Sumber foto: Zely Ariane
Aku tidak punya imajinasi katamu.
Salah. Aku tidak punya bahasa.
Bahasa untuk menjernihkan
perlawananku kepada yang terpelajar!
(Cherrie Moraga )
NKRI memang harga mati. Ratusan ribu orang sudah mati di Papua demi tegaknya NKRI. Sementara ratusan juta warga Indonesia tidak tahu, dan/atau tidak peduli.
Kematian ratusan ribu jiwa itu, baik langsung maupun tidak langsung, terkait dengan kehendak orang-orang Papua untuk merdeka, menentukan nasibnya sendiri, sejak 1961. Pembunuhan oleh operasi-operasi militer—rahasia maupun terbuka; perubahan pola hidup yang dipaksakan oleh pembangunan dan modernisasi; penyakit-penyakit yang mewabah dibiarkan tanpa terobosan layanan kesehatan serius; adalah diantara penyebab kematian ratusan ribu jiwa tersebut.
Orang-orang Papua semakin menjadi minoritas di tanah airnya sendiri. Sayangnya, kalau tidak celaka, banyak orang Indonesia hanya sanggup bayangkan, proklamirkan: “NKRI Harga Mati” dalam menjawab tuntutan orang-orang Papua untuk merdeka.
Bagi bangsa yang waras dan negara yang (hendak) demokratis, meluasnya advokasi HAM Papua di panggung internasional, termasuk pembicaraan dan dukungan terhadap hak menentukan nasib sendiri Papua Barat (West Papua), harusnya kita jadikan refleksi, bukan malah kekhawatiran, apalagi kemarahan.
Refleksi ini penting, karena sumber dari kegagalan paham Indonesia terhadap Papua terletak pada kacamata dan sudut pandang (orang) Indonesia terhadap Papua. Kacamata dan sudut pandang orang Papua dianggap tidak ada. Jikapun ada, akan dianggap salah, ataupun mengancam “keutuhan NKRI” semata. Orang Papua tidak pernah dianggap sebagai subjek politik atas kehendak mereka sendiri.
Hal ini disebabkan oleh Indonesianisasi terhadap Papua, yang membuat orang Indonesia merasa, berpikir dan bertindak seakan-akan Papua itu adalah Indonesia. Sehingga, segala hal yang ditemukan di Papua yang ada “diluar kebiasaan, pengetahuan, dan keinginan” Indonesia, dianggap salah dan atau mengancam. Indonesianisasi Papua itu salah. Indonesianisasi, yang bermakna proses mengubah Papua menjadi Indonesia, adalah praktek kolonialisme. Pendudukan atas tanah, penghancuran adat dan sistem pengatahuan, pemusnahan hutan, yang berujung pada penghancuran identitas kepapuaan orang Papua adalah wajah Indonesia di Papua. Indonesianisasi berwujud sistem pendidikan nasional, media nasional, pembangunan nasional, transmigrasi nasional, yang semuanya dimulai oleh kontrol militer Indonesia, dari 1962 hingga saat ini.
Indonesianisasi tersebut dimulai sejak penyerahan administrasi Papua (saat itu West New Guinea) dari Belanda ke Indonesia melalui resolusi 1752 XVII perjanjian New York 15 Agustus 1962. Indonesianisasiberlanjut dengan memaksa orang Papua melepas koteka, mengenakan seragam merah putih, memaksa makan nasi, menyebarkan anggapan dan pengetahuan bahwa kebudayaan (sekaligus orang) Papua itu primitif, barbar, dan oleh karena itu harus “dimodernkan melalui/seperti Indonesia”.
Hingga saat ini tidak terjadi asimilasi dan akulturasi yang wajar dan diinginkan antara pendatang non Papua dan orang asli Papua. Di Papua boleh jadi tidak ada pemisahan ala Apartheid, tetapi juga tidak ada perasaan satu sebagai Indonesia. Sejak awal psikologi orang Papua adalah Orang Papua yang hitam kulit keriting rambut, dan orang Indonesia adalah pendatang yang berambut lurus dan berkulit putih-coklat.
Tak pernah ada rasa senasib, apalagi sepenanggungan. Setiap ada peristiwa konflik antara masyarakat Papua dan aparat keamanan, orang-orang pendatang akan meminta “pertolongan dan perlindungan” dari aparat keamanan, sementara orang-orang Papua adalah sasaran; orang-orang pendatang, khususnya menengah ke atas, dapat pulang kembali ke asalnya dan menjual aset mereka di Papua sementara orang Papua menjadi pengungsi lokal dan hidup di dalam stigma atau masuk penjara.
Walaupun ada orang-orang Indonesia yang bekerja bersama-sama orang Papua, membantu dan berjuang bersama, seperti yang dikatakan Pdt. Benny Giay, “memikul salib bersama sampai akhir” dengan orang-orang Papua, tetapi itu hanya bisa terjadi karena mereka bekerja di luar kerangka (dan melawan) Indonesianisasi.
Semakin bertambahnya pendatang, meluasnya tanah-tanah yang dirampas, dikuasainya sektor-sektor ekonomi utama oleh pendatang, tersingkirnya orang asli Papua dari ekonomi Indonesia, semakin menebalkan rasa “bukan orang Indonesia” dikalangan orang asli Papua.
Semakin terpolarisasinya orang-orang asli Papua ke dalam “gaya hidup Indonesia” dengan rambut lurus dan tingkah polah juga bahasa “kota ala Indonesia” justru membuat orang Papua semakin kehilangan identitasnya, dan tidak pun menjadi Indonesia. Orang Papua tetap saja dianggap “asing” yang “tidak tahu kerja, pemabuk, tidak bisa diatur, separatis” oleh orang Indonesia, sekeras apapun orang Papua membuktikan dirinya bisa “sama seperti orang Indonesia”.
Kini, kesalahan yang menyejarah ini bukannya diusut tetapi malah,(sekadar) ditimpakan pada orang Papua kembali, dengan mengatakan bahwa orang Papua korup, UU Otsus sudah beri peluang bagi Orang Asli Papua (OAP), dan uang yang sudah digelontorkan Indonesia sudah lebih dari cukup. Pertanyaannya: siapa yang tidak korup di negeri bernama Indonesia ini? Siapa yang meminta otonomi khusus Papua yang disahkan oleh Presiden Megawati itu?
Mama Yosepha Alomang merespon hal ini dengan mengatakan: “Orang Papua boleh menduduki jabatan penting di dalam Otsus, tetapi ‘ekornya’ tetap Indonesia pegang.” Sepanjang sejarah peradabannya mengenal Indonesia, orang-orang Papua tidak pernah tinggal diam, mereka melawan, baik terbuka maupun diam-diam. Mereka sudah hidup dan masih hidup dengan sistem kebudayaan mereka sendiri—yang sudah dan terus pelan-pelan dihancurkan oleh pembangunan Indonesia.
Proses sesaat, di pertengahan 1960’an, yang berpeluang memunculkan nasionalisme Indonesia di kalangan orang Papua, berhenti di tataranelit, lalu hancur oleh pendudukan militer di Indonesia sejak Orde Baru.
Kini, menjadi Indonesia bagi orang Papua hanya berwujud ketakutan ataupun harapan (kalau bukan impian) kesejahteraan ala pembangunan Indonesia, tanpa pernah terintegrasi sebagai warga negara Indonesia yang sebenarnya, dan berkedudukan sama di muka hukum.
Saya harus katakan di hadapan saudara-saudari sekalian, bahwa saat ini, satu-satunya yang bisa menyelamatkan orang Papua dari kehancuran identitasnya, sekaligus menyatukan nasib dan derita mereka, hanyalah ideologi Papua Merdeka dan kesamaan ras dan rasa sebagai orang Melanesia.
Bagi Anda, nasionalis Indonesia, editorial ini mungkin provokatif. Dan memang bertujuan provokatif. Semata-mata untuk memaksa kita semua berfikir melampau NKRI Harga Mati yang bernuansa fasis. Provokasi ini penting agar Papua dibicarakan lebih sungguh-sungguh dengan kasih dan tanggung jawab, seperti kita membicarakan 1965 hari ini.
Ketika bangsa Indonesia lahir, besar dan hidup dalam amnesia sejarah; karya-karya akademik dan intelektual yang miskin kualitas terkait Papua di dan oleh orang Indonesia; suara-suara solidaritas yang masih saja sayup menyambut kehendak orang-orang Papua menentukan nasibnya sendiri, bagaimana mungkin kita merasa lebih tahu apa yang terbaik bagi bangsa Papua?
Memahami perjuangan orang-orang Papua untuk merdeka sesungguhnya memahami identitas kita sendiri sebagai bangsa Indonesia, yang proses kebangsaannya sama sekali belum selesai.***