Pasca Brexit: Inggris Goyah, ‘Keminggris’ Kokoh?

Print Friendly, PDF & Email

TATKALA BRITANIA bersiap-siap meninggalkan Uni Eropa, beberapa politisi Perancis mencium kesempatan emas untuk mengikis habis dominasi bahasa Inggris. Demikian diberitakan oleh harian pagi Amsterdam de Volkskrant pada edisi Rabi 29 Juni 2016, halaman lima (bawah). “Bahasa Ingris tidak bisa lagi merupakan tiga bahasa kerja Parlemen Eropa,” demikian kicauan Jean-Luc Mélenchon, pemimpin partai kiri Parti de Gauche, dalam twitternya. Tiga bahasa kerja parlemen Eropa itu adalah bahasa-bahasa Jerman, Perancis dan Inggris.

Molière versus Shakespeare

Robert Ménard, walikota Béziers, kota kecil di wilayah Languedoc, Perancis selatan, juga berseru untuk menghapus bahasa Inggris dari pelbagai lembaga Eropa. “Bahasa Inggris tak punya legitimasi lagi di Brussel,” ujarnya. Walikota ultra kanan ini berpendapat bahwa semua imigran yang berasal dari Inggris juga harus segera dipulangkampungkan.

Sudah lama orang Perancis jengkel menghadapi kenyataan bahwa bahasa kalangan di seberang kanal yang selalu ingin diistimewakan itu menggeser bahasa Perancis sebagai bahasa terpenting Uni Eropa. Di mata Paris, bahasa Perancis adalah bahasa Uni Eropa. Bukankah orang Inggris baru bergabung pada 1973 untuk akhirnya, 43 tahun kemudian, cabut lagi?

Sampai 1995, pada setiap jumpa pers Komisi Eropa hanya menggunakan bahasa Prancis, paling sedikit oleh para komisaris Eropa dan jurubicara mereka. Tetapi setelah kepergian Jacques Delors dari jabatan ketua komisi Eropa, bahasa Molière ini harus memberi ruang kepada bahasa Shakespeare, keduanya adalah pujangga-pujangga penting bagi perkembangan bahasa Prancis serta bahasa Inggris. Sekarang dalam pelbagai briefing Komisi Eropa digunakan bahasa Prancis dan Inggris secara bergantian. Ternyata bahasa Inggris makin merajalela, apalagi dengan kedatangan negara-negara Eropa timur, yang —kecuali Rumania— tidak fasih berbahasa Perancis.

Banyak amtenar Perancis yang bertugas dalam Uni Eropa menyesali perkembangan ini. Maklum mereka yakin bersama tersingkirnya bahasa itu, cara berpikir dan bekerja Perancis juga akan terkikis dari Uni Eropa. Dari awal, birokrasi Eropa sudah diatur dalam tatanan Perancis, sangat berbeda dengan cara Inggris yang lebih zakelijk alias langsung ke masalahnya.

 

Keputusan unanim politik bahasa

Para pecinta bahasa Perancis mulai bersuka ria tatkala Senin 27 Juni, di depan parlemen Eropa, Danuta Hübner asal Polandia berpidato bahwa bahasa Inggris akan kehilangan status sebagai bahasa resmi Uni Eropa begitu Britania cabut. Menurutnya, setiap negara anggota berhak melaporkan bahasa mereka sebagai bahasa resmi Eropa, tapi hanya Britania yang melaporkan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dari 24 bahasa negara-negara Uni Eropa. Padahal di Eropa bukan melulu Britania yang menggunakan bahasa ini.

Kalau bahasa Inggris tidak lagi merupakan bahasa resmi Uni Eropa, maka tampaknya Irlandia dan Malta yang akan merasa terpukul. Itulah masalahnya. Bahasa Irlandia hanya dikuasai oleh minoritas kecil warga negeri itu, sementara mayoritas tetap berbahasa Inggris, meski Irlandia sudah keluar dari Britania Raya pada 1922. Namun demikian, wakil komisi Eropa di Dublin Senin 27 Juni memastikan bahwa bahasa Inggris akan tetap merupakan salah satu bahasa resmi, politik bahasa Uni Eropa hanya bisa berubah kalau terjadi keputusan uninanim para pemimpin pemerintahan negara-negara anggota Uni Eropa.

 

Berdampakkah di Indonesia?

Akankah nasib bahasa Inggris ini berdampak di Indonesia? Terus terang saya ragu sekali. Terutama karena kalangan keminggris (keinggris-inggrisan) sudah begitu dominan di tanah air, sehingga mereka juga tidak akan ambil perduli pada runtuhnya pamor bahasa Inggris di Eropa yang tampaknya akan dimulai di parlemen Eropa ini. Walau begitu, dalam rangka mengurangi dominasi kalangan keminggris ini, saya memberanikan diri untuk mengajukan usul berikut.

Pertama-tama usul ini didasarkan pada kenyataan bahwa orang Indonesia tidak punya nasionalisme bahasa. Mulut mereka sering sampai begitu berbusa-busa dalam bicara tentang NKRI harga matèk atau masalah perbatasan negara yang begitu abstrak. Kesannya mereka super nasionalis, bahkan nasionalis fanatik, atau bahkan lagi nasionalis fundamentalis. Tapi coba kita berpaling pada bahasa Indonesia. Maka akan terlihat betapa orang Indonesia itu cuman keminggris belaka. Secara tahu dan mau mereka masukkan kata-kata Inggris dalam tutur kata mereka. Artinya: nasionalisme mereka tiba-tiba lenyap menguap tanpa bekas sama sekali dalam bidang bahasa. “NKRI harga matèk, at all cost”, begitu pernah saya baca. Keminggris memang begitu: harus ada salahnya; selalu, karena yang benar adalah at all costs (dengan s sesudah cost). Mereka jelas kesulitan untuk berujar, “NKRI harga matèk, apa pun biayanya”, karena di sini terselip penegasan bahwa biaya itu adalah pembunuhan orang-orang Papua yang dianggap separatis.

Tidak mudah untuk bisa sampai pada predikat keminggris. Selain hampir selalu ada kata yang salah, berikut ini saya kemukakan paling sedikit dua syarat lagi sebelum seseorang bisa menyandang gelar keminggris. Pertama-tama, seperti contoh di atas, kecenderungan keminggris itu baru muncul tatkala seorang penutur mencampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dan ia tetap memakai kata-kata Inggris itu walaupun bahasa Indonesia sudah memiliki padanannya. Tutur katanya bukan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia tapi juga tidak sepenuhnya berbahasa Inggris. Kenapa menggunakan “at all cost” yang salah itu, padahal kita sudah punya “apa pun biayanya”? Jawabannya karena pengguna memang keminggris.

Dengan begitu keminggris tidak bisa diterapkan jika sebuah kata atau istilah tidak memiliki padanan Indonesianya. Tapi apa kira-kira kata atau istilah asing yang tidak memiliki padanan Indonesianya? Unduh dan unggah sudah sering digunakan untuk mengganti download dan upload. Lagi pula orang yang tidak keminggris biasanya masih memberi peringatan, misalnya “orang Inggris menyebutnya sebagai unholy alliance”, dan istilah ini belum memiliki padanan Indonesia yang umum. Peringatan seperti ini bertujuan untuk memberi penekanan bahwa pengguna akan menuturkan istilah asing yang belum tentu memiliki padanan Indonesianya.

Kemudian keminggris juga baru muncul ketika seseorang menggunakan kata-kata Inggris untuk sesama orang Indonesia, artinya tidak untuk orang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Secara khusus saya ingin menunjuk pelbagai pengumuman keminggris yang ditujukan kepada khalayak umum. Jadi bukan percakapan langsung antara beberapa orang, mau tak mau itu adalah urusan mereka yang terlibat. Tidak seharusnya pihak luar campur tangan dalam sesuatu yang hanya melibatkan segelintir orang. Sebaliknya, pengumuman bisa saja tertera dalam kata-kata atau istilah Inggris yang benar, tapi jelas tidak ada manfaatnya karena tidak ditujukan kepada khalayak internasonal. Baik pembuat maupun pembaca pengumuman keminggris itu bisa bertutur kata sepenuhnya dalam bahasa Indonesia.

 

Lagak bahasa Filipina

Sejauh pengamatan saya tidak ada satu negara Eropa pun yang begitu keminggris seperti Indonesia. Memang bahasa Inggris diakui sebagai bahasa internasional, tetapi orang Belanda misalnya hanya menggunakan bahasa ini jika bercakap-cakap dengan orang asing, bukan dengan sesama orang Belanda. Jika berbincang-bincang dengan sesama orang Belanda, mereka tetap menggunakan bahasa Belanda murni, tanpa campur bawur kata Inggris. Apalah manfaat menggunakan bahasa lain dengan orang-orang sebangsa?

Di Asia Tenggara lagak keminggris kita tampaknya sudah menyaingi keminggris-nya orang Filipina. Dalam bertutur kata mereka memang sering menyelipkan kata-kata Inggris pada bahasa-bahasa Tagalog, Cebuano, Ilokano atau bahasa lain negeri itu. Tapi susah menyalahkan orang Filipina. Mereka punya alasan kuat untuk keminggris. Bukankah mereka pernah dijajah Amerika akibat kekalahan Spanyol, penjajah awal mereka pada akhir abad 19? Lagi pula, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa resmi Filipina. Ketika dilantik sebagai presiden pada Kamis 30 Juni 2016, Rodrigo Duterte (nama Spanyol) berpidato dalam bahasa Inggris. Tidaklah mengherankan kalau orang Filipina melafalkan mata uang Eropa “euro” sebagai “yuro” karena mereka lebih dekat dengan bahasa Amerika, yang banyak miripnya dengan bahasa Inggris. Benuanya juga mereka lafalkan sebagai “Yurop” dan dieja “Europe.

Tentu saja, orang-orang Indonesia yang keminggris ikut-ikutan latah dengan melafalkan mata uang itu sebagai “yuro”. Padahal, dan ini anehnya, benuanya kita sebut Eropa. Bernalarkah benua Eropa bermata uang “yuro”? Tentu saja tidak, dan percayalah, kalangan keminggris tidak pernah akan punya nalar sampai sejauh itu. Mereka cuma bisa latah, ikut-ikutan para penutur bahasa Inggris.

Jelas kalangan keminggris ini juga tidak pernah berpikir bahwa di Inggris mata uang euro tidak pernah berlaku. Dulu tidak apalagi sekarang! Kalau begitu, mengapa kita harus menggunakan lafal bahasa Inggris bagi mata uang euro yang sama sekali tidak berkaitan dengan Inggris? Mengapa harus tunduk-tunduk pada bahasa Inggris? Pasti mereka tidak akan pernah bisa menjelaskannya!

 

Kepalang tanggung euro

Pada titik ini saya ingin usul supaya kita gunakan saja lafal bahasa-bahasa lain yang menggunakan euro. Bisa bahasa Perancis atau bahasa Belanda yang menyebut eu-ro, atau bahasa Spanyol dan bahasa Italia yang melafalkannya sebagai e-u-r-o. Atau bisa juga bahasa Jerman yang melafalkannya sebagai oiro. Apa saja asal bukan bahasa Inggris!

Ah, kepalang tanggung kalau hanya lafal euro belaka. Dari tadi saya ingin mengusulkan, mari kita gunakan istilah-istilah asing non-Inggris lain dalam bertutur kata. Orang Indonesia tidak punya nasionalisme bahasa, maka segala macam bahasa asing bisa kita jejalken dalam tutur kata kita. Bukankah bagi kita orang Indonesia berbahasa adalah juga pameran bahwa kita bisa bicara bahasa asing, dan caranya adalah menyisipkan kata-kata asing dalam tutur kata kita? Untuk apa membatasi bahasa asing itu hanya pada bahasa Inggris? Sekali lagi, mengapa harus cuma tunduk-tunduk pada bahasa Inggris? Bukankah banyak juga orang Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di Perancis, Jerman atau Spanyol, Italia bahkan Portugal? Bukankah ada juga orang-orang Indonesia yang berpendidikan di negara-negara Skandinavia? Dengan menggunakan pelbagai bahasa asing lain, maka kita akan tetap bergengsi, tapi sekaligus akan kita patahkan dominasi bahasa Inggris.

Eindelijk, saya bisa mengakhiri tulisan ini avec ucapan bon anniversaire kepada para pembaca yang heute merayakan Geburtstag. Semoga panjang umur, murah rejeki dan tercapailah cita-citamu. Ne pas oublier, untuk selalu gebruiken bahasa Indonesia sebaik mungkin, supaya unsere Landessprache ini sempre vivo. Habis keminggris, terbit kemlondo (kebelanda-belandaan), kemracis (keperancis-perancisan), kemarab (kearab-araban), kenjerman (kejerman-jermanan), dan kengitali (keitali-italian). Paling banter nasionalisme kita memang cuman urusan wilayah negeri belaka, bukan urusan bahasa. Asyik, kan?

Amsterdam, kampung de Jordaan, awal Juli 2016

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.