KITA menyangka tutur kata dan senyumannya merupakan pertanda kerelaan melepaskan anaknya menjadi pasangan hidup kita dan menjadikan dirinya mertua. Nyatanya, tutur kata halus dan senyuman itu tak lebih dari kepribadiannya yang berbudi baik berkat pendidikan pesantren. Kita sangka mendung akan diikuti hujan dan kita pun membawa payung seperti kata pepatah. Nyatanya panas menyeruak dari balik awan dan menyibak langit biru di baliknya. Kita sangka ular menghadang jalan kita saat pulang dari kampus seusai latihan kungfu malam hari. Nyatanya hanya seutas tambang entah milik siapa yang tergeletak di pojok gelap jalan itu. Kita sangka dengan ijazah sarjana yang bakal diterima kelak kita bisa dapat kerjaan mapan dan akhirnya masa-masa jomlo sebelum berumur 30an. Nyatanya ijazah dan kerjaan mapan tak mengentaskan kita dari kejomloan bahkan setelah melewati usia 35. Kita sangka penindasan di kantor, pabrik, atau tempat kerja lainnya di bawah sistem kapitalisme akan memasyarakatkan kesadaran revolusioner di antara kaum pekerja ihwal bejatnya sistem kerja upahan. Nyatanya cuma soal upah tahun depan dan pelestarian gaya hidup yang disadari dan diperjuangkan. Kita sangka kapitalisme akan runtuh oleh krisis-krisis finansial dan kesenjangan ekonomi yang dilahirkannya. Nyatanya sistem ini sehat wal afiat untuk terus beroperasi entah sampai kapan.
Siapa yang tak ingin sangkaannya akan maujud ke dalam realitas. Apalagi buat mereka yang menghendaki perubahan dunia menjadi tempat terbaik bagi kehidupan manusia, bukan bagi virus. Tapi sangkaan kita tentang sesuatu biasanya tak selalu sejalan dengan kenyataan dari sesuatu itu. Mengecewakan memang. Tapi itulah hidup di dunia nyata ini. Buat seorang Marxis, apa yang dibutuhkan untuk menghindari (atau setidaknya meminimalisir) kekecewaan karena sangkaan teoritik yang dibuat tak sesuai dengan kenyataan yang sedang dihadapi?
Sebetulnya, persoalannya tidak terletak pada soal cocok atau tidaknya antara sangkaan-teoritik dan kenyataan, tapi sikap kita terhadap prasangka (sebaik dan seobjektif apapun itu) serta terhadap realitas (sejernih apapun tampilan kasat matanya). Bagaimana pun, sangkaan kita terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Kesenjangan itu menjadi sumber derita apabila kita 1) menyamakan sangkaan kita tentang realitas dengan realitas itu sendiri, atau 2) ketika kita memahami realitas sebagai ‘sesuatu’ yang padat dan dengan demikian mudah ditangkap sekadar dari apa yang kasat mata terlihat sehingga kita bisa membuat sangkaan-sangkaan untuk masa depan dengan tegas. Apa pasal? Sangkaan, entah itu sangkaan yang positif (husnudzon) maupun yang negatif (su’udzon), tak lebih dari abstraksi atas realitas objektif. Ada jarak ontologis antara keduanya. Karena yang satu subjektif-ideal dan satunya lagi objektif-riil, tak pelak mestilah ada ketimpangan antara keduanya. Sebetulnya ini pun bukan persoalan. Yang jadi soal—selain karena terlalu berharap sangkaan sama dengan realitas yang disangkakan—ialah keyakinan bahwa sangkaan kita betul-betul berasal dari abstraksi atas realitas. Jangan-jangan sangkaan itu berasal dari rangkuman desas-desus, ringkasan kabar burung, titah para tetua yang saleh dan salehah, kebiasaan yang berlaku di dalam kelompok tempat kita menjalani kehidupan sehari-hari, atau dari waham setelah mengonsumsi jamur tai kebo. Kalau sudah begitu, yakni kalau nyatanya sangkaan kita tidak berakar di dalam realitas sama sekali, maka jarak kesesuaiannya bisa bermil-mil dan bisa ringsek daya juang kita karena jatuh dari jarak seperti itu.
Apabila kita tak pernah kita sekalipun menengok pada realitas dan sekadar membuka-buka rekaman dari dan mengkopi-paste tradisi ‘orang-orang kita’ yang dulu pernah mencoba merangkumnya, maka bersiaplah untuk menyambut duka nestapa atau caci-maki betapa tak cocoknya sangkaan yang kita pegang erat itu dengan realitas. Entah sudah dari tangan ke berapa desas-desus tentang realitas yang kita jadikan sumber sangkaan kita atasnya. Memang sih menangkap realitas bukan perkara gampang dan makan waktu pula. Padahal kehidupan sehari-hari kita sudah begitu hiruk-pikuknya oleh hal-hal mendesak dan lumrah. Tak ada waktu untuk sejenak menangkapnya sebagai objek. Daripada menambah kesibukan dengan mengurusi perkara seberapa pas sangkaan kita dengan realitas, alangkah efisiennya bila kita kopi-paste saja gambaran realitas yang lazim dipercaya orang banyak dan membuat sangkaan terhadap realitas yang kita hadapi dengan gambar tersebut. Kadang tebakan kita sedang mujur sehingga bisa bertindak secara tepat terhadap realitas dan melompat ke datarannya dengan bekal gambaran kopi-paste desas-desus tentang realitas itu. Namun, seringkali sangkaan kita tak cukup untuk membuat satu lompatan ke seberang. Kita pun terpeleset dan terjun bebas masuk jurang kekecewaan.
Persoalan lain yang bisa berujung pada kekecewaan manakala sangkaan kita tak cocok dengan realitas ialah kepercayaan bahwa realitas bisa disalin oleh pikiran sepersis-persisnya. Watak realitas dan sangkaan amat berbeda. Sementara realitas itu terbuka, sangkaan kita terhadapnya berwatak tertutup. Pikiran manusia selalu bekerja dalam kerangka tertentu. Artinya, di dalam sangkaan, realitas dibuat sesederhana mungkin dengan memilah dan memeringkatkan gejala-gejala ke dalam beberapa hal saja yang kita nilai punya pertalian. Dengan menyederhanakan, kita berharap mendapatkan penjelasan kenapa realitas seperti yang kita saksikan. Karena penyederhanaan bekerja dengan andaian-andaian, tentu akan ada bagian-bagian realitas yang dikesampingkan. Dengan mengandaikan segala hal lain (yang dalam sistem terbuka bisa amat banyak) itu konstan dan dengan demikian bisa dikesampingkan sebagai faktor penentu, kita bisa menarik kesimpulan yang menjelaskan bagaimana kita (kelak) bisa kerja mapan, dapat jodoh yang dicita-citakan, dan berhenti menjadi jomlo sebelum usia 30an. Persoalannya, di dunia nyata, ijazah sarjana bukan satu-satunya faktor penentu. Ada rentang waktu tak sedikit dari sebelum lulus hingga sebelum berumur 30an. Di sepanjang rentang waktu itu bisa jadi faktor-faktor yang kita kesampingkan sebelumnya ternyata timbul dan mengubah arus dan konjungtur peristiwa. Akibatnya, kerja mapan bisa menjauh dari jangkauan dan kejomloan tetap membayangi hingga melewati usia 40an. Apabila kita kukuh berpegang pada sangkaan awal, apalagi menganggapnya sebagai kebenaran paripurna, pasti kita akan kecewa sekecewanya sambil mengutuki dunia yang tak cocok dengan kehendak.
Lantas dalam konteks relasi sangkaan dan realitas yang selalu senjang, mesti bagaimanakah seorang Marxis menghadapinya?
Cara seorang Marxis untuk tetap bahagia bukanlah memeluk teguh sangkaan awal (apalagi yang sumbernya dari ‘kata orang’) dan menganggapnya kebenaran paripurna. Realitas jauh lebih keras kepala ketimbang kehendak kita. Sebagai sistem terbuka, ketika di situ operasi ceteris paribus tak berlaku, ketika semua faktor bisa saja turun serta secara serempak, realitas bisa berjalan ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya. Oleh karena itu, daripada menjadi tukang gerutu yang selalu memaki-maki realitas karena tak cocok dengan sangkaan, persempitlah jurang antara sangkaan yang kita buat dengan realitas yang menjadi tempat kemungkinan perwujudan sangkaan itu di dalam realitas dengan terus-menerus merombak asumsi-asumsi yang membangun sangkaan kita atasnya seiring dengan penyelidikan (dan upaya mengubah) realitas.
Untuk mengubah realitas kita mesti bertindak. Tapi untuk dapat bertindak kita tak bisa punya hanya satu langkah lompatan. Kita mesti memilah antara langkah maksimum dan langkah minimum. Selain pemeringkatan atas tujuan dan program-program yang akan kita kerjakan demi masa depan, kita juga, pertama-tama, mesti meninjau ulang sangkaan teoritik kita dan asumsi-asumsi yang membangunnya. Kemudian kita periksa lagi bagaimana rupa dan dinamika realitas yang sedang kita hadapi. Jangan-jangan asumsi-asumsi yang kita pegang keliru? Atau bisa jadi realitas yang ada di dalam gambaran saat kita membuat sangkaan dan hendak kita tuju beda dengan rupa dan dinamika nyatanya saat ini.
Kalau diringkas ulang, seorang Marxis mestinya mengambil hikmah dari Idul Adha kemarin. Pertama, agar daging yang dipanggang cukup matang untuk dimakan, kita harus menyadari dahulu perbedaan antara panggang dari api. Apabila kita beranggapan bahwa kehendak dan realitas itu sama, hanguslah dagingnya. Kita tak akan sadari betapa panasnya realitas dan rapuhnya daging. Menyatukan keduanya tanpa kesadaran akan perbedaannya membuat kita tak waspada kapan mengangkat panggang dari api, membalik panggang agar diterpa semua bagiannya, dan menyelesaikan pemanggangan.
Kedua, agar dagingnya matang, kita juga tak boleh jauhkan panggang dari api. Semakin jauh panggang dari api, semakin sangkaan teoritik itu adanya di menara gading intelektuil, makin mentahlah dagingnya. Dan daging mentah yang dibiarkan begitu saja akan menjadi busuk. Ia tak berguna kecuali bagi bakteri-bakteri yang bahagia.***