SETIAP kampus pasti memiliki sebuah ruang (space) yang menyimpan begitu banyak nilai sejarah. Entah itu di ruang seperti kantin, perpustakaan, lorong-lorong sempit di pinggiran kampus atau bahkan tempat duduk sederhana di sekitar ruang terbuka yang rindang. Di tempat-tempat itu, buah pikiran di adu. Perbincangan tentang persoalan filsafat hingga persoalan yang menimpa rakyat miskin kota didiskusikan sampai menemukan titik terang. Dari pendiskusian tentang hak atas kampus hingga tentang metode aksi yang hendak dilakukan dibahas secara mendalam di sana. Aktivitasnya yang selalu bergelut dengan khasanah pengetahuan seperti itulah yang menjadikan mahasiswa disebut sebagai kaum intelektual.
Sebuah tempat/ruang menjadi sangat penting bagi tumbuhnya gagasan tentang perubahan. Dimana sebuah ide yang tidak didiskusikan hanya akan menjadi sekumpulan sesuatu yang tak ada gunanya. Mahasiswa selalu membutuhkan ruang dimana gagasannya perlu dibenturkan dan didiskusikan dengan gagasan lain. Produksi ruang intelektual yang dibangun atas kesadaran ini, menjadi potret yang mengakar dalam tradisi pengembangan pengetahuan oleh para mahasiswa. Tindakan kolektif mereka telah menjadikan kampus selalu hangat dengan segala pendiskusian tentang segala hal. Peran dan aktivitas intelektual yang selalu dirawat pada akhirnya mampu memberi makna baru yang lebih hidup terhadap sebuah kantin atau lorong-lorong kampus yang tidak hanya sebagai tempat mengisi perut, tetapi sebagai tempat mengisi dan memproduksi sebuah gagasan. Di ruang ini sejarah telah lahir dan menyimpan banyak cerita tentang munculnya ide-ide perubahan untuk sebuah tujuan kolektif; menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi keadilan.
Hilangnya Ruang
David Harvey, seorang geografer terkemuka, mengulas tentang bagaimana semangat kapitalistik akan memiliki efek terhadap produksi sebuah ruang. Dalam tinjauanya, untuk menjaga akumulasi kapital tetap berjalan, ekspansi ke berbagai ruang menjadi sebuah keharusan. Ruang yang kelihatanya tidak memiliki sumbangsih besar terhadap proses memperbanyak keuntungan, akan digeser dan dijadikan darinya sebuah ruang baru yang cenderung lebih “menjual” terhadap konsumen dan mampu mendatangkan potensi untuk bisa meningkatkan keuntungan. Kapitalisme modern telah menjadikan ruang sebagai sebuah komoditas.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU-PT), mendapat respon negatif dari para mahasiswa. Terciumnya aroma kebijakan yang berbau kapitalistik, mengharuskan mahasiswa untuk memperketat konsolidasi gerakan. Sebab, konsep otonomi yang dianut oleh kebijakan ini akan mengancam sedikit banyak kebebasan berekspresi mahasiswa. Privatisasi, komersialisasi, dan sekelumit permasalahan yang lain akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan kampus. Semangat kapitalistik yang dibawa UU-PT telah menjadi momok yang dapat mengancam ruang intelektual kampus. Logikanya sederhana, jika ruang tersebut tidak memberi keuntungan secara finansial, lebih baik ruang itu diberikan kepada investor yang mampu melipatgandakan keuntungan.
Teror kemudian datang menghampiri ruang-ruang hidup (lived space) di dalam kampus. Ruang yang dihidupi oleh berbagai macam gagasan dari para mahasiswa dan telah berdiri sejak lama di kampus, sedikit demi sedikit, oleh para birokrat kampus mereka coba untuk hilangkan dan diganti dengan outlet atau mini market. Di kampus, kita mengerti bahwa produksi pengetahuan tidak hanya terjadi di dalam ruang-ruang perkuliahan. Semua ruang yang ada seperti kantin dan ruang-ruang yang lain bisa menjadi lebih hidup ketika ada aktivitas pertukaran gagasan di dalamnya.
Penggusuran dan upaya penghapusan ruang yang dihidupi oleh suasana intelektual tersebut ternyata berdampak bagi kemerosotan tradisi pertukaran pengetahuan di kampus. Mahasiswa yang tercerabut dari ruangnya akan mengalami gangguan psikologis yang alih-alih mampu memunculkan gagasan baru, penghapusan ruang-ruang hidup yang menyejarah di dalam kampus malah akan menurunkan semangat dalam memproduksi pengetahuan. Mahasiswa seperti kehilangan “rumah” dan seolah sedang memasuki dunia baru yang kering dan asing bagi dirinya sendiri.
Baru-baru ini di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar, sebuah ruang yang menjadi sumber kehidupan beberapa orang penjual makanan di kampus, harus menanggung akibat dari penggusuran yang dilakukan atas arahan pemimpin universitas. Ruang yang sudah menjadi tempat sebagian orang mencari tunjangan hidup dan tempat mengadu gagasan oleh para mahasiswa kini telah tiada. Hal ini membuat beberapa beberapa warga kampus mengalami kekecewaan yang mendalam. Dengan dalih renovasi dan uang kebersihan, harga sewa tempat dinaikkan sampai para penjual tak mampu membayar dan tak bisa lagi berjualan di sana. Pengusiran paksa yang dilakukan sangat lembut seperti inilah yang kerap menjadi potret suram kebijakan kampus.
Kondisi yang terjadi akibat upaya penghapusan dan penggantian ruang baru di kampus menghasilkan dua generasi yang sangat jauh berbeda. Saya menyebut generasi pertama sebagai Generasi Mace’*, generasi yang menyulap beberapa ruang kampus -termasuk kantin- menjadi ruang yang hidup dan kental dengan berbagai gagasan perubahan. Mereka tak pernah risih dengan bungkusan sederhana dari warung para mace’-mace’(penjual) ini, karena yang terpenting bukan kondisi tempatnya, tapi suasana intelektual didalamnya. Sedangkan Generasi selanjutnya adalah Generasi Kudapan**. Generasi ini merupakan potret generasi yang acuh dan abai terhadap realitas sosial. Mereka akan merasa risih jika sebuah tempat membeli makanan tidak senyaman kafe-kafe modern. Mereka hanya menjadikan ruang yang ada di kampus sekadar tempat persinggahan untuk menunggu jam kuliah. Tidak ada diskusi tentang rakyat miskin, tidak ada proses pertukaran gagasan yang mereka lakukan. Dua generasi ini seperti langit dan bumi.
Ringkasnya, kualitas intelektual mahasiswa beberapa tahun yang akan datang, ditentukan oleh sisa-sisa ruang intelektual yang masih terjaga di kampus. Sudah seringkali terjadi upaya penguburan sejarah dari beberapa ruang intelektual yang ada dengan cara digusur atau diganti dengan ruang yang sama sekali tidak menunjang peningkatan pengetahuan. Potret suram ini sungguh sangat mengecewakan. Oleh sebab itu, perlawanan mahasiswa adalah usaha merawat dan mempertahankan sisa-sisa ruang intelektual yang masih hidup di kampus. Hal ini dilakukan sebagai salah satu perjuangan merawat keberanian dan menjaga masa depan kampus agar tetap menghasilkan gagasan-gagasan perubahan.***
*Mace’ : Penjual di kantin tradisional
**Kudapan : Kantin modern
Penulis adalah Wakil Presiden BEM FKM UNHAS Periode 2015-2016 dan Ketua LISAN (Lingkar Mahasiswa Islam untuk Perubahan) Kom.Medis UNHAS
Kepustakaan:
https://indoprogress.com/2013/05/ruang-dan-waktu-dalam-pemikiran-david-harvey/ (diakses pada 10 Agustus 2016)
https://indoprogress.com/2016/01/produksi-ruang-dan-revolusi-kaum-urban-menurut-henri-lefebvre/ (Diakses pada 10 Agustus 2016)