PADA hari perayaan kemerdekaan tahun ini, di sebuah pojok dinding dekat perempatan jalan sekitar pinggiran selatan perbatasan Jakarta, terpajang sebuah spanduk coretan pylox bertuliskan “Tak terasa sudah 71 tahun Indonesia merdeka, tak terasa juga merdekanya.” Kawasan tempat spanduk itu adalah lingkungan persilangan lalu lintas antara golongan kaum urban yang tinggal di pemukiman-pemukiman yang dibangun para pengembang property (bervariasi dari yang kelas menengah mau pun atas), dan golongan kaum para “penduduk asli” yang tinggal di rumah-rumah mereka yang semakin terjepit oleh perumahan golongan pertama tadi. Tapi tak ada keterangan siapa yang membuat atau pun mengatasnamakan pernyataan dalam spanduk tersebut.
Sang spanduk coretan pylox itu tidak dicetak dengan digital printing atau pun sablon, sebagaimana ratusan spanduk lain di sekitar lokasi yang hingar bingar berkampanye tentang perayaan kemerdekaan untuk membungkus-bungkus iklan perumahan, cicilan kredit usaha, ajakan belanja, hingga iklan calon-calon peserta pilkada serentak yang akan digelar tahun depan. Sang spanduk coretan pylox itu seperti berani beda dan kesepian di antara “suara-suara” lain yang mengisi ruang demokrasi yang sudah bergulir lagi di Indonesia merdeka sejak 18 tahun yang silam. Buat yang membaca bunyi spanduk plyox tersebut bisa berkesimpulan pernyataan yang dipajang di dalamnya bersifat satir, sinis, bahkan mungkin dituduh dangkal (superfisial). Untung saja belum terdengar komentar spanduk itu subversif, seperti yang biasasanya menjadi respon di masa otoriterisme Orde Baru. Juga beruntung isi spanduk pylox tersebut tak ditanggapi sebagai pencemaran nama baik atau pun ujaran kebencian – sebagai metode membungkam yang dilegalkan di masa paska otoriter.
Sebetulnya kita tidak kekurangan suara-suara dengan gaya satir, sinis, apalagi yang superfisial di era demokrasi saat ini. Apalagi semenjak berjayanya praktik media sosial di republik kita yang semakin tua usianya ini. Dinding atawa ‘wall’ media sosial rakyat Indonesia dijejali oleh beragam tulisan yang satir dan sinis tentang kehidupan sosial politik dan terutama terkait elit-elitnya. Sayangnya, mayoritas berita yang memadati lingkungan hidup virtual kita itu tidak mengarah pada renungan apalagi pembelajaran yang mendalam buat rakyat. Pikiran-pikiran yang berdialog dan bertengkar di dinding-dinding media sosial kita kebanyakan justru sangat dangkal, karena digerakkan oleh logika yang sektarian (terutama SARA), imajinasi yang melulu mengikuti logika pasar yang mendewakan profit dan popularitas yang bisa diperjualbelikan, dan juga pseudo-sains (ilmu pengetahuan palsu) yang bercampur aduk dengan mitos dan keyakinan spiritual yang dipaksakan.
Superfisialnya suara atau narasi di dinding-dinding media sosial kita di era demokrasi saat ini, berpuncak pada bingkai “haters versus lovers” (pembenci kontra pendukung) yang diproduksi elit untuk membatasi arena aspirasi rakyat secara luas. Media-media ‘alternatif’ yang bertumbuhan pun minim yang bisa keluar dari perangkap ini. Penjelasan “haters/lovers” begitu hegemonik dan meluas sehingga sedikit sekali ruang yang dibangun untuk imajinasi di luar yang mengabdi kepentingan pertarungan elit atau pun menghapus jejak kepentingan kaum modal di balik logika berorientasi pasar yang mencengkram praktik sosial kita. Apalagi sejauh ini kita memang kekurangan wadah terorganisir dan tokoh alternatif yang berbasis sosial kuat di antara mereka yang disingkirkan dan berjuang melawan penggusuran oleh penguasa negara maupun modal. Suara-suara satir dan sinis di media-media kita saat ini, disadari atau tidak, memilih logika pasar tentang apa yang paling menjual: membahas isu-isu dan pertengkaran elit yang terus berganti episode nyaris tanpa solusi dan tanpa henti.
Akibatnya, di era yang secara formal bukan otoriter lagi ini memang langka untuk menemukan suara-suara kesepian yang kritis terhadap kekuasaan negara dan modal sekaligus menumbuhkan imajinasi tentang cara hidup bersama yang baru, masuk akal, dan menawarkan kebahagian-kesejahteraan bersama. Memang media-media alternatif, termasuk suara aktivis-aktivisnya secara rutin mengabarkan tentang perjuangan dan pembelaan kasus-kasus rakyat dari berbagai pelosok negeri. Tapi, bila tidak salah mengamati, kebanyakan masih berhenti pada unjuk perasaan para korban yang dalam banyak kesempatan berujung pada tekanan pada elit untuk berbelas kasihan. Sementara itu di antara suara-suara lirih yang kuantitasnya jarang mempromosikan imajinasi dan jalan perjuangan politik alternatif, justru seringkali direspon secara sinis dan satir oleh kalangan media alternatif sendiri – apalagi oleh media arus utama yang sudah punya kebijakan terpola untuk menghalau wacana dan informasi tentang gerakan rakyat kecuali dapat dimanfaatkan untuk agenda elit yang berada di belakang keberadaan mayoritas media (termasuk sekarang dalam fenomena para buzzer di media sosial).
Media seperti IndoPROGRESS bukan satu-satunya media alternatif yang tersedia di lingkungan hidup virtual kita saat ini. Penting kiranya media alternatif progresif yang ada dan akan terus bertumbuhan merefleksikan misi bersuara yang hendak dikembangkan secara luas dan konsisten. Menembus pagar-pagar logika pasar dan agenda kepentingan elit (negara dan korporasi) harus menjadi visi strategis yang diupayakan bersama. Membentangkan “spanduk-spanduk” yang subversif pada kuasa negara dan korporasi (pemodal) di lingkungan hidup media sosial perlu menjadi antusiasme bersama. Karena suara satir dan sinis yang tidak subversif pada kuasa negara dan korporasi sudah sangat mendangkalkan kesadaran rakyat di tengah era kemudahan mengakses informasi dewasa ini.
Coretan-coretan kritis di dinding kota semakin jarang kita temui, sementara suara satir dan sinis di “dinding-dinding” media sosial kita baru sebatas menghadirkan informasi yang superfisial buat rakyat. Kegairahan yang bisa dibangun lewat media sosial akan adanya gerakan rakyat yang kuat dan tidak tunduk pada agenda elit mesti giat dihadirkan. Untuk itu, kita perlu penyatuan sumber daya dan tenaga di lingkungan hidup media sosial yang kita nikmati saat ini. Demi menjaga harapan rakyat akan adanya perubahan sosial sejati sekalipun telah berkali-kali dimanipulasi elit dan kalangan aktivis oportunis. Karena ruang demokrasi elektoral yang menguntungkan elit-elit oligarkis saat ini sudah pasti bukan lah akhir dari perjalanan suara-suara kesepian rakyat yang terus berlawan.***