KALA itu. Jum’at, 20 Maret 2015. Sebuah peristiwa yang tidak biasa menyentak rutinitas saya.
Saya mahasiswa biasa. Bukan aktivis, bukan pula mahasiswa rajin pemburu nilai akademis. Rutinitas keseharian saya hanya ada di tiga tempat: kos, kelas, dan Perpus. Selebihnya, sesekali, hanya nongkrong di kafe dengan—menggunakan istilah keren kami—sahabat-sahabat epistemik.
Hingga tiba pada titimangsa yang tadi, di pagi hari, saya beranjak dari kos menuju kampus dengan jalan kaki. Hanya untuk menjalankan rutinitas seperti biasa. Hari itu tak ada yang istimewa. Namun sepertinya waktu yang kita lewati memang tak pernah sama. Ia akan selalu menghadirkan momen yang berbeda.
Tampak gerombolan ibu-ibu dari desa. Mereka berkumpul di depan Fakultas Kehutanan—memberi saya kesan yang berbeda dari hari–hari sebelumnya. Ada apa? Saya bertanya-tanya.
Saya lalu membuka Facebook. Ternyata di medsos sudah ramai dibicarakan bahwa pada hari itu akan ada demo ibu-ibu dari Rembang. Mereka hendak menuntut salah dua akademisi—dengan sedikit malu saya menyebutnya—kampus saya, UGM. Kampus besar nan beken. Sekaligus kampus yang mengklaim dirinya “kampus kerakyatan”!
Dua akademisi tersebut dituntut karena telah memberikan kesaksian di pengadilan bahwa bebatuan karst di Pegunungan Kendeng layak ditambang. Hasil studi kelayakan dua akademisi itu dinilai merugikan petani Rembang, sebab memberi lampu hijau kepada PT. Semen Indonesia untuk melakukan pertambangan. Dengan begitu, petani Rambang terancam kehilangan lahan.
Manusia dan Angka
Ini bukan soal apa-apa. Ini soal posisi ilmuwan, kaum terdidik, yang menutup diri untuk persoalan manusia; persoalan nyata di sekitarnya. Ilmuwan seperti itu adalah produk sistem pendidikan yang positivistik-mekanistik. Sistem pendidikan yang jauh—atau sengaja dijauhkan—dari sentuhan nilai-nilai humanistik.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, ada satu babakan yang hanya mengakui matra tunggal: pengetahuan harus bebas nilai (value-free). Ini kemudian memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Terbukti, di abad XX, muncul gerakan intelektual di Jerman yang mengusung spirit “pengetahuan harus bebas nilai”. Mereka dikenal dengan nama Lingkaran Wina (Vienna Circle).
Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa pengetahuan hanya dapat sahih apabila bisa terukur, teramati, dan terverifikasi. Pengetahuan yang masih membawa asumsi-asumsi non-epistemik (penilaian moral, religius, budaya, sosial, kemanusiaan, dll.) adalah bullshit. Pengetahuan jenis itu tidak objektif.
Sistem pendidikan kita sedikit banyak telah menyerap spirit yang sama. Dari bangku sekolah hingga bangku kuliah, capaian anak didik selalu diukur dengan angka. Parahnya, ukuran itu sering dianggap sebagai ukuran satu-satunya dan paling absah.
Banyak anak didik yang kemudian menggadaikan kemanusiaannya demi memperoleh angka mewah. UN tidak jujur, tugas kuliah plagiat, atau belajar semalam hanya untuk ujian. Padahal, apa yang istimewa dari angka?!
Nilai yang ada dalam satuan angka-angka jelas tidak memadai untuk mengukur sisi terdalam manusia. Angka hanya mengukur apa yang tampak, yang kasat mata. Sementara manusia punya arus subjektivitas yang luar biasa dalam dan besar. Sisi religiusitas, spiritualitas, dan sensibilitas kemanusiaan anak didik, misalnya, sulit terjangkau oleh angka. Akhirnya, itu semua tak terakumulasi dalam nilai angka yang sering dipuja-puja.
Ilmuwan seperti dua akademisi di atas lahir dari rahim sistem pendidikan yang begitu memuja nilai sebuah angka. Sejak di sekolah hingga bangku kuliah, mereka hanya mengabdi untuk angka; mengingkorporasikan subjektivitas kemanusiaan mereka ke dalam satuan angka-angka. Mereka lalu menjadi “manusia angka”!
Manusia angka itu kehilangan—meminjam bahasa Karlina Supelli—”daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif”-nya. Yang lebih mengerikan lagi, bila mereka tak punya rasa simpati dan sensibilitas pada problem-problem nyata manusia. Pada saat itulah, pendidikan bisa dianggap gagal menjalankan tugas pokonya: mendidik manusia sebagai manusia.
Retakan Epistemik
C.P. Snow (1905-198), seorang ilmuwan sekaligus novelis asal Inggris, menyampaikan sebuah kuliah terbuka pada tahun 1959 di Universitas Cambridge. Dalam kuliah yang kemudian diterbitkan dengan judul The Two Cultures itu, C. P. Snow melihat adanya keretakan epistemik di kalangan intelektual masyarakat Barat.
Keretakan itu menyebabkan munculnya dua kubudayaan (two cultures) yang saling berseberangan, yakni bidang sains (sciences) dan bidang humaniora (humanities). Di antara keduanya terdapat “a gulf of mutual incomprehension“—sebuah jurang pemisah. Jurang itu sangat berbahaya.
C.P. Snow kemudian menyoroti model pendidikan yang terspesialisasi. Spesialisasi pendidikan itulah yang membuat jurang pemisah antara bidang sains dan bidang humaniora. Matematikawan harus melulu memikirkan rumus-rumus. Fisikawan hanya bergelut dengan teori-teori fisika. Astronom cukup hanya mengamati planet dengan pola geraknya. Begitu seterusnya. Mereka enggan berdialog dengan kawan-kawan di seberang sana, orang-orang yang berada di bidang humaniora.
Hal yang sama juga terlihat dalam dunia pendidikan kita. Masing-masing intelektual dari dua bidang (sains dan humaniora) tampak menunjukkan arogansinya. Ini kemudian merobohkan bangunan “ide universitas”. Sebuah tatanan ideal yang berupaya mempertemukan beragam fakultas. Sebab universitas mestinya tidak dipahami hanya sekadar secara kelembagaan yang memayungi banyak fakultas, tetapi pada tahap yang lebih abstrak, ia mesti membangun relasi interdisipliner antarkeilmuan yang ada di tiap-tiap fakultas.
Lalu, bahaya apa yang ditengarai oleh C. P. Snow dari adanya spesialisasi pendidikan itu? Di bagian akhir kuliahnya, ia menyatakan dengan nada cemas bahwa bahaya dari itu semua adalah “no society is going to be able to think with wisdom“. Masyarakat tidak dapat berpikir bijak.
Kasus dua akademisi UGM tadi secara implisit membenarkan apa yang dicemaskan C. P. Snow. Sebagai ilmuwan dari bidang sains (Fakultas Geografi), mereka berada di bawah tuntutan objektivitas ilmu di dalam membuat sebuah putusan ilmiah. Segala pertimbangan non-epistemik mesti disingkirkan supaya putusannya dinilai objektif.
Mungkin saja putusan yang dibuat mereka memang benar-benar ilmiah dan objektif. Namun, karena mereka sama sekali tidak memperhatikan pertimbangan non-epistemik, seperti dampak sosial-budaya dan masalah kemanusiaan, maka putusannya justru membikin petani Rembang menjerit.
Saat itulah pendidikan—alih-alih mendekatkan—justru mengasingkan kaum terdidik dari lingkungan sosialnya, dari persoalan nyata umat manusia. Kaum terdidik mengabdi untuk ilmunya, bukan untuk kamaslahatan umat manusia. Saat itulah juga postulat “ilmu untuk ilmu” keras bergema.
Merawat Imajinasi, Mengasah Emosi
Lantas apa yang bisa membuat pendidikan gayut dengan nilai kemanusiaan; yang dapat membikin kaum terdidik membuka mata terhadap masalah manusia dalam kehidupan?!
Suara minor dari Amerika mesti kita dengarkan. Suara itu keluar dari sosok seorang perempuan, Martha Nussbaum (1947-…). Dalam From Disgust to Humanity (2010), ia mengajak kita untuk melatih imajinasi. Dengan imajinasi kita dapat membayangkan keberadaan orang lain; nasib orang lain; dan penderitaan orang lain.
Dengan kemampuan membayangkan itulah sensibilitas kemanusiaan kita dapat terasah. Ketika terjadi pengucilan terhadap kelompok minoritas, misalnya, kita dapat membayangkan bagaimana tekanan psikis yang dialami mereka. Dari situlah akan tercipta rasa simpatik pada mereka; pada sesama manusia. Kita akan turut merasakan apa yang mereka rasakan.
Pendidikan, bagi Nussbaum, mesti merawat daya imajinatif anak didik dan mengasah rasa simpatik mereka pada dunia. Pemahaman kognitif anak didik tidaklah cukup tanpa dilengkapi dengan daya imajinatif-afektif-simpatik. Hanya dengan itu semua, pendidikan bisa gayut dengan soal kemanusiaan; dan anak didik tidak asing dengan lingkungan sekitar.
Tapi masalahnya, seberapa besar penghargaan pola pendidikan kita pada kemampuan imajinatif anak didik? Kecuali mungkin materi sastra dan seni, pendidikan formal justru memiskinkan imajinasi. Anak-anak seperti terus ditekan daya imajinatifnya. Otak mereka hanya boleh menerima dan menyerap apa yang disampaikan oleh guru atau dosennya.
Apalagi, terkait dengan pertimbangan pragmatis, generasi masa kini lebih banyak menggandrungi bidang-bidang praktis, seperti teknik. Lumpuhlah daya imajinatif dan simpatik mereka. Sebab hidup hanya soal membuat perkara praktis dan nyata. Bahkan, filsafat yang spekulatif, kini juga mendapat serangan dari gelombang besar saintisme. Filsafat dituntut untuk menjadi ilmu positif.
Melihat itu semua, mengertilah kita bila Rendra dengan nada keras bertanya: Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya akan membuat seseorang asing/ di tengah kenyataan persoalannya?// Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya mendorong seseorang/ menjadi layang-layang di ibu kota/ kikuk pulang ke daerahnya?// Apakah gunanya seseorang/ belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran/ atau apa saja/ bila pada akhirnya/ ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: ” Di sini aku merasa asing dan sepi!”//.***
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Filsafat Cogito Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta