Untuk Cak Munir (1965-2004)
yang dibunuh,
tapi tak pernah mati dan tak akan berhenti
dan diingat
dari September ke September
Pendahuluan
Dalam sebuah edisi khususnya tahun 2014, majalah Tempo menerbitkan laporan mengenai temuan fakta dan bukti terbaru kasus pembunuhan aktivis perjuangan hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib.[1] Dalam opininya, majalah tersebut menyatakan bahwa atas nama keadilan dan kemanusiaan pemerintah Indonesia harus meneruskan pengungkapan pembunuhan aktivis tersebut. Akan tetapi seperti kita ketahui, sejumlah proses hukum lewat pengadilan telah dijalani dan terdakwa pembunuh Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, juga telah dijatuhi hukuman pidana penjara. Tempo memandang pengungkapan kembali kasus ini akan menunjukkan aktor-aktor lain pembunuh Munir, khususnya aktor intelektual. Yang menarik, dalam salah satu wawancara Tempo, Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan jenderal yang senantiasa dikaitkan dengan pembunuhan Munir, berkata bahwa kasus ini sudah selesai karena hukum sudah memutuskan. “Kalau tak percaya kepada hukum, lalu kita berpegang pada apa lagi?”.[2] Majalah Tempo bahkan mendesak supaya kasus pembunuhan Munir ini dibuka oleh pengadilan HAM. Padahal keadilan dan hukum sudah ditegakkan secara prosedural, seperti yang ditegaskan oleh Hendropriyono. Apa alasan yang dapat mendasari pengungkapan kasus Munir, selain nama keadilan yang kerap diusung oleh para aktivis, lawyer, jurnalis, dan juga politikus kita?
Bahasa Latin punya adagium yang sangat pas untuk menggambarkan semangat dari usaha penelusuran ulang kasus Munir di atas, yakni “Fiat iustitia, et pereat mundus”. Terjemahan adagium itu dalam bahasa Indonesia kira-kira begini: tegakkan keadilan meskipun dunia ini hancur. Mula-mula kita akan bertolak dari adagium ini merenungkan apakah sesungguhnya hakikat dasar dari goyangan timbangan keadilan dan ayunan pedang hukum sehingga keduanya menjadi harga mati? Kasus Munir yang diulas oleh Majalah Tempo edisi khusus di atas akan menjadi studi kasus pada refleksi ini karena kasus ini memunculkan perdebatan soal manakah yang benar. Siapakah yang sesungguhnya membunuh Munir? Apa motif pembunuhannya yang sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan tentang kebenaran. Maka, di samping keadilan dan kemanusiaan, satu hal yang juga penting untuk dikaji di sini adalah kebenaran.
Namun yang akan dibahas di sini bukanlah perihal pencarian fakta empiris, melainkan refleksi tentang arti kebenaran secara filosofis. 10 tahun setelah meninggalnya Munir, misteri masih bertebaran dan kita gelisah akan apa yang sebenarnya ada di balik kasus ini. Konspirasi politik? Dendam pribadi? Tulisan ini tidak akan mengupas hal-hal seperti itu. Tulisan ini akan mencoba menemukan tempat kebenaran di tengah pusaran politik yang penuh tabrakan kepentingan. Laporan majalah Tempo memperlihatkan betapa kepentingan negara, persepakatan politik praktis, dan maksud-maksud pribadi seseorang saling bercampur aduk sedemikian sehingga kebenaran kasus ini sendiri menjadi kabur. Pisau analisis yang akan dipakai di sini bersumber dari teks seorang pemikir filsafat politik, Hannah Arendt (1906-1975). Teks tersebut berjudul “Truth and Politics”.[3]
Sebagai pisau analisis, gagasan Arendt di sini bukan berarti menjadi instrumen belaka dan tak berharga pada dirinya sendiri. Sedari awal Arendt sudah mengungkapkan bahwa apa yang ia hadirkan dalam teks tersebut adalah refleksi atas hal yang sudah biasa dan tidak spesial.[4] Kebenaran dalam konteks politik yang direfleksikan oleh Arendt merupakan hal yang sudah diterima begitu saja. Orang mungkin lebih tertarik dengan persoalan administrasi keadilan dan penegakkan hukum formal daripada merenungkan arti kebenaran dalam politik. Arendt menyebut kecenderungan itu kelihatannya masuk akal, sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan biarpun langit runtuh menimpa kita. Tapi, Arendt mengubah sedikit saja ungkapan tersebut dengan meletakkan kosa kata kebenaran sehingga menciptakan adagium “Fiat veritas, et pereat mundus”.[5] Dari yang tampak biasa, refleksi Arendt ini menjadi tak biasa.
Dengan menggeser sedikit saja kecenderungan kita, penegakkan kebenaran rupanya lebih masuk akal dalam rangka menjernihkan kekeruhan politik, kendati kita mesti musnah. Berdasarkan gagasan Arendt ini, pengungkapan kasus Munir seharusnya tidak hanya bersandar pada administrasi keadilan dan penyelesaian secara yuridis, melainkan bergerak menembus tabir gelap politik yang menutupi kebenarannya. Tulisan ini berpendapat bahwa kebenaran merupakan hakikat dasar dari keadilan dan hukum yang berada pada suatu tatanan politik. Berhadapan dengan pernyataan dari Hendropriyono di atas, tulisan ini memandang bahwa kita mesti berpegang pada kebenaran dan kebenaran sendiri tidak tereduksi habis di dalam hukum. Lantas, siapa yang mesti mengejar kebenaran tersebut dan apa dasarnya? Berdasarkan gagasan Arendt, tulisan ini akan menekankan peran institusi pendidikan tinggi dan sikap ketakberkepentingan.
Untuk mendukung pendapat di atas, kita dihadapkan pada pertanyaan: apa yang membuat kebenaran menjadi bernilai dalam politik? Dari Arendt kita akan belajar bahwa keutamaan politik juga membutuhkan kejujuran (truthfulness). Dengan kata lain, kebenaran itu penting dalam politik karena mendorong politik yang lebih terbuka dan representatif. Namun sejauh apa kebenaran menjadi penting dalam politik? Pemikir etika asal Inggris, Bernard Williams (1929-2003), menjawab pertanyaan ini dalam kaitannya dengan situasi masyarakat di mana batas yang benar dan yang salah sudah sedemikian kabur akibat pendustaan diri (self-deception), terutama yang direproduksi oleh media pada sistem masyarakat itu sendiri.[6] Di sinilah letak urgensi sikap ketakberkepentingan (disinterested) dan program pendidikan tinggi sebagai, meminjam istilah Williams, “metode penelusuran serta pentransmisian” kebenaran dalam politik. Maka tulisan ini akan mendiskusikan pula masalah kejujuran dalam politik dengan bertolak pada pertanyaan mengapa kebenaran itu penting dalam politik. Di bagian akhir, tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa dalam gerakan perjuangan mengungkap kasus Munir, di samping kejujuran, dibutuhkan pula keberanian sebagai pangkal kebenaran kita. Sebab dalam hal ini, dengan mengadaptasi pernyataan Cak Munir, janganlah kita lelah pada kebenaran.[7]
Hubungan Konfliktual Kebenaran dengan Politik
Arendt memulai analisisnya terhadap hubungan kebenaran dan politik dengan dua pokok penegasan.[8] Pokok pertama yakni bahwa hubungan kebenaran dengan politik merupakan hubungan yang buruk. Arendt melontarkan serangkaian pertanyaan tentang mengapa hubungan keduanya tidaklah selaras. Kebenaran berdiri di satu sisi dan politik di sisi lain lantas keduanya saling menjatuhkan dan melemahkan arti dan nilai masing-masing. Keduanya bagai air dan minyak yang tertuang sekaligus di dalam gelas kehidupan manusia. Pokok kedua, bahwa kejujuran tidak dianggap sebagai keutamaan politis. Politik sedari awal sudah terkait erat dengan kebohongan, senantiasa memperkosa kebenaran, dan tidak ada urusannya sama sekali dengan kejujuran. Bukankah demikian pula kita mempersepsi praktik politik di sekitar kita? Arendt menunjukkan bahwa hubungan kebenaran dengan politik merupakan hubungan yang konfliktual.
Kisah tak mengenakan ini ternyata terlacak jauh ke belakang masa peradaban manusia. Sebuah kisah yang berusia tua dan penuh komplikasi di mana arti kebenaran itu sendiri berevolusi, mulai dari kebenaran sebagai standar perilaku manusia menurut Plato sampai kebenaran sebagai aksioma matematis menurut Thomas Hobbes.[9] Meski berbeda, kedua arti kebenaran tersebut bentrok dengan kekuasaan politik. Baik kebenaran ideal Plato maupun kebenaran aksiomatis Hobbes merupakan hasil pikiran manusia yang berupaya melewati batas-batas pengetahuan pada umumnya. Kebenaran dalam arti tersebut sulit diterima oleh kebanyakan orang biasa dan bahkan bergesekan dengan kekuasaan. Pada versi kebenaran Plato, si pengungkap kebenaran berada dalam ancaman untuk dihabisi nyawanya ketika ia berusaha membebaskan rekan-rekannya dari ilusi dan tipuan, sedangkan pada versi Hobbes, kebenaran sangat rentan untuk ditindas oleh dominasi apabila suatu aksioma bertentangan dengan hak atau kepentingan yang dominan.[10] Hubungan konfliktual itu makin kompleks ketika di masa modern berlaku pembedaan antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual. Analisis Arendt dalam teks “Truth and Politics” bertolak dari pembedaan ini untuk kemudian menunjukkan betapa rentannya kebenaran faktual, dibandingkan kebenaran rasional, terhadap pengaruh kekuasaan politik.
Arendt menyatakan bahwa “kendati kebenaran-kebenaran yang paling relevan secara politis adalah faktual, konflik antara kebenaran dan politik pertama kali ditemukan dan diartikulasikan dalam kaitannya dengan kebenaran rasional.”[11] Berdasarkan pandangan Arendt, oposisi kebenaran dengan politik dapat digambarkan sebagai berikut:
Arendt berangkat dari pembedaan antara kebenaran rasional dan faktual. Baginya, konflik kebenaran dengan politik pada mulanya adalah konflik antara bidang kebenaran rasional dan bidang kekuasaan politik, atau yang Arendt sebut sebagai “dua jalan kehidupan yang saling bertentangan secara diametris”.[12] Ini adalah konflik asali dari kebenaran versus politik, sebagaimana terlihat pada oposisi A (Alfa) pada skema 1 di atas. Secara historis, konflik asali sudah dimulai sejak Parmenides dan Plato di mana kebenaran (rasional) yang dinyatakan oleh filsuf berlawanan dengan opini dari para warga masyarakat, dan opinilah yang membangun kekuasaan politik. Pelacakan Arendt terhadap asal-usul konflik ini juga memperlihatkan bahwa ciri pertentangan diametris kebenaran dengan politik masih ditemukan pada masa awal modernitas hingga abad ke-19. Perhatikan, antara lain, Hobbes yang mempertentangkan dua fakultas pikiran, yakni penalaran ketat yang didasarkan pada prinsip kebenaran dan kefasihan bersilat lidah yang didasarkan pada opini, hasrat, dan kepentingan.[13] Di masa modern, orang seperti James Madison kurang lebih juga menyatakan hal sama. Kebenaran rasional merujuk pada singularitas sebuah pikiran sedangkan opini ditentukan oleh ketergantungan dengan banyaknya jumlah yang sama-sama mencetuskannya.[14]
Akan tetapi dalam pandangan Arendt, bila kita bicara situasi kehidupan saat ini, yang lebih panas membara bukanlah konflik kebenaran rasional menurut oposisi A pada skema di atas, melainkan konflik kebenaran faktual dengan politik berdasarkan oposisi Ω (Omega). Alasannya, pertama, karena terhapusnya oposisi A pada skema 1 di atas.[15] Kedua, karena kebenaran faktual mengkait secara langsung dengan politik daripada kebenaran rasional. “Apa yang dipertaruhkan di sini adalah realitas faktual itu sendiri, dan memang ini adalah masalah politis yang pertama-tama.”[16] Di sini, Arendt justru bermaksud memperlihatkan betapa malangnya nasib kebenaran faktual apabila dibandingkan dengan kebenaran filosofis-rasional, terutama dalam keadaan di mana pasar mereproduksi opini secara massal. Baik kebenaran faktual maupun kebenaran filosofis terancam jatuh menjadi kebenaran pasar. Namun saat kebenaran filosofis dapat mengubah kodratnya menjadi opini di dalam pasar, kebenaran faktual tetaplah merupakan kebenaran faktual, kendati berhimpitan erat dengan opini. Sebab, demikian Arendt, kebenaran faktual selalu terkait dengan orang lain dan berbagai peristiwa yang melibatkan banyak orang. Ia pun bergantung pada testimoni dan kesaksian.[17] Dengan kata lain, bicara kebenaran faktual berarti bicara tentang fakta telanjang yang bagaimanapun juga berbeda dari opini, termasuk dari data mentah yang terberi, yang sudah diterima begitu saja (given), dan yang dibentuk seturut perjalanan sejarah. Fakta telanjang adalah fakta yang bersifat umum, diketahui publik tapi kerap ditutupi seolah-olah itu bukanlah fakta.[18]
Dari kemalangan nasib kebenaran faktual tersebut, Arendt memperlihatkan kekuasaan politik yang menekan kebenaran faktual. Maka kita dapat belajar bahwa kebenaran faktual memiliki kualitas yang lebih politis dari pada kebenaran rasional karena ia bersentuhan langsung dengan realitas beserta berbagai sikap penolakan terhadap fakta di dalamnya. Apabila kita kembali ke kasus Munir, keadilan dan kemanusiaan yang seringkali digembar-gemborkan untuk mengungkap kebenaran lebih bersifat anti-politis karena keduanya mudah sekali jatuh menjadi opini yang direproduksi dan dimanipulasi secara massal, terutama lewat media. Singkatnya, keadilan dan kemanusiaan itu menjadi jargon belaka. Pengungkapan kasus Munir mesti melalui saluran pencarian kebenaran faktual, yakni kebenaran yang nyata-nyata terjadi alias fakta umum tapi yang lepas dari hiruk-pikuk opini pasar dan data mentah. “Rumus” pengungkapan kebenaran tersebut kira-kira begini:
Namun rumus di atas tidak menuntaskan masalah hubungan konfliktual kebenaran dengan politik. Skema 1 menunjukkan bahwa kebenaran faktual beroposisi dengan kebohongan berencana. Persis pada oposisi Ω inilah Arendt ingin menunjukkan bahwa kebenaran faktual perlu ditempatkan di dalam bingkai kekuasaan politik; sebuah bingkai di mana lawan sejati dari kebenaran faktual adalah kebohongan yang diorganisir oleh aktor-aktor penguasa tertentu. Artinya, kita perlu memakai sudut pandang politik untuk lebih memahami kebenaran faktual. Pertanyaan Arendt di sini adalah: apakah kekuasaan politik dapat dan harus diperiksa tidak hanya oleh sebuah konstitusi, atau sebuah deklarasi hak, atau pembagian kekuasaan, melainkan oleh sesuatu yang berada di luar wilayah politik itu sendiri?[19]
Elaborasi atas hubungan konfliktual kebenaran dengan politik menurut Arendt memberi kita wawasan berharga, yakni tentang kebenaran seperti apa yang mesti diungkap dalam kasus di mana kekuasaan politik bersifat represif. Jawabannya adalah kebenaran faktual. Dan kebenaran faktual inilah yang mesti menjadi pegangan dalam pengungkapan kasus Munir. Lantas, politik seperti apa yang dapat mendukung pengungkapan kebenaran faktual tersebut? Bukankah politik itu sedemikian kotor, sempit, dan penuh kepentingan penguasa sehingga justru melihat kebenaran sebagai sesuatu yang berkarakter despotik, yakni kebenaran sebagai sesuatu yang mendominasi?[20]
Ada dan berlipat ganda. Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)
“A Test of Our Truth”
Pertanyaan terakhir di atas merupakan semacam titik balik dari telaah atas kebenaran menjadi telaah atas politik di dalam hubungan konfliktual kebenaran dengan politik. Sebelumnya kita sudah melihat bahwa kebenaran yang mesti diungkap adalah kebenaran faktual. Tapi kebenaran faktual itu jelas tidak berada di ruang yang hampa udara. Ia bergelut di dalam pertarungan opini pasar dan di tengah distrubusi data mentah. Ia mesti berhadapan dengan kekuasaan. Maka menjadi penting untuk memaknai politik seperti apa yang kiranya mendukung kebenaran faktual. Pada kasus Munir, kita melihat betapa politik sejumlah elit dan alat negara menampilkan wajahnya yang sangat beraneka, dari wajah empati sampai wajah kecurigaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada waktu itu menyebut kasus ini sebagai “a test of our history”; sebuah ujian yang dinilai gagal dilewati oleh pemerintahannya.[21] Pada konteks bahasan di sini, upaya pemaknaan politik seperti apa yang mendukung kebenaran faktual tak kurang merupakan “a test of our truth”.
Arendt sendiri menjelaskan pemaknaan politik di atas dalam rangka menegaskan betapa kebenaran faktual sangat mudah dilemahkan. Bagi Arendt politik yang tepat bagi pengungkapan kebenaran faktual adalah politik representatif, yakni politik yang mampu memperluas pikiran kita sehingga kita dapat melihat dunia dari sejumlah perspektif yang berbeda.[22] Namun proses representasi tersebut tidak begitu saja diterapkan seperti pada sikap empati atau dalam menghitung suara-suara individu, melainkan dengan cara:
“Menghadirkan lebih banyak posisi orang-orang lain dalam pikiranku sementara aku mempertimbangkan isu yang ada, dan dengan lebih baik aku dapat mengimajinasikan bagaimana aku akan merasa dan berpikir jika aku berada dalam kedudukan mereka, akan lebih kuat kapasitasku untuk pemikiran representatif dan lebih valid-lah kesimpulan-kesimpulanku, opiniku.” [23]
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Arendt membela kedudukan opini yang proses pembentukannya membutuhkan imajinasi, sikap ketidakberkepentingan, dan bebas dari kepentingan diri sendiri.[24] Tetapi hal ini tidak perlu diartikan sebagai pernyataan Arendt yang menolak kebenaran. Sebab, Arendt menyatakan bahwa fakta pada kebenaran faktual dan opini itu sebenarnya saling berhimpitan. “Jika opini-opini tidak didasarkan pada informasi yang tepat dan akses yang bebas kepada semua fakta-fakta yang relevan, maka opini-opini tersebut hampir tidak dapat mengklaim validitas apa pun.”[25] Yang penting di sini adalah fakta pada kebenaran faktual dan opini tersebut dapat diperdebatkan dan didialogkan dalam ruang publik secara argumentatif. Di samping itu, nilai-nilai dari opini seperti imajinasi, sikap ketakberkepentingan, dan bebas dari kepentingan diri sendiri dibutuhkan untuk mewujudkan politik representatif yang mendukung kebenaran faktual.
Kendati telah didukung dengan pemaknaan politik representatif, masih terdapat rintangan sulit bagi kebenaran faktual untuk mengekspresikan dirinya dalam kehidupan publik. Hal ini dikarenakan oleh nasib pengungkapan kebenaran faktual yang sedemikian mudahnya disingkirkan. Berkebalikan dengan pengungkap kebenaran filosofis, pengungkap kebenaran faktual tidak mungkin untuk melakukan semacam persuasi. Ia mau tidak mau akan melanggar aturan atau kaidah tertentu yang berlaku dalam kehidupan politik. Konsekuensi praktis ini terjadi karena apa yang dapat dilihat dengan mata dari upaya pengungkapan kebenaran faktual bukannya kebenaran akan apa yang diungkapkan, bukan pula kejujuran, melainkan keberanian dan kekukuhan yang sulit disangkal.[26] Maka ujian bagi kebenaran kita tidak cukup berhenti sampai di pemaknaan politik representatif. Arendt menunjukkan aspek lain yang mesti dipenuhi untuk melewati ujian tersebut, yakni kejujuran.
Ketika politik representatif dirasa masih belum cukup untuk mengakomodasi kebenaran faktual, kita mesti kembali kepada nilai kebenaran itu sendiri. Inilah yang ditawarkan oleh Arendt saat ia menegaskan bahwa musuh bebuyutan kebenaran faktual yang sesungguhnya adalah kebohongan berencana.[27] Maka perhatian perlu kita curahkan kembali ke skema 1 di atas, tepatnya pada oposisi Ω. Lantas pertanyaannya kini: apa yang membuat kebenaran faktual itu penting dalam politik?
Arendt setidak-tidaknya menunjukkan dua hal yang membuat kebenaran itu penting dalam politik. Yang pertama adalah kejujuran. Kebohongan berencana dilakukan sebagai upaya memanipulasi fakta dan opini. Di sini, kejujuran menjadi sangat penting karena dengan kejujuran pengungkapan kebenaran faktual dapat menciptakan suatu tindakan yang kemudian akan menggonggongi politik yang manipulatif. Yang kedua adalah fenomena maraknya upaya manipulasi yang dilakukan oleh media dan negara. Arendt mengatakan bahwa manipulasi fakta dan opini tampak jelas dalam pencitraan, penulisan ulang sejarah, dan kebijakan pemerintah.[28]
Kalau begitu, mengapa kejujuran itu penting dalam politik? Arendt tampaknya tak mengantisipasi pertanyaan ini. Ia hanya menekankan bahwa kejujuran itu penting demi politik representatif. 29 tahun setelah teks “Truth and Politics” terbit, Bernard Williams dalam teksnya “Truth, Politics, and Self-Deception” memberikan penjelasan atas pertanyaan tersebut. Salah satu gagasan pokok Williams adalah tiga atau empat macam argumen bagi kejujuran di dalam politik.[29] Dari telaah Williams, kita melihat bagaimana politik membutuhkan kejujuran karena dalam sistem administrasi modern, yang didukung berbagai institusi komunikasi dan edukasi, bidang politik hampir tak bisa dibedakan dari bidang hiburan (entertainment).[30] Lebih parah lagi, politik tersebut dibangun oleh konspirasi antara pendusta dan yang didustai sehingga terjadilah pendustaan diri kolektif. Akibatnya, politik yang ditampilkan oleh media menjadi ambigu antara hiburan atau penelusuran kebenaran.[31] Maka, kejujuran menjadi penting untuk menjernihkan kekacauan seperti itu.
Ujian kebenaran di sini ternyata membutuhkan kejujuran, di samping politik representatif. Lebih lanjut, Arendt mengemukakan keberadaan dua aspek penting lainnya bagi kelulusan ujian kebenaran kita. Aspek pertama adalah peran institusi pendidikan tinggi sebagai lembaga yang memprogram pencarian kebenaran dengan berasaskan pada kejujuran dan keterbukaan pada publik. Arendt mengambil Akademi yang didirikan Plato sebagai figur lembaga pendidikan tinggi yang berdiri di luar kekuasaan politik. “Tingkat kesempatan bagi kebenaran untuk muncul di publik sangat besar dengan eksistensi tempat semacam itu dan dengan organisasi cendikiawan yang independen, dan semesetinya tak berkepentingan, yang terkait dengan tempat itu.”[32] Aspek kedua adalah suatu prasyarat supaya kebenaran faktual dapat memunculkan dirinya, khususnya lewat program penelitian dan pengajaran di pendidikan tinggi, yakni sikap mengambil jarak dari wilayah politik. Sikap ketakberkepentingan ini sendiri mensyaratkan imparsialitas serta kebebasan dari kepentingan diri dalam pikiran maupun pembuatan keputusan.[33]
Perealisasian dua aspek ini menjadi urgen di tengah kondisi yang digambarkan Williams, yakni saat kodrat media tidaklah cocok dengan penemuan dan penyaluran kebenaran.[34] Hal ini muncul dari melorotnya metode penemuan dan penyaluran tersebut menjadi sekadar reproduksi penampilan-penampilan di dalam media massa. Ilustrasi tentang masyarakat Orwellian dari Michael Lynch kiranya dapat menggambarkan konsekuensi dari kondisi ketiadaan nilai kebenaran dalam kehidupan sosial tersebut. Masyarakat Orwellian dapat dibayangkan sebagai sejumlah orang yang masing-masingnya meyakini bahwa apa yang benar adalah apa yang ditentukan oleh yang berkuasa, atau yang disebut “Otoritas”.[35] Apa yang tidak dimiliki oleh masyarakat Orwellian adalah sikap kritis terhadap Otoritas yang kemudian dapat memunculkan ketidaksepakatan bahwa ada yang salah dengan perkataan atau kebijakan Otoritas. Dengan ilustrasi ini, Lynch memperlihatkan dimensi sosial dari nilai normatif kebenaran, yakni membuka kemungkinan untuk memberi koreksi meski hal tersebut berlawanan dengan kekuasaan politik.[36] Program pendidikan tinggi dan sikap ketakberkepentingan merupakan dua contoh konkret dari tindakan kritis dan korektif tersebut. Titik pijak hal ini jelas berada di luar status quo politik.
Keberadaan aspek kejujuran dan ketakberkepentingan ini jangan dimengerti sebagai ketidakmandirian kebenaran faktual untuk memunculkan diri dalam politik. Aspek-aspek tersebut adalah bagian dari kebenaran faktual. Sesungguhnya kebenaran faktual itu lebih superior daripada kekuasaan berkat kekukuhannya yang tak dapat disangkal (stubbornness). Oleh sebab itu, kebenaran faktual lebih kurang bersifat temporer daripada sifat kekuasaan yang senantiasa berubah-ubah tergantung pada tujuan-tujuan tertentu.[37]
Dengan sedikit saja mengubah paradigma kasus Munir dari “a test of our history” menjadi “a test of our truth”, pengungkapan kasus Munir dituntut untuk mengakomodasi kebenaran faktual berdasarkan politik “perluasan pikiran”. Maka, perdebatan secara argumentatif dalam ruang diskursus yang terbuka mesti tetap dipelihara. Kejujuran menjadi dasar dalam proses tersebut. Ada pun perwujudannya secara konkret dalam kehidupan sosial dinyalakan oleh kerja riset dan interpretasi para cendikiawan pendidikan tinggi terhadap kebenaran faktual. Mereka ini bersikap kritis terhadap upaya manipulasi fakta dengan berjarak dari kantong-kantong kekuasaan politik. Kekukuhan kebenaran faktual juga menjadi modal berharga bagi kebernilaiannya dalam beradu dengan kekuasaan politik. Paradigma seperti ini agaknya berguna untuk menerobos jalan buntu pemunculan kebenaran faktual yang dikekang oleh manipulasi sejumlah elit politik. Pada kasus Munir, hal ini menyuarakan nilai kebenaran sebagai pegangan dalam upaya pengungkapannya.
Penutup
Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, kita bisa mengatakan bahwa politik membutuhkan kebenaran. Kebenaran faktual-r2lah yang menjadi pegangan bagi politik dalam rangka memperluas sudut pandang pemahamannya. Politik yang representatif ini menaruh perhatian serius pada peristiwa atau fakta yang partikular, lalu mendiskusikannya secara kritis dan terbuka sehingga akhirnya dapat memunculkan signifikansi peristiwa tersebut pada tataran yang universal.[38] Oleh sebab itu pula, politik yang berlandaskan kebenaran akan mengacu pada nilai kejujuran, ketulusan, dan akurasi. Politik yang demikian tentu merupakan politik yang paling tidak realistis bagi kalangan para pendusta yang senang berkonspirasi satu sama lain. Kebenaran merupakan tapal batas dari praktik perilaku politik seperti itu.[39]
Oleh karena itu, kebenaran pun membutuhkan politik. Kebenaran tersebut harus dapat melakukan konstatasi di dalam kehidupan sosial dan menjadi aparatus pengkoreksi kekuasaan yang tirani. Namun, secara paradoksal, upaya tersebut dilakukan dari luar sistem politik. Imparsialitas ini merupakan syarat bagi pengungkapan kebenaran faktual. Menurut Arendt, inilah akar dari objektivitas yang juga berlaku dalam dunia ilmu pengetahuan.[40] Barangkali demikianlah sisi lain hubungan politik dengan kebenaran, yakni hubungan yang saling membina. Titik seimbang keduanya terwujud berkat kekukuhan kebenaran faktual. Dalam sosok Munir, sifat itu tampil dalam rupa keberaniannya memperjuangkan HAM. Kebenaran memang sepaket dengan keberanian.[41]
Repotnya, kasus Munir tampak masih dipahami melulu secara legal-yuridis. Padahal sebagaimana posisi tulisan ini, kebenaran justru merupakan hakikat dasar dari hukum. Kebenaran itu masih perlu digali lebih lanjut sambil mengerti perimbangan hubungan antara politik dan kebenaran tadi. Usman Hamid, misalnya, sangat getol menderet sekian nama elit politik yang dianggapnya dapat mengungkap kembali kasus Munir, tentunya dengan nama Joko Widodo di urutan nomor satu.[42] Hal ini terkesan seperti memaksa maling untuk mengakui bahwa dirinya adalah maling di wilayah kekuasaan para maling itu sendiri. Dalam arti tertentu, pernyataan Hamid ini senapas dengan pernyataan Hendropriyono yang melulu mengacu pada standar-standar universal dari hukum. Keduanya seperti gambar yang berbeda dari satu mata koin yang sama, yang jatuh di ruangan gelap, dan hanya meninggalkan bunyi teka-teki berdencing-dencing. Bahwa pemrosesan hukum pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan Munir adalah keharusan untuk dijalani merupakan satu hal, tapi bahwa upaya pengungkapan kasus tersebut memang menampilkan kebenaran secara benderang adalah hal yang lain.
Arti kebenaran yang telah kita kaji mendesak bidang pendidikan tinggi sebagai agen pengungkap kebenaran. Perguruan tinggi di Indonesia semestinya dapat memenuhi peran ini untuk memunculkan kebenaran di ruang publik. Perguruan-perguruan antara lain dapat melakukan riset secara ilmiah, kolektif, dan koordinatif terhadap fakta-fakta pelanggaran HAM seperti kasus Munir sehingga nilai kebenaran itu terus-menerus direfleksikan dan dirawat. Dengan tetap membuka perdebatan dan diskusi kritis kasus Munir, perguruan tinggi justru menghidupi kehidupan politik. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Hendropriyono, dan juga pernyataan Hamid di atas, yang sama-sama menunggalkan pengungkapan kasus Munir ke dalam jalur administrasi peradilan. Bila halnya demikian, maka kebenaran, seperti kata Arendt, menjadi anti politis.***
Tanius Sebastian, kader dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Kepustakaan:
Arendt, Hannah. “Truth and Politics.” Dalam Truth. Engagements Across Philosophical Traditions, edited by José Medina and David Wood. Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005, hlm. 295-314.
d’Entreves, Maurizio Passerin. “Hannah Arendt.” http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#ActPowSpaApp. Diakses pada 6 Desember 2014.
Hidayat, Bagja., et al. “Bukti Baru Pembunuhan Munir. Liputan Khusus.” Majalah Tempo Edisi Khusus (8-14 Desember 2014):42-119.
Lynch, Michael P. True to Life. Why Truth Matters. Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2006.
Williams, Bernard. “Truth, Politics, and Self-Deception.” Social Research 63 (Fall 1996): 603-617.
—————–
[1] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Fakta Baru Pembunuhan Munir”, 8-14 Desember 2014.
[2] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Abdullah Makhmud Hendropriyono: Saya Bukan Intel Kemarin Sore”, hlm. 68.
[3][3] Hannah Arendt, “Truth and Politics” dalam José Medina and David Wood (eds.), Truth. Engagements Across Philosophical Traditions (Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 295-314.
[4] “The subject of these reflections is a commonplace.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.
[5] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.
[6] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception.”, Social Research 63 (Fall 1996): 603-617.
[7] Majalah Tempo mengutip pernyataan Munir yang memang getol memprotes kedegilan penguasa yang suka menggunakan kekerasan bagi rakyatnya. Majalah Tempo menyerukan supaya kejahatan pembunuhan Munir harus diungkap dan tidak boleh terulang. “Sebab, kita, mengutip Munir pada suatu kesempatan, ‘Sudah lelah dengan kekerasan’”. Majalah Tempo Edisi Khusus, “Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan”, hlm.45.
[8] “No one has ever doubted that truth and politics are on rather bad terms with each other, and no one, as far as I know, has ever counted truthfulness among the political virtues.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.
[9] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 296.
[10] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 296.
[11] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 297.
[12] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 298.
[13] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 298.
[14] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 299.
[15] “In the world we live in, the last traces of this ancient antagonism between the philosopher’s truth and the opinions in the market place have disappeared. Neither the truth of revealed religion, which the political thinkers of the seventeenth century still treated as a major nuisance, nor the truth of the philosopher, disclosed to man in solitude, interferes any longer with the affairs of the world.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 299-300.
[16] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 300.
[17] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 301.
[18] “The facts I have in mind are publicly known, and yet the same public that knows them can successfully, and often spontaneously, taboo their public discussion and treat them as though they were what they are not – namely secrets.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 300.
[19] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303.
[20] Hal ini sejalan dengan apa yang digagas oleh Michel Foucault dalam pernyataannya bahwa kebenaran sudah merupakan bentuk kekuasaan. Bdk. Michel Foucault, “The Discourse on Language and ‘Truth and Power’”, dalam José Medina and David Wood (eds.), Truth. Engagements Across Philosophical Traditions (Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 334-335.
[21] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Bukti Baru Pembunuhan Munir”, hlm.31.
[22] Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah Arendt”, http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#ActPowSpaApp, diakses pada 6 Desember 2014. Ini merupakan gagasan tentang “perluasan pikiran” (enlarged mentality) yang diadaptasi oleh Arendt dari kritik ketiga Immanuel Kant dalam karyanya Critique of Judgement. Arendt menyatakan kritik ketiga ini memuat filsafat politik Kant meskipun Kant sendiri tak menyadari implikasi moral dan politik dari ajarannya ini. d’Entreves mengomentari bahwa adaptasi Arendt atas kritik ketiga Kant ini merupakan bagian dari teori Arendt tentang keputusan (judgement). Menurut d’Entreves, Arendt meyakini kritik keputusan estetis Kant dari bagian pertama dari Critique of Judgement telah mengkaitkan konsep keputusan dengan kemampuan politis tertentu, yakni kemampuan untuk memperlakukan peristiwa yang partikular menurut partikularitasnya, lalu memaknainya sebagai eksemplar sejarah.
[23] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303. Konsep “perluasan pikiran” yang berkorelasi dengan dua fakultas keputusan politik (imajinasi dan akal sehat yang berlaku umum (sensus communis) serta diukur menurut standar dapat tidaknya keputusan dikomunikasikan) menjadi prinsip bagi keputusan dan tindakan manusia. Hal ini memperlihatkan ide gambaran manusia yang terlibat (actor) sekaligus yang menyaksikan (spectator). Lihat lebih lanjut: Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah Arendt”.
[24] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303.
[25] Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah Arendt”.
[26] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 306.
[27] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 306.
[28] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 307.
[29] Williams menerangkan hubungan kejujuran dengan politik dan menyusun tiga argumen tentang pentingnya kejujuran di dalam politik, yakni (1) argumen anti-tiran; (2) argumen menurut demokrasi; (3) argumen liberal, yang dibagi menjadi dua(3a) versi minimal dan (3b) versi pengembangan diri. Williams memandang argumen (3a) menekankan “kebebasan dari” atau yang menurutnya bisa disebut dengan kebebasan negatif, sedangkan argumen (3b) lebih kepada “kebebasan untuk”. Menurutnya, argumen (3b) ini lebih mengarah pada nilai kebenaran yang sejati. Lebih lanjut lihat: Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, Social Research 63 (Fall 1996), hlm. 603-617.
[30] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 613-614.
[31] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 615. Arendt sebenarnya memiliki keprihatinan yang sama. Hal ini bisa kita lihat dari pendapatnya bahwa penggantian total dan konsisten kebenaran faktual dengan kebohongan akan menghancurkan kategori atau batas antara mana yang benar dan yang salah. Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 309.
[32] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 311.
[33] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 312.
[34] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 614.
[35] Michael P. Lynch, True to Life. Why Truth Matters (Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2006), hlm. 161-162.
[36] Michael P. Lynch, True to Life. Why Truth Matters, hlm. 162.
[37] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 310. Hal ini menegaskan bahwa sifat kukuh yang tak dapat disangkal erat berdampingan, bahkan saru dengan sifat berani dari pengungkapan kebenaran faktual. Lihat catatan kaki nomor 26.
[38] Hal ini dimungkinkan oleh keputusan reflektif yang berasal ajaran kritik ketiga Kant. Menurut teori keputusan reflektif, prinsip, aturan, atau hukum yang universal tidak mendeterminasi peristiwa yang partikular. Artinya, peristiwa tersebut tetap terbuka untuk diperdebatkan dan didiskusikan menurut kapasitas “perluasan pikiran”. Maka, kebenaran faktual pun bersifat politis.
[39] “Conceptually, we may call truth what we cannot change; metaphorically, it is the ground on which we stand and the sky that stretches above us.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 313.
[40] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 313.
[41] Fitri Nganthi Wani, “Buat Suci dan Kedua Anaknya”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus, hlm. 119.
[42] Usman Hamid, “Jokowi dan Kasus Munir”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus, hlm. 118.