Left Book Review (LBR) Indoprogress edisi kali ini memuat wawancara Coen Husain Pontoh, Pemimpin Redaksi IndoPROGRESS, dengan Antonius Made Tony Supriatma, Pengamat Militer dan Peneliti Independen. Wawancara ini sebelumnya dimuat di IndoPROGRESS TV, pada 1 Juni 2016. Ditranskrip oleh Rio Apinino, staf redaksi LBR, dengan maksud agar dapat dibaca khalayak lebih banyak.
Dalam wawancara ini, Made –demikian pria asal Bali ini disapa, membahas perkembangan terkini di dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama pasca diselenggarakannya Simposium Nasional 65, serta apa yang terjadi sesudahnya, termasuk razia-razia buku yang dianggap ‘tak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila’. Ia juga menjelaskan lebih jauh soal friksi dalam tubuh tentara, terutama Angkatan Darat (AD), reformasi TNI yang dinilai gagal total, serta kontra argumen soal ‘PKI adalah dalang semua bencana’. Di sini, Made justru mengatakan tentaralah yang ada di tiap pemberontakan terhadap republik.
Berikut wawancara lengkapnya:
Saat ini kita melihat perpecahan atau friksi di kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menyikapi Tragedi 1965. Bagaimana Anda menjelaskan ini?
Kelihatan dari luar memang ada friksi. Tapi yang menarik adalah bagaimana tentara sendiri secara formal (yang masih aktif), elit-elitnya, diam, tidak berbicara apapun. Yang lebih membuat gaduh adalah para purnawirawan. Orang-orang seperti Kivlan Zen, Ryamizard Ryacudu. Tetapi kita tidak mendengar sedikitpun komentar dari elit tentara.
Yang lebih penting lagi, kelihatannya memang ada satu instruksi dari pusat, walaupun tidak di semua daerah, untuk melakukan razia, melarang diskusi, meningkatkan kewaspadaan, dan meningkatkan propaganda yang tujuannya adalah membangkitkan kembali sentimen anti PKI dan anti komunisme. Ini tak terjadi di semua daerah. Di Bali dan Kalimantan tidak ada, tapi di Yogya, dan di Jawa, Sumatera, itu ada. Ini menarik.
Kalau perpecahan saya kira ada. Di satu sisi saya kira perpecahan lama antara mereka yang reformis, dan mereka yang hardliner, yang memang tahu dan diuntungkan oleh kekuasaan Orde Baru. Saya kira persaingannya ada di situ.
Jadi perpecahan ini apa bisa dikategorikan dengan friksi lama di masa Orde Baru soal tentara merah putih dan tentara hijau?
Ada dimensi itu, tapi ada juga yang tidak. Karena sebagian besar mereka yang bergerak sekarang ini kita tidak tahu sikapnya seperti apa, misalnya Ryamizard. Kalau Kivlan itu jelas tentara hijau. Kalau saya disuruh mengkategorikan antara yang hardliner dengan yang reformis, yang hardliner sekarang ada di posisi elit tentara. Mereka berusaha memperlambat reformasi yang pernah ditawarkan oleh Agus Widjojo (Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional/Lemhanas), dan juga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebetulnya. Mereka ingin, misalnya, mempertahankan struktur teritorial, mereka tetap anti komunis, tetap memelihara diskursus itu. Saya melihatnya di situ.
Seberapa besar perpecahan di kalangan TNI?
Saya kira tidak terlalu dalam. Dalam pengertian orang-orang ini, fraksi reformis saya kira, tak terlalu kuat. Mereka tidak punya orang di dalam. Berbeda dengan fraksi hardliner yang sekarang berkuasa. Kalau melihat orang seperti Gatot Nurmantyo (Panglima TNI sekarang) misalnya, secara ideologis, caranya berfikir, teorinya tentang proxy war yang sebetulnya sangat konspiratif itu, tidak ilmiah dan tak punya landasan apapun, tetapi toh kita lihat dari atas sampai bawah semua tentara berbicara seragam. Dan itu sangat mudah untuk dimasukkan dalam propaganda anti komunis. Sedikit xenophobic, juga sedikit paraniod, terlalu membesar-besarkan.
Jadi perpecahannya lebih bersifat politik, pragmatis atau ideologis?
Saya kira lebih bersifat pragmatis-politis. Ideologi tentara tetap, sangat konservatif, ortodoks, dan mereka masih bermimpi bahwa mereka akan kembali ber-dwifungsi. Itu yang saya lihat.
Kepentingan apa yang ada di balik friksi ini? Apa yang diperjuangkan, apa yang dipertahankan?
Sebetulnya yang diperjuangkan sangat jelas, bahwa mereka ingin kembali seperti zaman dahulu. Itu jelas. Secara fakta sosiologis, orang-orang ini dulu masuk ke tentara sebagian besar pada masa Orde Baru, dan pada waktu itu, menjadi tentara itu adalah one way ticket untuk menjadi apa saja. Kan dulu ada lelucon, “kalau mau jadi gubernur, masuknya kemana? Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang Akademi TNI). “Kalau mau jadi bupati? Ke Akabri juga.” “Kalau mau jadi politisi? Ke Akabri juga.” “Kalau mau jadi pengusaha? Ke Akabri juga.”
Ini bayangan mereka, dan begitu pada 1998, buyar semua. Sangat wajar kalau impulse untuk berkuasa itu muncul kembali.
Kalau fenomena purnawirawan jenderal macam Kivlan, yang berani bicara secara terbuka menentang kebijakan pemerintah, bahkan menyerukan kudeta, bagaimana menjelaskannya?
Kivlan kalau dalam politik Amerika Serikat (AS) itu adalah seorang provokator. Kalau di AS ada banyak orang yang tugasnya memprovokasi. Saya kira Kivlan memegang peranan itu. Satu hal yang sebetulnya menarik dari dia adalah bahwa orang ini secara ideologi sangat Orde Baru. Dia dibesarkan dalam iklim Orde Baru, dia dulu ikut dalam (kalau tidak salah) Pelajar Islam Indonesia (PII). Di ABRI karirnya tidak terlalu istimewa sebetulnya, tapi dia punya bakat untuk sedikit berpolitik. Dan sekarang menjadi provokator. Tapi pada hakekatnya dia ini Orbais.
Yang ironis adalah secara mental orang ini tidak mengizinkan oposisi, tapi sekarang justru dia yang menikmati buah dari demokrasi dan kemudian menyalahgunakannya. Saya lihat orang seperti Kivlan ini adalah sebuah ironi dan tahu persis untuk mengeksploitasi demokrasi untuk keuntunganya sendiri.
Kalau dari sisi politis, saya kira dia tidak ada pengaruhnya. Orang seperti Kivlan, kalau kita mau jujur, itu sebetulnya gampang saja kalau ditanya, “beranikah Anda menuruti prosedur yang ada pada saat ini? Ayo mencalonkan diri. Ada gak yang berani memilih Anda?” Kalau dihadapkan dengan persoalan itu, Kivlan pasti tidak bisa. Karena orang seperti ini tidak ada di dalam sistem. Orang seperti ini tidak akan bisa dipilih. Tapi dia akan bicara sekeras-kerasnya. Dan yang paling penting adalah, media suka itu.
Apakah dia ini juga merefleksikan perpecahan atau friksi di kalangan TNI?
Ada beberapa. Saya kira yang agak gawat kalau dihubungkan dengan TNI adalah, secara struktural, TNI itu siapa sekarang? Kalau Anda lihat, lulusan tahun 80an, ini kan kelas-kelasnya besar sekali. Dulu proyeksi mereka meluluskan dan menerima perwira masih dalam proyeksi dwifungsi. Jadi ketika itu mereka akan berfikir sekian orang akan duduk di DPR, sekian orang akan dikaryakan sebagai Bupati, mengurus perusahaan milik tentara. Begitu reformasi semua itu hilang. Tak ada lagi fungsi-fungsi itu.
Jadi kita lihat bahwa sekarang mereka yang mengatur penempatan personel begitu pusing. Ini mau ditaruh di mana? Anda lihat bahwa Kadinda, Kepala Dinas Intelijen Daerah, semua dari mereka. Padahal BIN itu sebenarnya lembaga sipil. Selama ini kan kita pikir intelijen selalu dari militer, sebetulnya tidak. Intelijen itu sipil, karena itu fungsi analisis. Dan memberikan analisis yang tepat. Itu ada metodenya dan ilmiah.
Kemudian, baru kemarin Kementerian Pertahanan bilang akan buka Kementerian Pertahanan di daerah. Dan semua Brigadir Jenderal akan jadi Kepala Kementerian Pertahanan Daerah. Dan juga di dalam tubuh TNI sendiri, khususnya di Angkatan Darat (AD), bagaimana Korem-korem (Komando Resort Militer) ini dijabat oleh Brigadir Jenderal. Dulu kan Kolonel.
Itu kelihata sekali bahwa ada sesuatu secara struktural di dalam tubuh TNI untuk menempatkan orang yang seharusnya jadi Jenderal. Mereka punya persentase itu, berapa yang jadi Jenderal, berapa yang jadi Kolonel, tapi saya tak tahu persis. Tapi yang jelas itu mereka kebanyakan sekarang, sehingga harus ditempatkan di beragam institusi.
Jadi sebetulnya ada kendala struktural ya, di samping alasan ideologis bahwa mereka mau kembali ke Orde Baru?
Iya. Jelas juga alasan struktural. Dan orang seperti Kivlan, ini juga mendapat pengikut di dalam tentara aktif. Ini memang tidak bisa kita buktikan, tapi saya mendengar bahwa banya perwira yang merasa tidak akan bisa naik pangkat lagi, karirnya sudah mentok. Banyak dari mereka yang mencari jalan lain. Dan orang seperti Kivlan ini berfungsi di sini. Berfungsi menyuarakan kefrustrasian tentara yang masih aktif ini. Dan saya dengar bahwa banyak Kolonel yang tidak bisa menjadi Brigjen.
Kalau kita lanjutkan sedikit soal itu, solusinya apa untuk menghadapi semacam kemandekan pangkat di kalangan TNI?
Ini yang selalu kita lupa saat melakukan reformasi terhadap tentara, khususnya Angkatan Darat. Bahwa ketika sebelum mereka direformasi itu, menjadi perwira adalah jabatan yang sangat powerful, sangat kuat. Orang bisa jadi gubernur, bisa kaya raya karena itu. Ketika direformasi, ini yang tak pernah dipikir. Tidak pernah diberikan, paling tidak kompensasi secara material. Jadi apa yang bisa dilakukan? Satu alternatif seperti yang terjadi pada tentara AS. Setahun itu West Point meluluskan sekitar 1.000 orang. Tidak semua yang akan jadi Jenderal. Sebagian besar karirnya akan mandek di Kolonel. Banyak Perwira ini kemudian berpikir, setelah mereka mengabdi cukup, maka mereka keluar. Biasanya pemerintah menawarkan kepada mereka untuk memilih bidang keterampilan apa setelah pensiun. Banyak yang dimasukkan ke sekolah manajemen dan perusahaan. Perusahaan sangat gembira, menyekolahkan mereka, membuat transisi dari kehidupan militer ke kehidupan sipil.
Yang mengherankan saya kenapa pikiran seperti ini tak ada dalam TNI? Kita punya sekolah yang sangat bagus, misalnya Prasetiya Mulya yang menjadi supplier beragam perusahaan multinasional. Mengapa tidak pernah ada kerja sama antara TNI dengan sekolah ini. Atau sudah ada tapi saya tidak mendengar? Yang jelas sampai saat ini saya tidak pernah melihat tentara yang secara natural adalah seorang desicion maker dan seorang manajer yang baik, tapi tidak pernah dipergunakan. Kalau sekarang pengusaha ingin memasukkan seorang tentara itu seperti belas kasihan. Mereka akan didudukkan sebagai komisaris yang tidak ada fungsi apapun selain mengawasi dan melobi. Atau taruh satu jenderal di perusahaan agar lancar dalam melaksanakan penggusuran, misalnya. Jadi tentara diperlakukan sebagai centeng atau tukang pukul yang sebetulnya sangat menghina keterampilan mereka.
Kita kembali ke friksi, tampaknya di kalangan perwira menengah ke bawah dari kasus penggerebekan buku itu kan juga dilakukan Kodim dan Korem setempat. Tampaknya tak ada perubahan ideologis dari generasi muda tentara. Apa Anda melihat ini karena soal kurikulum yang tidak berubah? Atau apa?
Ada sedikit perubahan. Mereka ada dalam struktur. Kalau Anda jadi tentara, kalau diperintah, ya harus jalan. Tidak bisa tidak dan tidak bisa atas inisiatif sendiri. Kuat dugaan saya mereka bertindak atas dasar perintah. Itu satu. Lalu yang kedua, ada juga tentara yang cerdas, ada pula yang kurang cerdas.
Kultur di dalam tentara, kalau kita lihat banyak yang karirnya menanjak karena kepintaran mereka mencari akses ke atas, atau mereka memang sudah punya akses ke atas. Begitu banyak anak-anak Jenderal itu adalah juga seorang perwira. Misal Ryamizad itu menantunya Try Sutrisno (Wakil Presiden Indonesia Ke-6, Purnawirawan Jenderal). Luhut Panjaitan punya menantu (kita harus cek masih atau sudah tidak) Komandan Kompi A Paspampres[1]. Ada pula Andika Perkasa itu menantu Hendropriyono. Itu begitu banyak. Sementara orang-orang biasa ini kalau karir Anda baik, Anda harus punya advantage. Kadang-kadang, mereka harus mau melaksanakan tugas-tugas kotor. Banyak yang seperti itu.
Persaingan untuk naik ke atas sendiri sangat-sangat ketat di dalam tentara. Itu kebudayaan di dalam tubuh tentara. Itu ada pengaruhnya.
Apa bisa disimpulkan reformasi TNI tidak berjalan atau gagal?
Harus dikatakan bahwa ini gagal total. Karena tak ada perubahan sama sekali kecuali mereka dilarang melakukan bisnis terang-terangan atas nama institusi. Juga yang saya lihat kurang adanya kompensasi dari negara. Memang ada peningkatan, tapi apa itu cukup? Mengingat dulu mereka dapat sangat banyak.
Apa Anda punya kritik terhadap konsep tentang reformasi TNI yang berujung pada kegagalan ini?
Yang paling pertama itu struktur teritorial. Ini jelas sumber masalah utama. Dan ini kalau diganggu-gugat, terutama TNI AD, itu akan marah sekali. Karena ini memang satu kekuatan dari mereka. Fungsi teritorial ini memungkinkan TNI bisa berlaku sebagai partai politik. Dan juga bisa melakukan apa saja. Fungsi seperti ini sebetulnya tidak ada di negara lain.
Orang seperti Agus Widjojo menyarankan bahwa ini dihapus. Dan TNI fokus pada satu hal, yaitu bertempur. Tapi Tentara Indonesia tidak bisa berpikir ke arah itu.
Kalau dikaitkan dengan kemampuan tempur dan kemampuan bela negara, menurut Anda apakah fungsi teritorial ini efektif di zaman sekarang?
Tidak ada gunanya sebetulnya. Doktrin TNI mengatakan bahwa sistem pertahanan kita itu Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata). Jadi inti dari pertahanan itu rakyat, kasarnya karena TNI itu lemah. Konsepnya itu konsep Tentara Rakyat, yang sebetulnya diadopsi dari sistem komunis. Bahwa tentara itu adalah pemimpin dari rakyat. Jadi rakyat yang akan bergerilya. Tentara yang melakukan fungsi politik supaya rakyat mau bertempur bersama mereka untuk membela negara.
Ini mengandaikan bahwa tentara itu tidak punya persenjataan, tidak punya teknologi, sangat terbatas, dan hanya menawarkan metode pertempuran dan kepemimpinan. Tapi kalau Anda punya standing army (tentara profesional) yang dilatih dengan baik, dan ada dana untuk latihan menembak dan sebagainya, apakah perlu ada tentara yang disebut Tentara Rakyat ini? Ini kan jelas beda dengan komunis (pada tahap revolusi) yang tak ada standing army. Jadi semua ada dalam komite partai, dikendalikan partai. Bahkan sekarang Tiongkok pun sudah tidak mengadopsi sistem seperti itu. Jadi konsep pertahanannya, konsep Hankamrata di atas kertas itu bagus, tapi tidak sesuai dengan fungsi tentara modern.
Jadi ini murni kepentingan politik tentara?
Iya. Lama-lama interpretasi saya terhadap buku-bukunya Nasution (A.H. Nasution, Jenderal Besar TNI) itu, terutama di buku Pokok-pokok Gerilya, ketika dia merumuskan Tentara Rakyat, diterapkan melenceng oleh Orba. Tidak seperti yang Nasution maksudkan dulu. Kalau yang Nasution masudkan dulu adalah, ketika terjadi pertempuran, perang, baru kita membentuk struktur teritorial. Jadi tidak dalam keadaan damai. Tidak permanen. Ini yang paling penting: struktur teritorial itu tidak diperlukan dalam keadaan damai. Itu diperlukan dalam keadaan perang.
Tentara dibekali kemampuan melakukan mobilisasi. Tidak seperti Kivlan yang bilang kasih saya 100 ribu orang, akan saya pimpin. Itu tidak seperti itu. Kivlan lupa bahwa tugas tentara adalah melakukan mobilisasi. Ketika dalam darurat perang, mereka punya kemampuan mobilisasi. Itu ide pemikir-pemikir tentara dulu yang memikirkan struktur pertahanan teritorial. Tanggung jawab kalau seandainya terjadi apa-apa? Misalnya kerusuhan? Itu bukan tanggung jawab tentara, itu polisi.
Di sini ketika ada struktur wilayah, turut campur dalam kebijakan ini dan itu, harus bergaul dengan Bupati, semua sudah hancur. Tidak ada reformasi lagi.
Kelihatan sekali bahwa dalam perpecahan atau friksi ini presiden Joko Widodo tidak punya kebijakan untuk menghentikan atau meredamnya. Kenapa ini bisa terjadi?
Ini yang selalu jadi masalah kalau seorang sipil menjadi presiden. Dia harus hati-hati sekali. Dia tidak bisa masuk ke dalam konflik ini. Karena ini akan diartikan intervensi. Begitu tentara merasa Presiden mengintervensi, mereka akan melupakan konfliknya, dan kemudian akan menyerang presiden sipil ini.
Tapi dia juga harus menyelesaikan ini. Sekarang saya kira yang dia pakai itu Luhut yang mantan jenderal. Saya kira dia berhasil meredam konflik. Menarik karena orang seperti Johannes Suryo Prabowo (Kepala Staf Umum TNI 2011-2012) tidak ikut bersama gerbongnya Kivlan. Juga Prabowo Subianto. Jadi saya kira ini lebih kepada banyak lobi di bawah permukaan yang bermain. Tapi lagi-lagi provokasi itu dibiarkan. Mungkin kita harus menunggu agak lama sedikit, kemana ini akan berujung. Karena memang mereka sengaja mencari provokasi ini.
Pertanyaannya lagi-lagi adalah, ketika ini semua sudah mereda, baru akan kelihatan siapa akan mendapatkan apa. Ini biasanya ada seorang yang sedang mencari posisi, sikut-sikutan sebelum dia settle. Ini cara mereka mencari posisi dalam politik.
Apa yang Anda jelaskan itu lebih kepada penjelasan politik. Tapi apakah Anda merasa Jokowi punya perspektif dalam mereformasi TNI secara institusi?
Dia sama sekali tidak punya, dan mungkin tidak pernah berpikir ke sana. Jokowi adalah orang Orde Baru, sama seperti kita, lahir dan tumbuh di masa Orde Baru. Belum pernah ada wartawan yang menanyakan dia tentang dwifungsi ABRI. Tapi saya kira kalau ditanya, dilihat dari sikap dia sekarang mungkin dia bilang, “oke itu bagus-bagus saja, asal saya tetap jadi presidennya.”
Dalam hal itu saya kira dia tidak punya visi sama sekali. Dibutuhkan memang orang yang tahu persis masalah-masalah militer, tahu persis masalah pertahanan mau dibawa kemana. Dan saya kira di antara semua pembantu Jokowi itu tidak ada yang punya keahlian. Ada mungkin satu dua, tapi tidak dalam kapasitas menasihati Jokowi untuk urusan bersama militer.
Kita akan beralih sedikit ke sejarah politik Indonesia modern (pasca kemerdekaan). Kalau kita lihat konflik di internal TNI, khususnya AD, terjadi beberapa kali. Misalnya konflik antara tentara KNIL, PETA dan Laskar. Kemudian konflik antara mereka yang pro Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) dan yang tidak. Di zaman Orba konflik antara faksi merah putih dan hijau. Bagaimana Anda menjelaskan sejarah konflik di dalam sejarah kita? Dan apa dampak politiknya dalam kehidupan politik secara keseluruhan?
Kalau saya boleh menyimpulkan, dari sepanjang 70 tahun dalam sejarah ini, bahwa di hampir semua konflik besar yang ada di Indonesia selalu ada militer di dalamnya. Kalau lihat propaganda tentara sekarang bahwa PKI adalah partai yang gemar memberontak, tapi semua pemberontakan yang terjadi sekarang justru karena tentara. DI/TII adalah ekses dari konflik re-ra. Orang-orang laskar yang tidak puas, tidak memenuhi syarat pendidikan, keterampilan, harus keluar. Itu kebijakan Nasution dan T.B. Simatupang. Bahkan Peristiwa Madiun ada unsur tentaranya. Dan bahkan ketika tentara sudah settle, pada 1952 mereka mengarahkan moncong senapan ke dalam Istana. Itu kan karena mereka tidak setuju ada Kepala Staf AD yang diangkat Presiden. Juga 1965. Tak bisa dilupakan. Ini semua dimulai dari dalam tentara, walau dalam versi mereka para perwira ini diinfiltrasi oleh PKI. PRRI/Permesta itu malah pemberontakan terang-terangan terhadap republik. Jadi kalau dikatakan bahwa tentara adalah satu-satunya yang setia pada republik, ya lihat dulu, interpretasikan dulu timeline sejarah ini ada apa saja.
Bahwa tentara itu memang terpecah-pecah. Bahwa tentara itu memang ada faksi. Dan perpecahan ini yang mengancam republik. Jadi sekarang kalau menurut saya ada sesuatu yang harus kita benahi. Dan saya berharap banyak pada generasi muda tentara, khususnya didikan pasca 1998 untuk belajar lagi. Republik ini hancur karena perpecahan di dalam tentara. Dan tentara harus menyadari bahwa potensi republik ini hancur kalau tentaranya pecah. Ini sudah ditunjukkan berkali-kali.
Harus lebih diperjelas perpecahan di kalangan TNI bisa menyebabkan konflik sosial yang lebih luas. Kedua, bisa jadi ideologi TNI sendiri memang tidak terlalu mendukung supremasi sipil. Bagaimana menjelaskan dua pandangan ini?
Sebetulnya ideologi TNI yang Anda sebut itu adalah yang diformulasikan pada masa Orde Baru. Sebelum itu mereka tak pernah berpikir seperti itu. Itu baru sesudah formulasi tentaranya Suharto dengan dwifungsi. Saya kira arsiteknya Ali Murtopo, dan juga konsepsi dari Suharto, yang mau tentara berkuasa selama-lamanya. Konsepsi seperti itu harus dikoreksi. Itu tidak lahir sejak 1945, dari pemikiran founding fathers Tentara Indonesia.
Bagaimana dengan pernyataan Jenderal Sudirman bahwa tentara bukan ‘pemadam kebakaran’, kemudian juga diperkuat oleh Nasution dengan konsepsi Dwifungsi ABRI, apa itu bukan refleksi bahwa mereka memang tak mau tunduk pada supremasi sipil?
Mereka ini kan tentara politik. Jadi dalam bayangan mereka dulu, mereka berada dalam struktur sebuah partai. Lagi-lagi kalau saya diminta jawab pertanyaan ini, itu terjadi hanya pada zaman perang, tidak dalam masa damai. Pernyataan Sudirman itu harus ditempatkan bahwa Indonesia sedang dalam masa revolusi, dalam keadaan perang. Juga pada waktu Nasution, itu juga harus dilihat konsepsi Dwifungsi. Saya kira Nasution sendiri pada akhir-akhir hidupnya mencoba untuk merevisi Dwifungsi karena justru digunakan Suharto. Nasution ingin tentara punya peran politik, bukan hanya sebatas tentara, itu betul, tapi tidak eksesif seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru. Dan menurut saya pemikiran seperti itu sudah usang. Sudah ketinggalan zaman. Tidak ada tentara yang bisa melakukan itu sambil tetap menjaga fungsi sebagai tentara.
Menurut Anda sebaiknya apa yang harus dilakukan oleh kelompok sipil dengan adanya friksi TNI?
Menurut saya, kalau soal friksi itu soal sulit. Karena itu adalah gejolak politik di dalam tentara, maka harus dihadapi secara politik. Tapi kalau dalam perspektif yang jauh lebih besar, sipil harus menjadikan tentara sebagai tentara. Menjadikan mereka berfungsi normal, sebagai tentara profesional seperti di banyak negara. Melakukan fungsi pertahanan, mereka melakukan kajian, mereka mengatur semua pertahanan dengan baik, dan mereka bisa diminta pertanggungjawabannya kalau terjadi sesuatu. Dan tugas orang sipil adalah menjamin tentara melakukan fungsi kemiliteran sebaik-baiknya, dan memberikan dana yang cukup untuk itu. Tugas sipil membangun sistem politik dan ekonomi yang membuat tentara tumbuh dan berkembang sebagai tentara. Misalnya, mereka butuh banyak kapal. Kan kita pernah diejek pemikir sebuah lembaga think tank Singapura bahwa katanya kapal TNI AL cuma berfungsi selama 60 hari dalam setahun. Itu benar. Itu artinya apa? Saya mengkategorikan itu sebagai kegagalan sipil yang tidak bisa membuat tentara mampu berfungsi sebagai tentara.
Tentara tidak bisa membangun sistem politik dan ekonomi. Begitu tentara menganggap dirinya bisa dan melakukan itu, itu hancur semua. Karena mereka tidak punya kekuasaan. Yang saya usulkan tadi pun, bahwa mereka berhenti jadi tentara, jadi manajer harus ada transisinya dulu, sekolah dulu.
Kalau untuk para aktivis yang saat ini menghadapi banyak tekanan akibat friksi ini? Apa yang harus mereka lakukan?
Kalau menurut saya tetap konsisten. Berjuanglah untuk kebebasan yang hari ini terancam. Tidak ada jalan lain. Kalau mereka mengancam, ya harus dihadapi. Dan saya punya harapan mereka berani menghadapi one to one orang-orang seperti ini. Ini yang saya maksud menjadikan tentara sebagai tentara. Kita punya tanggung jawab itu. Caranya bagaimana? Ya menunjuk langsung dan mengatakan “ini tidak bisa” dalam sistem demokrasi. Mereka (ormas sayap kanan) selalu mengeluh demokrasi kebablasan. Itu hanya karena mereka tidak biasa untuk berdebat, tidak nyaman. Karena mereka pikir itu tidak ada ujungnya. Padahal perdebatan adalah perdebatan. Itu akan memunculkan sesuatu. Tapi di satu sisi, mereka tidak pernah komplain ada yang komentar rasis seperti Kivlan, atau Habib Rizieq.***
[1] Kol. Inf. Maruli Simanjuntak (Akmil 1992) saat ini menjabat sebagai Komandan Korem 074/Warastratama Surakarta.