TAK BANYAK yang tahu bahwa di balik kehidupan sederhana mereka di pinggir Kali Ciliwung, ada rasa solidaritas yang sangat kuat dari warga Bukit Duri ke sesama warga Jakarta – bahkan sesama warga Indonesia.
Saat itu, 27 Desember 2004, sehari setelah badai tsunami menghantam Aceh hingga porak poranda. Sewaktu Indonesia masih dibuat geger akibat bencana, 40 orang sudah berkumpul di Bukit Duri. Banyak di antara mereka adalah warga setempat. 40 orang ini segera berembug apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu korban tsunami. Tanggal 28, relawan-relawan pionir diberangkatkan langsung ke Aceh.
“Saya datang lewat laut, saya dari Singkil ikut kapal nelayan,” kata Syafi’ Alielha, salah satu relawan pionir. “Itu kapal boat pertama yang melaut. Karena nggak ada orang yang kapalnya mau dipinjam atau disewa. Nggak berani.”
Di Jakarta, relawan-relawan lain menggalang massa dan mengorganisasi cara untuk menyalurkan bantuan. Warga Bukit Duri mengirimkan selimut, pakaian, dan kebutuhan lain untuk Aceh. Tiap RT menyumbang sekitar Rp. 700-900 ribu.
Bandara Halim Perdana Kusuma dan Pelabuhan Tanjung Priok jadi dua titik penting penyaluran bantuan. Berawal dari Bukit Duri, jaringan relawan ini berkembang. Hingga menyentuh seantero Jakarta.
Aksi spontan solidaritas ini bukan yang pertama kalinya bagi warga Bukit Duri.
Dua tahun sebelumnya, Jakarta pun dilanda bencana. Banjir bandang di tahun 2002 menenggelamkan Jakarta secara rata. Waktu itu, pemukiman di Bukit Duri pun kena imbasnya. Tapi, alih-alih mengutuk keadaan, warga Bukit Duli menyalakan harapan.
Mereka membangun posko-posko di sekitar pemukiman, yakni di Bengkel KA Dipo Bukit Duri, mushola terdekat, dan tenda-tenda di sekitar Jembatan Tong Tek. 2500 warga dari penjuru Jakarta – bahkan Tangerang dan Bekasi – yang rumahnya hanyut terbawa arus pun mengungsi di posko-posko itu. Di posko itu pula, makanan, obat-obatan, pakaian, dan perlengkapan sekolah didistribusikan bagi pengungsi. Ibu-ibu warga Bukit Duri pun siap memasak 1000 nasi bungkus bagi korban di tempat pengungsian.
Banjir yang sebenarnya juga menghantam rumah mereka tak menghilangkan semangat mereka untuk peduli dengan sesama warga Jakarta.
“Di tahun itu, warga malah bilang begini [ke pemberi sumbangan lain], ‘jangan kasih kami beras. Kasih triplek dan kayu,'” kenang Isnu Handono, yang lama tinggal di Bukit Duri. Triplek dan kayu itu untuk merenovasi rumah-rumah yang dilalap banjir.
Di lingkungan lokal Bukit Duri sendiri, warga banyak terlibat pemeliharaan lingkungan. Salah satunya adalah Program Ciliwung Hijau, yang dicetuskan pasca-banjir Jakarta 2007. Bersama warga Kampung Pulo yang tinggal di seberangnya, warga Bukit Duri mengelola rumah kompos bersama. Mereka berlatih mengelola sampah di Sanggar Ciliwung Merdeka yang difasilitasi Sandyawan Soemardi.
Di rumah kompos ini, sampah disulap jadi pupuk kompos. Dari 50-80 kg sampah organik bisa diolah jadi sekitar 100 kg kompos. Saat itu, harga jual kompos mencapai Rp. 5000 per kg. “Sampah yang tidak diolah dibuang ke penampungan di Tebet,” kata Rachmat, warga Bukit Duri.
Selain rumah kompos, warga juga membuat posyandu yang obat-obatannya diolah dari bahan herbal. Jauh sebelum urban farming digemari orang perkotaan, warga Bukit Duri sudah bertanam tanaman herbal. Pupuknya pun dari kompos olahan sendiri.
“Kita juga bikin purifier, airnya untuk cuci baju,” kata Isnu. “Kita juga bersihkan sungai [Ciliwung] dari erosi.”
Maka tak mengherankan bila di tahun 2013, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengganjar komunitas Bukit Duri dengan penghargaan City Changer. Mereka adalah bukti masyarakat dapat berdaya dalam membangun kota yang berkelanjutan.
Hari ini, semua kontribusi warga itu terancam lenyap.
Seakan menutup mata dari prestasi bersejarah, Pemprov DKI bersikukuh akan menggusur paksa warga Bukit Duri. Surat SP-3 dilayangkan, memunculkan rasa takut pada warga setiap malam. Warga memang akan diberikan rusun. Tapi rusun itu hanya sementara. Rusun cuma sewa 2 tahun. Dalam 2 tahun itu pun tiap bulannya masih harus bayar iuran pemeliharaan sejumlah Rp. 350 ribu. Air dan listrik masing-masing mencapai Rp. 150 ribu.
Apalagi, letaknya yang di Rawa Bebek, pinggir Jakarta Timur nyaris Bekasi, sangat jauh dari keseharian warga di Bukit Duri, Tebet. Memang ada TransJakarta, tapi cuma datang sesekali.
Nasib warga ini sangat ironis ketika kita bandingkan dengan Ariesman Widjaja, bos Agung Podomoro Land. Ariesman, yang korupsi sebesar Rp. 2 milyar untuk memuluskan Reklamasi Jakarta, bisa diringankan masa hukumannya cuma jadi 3 tahun. Padahal sanksi paling berat bisa sampai 20 tahun.
Apa sebabnya? Cuma gara-gara dianggap berkontribusi pada Pemprov DKI.
Korupsi, kejahatan yang kita semua benci itu, ternyata masih bisa dibarter dengan uang. Di mata aparat, jerih payah warga kampung bersolidaritas dengan sesama warga Indonesia, ternyata tak ada apa-apanya dibanding duit dari dompet koruptor.***
Penulis Pegiat YouthProactive TI-Indonesia
Kepustakaan:
Dewi Aminatuz Zuhriyah, “Vonis Ringan Ariesman”, Bisnis Indonesia 02 September 2016, Iwan Santosa, <http://koran.bisnis.com/read/20160902/440/580610/vonis-ringan-ariesman>.
Muhammad Zaid Wahyudi dan Ester Lince Napitupulu, “Sampah Ciliwung Sumber Rupiah”, Kompas.com 30 Januari 2009, <http://lipsus.kompas.com/grammyawards/read/2009/01/30/0830372/Sampah.Ciliwung.Sumber.Rupiah>.
Anisyah Al Faqir, “Cerita Komunitas Ciliwung Merdeka dan Kemandirian Warga Bukit Duri”, Merdeka.com 13 Mei 2016, <https://www.merdeka.com/jakarta/cerita-komunitas-ciliwung-merdeka-dan-kemandirian-warga-bukit-duri.html>.
Jaya Suprana, “Memohon Belas Kasihan Bagi Rakyat Tergusur”, Rmol.co 04 September 2016, <http://m.rmol.co/read/2016/09/04/259430/Memohon-Belas-Kasihan-Bagi-Rakyat-Tergusur->.
Tabloid Reformata Edisi 15, Juni 2004.
Meniti Buih Gelombang Tsunami, Film Dokumenter oleh IGP Wiranegara, Youtube, <https://www.youtube.com/watch?v=P8jzCGCnCc0>.
Wawancara Isnu Handono dan Habib Warga Bukit Duri, 21 September 2016 di Bukit Duri.