SETELAH lebih tiga tahun wafatnya Presiden Venezuela Hugo Chavez dan rakyat Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi yang mengkhawatirkan, kalangan sosialis agaknya enggan untuk membicarakan kembali tentang Venezuela. Satu hal yang tak dapat dipungkiri, meskipun saat ini tengah menghadapi krisis sosial, pengalaman sosialisme Venezuela yang diawali pada masa kepemimpinan Hugo Chavez menjelaskan bahwa masih mungkinnya proyeksi politik demokrasi dibangun di luar model demokrasi liberal-kapitalisme pasar bebas. Karakter demokrasi yang mampu memajukan partisipasi politik rakyat dalam urusan-urusan publik, membangun kesadaran politik rakyat untuk mendemokratisasikan ruang-ruang ekonomi dan politik, serta menghantam kekuatan minoritas ekonomi-politik oligarkhis yang menghalangi pemenuhan partisipasi politik rakyat dalam wilayah ekonomi dan politik.
Pasca kemenangan Pemilu 1998, Hugo Chavez membawa Venezuela lepas dari desain neoliberalisme dan rezim politik oligarkhis (tatanan rezim yang ditandai oleh aliansi bisnis-politik kelompok-kelompok minoritas elite yang meminggirkan lapisan mayoritas kelas bawah) yang dibangun melalui pakta politik puntofujismo sejak 1958. Pakta politik Puntofujisme adalah sebuah pakta kesepakatan elite politik pasca pemerintahan militer pasca-kemerdekaan, yang menjaga kepentingan ekonomi-politik dari kalangan militer elite dominan partai, Gereja Katholik (di luar pendukung teologi pembebasan), dan serikat dagang yang secara bertahap meminggirkan kepentingan-kepentingan dari kelas popular di Venezuela (Julia Buxton 2009, 149-151).
Tulisan ini menjelaskan bahwa jalan Chavez untuk membawa Venezuela menuju sosialisme dibangun melalui trajektori politik populisme. Pengertian politik populisme dalam artikel ini diinspirasi oleh teoritisi Marxis asal Argentina Ernesto Laclau (1977; 143-198) dalam karyanya Politics and Ideology in Marxist Theory. Di buku itu, ia membahas terminologi populisme dalam kerangka analisis Marxis Gramscian. Melalui pendekatan analisis diskursus, Laclau memahami populisme sebagai gerakan politik multi-kelas dan supra-kelas yang hadir dalam momen politik rapuhnya hegemonik kekuatan politik dominan sehingga memberi peluang munculnya struktur kesempatan politik baru bagi gerakan politik akar rumput yang dipimpin oleh pemimpin kharismatik untuk mengartikulasikan wacana radikal anti-kemapanan. Populisme sendiri bukanlah sebuah ideologi politik dengan tatanan nilai yang solid dan spesifik, karena ekspresi gerakan politik populisme bisa terartikulasikan dalam ekspresi politik kanan, tengah maupun kiri, tergantung pada perimbangan formasi kelas dalam arena politik di suatu negara dalam kondisi spesifik yang memunculkannya.
Populisme sendiri bukanlah sebuah ideologi politik yang spesifik dengan visi politik spesifik, namun sebuah teknik politik yang dapat muncul dalam berbagai fenomena politik yang berbeda. Populisme dapat termanifes dalam bentuk artikulasi fasisme Mussolini di Italia, Nazi di Jerman, dan saat ini oleh kekuatan politik Fasis Jean Marie Le Pen di Prancis, maupun gerakan politik radikal kiri seperti Fidel Castro di Kuba maupun kepemimpinan revolusi Bolivarian Hugo Chavez di Venezuela. Yang mempersatukan populisme dalam segenap ragam ekspresi dan ideologi politiknya sebagai sebuah teknik politik adalah mereka semua menggunakan model mobilisasi politik yang massif, menggunakan tradisi populis yang tertanam di akar rumput dan digerakkan oleh kepemimpinan figur kharismatik yang memiliki kemampuan komunikasi politik yang handal, dan gerakan tersebut seringkali hadir ketika kekuatan hegemoni kelas dominan sedang runtuh (Ernesto Laclau 1977, 147-148; DL Raby 2006, 241).
Yang membedakan karakter ideologis dari proyek politik populisme adalah inkorporasi gugatan popular-demokratik (ekspresi politik demokratik akar rumput) dalam keseluruhan bangunan politik ideologis yang dikontrol oleh gerakan massa yang dipimpin oleh kekuatan borjuasi di luar formasi dominan oligarkhis dalam rezim politik yang tengah dilawan. Sebuah gerakan politik populis menjadi gerakan yang berkarakter reaktif dan bertendensi fasistik saat proses inkorporasi tuntutan-tuntutan popular-demokratik dari bawah dimoderasi bagi kepentingan kelas borjuasi atau dibelokkan dengan agenda-aganda xenophobic dan rasis, sehingga dikunci potensinya sebagai sebuah gerakan perlawanan liberatif-demokratik (Ernesto Laclau 1977; 174).
Sementara sebuah gerakan politik populisme dapat bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan radikal demokratik yang membebaskan saat dalam perkembangannya terinkorporasi dalam kepentingan kekuatan sosial kaum tertindas dan terkorespondensi dengan gerakan-gerakan sosial emansipatoris. Sehingga dalam momen krisis politik, gerakan populisme bergerak menjadi gerakan revolusi demokratik yang mengaktualisasikan tuntutan-tuntutan tradisi popular kerakyatan menjadi sebuah gerakan pembebasan. Seperti diutarakan oleh Ernesto Laclau, bahwa dalam gerakan populisme kiri-demokratik perjuangan kelas tertindas bertemu dengan artikulasi politik berlawanan berbasis tradisi kerakyatan. Bertemunya artikulasi politik populisme yang berangkat dari tradisi akar rumput dan proyek politik sosialisme bukanlah sebuah kemunduran dalam gerakan politik emansipatoris. Persenyawaan politik ini merupakan langkah paling maju dalam sebuah proyek politik pembebasan. Dalam perkembangan dialektisnya, sebuah agenda politik populisme-yang tidak terbelokkan oleh agenda politik reaktif-rasis dan melayani kelas borjuasi dominan- akan menyatukan diskursus tentang rakyat dan diskursus kelas tertindas, sehingga proyek politik sosialisme berakar dari artikulasi populistik, sementara aktualisasi tertinggi dari populisme adalah sosialisme itu sendiri (Ernesto Laclau 1974; 174; DL Raby 2006; 241).
Politik Populisme-Demokratik Hugo Chavez
Karakter politik populisme yang bersendikan atas kepemimpinan figur yang kuat dan memiliki kemampuan persuasif langsung kepada rakyat, penggunaan tradisi popular-demokratik dan politik mobilisasi arus bawah memang melekat dalam gerakan politik Hugo Chavez Friaz dan lingkaran Bolivariannya. Namun demikian, pengamat politik yang simpatik terhadap gerakan lingkaran Bolivarian dari Chavez seperti Sara C Motta (2009; 76-77) membela Chavez dengan menolak karakter populisme dari gerakan tersebut. Menurut Motta, membaca gerakan Chavez sebagai sebuah bentuk populisme hanya akan membatasi gerakan Chavez pada figur kharismatik Chavez dan mengabaikan relasi negara-masyarakat, gerakan sosial yang menjadi tulang punggung politik dan transformasi sosial substantif di Venezuela.
Hal yang dapat kita koreksi dari risalah yang membela gerakan Chavez dan menafikan populismenya adalah terdapat interdependensi antara kepemimpinan politik dari Hugo Chavez dan gerakan sosial beserta kekuatan rakyat militan yang mendukungnya. Adalah benar bahwa gerakan lingkaran Bolivarian bukan hanya tentang kepemimpinan Chavez, namun juga rakyat Venezuela dan gerakan akar rumput progresif dari buruh, petani, lingkungan dan perempuan yang menopangnya. Namun demikian, di tengah dominasi kekuatan politik oligarkhi kepartaian di Venezuela (ditopang oleh dua partai AD dan COPEI) yang menerapkan resep ortodoksi neoliberal, lingkaran Bolivarian tidak tampil sebagai kekuatan politik utama melalui gerakan yang spontan. Partisipasi politik jutaan warga Venezuela dalam gerakan ekonomi-politik alternatif atas kekuasaan oligarkhis di Venezuela, diarahkan oleh karakter kepemimpinan populis dari Hugo Chavez. Hugo Chavez memberikan arah kepemimpinan yang solid bagi lingkaran Bolivarian, sementara partisipasi politik jutaan warga Venezuela dan gerakan-gerakan sosial progresif menjadi benteng penguat bagi transformasi demokrasi sosialisme di Venezuela. Kepemimpinan politik dari Hugo Chavez merepresentasikan, mengartikulasikan dan mengarahkan partisipasi jutaan warga Venezuela dalam sebuah gerakan politik anti-oligarkhi, anti-neoliberalisme dan menuju politik demokratik sosialisme abad ke-21.
Sebelum menjelaskan diskursus populisme demokratik dari gerakan Bolivarian Hugo Chavez, ada baiknya menguraikan bagaimana konteks sosial yang melatari tampilnya populisme di Venezuela di bawah kepemimpinan Chavez. Mengapa revolusi Bolivarian tidak lahir dari tradisi mesin politik kepartaian yang solid, namun lahir dari kepemimpinan populisme? Situasi struktural dan lingkungan politik seperti apa yang medasarinya? Uraian berikut ini akan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Semenjak runtuhnya Tembok Berlin dan tumbangnya rezim ortodoksi sosialisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur, kepercayaan publik atas politik sosialisme runtuh sejalan dengan tercapainya kesepakatan ortodoksi neoliberal dan demokrasi liberal terbatas sebagai satu-satunya alternatif ekonomi-politik di seluruh dunia. Wilayah Amerika Latin yang memiliki tradisi gerakan rakyat emansipatoris, juga tidak luput dari krisis politik kiri di tengah tercapainya konsensus politik neoliberal.
Di Amerika Latin runtuhnya dukungan politik atas sosialisme ditandai oleh kekalahan Sandinista di Nikaragua melalui Pemilu pada tahun 1990. Skenario The End of History ala Francis Fukuyama di Amerika Latin ini direkam oleh tulisan Jorge Castaneda pada tahun 1994 berjudul Utopia Unarmed: The Latin American Left after the Cold War. Sejak saat itu, bahkan di Amerika Latin yang memiliki tradisi gerakan kiri yang kuat, sosialisme kemudian diidentikkan dengan birokrasi sentralistik, program pemborosan uang negara dan retorika keadilan yang menafikan kebebasan liberal. Demam demokrasi liberal yang menjadi tiang penopang ekonomi neoliberal menjalar ke negara-negara Amerika Latin termasuk Venezuela. Adalah benar bahwa di tengah propaganda kekuatan hegemonik rezim neoliberal, beberapa gugatan praksis politik muncul seperti gerakan Zapatista yang berkarakter anarko sindikalis dan memperjuangkan politik otonomi yang berkarakter spontan. Namun demikian, dalam perkembangannya militansi gerakan Zapatista hanya terbatas pada membangun otonomi wilayah Chiapas tanpa memberikan perubahan politik signifikan bagi arah negara Meksiko. Sementara di Venezuela, partai berbasis kiri seperti Partido Communista de Venezuela (PCV) dan Movimiento de Izquierda Revolucionaria (MIR) yang merupakan pecahan dari partai populis tradisional AD (Accion Democratica), hanya bergerak di pinggiran politik dan tidak mampu menembus arus utama politik Venezuela (Edgardo Lander 2008; 69).
Dalam kondisi lemahnya gerakan politik kepartaian yang memperjuangkan agenda politik kerakyatan, ortodoksi neoliberalisme dan demokrasi liberal di Venezuela diakuisisi oleh kekuatan oligarkhi berbasis dua partai COPEI dan AD, sukses meminggirkan aspirasi lapisan mayoritas rakyat miskin Venezuela. Pakta politik puntofujismo, yang menjadi rumah bagi kekuatan oligarkhi di Venezuela, mengalami proses delegitimasi seiring dengan krisis sosial setelah Venezuela menerapkan ortodoksi neoliberalisme. Krisis sosial-ekonomi dimulai semenjak masa pemerintahan Carlos Andez Perez pada tahun 1989, ketika keuntungan ekonomi dari penjualan hasil minyak hanya mampu membayar empat hari beban impor dan membayar hutang kepada IMF sebesar US$ 4,5 milyar. Pada waktu yang bersamaan, tingkat kemiskinan naik dua kali lipat dari satu dekade sebelumnya, dari rumah tangga miskin sebesar 27,6 persen mencapai 58,9 persen. Sementara itu angka statistik rumah tangga amat miskin juga naik dari 7,4 persen satu dekade sebelumnya mencapai 26,9 persen. Selanjutnya formula ortodoksi neoliberal berupa pengetatan fiskal, pembatasan peran negara bagi subsidi sosial dan transformasi ekonomi Venezuela menuju ekonomi pasar bebas, seperti privatisasi institusi telekomunikasi nasional dan maskapai penerbangan sebagai respons krisis tersebut tidak memberikan solusi terhadap krisis. Formula neoliberal yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Perez justru menstimulus pembangkangan sosial pada tahun 1989 yang dikenal dengan konflik Caracazo, yang mendorong represi pemerintah besar-besaran dan korban jiwa sebesar 400 orang (Julia Buxton 2009; 155).
Krisis pemerintahan Carlos Andez Perez berlanjut sampai tahun 1993, ketika parlemen Venezuela menjatuhkan kabinetnya akibat skandal korupsi. Kejatuhan pemerintahan Andez dan naiknya rezim pemerintahan Rafael Caldera dari Partai COPEI, melanjutkan kebijakan neoliberal di era sebelumnya. Setelah gagal menyelesaikan krisis ekonomi seperti yang ia janjikan, maka pada tahun 1996 pemerintahannya menandatangani perjanjian hutang dengan IMF sebesar US$ 1,4 Milyar untuk menutupi krisis perbankan. Segenap kebijakan ortodoksi neoliberal yang diikuti dengan pembukaan pertambangan bagi sektor privat pada era tersebut tidak berhasil menyelesaikan krisis ekonomi, bahkan tingkat kemiskinan naik sampai 77,1 persen pada tahun 1996 dengan angka kemiskinan ekstrim menuju 45,1 persen. Krisis ekonomi ini diperparah dengan turunnya harga minyak pada saat momen elektoral tahun 1998 tiba (Julia Baxton 2009; 157).
Krisis ekonomi dan pemiskinan struktural yang terjadi setelah lebih satu dekade Venezuela di bawah rezim pemerintahan neoliberal, memberikan keyakinan pada mayoritas rakyat miskin Venezuela dan gerakan-gerakan sosial bahwa kemiskinan dan jurang ketimpangan ini bukanlah momen terapi kejut sementara yang akan selesai setelah masyarakat mampu beradaptasi dengan rezim pasar bebas. Kondisi pemiskinan ini dipandang sebagai kondisi permanen yang dihadapi oleh masyarakat Venezuela apabila terus menerapkan formula ortodoksi neoliberal (Edgardo Lander 2008; 72). Ketika kondisi krisis tidak terselesaikan di bawah pemerintahan partai-partai dominan (COPEI dan AD), sementara di sisi lain artikulasi politik partai berideologi Marxis di Venezuela tidak mampu menarik hati dan pikiran rakyat Venezuela, maka mayoritas rakyat miskin di sana mencari alternatif politik lain yang mampu menyelesaikan problem kemiskinan struktural di luar paket konvensional Washington Consensus.
Di tengah pencarian rakyat miskin dan gerakan sosial Venezuela akan formula politik baru yang melampaui partai Marxis klasik maupun kekuatan politik oligarkhis dominan, pilihan terhadap figur politik Kolonel Hugo Chavez-yang pernah melakukan kudeta militer pada tahun 1992-mulai dilirik sebagai arahan baru gerakan politik pembebasan di Venezuela. Setelah Chavez keluar dari penjara, ia kemudian membangun gerakan politik yang terformalisasikan melalui pembentukan Partai Moviemiento Quinta Republica Party untuk mempersiapkan Pemilu tahun 1998. Yang menarik dari artikulasi wacana populis Chavez adalah ia tidak melirik pada idiom-idiom marxisme-leninisme saat menggugat kekuatan oligarkhis dan neoliberalisme sebagai kekuatan politik dominan. Meskipun ia mengakui pentingnya Marxis sebagai metode analisis politik, Chavez lebih sering mengidentifikasi dirinya dengan visi transformatif pembebasan dari ajaran Yesus Kristus dan menarik inspirasi politiknya dari figur pemersatu Amerika Latin abad ke-19 Simon Bolivar dan pejuang sosialis Ernesto ‘Che’ Guevara, yang telah menjadi legenda kolektif rakyat miskin di wilayah Amerika Latin. Bahkan menyongsong Pemilu 1998, Chavez mengkritik formula neoliberal dengan kerapkali menyerukan formula politik “jalan ketiga” yang melampaui pembelahan klasik kiri dan kanan (Edgardo Lander 2008; 76-77; DL Raby 2006; 236).
Berbeda dengan kritik kalangan yang melihat populisme Chavez sebagai tawaran mesianistik yang membius rakyat miskin, setelah lepas dari penjara Chavez berdialog dengan komunitas miskin Venezuela, membangun gerakan sosial yang kemudian dikenal sebagai lingkaran Bolivarian dan menawarkan kontrak sosial konstitusi demokratik baru. Alih-alih menawarkan mesianisme sebagai opium bagi rakyat miskin, formula pendidikan kesadaran kritis yang dipelopori oleh Chavez saat ‘blusukan’ ke kampung-kampung kumuh Venezuela lebih dekat pada model pendidikan kaum tertindas ala Paulo Freire plus hasrat politik untuk merebut kekuasaan ala Fidel Castro.
Rapat anggota Dewan Komunal di El Manicomo, Caracas. Foto diambil dari www.venezuelanalysis.com
Momen Venezuela Menuju Sosialisme
Pada saat momen World Social Forum di Porto Allegre Brazil tahun 2005, Hugo Chavez berorasi panjang dan untuk pertama kalinya mencanangkan bahwa Revolusi Bolivarian yang bertujuan tidak hanya melawan desain neoliberalisme tapi untuk merealisasikan proyek Sosialisme abad ke-21. Dalam acara tersebut, Chavez menegaskan bahwa adalah penting untuk mentransendensikan kapitalisme, namun kapitalisme tidak dapat dilampaui melalui kapitalisme, kapitalisme hanya dapat dilampaui dengan proyek sosialisme, sosialisme abad ke-21. Namun demikian dalam orasi terebut, Chavez sendiri tidak pernah memimpikan Venezuela sebagai negara sosialisme dalam pengertian klasik. Sosialisme baru Chavez tak berniat untuk menghancurkan kepemilikan pribadi, namun untuk memastikan bahwa negara melalui kedaulatannya ekonominya bekerja berdasarkan prinsip kerjasama dengan bangsa-bangsa lain dapat memberikan kesejahteraan terbaik bagi rakyatnya (Iain Bruce 2008; 5).
Salah satu implementasi proyek sosialisme abad ke-21 dari Hugo Chavez adalah pendalaman program nasionalisasi migas. Program nasionalisasi ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh Chavez bukanlah model nasionalisasi ekonomi yang memberi peluang bagi praktik korupsi dan perburuan rente di kalangan elite, seperti yang sering terjadi di negara otoritarian. Seperti yang diutarakan oleh wartawan progresif Iain Bruce (2008) dalam The Real Venezuela bahwa program nasionalisasi ekonomi Chavez berusaha mengombinasikan kekuatan industri minyak dan gas Venezuela dengan pemberdayaan komunitas lokal di setiap wilayah-wilayah pedalaman. Kebijakan ini berusaha mengantisipasi proses-proses eksplorasi minyak yang merugikan masyarakat sekitarnya. Model kebijakan ekonomi sumber daya alam era Chavez inilah yang kemudian berpegang pada prinsip swadaya (self sufficient) dan pembangunan berbasis masyarakat (people based development). Di bawah Chavez, Venezuela tengah membangun ekonomi produktif yang tidak bergantung pada kekuatan sumber daya alam.
Apa yang dhasilkan dari program ekonomi politik kemandirian era Hugo Chavez bagi masyarakatnya? Politik redistribusi pendapatan dari pemerintahan Hugo Chavez telah mengurangi secara drastis tingkat kemiskinan di Venezuela dari 54 persen jumlah kemiskinan di seluruh rumah tangga menjadi separuhnya sekitar 26 persen pada tahun 2008 akhir. Seluruh anak-anak miskin di perkampungan kumuh Venezuela memiliki akses terhadap pendidikan gratis, 1,2 juta warga buta huruf berhasil dientaskan melalui program pendidikan massif, enam universitas publik didirikan untuk menampung rakyat miskin. Selain itu di negara seluas kurang lebih Kalimantan dan Sulawesi digabungkan ini, didirikan 11.000 klinik komunitas untuk menjamin warga terpenuhi perawatan kesehatannya.
Selanjutnya program sosialisme abad ke-21 dari Hugo Chavez dicanangkan melalui proses demokratisasi arena ekonomi-politik melalui pembentukan politik berbasis komunitas tetangga dan wilayah kerja, seperti pabrik-pabrik dan ladang-ladang pertanian. Ide dasar dari politik sosialisme abad ke-21 sederhana, sekitar 200 keluarga baik di perkotaan maupun 20 keluarga di pedesaan di tiap-tiap komunitas bertemu dalam rapat besar komunitas untuk merencanakan kebutuhan komunitas mereka sehari-hari. Oleh Chavez, model lingkaran-lingkaran komunitas ini yang menjadi sendi dasar dari lingkaran Bolivarian menjadi mesin politik utama dari transisi politik menuju Sosialisme abad ke-21. Berdasarkan landasan lingkaran komunitas tadi, proyek politik sosialisme diperluas melalui perjuangan mendemokratisasikan hubungan-hubungan kerja di pabrik-pabrik dengan menempatkan dewan-dewan rakyat dari kelas pekerja sebagai penentu utama dalam rantai kerja ekonomi di setiap pabrik. Sementara di wilayah pertanian, proyek sosialisme dilaksanakan melalui kebijakan reformasi tanah melalui kebijakan sosial untuk kolektivisasi pertanian dan mendorong produktivitas pertanian untuk menyuplai komunitas lokal, restauran dan ketahanan pangan negara (Iain Bruce 2008; 141).
Pendeknya bangunan sosialisme abad ke-21 ditopang oleh lima motor penggerak yaitu: pertama, ledakan dan penyebaran kuasa komunitas. Dimana model-model lingkaran komunitas berbasis tetangga, pabrik dan pedesaan diradikalisasi secara politis untuk mengawasi dinamika politik formal di Venezuela maupun ikut menentukan proses kebijakan dari pemerintahan. Kedua, bentuk geometri kekuasaan baru, dimana institusi politik yang menentukan dinamika politik bukanlah lembaga formal eksekutif dan legislatif namun dewan-dewan pabrik, komunitas tetangga dan pertanian yang menjadi penopang dari program lingkaran Bolivarian. Ketiga, pendidikan politik dan penguatan moral untuk memperjuangkan sosialisme dan nilai-nilai komunitas baru di masyarakat. Salah satu manifestasi dari kerja ini adalah pendidikan sadar konstitusi Bolivarian di komunitas-komunitas. Keempat, penggunaan dekrit presiden sebagai jalan politik untuk mendorong setiap perubahan-perubahan politik substansial. Kelima, reformasi konstitusi secara berkelanjutan untuk mendorong ke arah politik sosialisme abad ke-21. Langkah-langkah tersebut kemudian secara politis diperkuat dengan membangun pelembagaan politik partai sosialis di Venezuela. Langkah konsolidasi ini dilakukan melalui proses penyatuan seluruh kekuatan politik maupun gerakan sosial pendukung Chavez di bawah payung United Socialist Party of Venezuela (Partai Persatuan Sosialis Venezuela) (Julia Buxton 2009; 169).
Dinamika politik dan perkembangan gerakan politik Lingkaran Bolivarian dari Hugo Chavez memperlihatkan karakter populisme yang khas dari kepemimpinan Hugo Chavez di Venezuela. Jalan populisme politik dari lingkaran Bolivarian di bawah kepemimpinan Hugo Chavez menunjukkan bahwa dalam kasus Chavez, politik populisme bisa berjalan seiring dengan proyek pendalaman demokrasi sekaligus proyek politik revolusi melawan kekuatan-kekuatan oligarkhis dan neoliberal di Venezuela. Karakter-karakter reaktif, xenophobic dan fasis tidak selalu identik dengan artikulasi populisme. Bahkan tiga fase perjalanan kepemimpinan Hugo Chavez di Venezuela memperlihatkan bahwa Chavez berhasil melepaskan diri dari jebakan pembelokan arah reaktif dari proyek populisme dengan mendorong radikalisasi politik populismenya menuju perjuangan anti-oligarkhi, anti-neoliberal dan menuju sosialisme abad ke-21.
Realitas krisis sosial-ekonomi yang tengah dihadapi oleh Venezuela saat ini, cenderung membuat publik untuk mengesampingkan berbagai capaian-capaian progresif dari proyeksi politik sosialisme yang diinisiasi oleh Hugo Chavez. Namun, satu hal yang dilupakan adalah bahwa di era kepemimpinan rezim sosialismelah, Rakyat Venezuela untuk pertama kalinya mengalami partisipasi politik yang lebih dalam dan meluas dari sekedar model demokrasi perwakilan yang dikuasai oleh oligarki. Pada era sosialismelah, warga Venezuela mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup dan mendapatkan berkah dari kekayaan sumber daya alam yang secara berdaulat dikuasai oleh negaranya.
Suatu pengalaman bernegara yang tidak pernah mereka temui di zaman pemerintahan sebelum Chavez membangun proyeksi politik Lingkaran Bolivarian. Kenyataan krisis sosial yang tengah dihadapi oleh Venezuela saat ini, tidak berarti bahwa proyeksi sosialisme telah kehilangan relevansinya. Momen ini justru merupakan momen ujian bagi warga Venezuela untuk mengatasi krisis dan mendorong proyeksi sosialisme lebih kuat dan lebih mendalam lagi.***
Penulis adalah Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya