Ilustrasi diambil dari www.pinterest.com
Tanggapan terhadap Reclaiming the State
PADA Jumat minggu lalu (3/6/2016), Tim Peneliti Departmen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada (UGM) meluncurkan buku Reclaiming the State: Mengatasi Masalah-masalah Demokrasi di Era Pasca Soeharto (untuk kemudian disingkat RS).[1] Buku ini merupakan laporan atas survey demokrasi terhadap 600-an aktivis yang dilakukan pada tahun 2013. Survey demokrasi dalam RS ini sendiri merupakan bagian dari survey demokrasi yang pernah diselenggarakan Demos pada tahun 2003-2004 dan 2006. Dalam rentang waktu riset yang panjang ini, proyeksi riset RS dapat memberikan potret terkini mengenai peranan masyarakat sipil dalam mendorong proses demokratisasi yang lebih komprehensif dan melampaui capaian formal yang ada. Dalam hal ini, saya melihat RS menyediakan ruang refleksi yang diperlukan untuk memahami posisi kita yang selama ini berada di ranah gerakan rakyat.
Hasil temuan survey RS menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih berada dalam stagnasi. Walau aktor pro-demokrasi telah terpolitisasi dan mampu menurunkan pengaruh politik klientalisme sebagai bukan satu-satunya bentuk interaksi politik, namun kebanyakan institusi demokrasi masihlah lemah serta tidak ada perbaikan yang signifikan terhadap kesetaraan politik, representasi serta tata kelola. Menariknya, terlepas dari kesimpulan tentang stagnasi demokrasi, RS menunjukkan suatu kondisi yang krusial bagi perkembangan terkini demokratisasi kita: bahwasanya aktor-aktor masyarakat sipil yang ada sudah menyadari bahwa negara adalah ruang yang harus direbut. Perebutan atas negara beriringan pula dengan meningkatnya aspirasi publik mengenai isu kesejahteraan sosial.
Perkembangan seperti ini tentu membangkitkan harapan mengenai peran masyarakat sipil dalam proses demokratisasi yang berorientasikan pada agenda kesejahteraan sosial. Tidak heran jika kemudian Tim Peneliti menyimpulkan secara tegas bahwa agenda negara kesejahteraan (welfare state) sudah muncul ke permukaan politik nasional (Almanar and Monimbar, 2016).
Optimisme ini penting untuk dipertahankan. Walau begitu, sebagai proyeksi riset yang juga memiliki ambisi untuk meyediakan “trajektori masa depan demokratisasi” (hal. xi), RS cenderung kabur dalam memberikan petunjuk mengenai bagaimana agenda ini dapat diperjuangan secara konsisten oleh aktor-aktor masyarakat sipil. Dalam hal ini, kita perlu melakukan evaluasi kritis atas argumen yang ditawarkan dalam RS itu sendiri.
Evaluasi kritis kita dapat dimulai dari diagnosa atas akar masalah demokratisasi versi RS. Akar masalah dapat dirujuk pada lemahnya representasi politik dari aktor masyarakat sipil. RS menggarisbawahi bahwa intervensi politik aktor masyarakat sipil terhadap negara dilakukan tanpa agenda politik serta ideologi yang jelas. RS melihat bahwa ketidakjelasan itu menyebabkan mengapa para aktor dari masyarakat sipil yang melibatkan dalam politik negara masih beroperasi di dalam pengaruh kerangkeng politik oligarki; dimana mereka cenderung elitis dan mudah terkooptasi dalam relasi yang ada (hal. 122). Dalam hal ini, fenomena diaspora politik yang banyak dilakukan oleh para aktivis (dimana aktivis masuk ke dalam ruang-ruang politik yang ada sekarang seperti partai atau pemerintahan) menjadi sasaran kritik (hal. 108). Kondisi inilah yang membuat proses demokratisasi, beserta agenda negara kesejahteraan tentunya, mengalami keterbatasan.
Untuk mengatasi problem lemahnya representasi ini, RS menawarkan suatu preskripsi dimana penting untuk pembentukan suatu saluran representasi demokratis tambahan untuk masalah serta kepentingan publik. Saluran ini terutama akan mengambil bentuk komisi negara-masyarakat yang terdiri dari pejabat pemerintah, intelektual, organisasi masyarakat sipil, aktivis dan perwakilan dari organisasi sosial yang berkepentingan. Dengan kata lain, melalui pembangunan institusi popular yang demokratik yang terintegrasi dengan politik negara, maka upaya untuk mengatasi keterbatasan peran masyarakat sipil dalam demorkasi yang berorientasi (kesejahteraan) sosial dapat direalisasikan.
Walau terdengar solutif, namun preskripsi yang ditawarkan RS memiliki kelemahan mendasar. Sebagaimana terjadi dalam pengalaman sejarah negara-negara kesejahteraan yang ada dimana-mana, basis material bagi suatu agenda kesejahteraan yang konsisten bukanlah keberadaan institusi. Mobilisasi kelas pekerja dengan organisasinya yang militan serta masif justru merupakan prasyarat bagi perjuangan agenda negara kesejahteraan yang konsisten. Dalam hal ini, kemunculan suatu insitusi popular demokratik yang memberikan mekanisme institusional bagi operasi agenda kesejahteraan adalah buah dari perjuangan kelas yang dilakukan oleh kelas pekerja itu sendiri.
Terkait hal ini, ada dua isu penting yang menurut saya perlu diproblematisir ketika berbicara mengenai demokrasi yang berorientasikan kesejahteraan. Yang pertama adalah perlunya kita secara lebih spesifik memaknai apa yang sebenarnya dipahami dengan agenda kesejahteraan. Agenda kesejahteraan bukanlah melulu monopoli kekuatan progresif/pro-demokrasi. Kekuatan lain dapat pula mengajukan agenda kesejahteraan menurut kepentingannya sendiri. dalam pengalaman Indonesia pasca reformasi, misalnya, kalangan elit lokal predatoris dapat menyediakan pelayanan kesejahateraan kepada publik sejauh itu dapat menyediakan dukungan politik terhadap mereka. Pengalaman Jembrana, Bali, yang berhasil menyediakan kesehatan gratis justru berkorelasi dengan adanya aktivitas korupsi yang dilakukan oleh Bupati yang berkuasa pada saat itu. Selain itu, kalangan neoliberal (baca: kapitalis) juga memiliki agenda kesejahteraan yang lain dimana jaminan sosial bisa diselenggarakan sejauh ia berlaku fungsional untuk mendukung aktivitas akumulasi kapital dalam pasar. Keberadaan BPJS adalah bukti dari bagaimana neoliberalisme tidak melulu menegasikan agenda kesejahateraan. Dalam hal ini, RS cenderung bersikap normatif ketika berbicara mengenai agenda kesejahteraan, bahwa agenda ini adalah baik dengan sendirinya.
Yang kedua, semenjak agenda kesejahteraan selalu mensyaratkan perjuangan kelas, maka problem utama demokrasi berorientasikan kesejahteraan bukan terletak pada representasi namun justru pada presentasi. Secara khusus tentu saja presentasi yang dimaksud adalah presentasi kelas pekerja. Oleh karena itu kita tidak dapat melakukan generalisasi atas kategori masyarakat sipil itu sendiri. Di sini masyarakat sipil harus dilihat sebagai suatu arena pertarungan kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat dalam rangka memperebutkan hegemoni negara. Karenanya saya melihat, berbeda dengan RS, justru absennya presentasi kelas pekerja sebagai kekuatan yang hegemonik dalam masyarakat sipil menjadi kelemahan utama bagi demokratisasi yang berorientasi kesejahteraan.
Untuk itu preskripsi yang perlu ditawarkan justru adalah memperkuat upaya menghadirkan politik kelas pekerja. Dalam hal ini, pembangunan partai politik berbasis kelas (pekerja) adalah jalan satu-satunya yang harus ditempuh. Menariknya RS sempat menunjuk akan adanya inisiatif pembangunan partai alternatif sebagai salah satu strategi yang ditempuh aktor masyarakat sipil untuk mempengaruhi politik negara (hal. 106). Namun sayangnya, petunjuk ini berhenti pada ranah deskripsi dimana tidak ada diskusi sama sekali mengenai bagaimana upaya pembangunan partai alternatif ini dilakukan serta seperti apa batas-batas politik yang muncul dari proses pembangunan partai alternatif ini. Menurut saya, diskusi yang lebih mendalam atas pengalaman ini dapat memberikan referensi penting mengenai bagaimana penghadiran politik kelas pekerja dapat secara realistis dibangun dalam konteks relasi kuasa yang ada.
Dalam evaluasi kritis ini, temuan yang dihasilkan RS adalah titik berangkat yang krusial jika kita hendak memajukan kualitas demokrasi kita. Ekstraksi penting dalam perkembangan terkini demokrasi Indonesia dengan adanya korelasi antara demokrasi dengan agenda kesejahteraan, bagi saya, dapat menjadi pintu masuk bagi proyeksi yang lain. Bukan hanya proyeksi riset baru yang berorientasikan pada analisa kelas, namun juga proyeksi politik baru yang menjadikan politik kelas sebagai jangkar utamanya.***
Penulis adalah Sekretaris Wilayah KPRI Jakarta, Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
Kepustakaan:
Almanar, A and Mononimbar, D.A. (2016). Study Finds Indonesian Want Welfare State. Jakarta Globe. Diambil dari http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/study-finds-indonesians-want-welfare-state/
————–
[1] Versi bahasa inggris dari laporan ini dapat diunduh di http://folk.uio.no/ollet/files/Reclaiming-the-State.pdf