Pak, Beri Papua Referendum, Nanti Bagus!

Print Friendly, PDF & Email

Sumber ilustrasi: Financial Times

 

PAK, Bapak Luhut mau ambil hati orang Papua? Supaya tolak merdeka? Sini saya kasih tahu.

Bapak sudah pernah bertemu Letjen Bambang Darmono kah? Saya tidak kenal dia, tapi dia pernah bilang, bahwa orang-orang Papua itu inginnya kebebasan; kemerdekaan. Dia itu mengepalai UP4B yang berpengalaman (gagal) di Papua. Seharusnya bapak ingat itu baik-baik, pelajari kegagalan UP4B, sebelum jalan dengan kebijakan baru lagi yang buang-buang uang dan waktu itu.

Cara bapak mendekati Papua sekarang ini tidak akan berhasil, hanya akan habiskan anggaran negara untuk kasih makan dan senang segelintir orang-orang Papua, yang juga tidak akan dapat dukungan dari masyarakatnya.

Februari lalu saya ingat Bapak luar biasa murka pada orang-orang Papua Merdeka: ‘Sudah, sana gabung MSG. Tidak usah tinggal di Indonesia lagi.’ Begitu bapak bilang, ingat toh?

Eh baru selang berapa hari malah mau merayu negara-negara di MSG, Melanesian Spearhead Group, terutama Vanuatu dan Solomon, agar tidak dukung Papua Merdeka.

Pak, orang-orang yang NKRI ‘usir’ puluhan tahun lalu karena memperjuangkan Papua merdeka, sudah melanglang buana membangun dukungan di negeri-negeri itu sejak awal 1960an, berlanjut 1977, dan pertengahan 1980-an.

Dan Bapak mau ambil hati negeri-negeri Pasifik itu dalam waktu bulan saja? Jangan mimpi, Pak.

Bagaimana Bapak mau main usir orang ketika tanah dan air itu mereka yang punya? Mereka-mereka yang lebih dulu NKRI ‘usir’ itu hati dan raganya tetap ada di tanah Papua. Tanah ini mereka yang punya. Yang numpang itu kita, Bapak.

Pak, jujur saya harus bilang, semua upaya Bapak itu, sebetulnya hanya bikin malu Indonesia saja. Bapak ini termasuk generasi senior Orde Baru toh? Bapak pernah jadi orang penting di Kopassus, lulusan Akmil angkatan ‘70 yang terbaik pula. Bapak juga, dikatakan teman saya, adalah bagian dari tentara yang profesional yang diberi pangkat Jenderal oleh Gus Dur.

Nah bicara soal Gus Dur, Bapak tahu toh bagaimana pendekatan Gus Dur ke Papua jauh lebih santai, tidak paranoid pada Bintang Kejora seperti presiden-presiden Indonesia lainnya. Jadi mestinya Bapak punya kapasitas untuk tahu apa yang terjadi di Papua, kenapa gerakan Papua merdeka terus ada, dan bagaimana menyikapinya dengan waras.

Mendingan Bapak mulai dengan pengakuan bahwa pemerintah sudah gagal bendung gerakan Papua Merdeka. Tidak apa-apa, Pak. Itu tidak akan memalukan Indonesia, karena kita memang sudah gagal mengindonesiakan Papua sejak pertama kali Indonesia datang dengan bedil, dengan pemaksaan orang Papua untuk makan nasi, untuk upacara bendera dan pakai seragam sekolah merah putih.

Pak, Tantowi Yahya, politisi artis itu, dengan berani bicara blak-blakan soal Papua. Dia tidak mau kompromi dengan gerakan Papua Merdeka. Nah, itu bagus, jujur. Kelihatan bringasannya. Hampir serupa Menteri Pertahanan, kolega kementerian Bapak itu. Orang-orang yang suka gelar karpet merah oleh darah.

Saya sebetulnya ingin sekali percaya bahwa Bapak berbeda. Seperti elit-elit Papua yang sekarang sedang mendekat di ketiak Bapak itu. Tapi bagaimana saya bisa bisa percaya, karena bulan September 2015 lalu Bapak pernah bilang toh, ‘Kalau bikin gaduh, saya libas seperti di Papua.’

Jadi ketika sekarang Bapak bermanis-manis, mau ‘selesaikan HAM Papua’ lah, mau jadikan ‘orang Papua tuan di tanahnya’ kah, mau akui ‘Indonesia memang punya dosa’ kah, bagaimana mungkin orang Papua bisa percaya begitu saja? Bapak pikir orang Papua bodoh kah?

Lalu sekarang mau selesaikan masalah HAM Papua dengan bentuk TIM Penanganan Pelanggaran HAM yang katanya beranggotakan 48 orang itu, yang bertugas sampai Oktober nanti. Hebat betul penanganan kilatnya. Mau diselesaikan dengan paket hemat dan cepat kah? Nyawa manusia sudah macam hidangan di restoran cepat saji saja.

Bapak tahu tidak proses peradilan HAM Abepura saja makan proses tak kurang dari dua tahun. Itu baru satu kasus, lho. Coba saja cek ke KOMNAS HAM.

Tapi baiklah, saya tahu bapak sedang terdesak. Dan saya pikir sebetulnya yang bapak lakukan ini hanya mengulur-ulur waktu saja, untuk sekadar memuluskan projek ‘pembangunan’ yang bisa untungkan Bapak dan orang-orang sekitar. Program investasi di tangan Presiden Jokowi di Papua ini sedang banyak. Bapak sendiri ‘kan pengusaha besar di sektor kehutanan, bapak juga disinyalir terlibat dalam skandal Panama Papers. Jadi tahu sama tahulah kerja keras bapak untuk Papua sekarang sebetulnya bertujuan apa.

Kalau seperti itu adanya, saya malas kasih saran yang serius sama Bapak. Karena motivasi pendekatan NKRI terlalu standar, remeh dan tidak mau beresiko. Bagaimana mungkin mau jadi negara besar anggota G7 kah, G8 kah, atau G lain-lain, kalau tidak berani? Masak cukup bangga dengan hanya mengunyah-ngunyah pujian kosong negara-negara barat itu bahwa Indonesia sudah demokratis, menjadi ‘negara besar muslim’ yang sentosa dengan transisi demokrasi yang mulus, tetapi bingung dan pusing tujuh keliling melawan apa yang negara sebut sebagai ‘internasionalisasi isu’ Papua?

Kalau Indonesia percaya diri terhadap pendekatannya pada Papua, buat apa ambil pusing dengan ‘internasionalisasi isu Papua’? Santai saja toh, lanjutkan saja ‘pembangunan ala NKRI’ itu.

Selagi bapak masih resah, dan tidak tahu harus bikin apa lagi pada demo-demo anak-anak KNPB yang semakin pandai dan berani itu, berarti bapak hanya tinggal punya dua pilihan: ambil langkah lebih berani atau teruskan langkah konvensional.

Langkah berani itu ada dua, masing-masing level beraninya beda, tergantung sedemokrat apa bapak sebenarnya. Pertama, kasih masuk Tim Pencari Fakta pelanggaran HAM Papua dari Pacific Islands Forum dimana NKRI juga ada di dalamnya; dan kedua, gelar saja referendum kembali untuk Papua supaya cepat selesai dan tidak capek urus-urus gerakan Papua merdeka terus.

Kalau bapak beraninya cuma sedikit, berarti ambil langkah pertama. Cara itu akan langsung cuci tangan dan sapu muka NKRI di hadapan internasional. Indonesia akan terbukti dewasa dan bermartabat, secara demokratis mempersilahkan tim itu untuk bertemu masyarakat korban. Jangan dihalang-halangi, nanti jadi ketahuan memang ada yang ditutup-tutupi.

Biarkan mereka masuk dan mencari bukti-bukti, nanti Bapak bisa bela diri saja toh, misalnya, dengan bilang: ‘pelanggaran HAM bersifat historis, warisan masa lalu, jadi kami tidak bisa selesaikan cepat-cepat, ongkos politiknya terlalu besar. Harap maklum.’ Santai saja toh?

Sementara cara berikutnya lebih asik lagi, sebetulnya. Semacam sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Caranya ya dengan referendum. Kasih saja jeda dua atau tiga tahun, atau setahun pun boleh. Semua pihak tahan diri, militer dan polisi tidak boleh main tangkap-tangkap. Pos-pos militer jadikan tempat pos kampanye saja. Kedua belah pihak: Papua Merdeka dan NKRI bertanding pengaruh dengan fair.

Jangan ulangi kesalahan Pepera 1969 yang penuh intimidasi, atau cara Timor Leste yang penuh kekerasan dan bumihangus, karena keduanya sudah rutin dipraktekkan di Papua sini, dan hasilnya dukungan kemerdekaan semakin membesar. Bertandinglah dengan fair untuk raih hati orang Papua.

Ada satu rahasia yang saya perlu kasih tahu sama Bapak. Kalau bapak pikir bisa beli orang Papua dengan uang, bapak salah besar. Mungkin bapak bisa beli raganya, tapi tidak hatinya. Terbukti toh, berapa trilyun sudah keluar buat ‘beli’ orang Papua? Tak juga bisa bendung hati dan jiwa mereka dari kehendak merdeka.

Pak, jangan main-main sama hati orang Papua itu. Lagu Indonesia raya, senjata dan Pancasila tidak bisa buat mereka jatuh cinta. Buatlah mereka jatuh cinta dengan referendum yang demokratis, maka NKRI punya peluang untuk meraih hati mereka.

Tetapi, bila nanti referendum tidak memenangkan NKRI, maka artinya mereka memang tidak cinta. Kalau sudah begitu, apa bapak masih mau kawin paksa? Hati-hati Pak, itu bisa jatuh pada perkosaan, dan kabarnya, di Indonesia ada Perpu kebiri yang mengatur hukuman bagi pemerkosa.

Sudahlah Pak, mari kita move on, mau jadi negara besar itu mesti pakai cara-cara baru, tidak ancam senjata melulu, apalagi main kebiri-kebirian.

Generasi muda ke depan ini tidak akan mudah lagi ditipu. Toh generasi tua Orde Baru macam Bapak ini juga akan segera berlalu.

Begitu dulu Pak, sudah waktunya berbuka.

Salam saja dari saya.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.