REFORMASI 1998 telah membawa gugatan untuk dipenuhinya keadilan bagi korban peristiwa 1965 atas semua kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru selama berkuasa. Oleh karena itu pada tahun 1999, lahirlah UU No. 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), dan di tahun berikutnya lahir UU No. 26 tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM. Kedua UU ini diharapkan dapat melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan rezim sebagaimana yang terjadi pada masa rezim Suharto, dan memastikan penegakan dan kepastian hukum dan keadilan serta rasa aman dari pelanggaran HAM.
Selanjutnya TAP MPR No. V/MPR/2000 mengamanatkan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang merupakan lembaga extra-judicial dengan tugas untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM masa lalu, serta melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah yang akan ditempuh adalah lewat pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, restitusi atau alternatif lainnya. Pada akhirnya dihasilkanlah UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Undang-undang ini memandatkan pembentukan KKR dalam waktu enam bulan setelah UU disahkan. Akan tetapi ternyata KKR tidak kunjung dibentuk. Di tahun 2005, barulah presiden SBY membentuk panel seleksi bagi calon-calon komisioner. Sementara itu di awal tahun 2006, sekelompok ornop dan perwakilan korban mengajukan judicial review (JR) atas beberapa ketentuan UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Klausul yang digugat adalah kewenangan KKR untuk memberi amnesti kepada pelaku, larangan dilakukannya pengadilan bagi kasus yang dibawa ke KKR dan adanya persyaratan pemberian amnesti dari korban agar korban mendapatkan kompensasi. Akan tetapi ternyata MK di bawah pimpinan Prof. Jimly Asshidiqie pada Desember 2006 malah menetapkan pembatalan keseluruhan atas UU tersebut dengan alasan bertentangan dengan ketentuan perlindungan HAM dalam UUD 1945. Gagallah KKR tersebut, yang menyurutkan kembali upaya pengungkapan kebenaran 1965 dan menjauhkan korban dari haknya untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Lalu mulai tahun 2008, Kementerian Hukum dan HAM membuat rancangan UU pengganti, akan tetapi hingga kini tidak kunjung ada kabarnya. Presiden SBY lalu berinisiatif untuk membentuk Tim Khusus yang dikoordinasi Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan (MENKOPOLHUKAM) beserta penunjukan Dewan Pertimbangan Presiden (WANTIMPRES) untuk mengatasi masalah pelanggaran HAM. Tetapi tidak ada hasilnya juga.
Di tahun yang sama, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), berinisiatif melakukan penyelidikan secara resmi atas peristiwa 1965-66. Dibentuklah Tim Ad Hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat, yang bekerja sejak 1 Juni 2008 hingga 30 April 2012. Dari hasil kerja keras tersebut, dihasilkanlah sebuah laporan penyelidikan KOMNASHAM yang diumumkan sebagai “Ringkasan Eksekutif” setebal 257 halaman, mewakili laporan yang tidak dapat dibuka ke publik yang konon setebal 1.200-an halaman. Laporan ringkasan tersebut menyatakan sebagai berikut: “Sesuai dengan laporan dari para korban maupun keluarga korban, pada peristiwa 1965-1966, telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara paksa. Selain itu, para korban maupun keluarga korban juga mengalami penderitaan mental (psikologis) secara turun temurun yakni berupa adanya tindakan diskriminasi di bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.”
Laporan KOMNASHAM telah membuka kembali sejarah kelam sepak-terjang militerisme di Indonesia. Terutama laporan ini memberikan istilah “Crimes against Humanity” (CAH) kepada tindakan yang dilakukan oleh militer ketika itu. CAH adalah kejahatan yang digolongkan sebagai hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia). Untuk kejahatan seperti ini, maka tidak dikenal adanya kadaluwarsa. Ini sesuai dengan Statuta Roma yang disahkan PBB pada tahun 1998 tentang pendirian Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), yang mengadili pelaku kejahatan paling serius dan menjadi perhatian komunitas internasional, yaitu: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Pihak yang bertanggungjawab atas kejahatan tersebut tidak terbatas kepada aparatur negara (state actor), tetapi juga pihak yang bukan dari unsur negara (non-state actors). Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, tetapi telah menetapkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang banyak mengadopsi isi dari Statuta Roma.
Penyelidikan KOMNASHAM masih dalam lingkup yang terbatas, karena banyaknya hambatan, seperti luasnya geografi peristiwa 1965, keterbatasan anggaran, lamanya peristiwa yaitu sudah 47 tahun yang lalu, serta adanya trauma yang dialami para korban. Dari penyelidikan KOMNASHAM, berdasarkan keterangan dari 349 orang saksi, maka korban terjadi dalam jumlah yang banyak (multiple of victims), sehingga telah memenuhi unsur berskala besar (large scale).
Hasil laporan penyelidikan Komnasham pada tahun 2012 telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung guna ditindaklanjuti menjadi penyidikan. Akan tetapi nampaknya tidak ada respons lebih lanjut dari Kejaksaan Agung hingga sekarang.
Maka sejak itu gerakan masyarakat sipil mulai mencari alternatif atas kebuntuan tersebut, terutama menjelang peringatan 50 tahun peristiwa 65/66 di tahun 2015. Sementara itu pada tahun 2012, muncul sebuah film dokumenter “The Act of Killing” (Jagal) buatan sutradara asal Inggris Joshua Oppenheimer, yang mendapat banyak sorotan karena menunjukkan kekejaman penyiksaan masa 1965-66 tersebut lewat pengakuan langsung algojo-algojonya. Film ini lalu diputar luas di berbagai tempat di Indonesia dan mendapat hambatan dari penguasa berupa larangan serta teror dari kelompok-kelompok para-militer. Akhirnya berbagai kelompok demokrasi dan HAM bekerjasama dengan eksil (exile) 65 di Eropa dan para akademisi luar negeri, menggagas diadakannya International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) yang mengambil tempat di Den Haag, Belanda, ibukota dari ICC.
IPT 65 akhirnya bisa diadakan pada tanggal 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda, berkat kerjasama aktivis gerakan sosial di tingkat nasional dan internasional. Penuntutan telah menyampaikan sembilan poin tuduhan, dimana hal ini menyangkut pada tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu: (1) pembunuhan, (2) perbudakan, (3) pemenjaraan, (4) penyiksaan, (5) kekerasan seksual, (6) penganiayaan, (7) penghilangan paksa, (8) propaganda kebencian, dan (9) keterlibatan negara-negara lain. Selanjutnya dalam keputusan final IPT 65 yang dibacakan oleh Hakim Ketua Zak Yacoob dari Afrika Selatan pada tanggal 20 Juli 2016, maka terdapat penambahan poin ke-sepuluh atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu terjadinya genosida pada peristiwa 1965/66.
Pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah menggariskan agenda bagi penyelesaian masalah 1965 di dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2014-2019. Demikian pula mengingat buntunya proses judicial penyelidikan KOMNASHAM kepada Kejaksaan Agung, maka pemerintah pada akhirnya lewat KEMENKOPOLHUKAM mengadakan inisiatif penyelenggaraan Simposium Nasional tentang “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” yang diadakan pada tanggal 18-19 April 2016 di Hotel Arya Duta, Jakarta, bekerjasama dengan WANTIMPRES, KOMNASHAM dan LEMHANNAS. Dalam simposium yang baru pertamakalinya diadakan oleh pemerintah Indonesia mengenai peristiwa 65 ini, banyak diikuti oleh para korban 65. Hasilnya secara umum merekomendasikan agar negara menyesalkan terjadinya tragedi 1965, yang diikuti oleh upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi umum kepada para korban, serta pembentukan komite kepresidenan mengenai 1965.
Akan tetapi beriringan dengan adanya simposium 65 ini, muncul reaksi yang keras dan berlebihan dari kalangan purnawirawan Jendral yang tergabung dalam PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat). Ini diikuti juga oleh kalangan ormas Islam garis keras dan ormas “preman” lainnya yang ikut serta mengecam dan menolak hasil-hasil tersebut. Mereka bahkan melakukan simposium tandingan, yang diadakan di Balai Kartini, Jakarta dengan judul “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI & Ideologi Lain” pada tanggal 1-2 Juni 2016 yang didukung oleh Menhan Jend. Ryamizard Ryacudu. Mereka juga mengadakan berbagai teror jalanan, aksi-aksi sweeping buku-buku kiri dan kaos berlambang palu-arit, serta menggeruduk setiap pertemuan atau diskusi mengenai hal-hal kiri.
Kini masyarakat masih menunggu apa langkah berikutnya dari presiden Jokowi. Ternyata pidato Jokowi pada 16 Agustus 2016 sama sekali tidak menyinggung persoalan ini, yaitu sebuah Rehabilitasi Umum kepada para korban, yang biasa diumumkan presiden setiap tanggal 17 Agustus. Mengapa? Setelah sekian lama masalah ini menyita perhatian dan energi masyarakat sejak reformasi, tetap tidak ada langkah berarti bagi penyelesaian sedikitpun. Berarti ada penjahat-penjahat atas kemanusiaan yang sampai kini tetap berkuasa dan tidak ingin peran mereka dipersoalkan. Sungguh ini sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan, musuh dari seluruh umat manusia!***