18 JUNI enam tahun silam, Jose Saramago menutup mata. Usianya 88 tahun.
Saya menerima kenyataan ini sebagai sebuah kebetulan yang menyenangkan. Pasalnya, beberapa perdebatan di sekitar kita belakangan ini begitu membutuhkan perhatian yang serius jika ingin dibahas. Sayang, waktu bukanlah kemewahan saya akhir-akhir ini, sama seperti Anda kebanyakan. Apalagi ketika perdebatan-perdebatan itu sudah memancing begitu banyak orang membicarakannya dengan beragam argumen pula. Sebuah perdebatan, dalam hemat saya, akan terasa begitu bermakna untuk peradaban, jika ia bergaung lagi di kemudian hari. Jika tidak, ia sekadar riak hari ini yang tak perlu diperhatikan benar. Tentu juga banyak contoh perdebatan-perdebatan yang terus bergaung, bukan sekadar diingat kembali, namun juga efeknya betul-betul terasa di kemudian hari.
Sama halnya dengan sebuah buku dan pengarang yang baik. Kita semua setuju belaka bahwa Jose de Sousa Saramago, lebih dikenal dengan Jose Saramago, termasuk sastrawan penting abad kita. Apalagi jika menggunakan Nobel Sastra sebagai ukuran, Saramago menerima penghargaan tersebut pada 1998. Mengenang 18 Juni yang baru saja lewat, saya kembali membaca Blindness.
Novel itu mengisahkan sekelompok orang yang pertama kali tejangkit epidemi kebutaan yang melanda dunia. Dimulai dari seorang lelaki yang mendadak buta saat mengendarai mobil, diikuti orang-orang yang bersinggungan dengannya pada hari itu, hingga akhirnya seluruh dunia. Di akhir cerita, penglihatan semua manusia kembali normal.
Pemerintah mengkarantina para penderita perdana di sebuah bekas rumah sakit jiwa dan tepat di sinilah Blindness ‘berspekulasi’ bagaimana sebuah dunia yang beradab dibangun oleh para tunatera dadakan. Di dalam ketakberdayaan tanpa penglihatan itu, Saramago mengupas pojok-pojok gelap kemanusiaan; kediktatoran, perebutan makanan, najis, harga diri yang hilang, dsb. Panorama kebutaan massal yang dikisahkan Saramago justru menjelma prakondisi untuk melihat kemanusiaan yang tersisa ketika segala hal menjadi mustahil, kecuali harapan untuk terus bertahan hidup.
Awalnya, para orang buta di karantina mengira hanya merekalah yang terkena epidemi itu. Namun, ketika datang penghuni baru, cerita dari dunia luar pun mereka dengar: dunia perlahan-lahan menjadi putih seputih-putihnya. Lambat laun mereka sadar bahwa para tentara telah meninggalkan pos-pos penjagaan karatina.
Kebakaran akhirnya membuat mereka terpaksa keluar karantina, dan sejak itulah terpampang jelas masyarakat yang rontok, dunia tanpa seorang manusia pun bisa melihat. Apokaliptik.
‘Mereka tidak tahu jalan, mereka terus menempel gedung-gedung dengan tangan terjulur. Mereka terus-menerus saling tabrak seperti semut-semut pada alur lintasannya. Namun ketika terjadi tabrakan, tak ada yang protes’
Dalam menciptakan dunia di ujung tanduk itu, Saramago tidak memilih apa yang ada di luar manusia untuk menciptakannya. Tanpa membeda-bedakan genre, kita kerap menemukan kisah-kisah apokaliptik yang sumber masalahnya ‘berasal dari luar manusia’: alien yang menginvasi bumi, zombie, rusaknya udara, dsb. Pilihan Saramago sangat sederhana: hilangnya fungsi salah satu pancaindra manusia. Dan yang dipilihnya adalah indra yang terpenting untuk manusia modern saat ini.
‘Kebutaan adalah persoalan pribadi antara seseorang dengan mata yang sudah bersamanya semenjak lahir’ tulis Saramago. Penglihatan adalah indera terpenting bagi spesies manusia modern. Barangkali sebelum berevolusi menjadi homo sapiens yang berjalan tegak, manusia belum terlalu bergantung dengan penglihatannya; mungkin saja penciuman lebih diandalkan.
Apalagi ketika peradaban dibangun di atas batu-batu arsip yang menggunakan aksara sebagai penyimpan utamanya, manusia semakin tergantung pada mata. Tanpa penglihatan, manusia tidak bisa mempelajari sejarah. Tanpa penglihatan, manusia tidak bisa berpartisipasi maksimal di dalam peradaban. Segala hal di sekitar manusia modern sesungguhnya bergantung pada indera penglihatan.
Tidak bisa tidak, seluruh teknologi yang mempermudah hidup manusia menggunakan indra penglihatan untuk mengoperasikannya. Manusia barangkali bisa saja tidak mencium suatu aroma di dalam sebuah ruangan, namun belum tentu hal tersebut sungguh-sungguh menggangu hidupnya. Ketika seseorang tidak melihat pintu keluar sebuah ruangan, nah, masalah yang lebih besar timbul di sana. Kita kerap mendengar atau mengucapkan ‘aku tidak mencium aroma itu’ dan kalimat itu tidak terlalu mengganggu ketimbang kalimat ‘aku tidak melihat benda itu.’
Menghilangkan penglihatan dari tubuh seluruh spesies manusia adalah cara menciptakan keadaan khaos yang paripurna. Itulah yang dilakukan Saramago di dalam Blindness. Namun rupanya, sulit untuk membayangkan sebuah dunia tanpa penglihatan sama sekali. Itu sebabnya, saya kira, seorang tokoh dibiarkan bisa melihat oleh Saramago. Selain menjadi tokoh utama, perempuan penglihat ini menjadi semacam ‘mata kemanusiaan’ untuk merefleksikan keberadaannya ketika orang-orang di sekitarnya buta.
Dikisahkan, saking cintanya si tokoh yang bisa melihat ini kepada sang suami, ikutlah dia diinternir di sanatorium. Di sana ia lantas menjadi orang yang mengatur segala sesuatu kehidupan sambil terus berpura-pura buta. Ia mencoba mengkreasi peraturan-peraturan kecil, dengan bantuan suaminya yang punya otoritas sebagai dokter di antara orang-orang buta itu, agar kehidupan bersama terus berjalan. Ia juga—karena bisa melihat—menjadi ‘orang yang bisa menjatuhkan hukuman’ untuk orang-orang buta yang bertindak semena-mena. Kedigdayaan manusia ketika bisa melihat dihadirkan melalui tokoh ini. Namun dari mata tokoh yang bisa melihat ini jugalah kemanusiaan dan peradaban itu runtuh satu demi satu; tak bertahan di tengah ketakberdayaan manusia.***