahun pendudukan Jepang (1942-1945; kedua, selama 32 tahun Orde Baru; ketiga, masa tiga tahun (1999-2001) konflik lomunal di Kalimantan, Poso dan Maluku.[7] Menariknya, periodesasi tersebut oleh Amagola sendiri disebut sebagai fasisme yang ‘memeragakan dirinya di Indonesia’, yang saya kira berarti bahwa pada masa itu meski fasisme tidak menjelma sebuah rezim fasis totaliter sebagaimana dipraktikkan Mussolini dan Hitler, namun ia telah tampil sebagai komando berpikir yang dengan brutal menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan demokrasi di Indonesia yang hingga kini masih bisa kita rasakan efeknya.
Berbeda dengan Amagola, Joss Wibisono justru menemukan bahwa jauh sebelum fasisme Jepang mendarat di Indonesia, fasisme sebenarnya pernah diagung-agungkan oleh seorang tokoh pergerakan di Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara, sebagai model pengaturan Sekolah Taman Siswa dengan menyebut sang pemimpin Taman Siswa sebagai diktator. Melalui kata tersebut Ki Hajar membayangkan bahwa hanya melalui pengaturan yang berdisiplin ketat dan keras dibawah komando sang diktator-lah pendidikan yang baik bisa diwujudkan. Meski selama ini kita tahu Ki Hajar merupakan seseorang yang menerjemahkan pertamakali lagu Internasionale ke dalam bahasa Indonesia, namun sebenarnya ideal-ideal berpikirnya lebih dekat dengan fasisme.[8]
Bertolak dari ciri-ciri fasisme sebagaimana dimuka, kita segera tahu bahwa fasisme sebagai wabah memiliki potensi untuk terus berkecambah dan akan muncul kembali jika kondisinya memungkinkan. Bahkan di masa transisi demokrasi seperti sekarang dengan tidak menentunya kondisi sosio-ekonomi dan politik, merupakan ladang subur persemaian fasisme. Baik fasisme relijius semacam FPI dan HTI maupun fasisme ultra nasional di kalangan militer. Mereka yang takut dengan perdebatan dan kontestasi politik secara fair dan demokratis akan merindukan seorang pemimpin totaliter yang bisa mewujudkan tatanan baru.
Jadi, disinilah ironinya. Kebangkitan fasisme Islam: terorisme, FPI dan HTI justru dijawab oleh militer dan kaum Islam moderat dengan mengglorifikasi nasionalisme yang juga sama-sama fasisnya. Dengan kata lain, makin maraknya terorisme dan merebaknya Islam politik di Indonesia yang menolak konsep nation-state dan hendak mewujudkan ideal Islam dalam bentuk kerajaan Islam atau Khilafah—yang notabene fasis—juga tengah memicu bangkitnya fasisme dalam bentuk lain sebagai jawaban atas Islam politik tersebut, yaitu terseretnya kaum Islam moderat dalam propaganda militer untuk anti pada segala hal yang dianggap sebagai kritik terhadap konsepsi NKRI. Artinya, maraknya terorisme dan HTI dipakai oleh militer sebagai momentum untuk mengembalikan supremasi dirinya ke atas panggung politik Indonesia dengan memakai kaum santri (baca: islam moderat) sebagai kaki dan tangannya.
***
Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 15-17 Agustus, Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) Surabaya, menggelar acara dengan tema ngeri-ngeri sedap: ‘Nyantri Kebangsaan di atas Kapal Perang’. Sekilas memang terlihat luhur dan wajar-wajar saja. Apa yang salah dari kegiatan bela negara? Bukankah memang sudah menjadi kewajiban rakyat untuk membela negaranya? Bukankah Islam menganjurkan hambanya untuk mencintai bangsa dan negaranya sebagaimana hadis nabi? mungkin pikiran-pikiran semacam itulah yang ada di benak mereka yang menyelenggarakannya.
Sebelum menjawabnya, lebih baik kita elaborasi dulu tema acara yang diselenggarkan di atas kapal perang yang akan memudahkan kita mendiagnosis kecenderungan fasisme di dalamnya. Setidaknya ada dua kata yang coba dikaitkan dalam acara tersebut: ‘Santri’ dan ‘Tentara’ dengan ‘Kebangsaan’ sebagai simpulnya. Sekilas, memang terlihat lumrah dan wajar. Malah bisa jadi, penempatan santri di bawah sepatu militer, oleh penyelenggara acara dianggap sebagai suatu sunnatullah atau given dari Allah swt, yang dari sono-nya sudah benar dan tidak bisa digugat. Dengan kata lain, takdir sejarah kaum santri untuk selalu berada di bawah kendali militer, dimaknai oleh para petualang politik, sebagai ketetapan Allah sejak zaman azali, sejak tinta sejarah belum ditorehkan di atas kanvas dunia.
Pada titik ini kita perlu balik bertanya. Apa kaitan antara menumbuhkan rasa cinta tanah air atau semangat kebangsaan dengan kapal perang? Mengapa harus di atas kapal perang? Apa kaitan antara perjuangan membela negara dengan militer? Memangnya negara sedang menghadapi ancaman apa sehingga menumbuhkan rasa cinta tanah air dan semangat bela negara harus memobilisasi rakyat dan mengumbar ke-macho-an militeristik? Mengapa ada materi anti komunisme? Apa juga dasarnya menempatkan komunisme sebagai sama dengan terorisme dan narkoba?
Kalau kita telusui ke belakang, pada masa pergerakan, jauh sebelum adanya militer, yang memperjuangkan kemerdekaan adalah kaum intelektual-cum aktivis sosial yang bersama rakyat secara terus menerus melancarkan perlawanan. Ada Tirtoa Adhi Soerjo, Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, Tjokroaminoto, Haji Misbach, Tan Malaka, dll. Mereka menulis brosur-brosur politik dan mengorganisir massa rakyat untuk melawan. Bahkan, sebelum Jepang yang fasis menduduki Indonesia, sejarah mencatat—bukan bermaksud melebih-lebihkan—kedatangan Musso di Surabaya pada tahun 1935 tak lain adalah untuk mendirikan front anti fasis.[9] Dimanakah militer? Tentu saja militer belum ada. Bahkan tokoh-tokoh militer seperti Achmad Yani, Suharto, Nasution, Gatotsubroto, yang kelak mendominasi tubuh TNI sebenarnya adalah para ex KNIL atau tentara Belanda yang pada masa itu biasa dipanggil sebagai Londo Ireng, yang sejak awal tidak menjadi bagian dari derap dan gelombang perjuangan kaum pergerakan memerdekakan Indonesia. Sedangkan dimasa pendudukan Jepang, ketika hampir sebagian besar tokoh pergerakan memilih berkolaborasi dengan fasis Jepang, PKI Ilegal justru bergerilya membuat Front anti fasis. Mereka berjuang dan melakukan penetrasi ke dalam pasukan PETA Blitar untuk menumbuhkan kesadaran historis pasukan PETA Blitar sebagai bangsa jajahan. Sejarah mencatat, kelak hanya PETA Blitar di bawah pimpinan Supriyadi[10] yang berani melakukan perlawanan pendudukan Jepang karena mereka sadar, kemerdekaan tak bisa diminta tapi harus direbut. Usaha mengindoktrinasi unit-unit PETA oleh kelompok kiri anti fasis terbukti berhasil. Kelompok Sukarni berhasil di unit-unit PETA di wilayah Jakarta, sementara kelompok Amir berhasil di Jawa Tengah bagian timur. Kelompok Sukarni yang sering disebut sebagai “Kelompok Menteng 31” berhasil mempercepat tercetusnya proklamasi 17 Agustus 1945 dengan menculik Sukarno ke Rengasdengklok. Sedangkan kelompok Amir Syarifuddin sendiri berhasil mendorong perlawanan di tubuh PETA Blitar.[11]
Kemanakah ex-KNIL ketika bara api perlawanan para laskar rakyat seperti Pesindo, Hizbullah dan Sabilillah berkobar-kobar di langit Surabaya. Ketika pekik takbir dan umpatan jancuk menggumpal di dada para pemuda? Hario Kecik[12], mantan mahasiswa prajurit menceritakan pengalamannya ketika bersama-sama para pemuda menyerbu Markas Angkatan Laut Jepang di Gubeng Surabaya pada September 1945:
“Apa yang saya lihat sungguh-sungguh mengharukan. Hampir semua adalah pemuda kampung. Sehari-hari mereka mungkin bekerja sebagai penjual rokok, pedagang di pasar-pasar, tukang becak, para pelayan took, tukang loak barang bekas, buruh-buruh, pelabuhan, pabrik, bengkel, dan para penganggur, yang waktu itu banyak terdapat dalam masyarakat Surabaya. Pakaian mereka jelas mencerminkan kelangkaan bahan pakaian dan kemiskinan yang mendalam pada jaman Jepang.
Hampir semua berkaki telanjang, kecuali beberapa di antara mereka yang bersepatu sandal karet mentah yang terkenal berbau tidak enak. Tetapi bertentangan dengan pakaian mereka yang compang camping, mereka semua bersenjatakan karaben, senapan mesin, pistol, pedang, tombak, bambu runcing, granat tangan, pisau belati dan lain-lainnya.”
Di tengah dentuman meriam dan bom-bom udara yang hampir meluluh lantakkan seluruh kota Surabaya, para pemuda dari gang-gang kumuh terpanggil untuk membela kehormatan republik yang baru merdeka, mereka mempertaruhkan nyawa dengan berada dibarisan depan pertempuran. Bahkan di puncak pertempuran sengit pada 10 November 1945, ketika para pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar tersebut dengan gagah berani berjuang hidup mati menghalau gempuran Inggris dan NICA, tidak ada satupun eks-KNIL yang terlibat di dalamnya. Mereka malah tengah asyik berkumpul di Yogyakarta untuk memilih sendiri Menteri Pertahanan dan Panglima Tentara.[13]
Juga ketika pemerintah mengadakan pertemuan pemuda yang pertama kali di Yogyakarta, Soemarsono, yang saat itu menjadi ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya, berdiri di depan mimbar mengumumkan bahwa pemuda-pemuda dari Jawa Timur harus kembali ke Surabaya untuk ikut bertempur melawan Inggris.[14]
Terang, sejak semula laskar rakyat, termasuk di dalamnya adalah santri bersama para pemuda sosialis yang berhaluan Marxis di Surabaya yang menjadi ujung tombak perlawanan. Jadi kalau sekarang nyantri kebangsaan pada militer yang hingga sekarang tidak mau kembali ke barak dan menjadi militer professional, tentu ketua Lakspedam NU Surabaya salah jalan. Santri-santri hendak diajari apa selain kebohongan sejarah? Bukankah di bawah rezim militer selama 32 tahun, kedaulatan ekonomi politik kita digadaikan pada kapitalisme global? Dan bahkan militer sendiri yang menjadi centeng-centeng penjaga kepentingan kapitalisme global hingga sekarang.
Namun rupanya kaum Islam moderat, sebagai kelompok tengah, sangatlah pendek memori sejarahnya. Bahkan sedikit dari mereka yang belajar pada sejarah. Pada masa lalu yang kelam. Pernah suatu ketika mereka menemukan dirinya berlumuran darah karena ketidaktahuannya, sehingga dengan mudah dipermainkan militer fasis sebagai alat pemukul gerakan rakyat, yang berarti memukul saudara sendiri. Jadi, kalau pada tahun 65-66 mereka dipinjam tangannya untuk memukul musuh Suharto, sebaliknya pada tahun 70-an mereka justru diinjak-injak oleh rezim militer Suharto. Sekarang mereka tengah diperalat kembali oleh militer yang bernafsu untuk kembali ke atas panggung politik Indonesia melalui kampanye bela negara dan NKRI harga mati-nya. Gayung bersambut, militer butuh naik ke puncak kekuasaan dan menggilas semua anasir gerakan rakyat yang dianggap kritis padanya, sementara kaum santri tengah getol-getolnya menghancurkan HTI sebagai rival utamanya. Militer seperti pemuda yang tengah melamar gadis bernama Santri agar berkenan mengikat janji meneguhkan dan memurnikan nasionalisme Indonesia ala Soepomo dari anasir-anasir gerakan rakyat. Sehingga sebenarnya, tanpa disadari para santri tengah disiapkan sebagai pemukul yang siap menghabisi semua yang dianggap militer sebagai musuh NKRI dalam pengertian fasisme militer yang brutal, dan menggunakan kekerasan. Maka tak heran, mereka dididik untuk terus mencurigai gerakan tani dan gerakan buruh yang sebenarnya adalah keluarga mereka sendiri. Bahkan pada tahun ini, di dusun Bongkoran Wongsorejo Banyuwangi, milisi seperti Pagar Nusa sampai dipakai sebagai alat untuk menteror para petani yang melawan perampasan lahannya dari PT. Wongsorejo. Padahal, dalam setiap Khotbah Jum’at, khotib (pengkhotbah) selalu membaca QS. An-Nahl: 90 sebagai pesan bagi kita semua agar berbuat adil.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl, 16: 90)
Mengapa kita justru tidak berlaku adil, dan tidak memberi kepada kaum kerabat kita petani Wongsorejo yang tengah dirampas tanahnya, nelayan Pancer Banyuwangi yang terancam tersingkir oleh eksploitasi Tambang emas di Tumpang Pitu, petani di tiga kecamatan pesisir selatan Kebumen yang disebut dengan kawasan Urutsewu dari perampasan tanah oleh militer dan perusahaan penambang pasir besi, atau nasib petani Rembang dan Petani Pati yang terancam kelangsungan hidupnya oleh pembangunan pabrik Semen. Melihat manuver politik ketua lakpesdam NU Surabaya, yang saya kira buta dengan lanskap besar sejarah Indonesia, membikin kita miris sekaligus geli. Mereka mengklaim sebagai penyebar ajaran cinta kasih namun justru memperagakan parade ke-macho-an ala militer, anti sosialisme, dan berjarak dari perjuangan rakyat, buruh dan petani yang sebagian besar kaum Nahdliyin.
Foto diambil dari www.aktual.com
***
Sedemikian, ajaran-ajaran cinta kasih kemanusiaan seperti dalam pesan bijak ibu Ben Anderson padanya: ‘jangan pukul yang lemah’,[15] harus diakui telah lama tak berlaku dalam pergaulan hidup sehari-hari di Indonesia sejak pembantaian manusia tahun 1965. Sebaliknya, saat ini yang diwariskan dari generasi ke generasi adalah pesan: ‘pukullah dulu sebelum dipukul’. Bahkan, pesan terakhir ini entah disadari atau tidak, belakangan sangat dibangga-banggakan dan dibenarkan dalam menghadapi kelompok yang disebut sebagai ancaman bagi NKRI. Sungguh di luar dugaan, setelah mangkatnya Gus Dur yang sepanjang usianya menempatkan Islam sebagai suluh perjuangan kemanusiaan, sekarang justru ditelikung habis-habisan oleh sebagian dari mereka yang mengklaim sebagai muridnya, dengan memilih menjadi bagian dari politik kekerasan militer.
Mungkin ini warisan yang telah berurat berakar sejak fasisme Jepang dan diterus dilanggengkan oleh orde baru. Jadi, tidak heran kalau kebenaran di negeri ini hanya berpendar sebentar namun lekas hilang ditelan hitam malam. Bayangkan saja, dulu Gus Dur menjalankan demiliterisasi, kini justru di lembaga seperti Lakpesdam NU yang didirikan oleh Gus Dur sebagai penerjemahan atas Syu’un Ijtima’iyah justru dipakai sebagai upaya membumikan militerisme. Tak jauh berbeda dengan kondisi umat Islam pasca mangkatnya Nabi Muhammad swt, yang kemudian banyak di,kalangan para sahabat menjadi kufur. Pasca mangkatnya Gus Dur, mereka yang mudah mengaku atau men-declare demokrat, moderat dan toleran banyak yang berpaling dari apa yang diperjuangkan oleh Gus Dur: demiliterisasi. Padahal kita tahu tak ada demokrasi yang sehat kalau militernya masih berpolitik.
Hampir semua kalangan yang mengaku moderat sangat mesra sekali dengan militer dan bahkan terang-terangan mendukung terus diberlakukannya Koter (komando teritorial) sebagai benteng pertahanan NKRI (diimbuhi harga mati!) dan sebaliknya mengambil jarak dengan massa rakyat dan tak pernah bersuara pada kekerasan yang dilakukan oleh militer. Intinya, bagaimana mungkin, kelompok yang mengaku demokrat dan moderat sejati, bisa mendukung militerisme yang justru menghalang-halangi terwujudnya demokrasi. Absurd bukan?
Kita tidak menolak militer, yang kita tolak adalah militerisme. Bahkan semua rakyat berharap militer Indonesia menjadi profesional dan berfungsi dengan baik sebagai the guardian of the state dengan persenjataan yang canggih, memiliki kemampuan tempur yang baik dan menarik diri dari panggung politik. Karena jika dilihat dari model pertahanan yang diterapkan, militer Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara maju. Militer kita masih mempertahankan ‘sistem pertahanan dan keamanan semesta’ yang merupakan model pertahanan yang hanya dilakukan dalam kondisi darurat sebagaimana perang kemerdekaan karena belum terbentuknya institusi militer secara modern. Ini terlihat dengan masih diberlakukannya komando teritorial oleh TNI yang dianggap bertujuan untuk mempertahankan NKRI dari rongrongan pihak-pihak yang dianggap mengancam kesatuan. Bahkan ketika ada wacana untuk menghapus Koter di masa pemerintahan SBY, TNI menolaknya. Pada akhir masa jabatannya yang pertama, prestasi SBY hanya bisa mengeluarkan Perpres No. 43 Tahun 2009 tentang pengambil-alihan Aktivitas Bisnis TNI guna memenuhi amanat Pasal 76 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mencakup koperasi, yayasan dan perseroan terbatas. Itupun oleh desakan elemen-elemen progresif organisasi non politik yang dengan teguh memperjuangkan demokrasi dan HAM di Indonesia.[16]
Dengan masih merebaknya kecenderungan fasis seperti sekarang, sehingga, sulit kita bayangkan para purnawirawan militer semacam Kivlan Zein (tentu juga dengan sebagian besar jenderal militer lainnya), demagog Manikebu semacam Taufik Ismail, juru bicara orde baru semacam Aminudin Kasdi, atau para Jagal manusia di tahun 65-66 akan menyesali kekerasan yang dilakukannya. Karena bagi mereka menganggap apa yang dilakukannya merupakan bagian dari penerjemahan amar makruf nahi munkar yang tak jauh beda dengan FPI dan HTI yang seringkali dikritiknya. Tak heran pesan Macho ‘Pukullah sebelum dipukul’ bisa menjadi kebijaksanaan dan tak pernah disesali bahkan ketika telah terbukti membikin rakyat sengsara dan jutaan orang mati. Mengenai Aminudin Kasdi, Gus Solah sempat mengatakan bahwa rekonsiliasi akan sulit tercapai kalau masih banyak orang yang isi kepalanya bahkan mimpinya ingin mengganyang PKI seperti Kasdi. Disinilah mereka sebenarnya mengingkari firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah: 32.
“…barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
Hanya pada rezim yang diam-diam mengamalkan mode berpikir fasistis lah, para aktivis kiri pro demokrasi di masa-masa keras perjuangan menggulingkan rezim otoriter-militeristik Soeharto, dipenjarakan, dan diculik yang hingga sekarang tak pernah diketahui keberadaannya; Warga negara keturunan Tionghoa dibunuh dan diperkosa; Seorang perjuang HAM dan demokrasi seperti Munir dibunuh dengan keji; dan perampasan tanah petani dilumrahkan. Karena setiap kritik terhadap militerisme di Indonesia akan dikecam sebagai musuh negara. Inilah yang tak diketahui atau tak disadari oleh ketua Lakpesdam NU Surabaya dan juga lainnya. Dan sesungguhnya, militer, kaum Islam moderat yang diam-diam mengumbar ke-macho-an, cara berpikirnya tak jauh berbeda dengan FPI dan HTI. Sama-sama berpotensi menjadi fasis kaffah.
Bagaimana seharusnya membela negara? Belalah, kaum kerabatmu yang makin hari makin dimiskinkan, diintimidasi dan dianggap separo manusia. Kritiklah kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan merugikan. Berdirilah dibarisan rakyat, petani dan buruh sebagaimana santri-santri yang berafiliasi pada Front nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Mereka bersama ratusan—mungkin akan menjadi ribuan atau bahkan ratusan ribu santri-santri lainnya—tengah membangun satuan-satuan serikat pemuda dan unit-unit ekonomi mandiri sebagaimana pesan mbah Wahab Hazbullah, agar kelak perjuangan mereka mewujudkan cita-cita Pancasila tidak mudah terbeli dan tidak terjatuh menjadi sekedar intelektual tukang apalagi menjadi kiai Alpard, yang biasa dagangan cerita hidup nabi yang sederhana namun dirinya hidup kaya raya. Mereka harus ditempa oleh pahit getir kehidupan, tinggal di rumah-rumah rakyat yang 70 tahun lebih usia kemerdekaan masih dihinakan. Merasakan apa yang rakyat rasakan, mereka mencatat dan memperjuangkan nasib saudara-saudaranya.
Kalau seandainya kelak benar ada agresi militer asing ke Indonesia, sebagaimana sering dibuat cerita-cerita bohong militer, maka kita yakin santri-santri Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam inilah yang akan paling banyak menyumbang darah perjuangan, persis seperti laksar Condromowo di sekitaran Surabaya dulu. Bukan intelektual tukang, yang setelah lulus sarjana cuma menjadi pesuruh partai politik dan menjadi centeng-centeng militer fasis.
Sebagaimana kata Pram agar adil sejak dalam pikiran, saya hanya mau mengingatkan, sebelum menganjurkan istiqamah memegang teguh komitmen radikal anti kekerasan: Mari kita koreksi isi batok kepala kita masing-masing. Jangan-jangan ada fasisme bersarang di dalamnya. Alih-alih menjadi hamba Allah dan menjadi umat terbaik, justru terseret jauh menjadi hamba kekerasan. Naudzubillah mindzalik.***
Jombang, 4 September 2016
—————-
[1] Brangasan berarti kasar.
[2] Mengenai perdebatan teoritik dan gerakan fasisme diulas dengan baik oleh Dave Renton, Fascism Theory and Practice, London: Pluto Press, 1999.
[3] Ibid., hlm. 19.
[4] Ibid., hlm. 87.
[5] Artikel ini memang tidak sedang mengetengahkan perdebatan teoritik mengenai fasisme. Biasanya perdebatan di kalangan Marxis mengenai fasisme bertolak dari pertanyaan, Apakah fasisme alat kapitalisme dan imperialisme? Kalau saya sendiri—mengikuti Dave Renton—jawabannya, iya dan tidak. Karena mayoritas fasis selalu menggambarkan diri mereka sebagai bagian dari cara ketiga, sama-sama menentang kapitalisme dan sosialisme. Fasisme, sebagai sebuah rezim mendapatkan popularitasnya melalui janji revolusioner, tetapi berkuasa dan bertindak dengan cara yang reaksioner. Sementara mengenai pemikiran Trotsky tentang fasisme bisa dibaca di sini: https://www.marxists.org/indonesia/archive/trotsky/1944-Fasisme.htm
[6] Lih. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia, 2003, hlm. 240.
[7] Tamrin Amal Tamagola, Republik Kapling, Yogyakarta: Resist Book, 2006, hlm. 123.
[8] Joss Wibisono, Saling Silang Indonesia-Eropa dari Diktator,Musik, hingga Bahasa, Tangerang: Marjin Kiri, 2012, hlm. 126.
[9] Anton Lucas (ed), Radikalisme Lokal Oposisi dan Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945), Yogyakarta: Syarikat, 2012, hlm. 327.
[10] Meski pasukan PETA Blitar melakukan perlawanan terhadap fasis Jepang, tetap saja PETA di lain daerah dipakai oleh Jepang untuk menggebuk PETA Blitar. Lih. Coen Husain Pontoh, Menentang Mitos Tentara Rakyat, Yogyakarta: Resist Book, hlm. 37.
[11] Ibid., hlm. 41.
[12] Ibid., hlm. 42. Atau lih. Hario Kecik, Memoar Hario Kecik Otobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002.
[13] Ibid., hlm 61.
[14] Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi, hlm. 135.
[15] Made Tony Supriatma, http://kalatida.com/ben-anderson-jangan-pukul-lemah/
[16] “Perpres Bisnis TNI Tanpa Tenggat”, Kompas, 15 Oktober 2009.