Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto
JOKOWI kembali melakukan kocok ulang kabinetnya. Hasilnya dapat dinilai sangat buruk. Bagi kita yang menghendaki adanya perubahan politik yang mendasar, tidak ada yang baru secara politik dari figur-figur yang dipilih. Ditenggarai, hasil reshuffle ini sangat ditentukan oleh dinamika konstelasi elit yang ada. Sebagai presiden yang terpilih tanpa ada mesin politik yang mumpuni, Jokowi begitu terpapar oleh oleh jejaring kuasa serta kepentingan lawan maupun kawan politiknya. Setiap kegagalan untuk merespon kepentingan ini, tentu saja berimplikasi pada ringkihnya fondasi dukungan terhadap Jokowi. Dalam logika ini adalah keharusan bagi dirinya untuk selalu membongkar ulang formasi kekuasaan yang ada demi mempertahankan legitimasi pemerintahannya sendiri.
Pilihan politik Jokowi adalah suatu bentuk elitisme politik. Tidak ada kepentingan rakyat dalam hitung-hitungan reshuffle. Tapi kita perlu lebih reflektif dalam memahami hal ini: respon elit bukan melulu adalah pemenuhan kepentingan elit itu sendiri, akan tetapi ia juga merupakan respon atas konfigurasi kekuasaan yang lebih besar dimana terdapat posisi non elit, atau gerakan rakyat, didalamnya.
Harus diakui di era pemerintahan Jokowi, rakyat bersama dengan organisasinya semakin berani untuk melakukan perlawanan. Alasannya jelas, dikarenakan di era Jokowi tidak ada perubahan orientasi kekuasaan. Banyak kebijakan yang menindas sekaligus menciderai rasa keadilan masyarakat luas. Disinilah letak rasionalitas dari marak serta menguatnya perlawanan rakyat sekarang.
Tidak heran jika secara struktural pola kekuasaan dalam kabinet pasca reshuffle menghadirkan bentuk kuasa neoliberal dengan dosis represif yang tinggi. Alih-alih dipahami sebagai agenda tata-kelola semata, neoliberalisme adalah agenda politik dari kelas berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya dalam keringkihan ekonomi kapitalisme yang dipenuh krisis. Mekanisme pasar diperlukan untuk memarjinalisasi kepentingan rakyat pekerja dari politik negara. Dalam hal ini, kembalinya figur seperti Sri Mulyani Indrawati bukan sekadar upaya untuk mengembalikan kredibilitas performa ekonomi kabinet di mata internasional, tetapi lebih dari itu ia merupakan bagian dari kelas berkuasa Indonesia untuk menghancurkan secara sistematis kapasitas politik rakyat melalui instrumen kebijakan negara yang mendukung pasar.
Potensi perlawanan yang akan muncul karena pendalaman agenda neoliberalisme diantisipasi dalam kocok ulang kali ini dengan diakomodasinya figur seperti Wiranto yang memiliki sejarah pelanggaran HAM. Dengan masuknya Wiranto, karakter represif negara diperkuat. Dengan pengalaman nyatanya sebagai Jenderal yang juga ikut mengorganisasikan kekuatan-kekuatan pendukung kekerasan (seperti PAM Swakarsa yang kemudian menjadi cikal bakal FPI), sangat besar kemungkinan bagi rezim ini untuk memunculkan wajah despotiknya.
Kondisinya memang muram. Tapi bukan sama sekali madesu (masa depan suram). Bagi saya, setidaknya ada dua pendidikan politik secara luas: pertama, serangan secara terus menerus terhadap kepentingan rakyat oleh pemerintahan Jokowi akan secara bertahap menyibak tirai ilusi yang selama ini membungkus figur sekaligus kekuasaan Jokowi itu sendiri. Penyibakan ilusi ini memberikan pelajaran sekaligus pengalaman bagi rakyat bahwa kekuasaan yang menyandarkan pada keberadaan popularitas figur memiliki batas.
Yang kedua, yang menurut saya sangat penting, adalah keterpaparan rakyat tentang realisme politik. Politik adalah mengenai pertarungan yang mensyaratkan kekuatan politik yang terorganisir. Dukungan terhadap Jokowi yang sempat terbentuk pada saat kandidasi presiden, sangat tidak mencukupi jika tidak pembentukan mesin politik yang serius. Terkait dengan keberadaan mesin politik, hal tersebut hanya bisa terbentuk ketika ada organisasi politik dengan agenda serta agregasi kepentingan tertentu. Reaksi yang diperlihatkan Jokowi menunjukan bahwa pertarungan kepentingan yang terorganisir menjadi harga mati.
Disinilah kita menemukan secercah kemungkinan untuk keluar dari kesumpekan yang ada. Benturan atas realitas memaksa gerakan rakyat semakin sadar untuk mengartikulasikan agendanya melalui pembentukan organisasi politik. Tidak heran jika dalam beberapa waktu belakangan ini kita dapat menemukan beberapa manuver menarik dari gerakan rakyat untuk membangun partai politiknya sendiri.
Sebagai contoh, Partai Hijau Indonesia, yang merupakan bagian dari elemen gerakan tani dan lingkungan, berhasil untuk mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan HAM sebagai salah satu calon partai peserta pemilu 2019. Dalam kesempatan yang lain, kita juga menemukan pengalaman Rumah Rakyat Indonesia (RRI), yang didirikan oleh banyak elemen gerakan buruh, yang berencana untuk terlibat dalam pemilu 2019 melalui kerjasama dengan Partai Buruh (partai yang sempat ikut serta dalam Pemilu 2004). Situasi ini setidaknya menunjukkan bahwa ada proses politik yang menarik di luar politik elit.
Namun, tentu saja, proses seperti ini masih belum mencukupi sebagai suatu bentuk kekuatan politik rakyat yang aktual. Proses pembangunan partai elektoral versi gerakan ditingkatan legal-formal harus pula diikuti dengan politik konfrontasi yang disertai mobilisasi oleh organisasi gerakan itu sendiri. Jika ada sesuatu yang bermakna dari pemerintahan Jokowi sekarang, maka itu adalah sensitifitasnya terhadap segala bentuk konflik. Konfrontasi melalui mobilisasi membuka peluang bagi adanya kemenangan-kemenangan bagi gerakan rakyat, yang walaupun hasilnya kecil, dapat berguna secara strategis untuk peningkatan kapasitas politik mereka secara lebih luas.
Mobilisasi yang konfrontatif juga memungkinkan gerakan rakyat untuk memaparkan posisinya ke hadapan publik secara luas, yang keluar dari opsi-opsi politik elit yang sudah berlaku selama ini. Dalam hal ini, publik diberikan kesempatan untuk mendapatkan suatu posisi alternatif yang dapat diacu sebagai kanal politik atas kekecewaan serta ketidakpercayaan terhadap kekuasaan elit yang ada.
Tantangan terbesar dari upaya ini adalah bagaimana menciptakan narasi perlawanan yang bersatu sekaligus konsisten, yang dapat dibangun oleh gerakan rakyat itu sendiri. kita harus memulai kenyataan bahwa gerakan rakyat yang ada masihlah fragmentatif. Dengan adanya pendalaman kebijakan neoliberalisme di masa pemerintahan Jokowi sekarang, memang akan menciptakan banyak momen perlawanan. Namun tanpa narasi perlawanan yang bersatu, banyakan bentuk perlawanan hanya akan dianggap buih yang dapat diredam oleh elit berkuasa.
Menariknya, keterpurukan Jokowi ke dalam pusaran elit politik di tahun kedua pemerintahannya (melalui reshuffle), di sisi bersamaan mempercepat munculnya kesadaran bahwa Jokowi beserta artikulasi kekuasaan yang seperti dirinya adalah kartu mati bagi masa depan politik Indonesia yang menghendaki perubahan mendasar. Dalam momen seperti ini, Dewa Waktu tengah tersenyum manis ke hadapan kita semua. Dari sekarang, kita dapat segera membicarakan bagaimana melakukan konsolidasi persatuan yang strategis di antara seluruh elemen gerakan rakyat. Dan persatuan ini dapat digunakan untuk memperkuat posisi gerakan rakyat dalam pemilu 2019, baik (jika terealisasi) sebagai peserta pemilu atau sebagai kekuatan oposisi terhadap sistem pemilu itu sendiri. Di sini, akhirnya, kekuatan politik gerakan rakyat mau-tidak mau harus dimasukkan dalam peta pertarungan politik pemilu 2019.
Apa yang hendak saya argumentasikan adalah pembacaan yang realistis atas kondisi yang ada juga dapat menyibak struktur peluang yang dapat digunakan oleh gerakan rakyat untuk menundukkan pemerintahan Jokowi yang sangat dipengaruhi oleh politik elit berkuasa. Dengan menyingkirkan rasa sinisme sekaligus kekalahan-isme (defeatism) yang selalu membuat gerakan rakyat merasa diri mereka tidak berdaya, setidaknya ada potensi bahwa gerakan rakyat dapat mendorong maju kepentingannya dalam konstelasi kekuasaan yang ada.
Mungkin ini terdengar seperti angan-angan. Tapi bagi saya, angan-angan seperti ini sangat diperlukan untuk keluar dari kesumpekan politik ala pemerintahan Jokowi. Tentu dengan prasyarat Jika memang harapan tentang politik Indonesia yang lebih demokratis, membebaskan, setara serta lebih adil ada dalam horizon pandangan kita.***