Tanggapan Untuk Irwansyah
KALAU kita membaca tulisan Irwansyah yang berjudul Kepentingan Melawan Histeria Anti Komunis[1], kita dapat menarik kesimpulan bahwa hari ini, di bawah rezim pemerintahan Joko Widodo, penanganan kasus 65 mendapat ruang yang lebih partisipatoris bagi rakyat. Hal ini terlihat, misalnya, dari diadakannya Simposium Tragedi 65 yang difasilitasi dan dibiayai negara dengan melibatkan elemen rakyat, seperti kalangan korban dan organisasi-organisasi advokasi HAM. Tidak melulu menggunakan pola lama, yang hanya membatasi penanganan 65 pada elit-elit semata dan bercorak represif.
Irwansyah juga menyebutkan bagaimana respon-respon kalangan reaksioner dalam menanggapi langkah pemerintah tersebut, yang menggunakan cara-cara lama (fitnah, hasutan, teror, mobilisasi massa, dst.), sudah menurun relevansinya. Mereka sudah tak bisa lagi menggagalkan pola baru pemerintahan Jokowi dalam penanganan kasus 65, tapi hanya dapat merespon dan membatasi. Ini membuktikan ihwal masalah 65 telah terbuka ruang bagi kaum progresif untuk terlibat dan menawarkan narasi alternatif yang lebih segar dan ilmiah tentang kasus 65, ketimbang narasi lama yang stigmatif dan stereotipikal.
Sampai akhirnya, Irwansyah bermuara pada problematisasi yang aktual mengenai ‘apakah kaum progresif di era paska Orde Baru ini mampu mengukuhkan kepentingan mereka dalam penanganan kasus 65 dan memaksa pemerintahan Jokowi untuk tidak tunduk terhadap pembatasan masalah 65 yang diinginkan kelompok-kelompok reaksioner’. Saya sendiri sepakat dengan pembacaan tersebut. Hanya, dalam tulisan ini saya ingin mencoba melanjutkan problematisasi yang ditawarkan Irwansyah dengan menempatkan wacana penanganan kasus 65 yang melibatkan kalangan progresif dan reaksioner dalam kerangka analisa gerakan sosial.
***
Studi mengenai gerakan sosial telah mengalami perdebatan di tahun-tahun 60-an. Ini terjadi karena dua hal. Pertama, terbatasnya pendekatan lama yang bersandar pada tradisi Marxis klasik, yakni menempatkan realitas politik sebagai cermin dari basis fundamental secara kaku dan analisa kelas yang reduktif dengan hanya melibatkan buruh dan borjuis tanpa melihat peran aktor-aktor berbasis identitas lain (Buechler, 1995: 441-442). Kedua, banyak gerakan-gerakan sosial yang muncul berdasarkan multi-identitas, bersifat vertikal maupun horizontal, dan mengusung isu yang beragam semisal feminisme, lingkungan, anti-perang dan anti-nuklir, persamaan hak warna kulit, dst. (Porta & Diani, 2006: 1).
Alhasil, perdebatan yang melibatkan para teoritisi gerakan sosial ini melahirkan setidaknya tiga paradigma penting dalam gerakan sosial, yakni Political Opportunity Structure/POS, Resource Mobilization Theory/RMT dan Collective Action Frame/CAF (McAdam, McCharty & Zald, 1996: 2-7). Masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda mengenai gerakan sosial. Namun begitu, ada benang merah yang dapat ditarik.
Secara umum, suatu tindakan kolektif dapat disebut sebagai gerakan sosial jika ia memenuhi beberapa syarat: conflictual collectvie action, yakni penggunaan konflik politik maupun kultural dalam menawarkan suatu perubahan; dense informal network, yakni soal hubungan antar aktor dalam mengorganisir gerakan, yang selalu bersifat otonom dan sementara; collective identity, yakni pengembangan identitas bersama (collecvtive identities develop)—dalam hal ini gerakan sosial bukan sekedar penjumlahan protes pada isu tertentu atau kampanye tertentu (Porta & Diani, 2006: 21).
Dalam wacana penanganan 65, kaum progresif dalam hal ini dapat dimasukkan dalam kategori gerakan sosial. Sebab ia menggunakan konflik dalam menawarkan suatu perubahan terhadap cara pandang mengenai tragedi 65 yang selama ini dimonopoli oleh negara. Ia menggunakan konflik, sebab gerakan sosial merupakan satu jenis tipe konflik yang mengandaikan (presuppose) lawan/kompetitor (kalangan reaksioner) dan sumber daya yang diperebutkan (Touraine, 1985: 750-751). Ia juga memenuhi jaringan informal mengenai kekuatan hubungan antar aktor yang bersifat otonom dan saling independen, seperti kelompok penyintas, kelompok advokasi HAM (KontraS, Komnas HAM), elit pemerintahan, mahasiswa, pekerja, dsb. yang kemudian membentuk identitas bersama sebagai kelompok pro-demokratis.
Selanjutnya, perlu kita jabarkan satu-satu mengenai paradigma yang telah disebutkan di atas karena dengan begitu pemahaman kita mengenai gerakan sosial menjadi komprehensif dan integral.
Pertama, Political Opportunity Structure/POS. Pendekatan ini merujuk kepada konteks politik (political context) dan aturan-aturan yang ada di mana gerakan sosial hadir (Meyer, 2004: 127-128). Suatu gerakan sosial dapat terbentuk bergantung pada keadaan institusi politik, apakah dapat membuka kesempatan bagi terbentuknya gerakan atau tidak. Pendekatan yang dipopulerkan pertama kali oleh Eisinger (1973) ini menjelaskan kata kunci “openness government” yakni komposisi pemerintahan yang terbuka yang membuat celah bagi terbentuknya sebuah gerakan. Sistem politik otoritarian yang kuat dan tertutup tidak akan membuka ruang bagi gerakan apapun. Apabila, dalam sistem otoriter itu ada ketegangan yang menciptakan kekuasaan menjadi kendur, gerakan sosial berpotensi muncul (McAdam, McCharty & Zald, 1996: 3). Perlu diperhatikan beberapa poin mengenai kesempatan politik bagi gerakan sosial yakni (1) akses terhadap lembaga-lembaga politik terbuka, (2) situasi politik tidak stabil, (3) konflik elit yang besar dan mempengaruhi kestabilan serta (4) aktor perubahan berkoalisi dengan elit yang menginginkan perubahan (Situmorang, 2007: 4). Hal ini terlihat pada peristiwa Mei 1998 di Indonesia yang membuat gerakan penggulingan Orde Baru dan membawa sistem politik ke arah yang lebih demokratis tercapai.
Pendekatan di atas juga dapat digunakan dalam melihat gerakan kaum progresif dalam wacana penangangan kasus 65. Struktur politik yang terbuka dengan formasi elit politik baru di dalam pemerintahan Jokowi—yang lebih demokratis ketimbang sebelum-sebelumnya—memberikan peluang bagi kalangan progresif untuk terlibat dalam menawarkan narasi alternatif mengenai kasus 65. Simposium Tragdei 65 dapat menjadi tonggak bagi tercapainya agenda politik kaum progresif untuk mewujudkan tatanan politik yang lebih demokratis dan partisipatoris, sebab gerakan sosial dan demokratisasi berhubungan secara dialektis, yakni gerakan sosial selalu mengarah pada demokratisasi dan begitupun sebaliknya, demokratisasi selalu menyediakan peluang bagi gerakan sosial (Tilly, 2004:137).
Apalagi, masifnya teknologi menyebabkan dunia digital sebagai ruang bagi gerakan progresif kian besar. Studi yang dilakukan oleh Amanda Rohr Lopes (2014) menyebutkan bahwa media sosial menjadi akses bagi kelanjutan struktur peluang politik suatu gerakan. Sebab media sosial menjadi ruang artikulasi baru bagi orang-orang untuk melakukan pengorganisiran gerakan sosial.
Walaupun pemerintahan Jokowi, seperti yang dikatakan Irwasnyah, “belum tentu mengakar pada rakyat” dan “belum tentu mewakili kepentingan politik progresif”, kecuali hanya dibentuk berdasarkan kalkulasi kekuasaan belaka, namun ini adalah kondisi objektif bagi gerakan kaum progresif untuk terlibat dan mencapai tujuannya.
Kedua, Resource Mobilization Theory/RMT. Jika POS melihat gerakan sosial dari sudut peluang politik yang mengacu pada struktur politik, RMT menengarai gerakan sosial dari sudut pandang ketersediaan ruang atau sarana, formal maupun informal, yang digunakan untuk membolisasi aktor dan melebur ke dalam gerakan sosial (McAdam, McCharty & Zald, 1996: 3). Jadi pendekatan ini melihat gerakan sosial (sebagai ruang atau sarana) dari dalam gerakan itu sendiri. Ia memiliki fokus antara lain soal pengumpulan sumber daya (uang dan tenaga)[2]; bentuk minimal organisasi (struktur keanggotaan, administrasi, dll); pengakuan (recognition) dari anggota maupun kelompok lain; dan adanya kepekaan terhadap cost and reward dalam memahami perkembangan gerakan (McCharty & Zald, 1977: 1216).
Dalam penanganan kasus 65, kaum progresif harus mempunyai sumber pengumpulan dana yang mandiri dan dapat dipakai untuk menunjang gerakan. Sejauh ini, gerakan yang dilakukan kaum progresif belum begitu kuat dan tercerai-berai. Oleh karena itu, pengorganisiran sumber daya perlu dilakukan secara rapi untuk memperkuat barisan. Selain itu, kaum progresif memerlukan satu model kepemimpinan yang partisipatoris dalam memobilisasi gerakan. Suatu model kepemimpinan yang melibatkan pengambilan keputusan secara bersama dan pembagian tugas yang jelas. Juga, gerakan tersebut harus mampu memberikan suatu sumber motivasi bagi anggota-anggotanya maupun masyarakat luas yang bukan anggota agara mendapat pengakuan dan empati terhadap gerakan.
Kemudian, kita juga harus memperhatikan gerakan kaum progresif melalui pendekatan ketiga dalam kerangka analisa gerakan sosial, yakni Collective Action Frame/CAF. Setelah melihat struktur politik dan mobilisasi sumber daya, gerakan sosial juga harus dilihat dalam kerja mengemas ideologi yang dapat diterima oleh banyak pihak. Gerakan sosial harus mampu mengkonstruksi realitas dan komunikasi di dalam gerakan (Benford, 1997: 419). Dalam hal ini, gerakan kaum progresif dilihat dalam bagaimana mereka melakukan signifikansi peran agen dalam memproduksi dan mereproduksi makna bagi konstituen, lawan, maupun massa di luar keduanya (Benford & Snow, 2000: 613).
Mereka harus dapat menerjemahkan situasi kepada anggota dan di luar anggotanya serta membingkai isu sesuai dengan kebutuhan. Dalam penanganan kasus 65, kaum progresif harus mampu memberikan suatu analisa dan pembacaan mengenai pentingnya melakukan pembongkaran kasus 65 dan melakukan rekonsiliasi yang berlainan dari kalangan reaksioner kepada masyarakat. Hal ini, saya kira, membutuhkan apa yang disebut sebagai rantai intelektual. Rantai ini bekerja dalam memproduksi pengetahuan dalam rangka politik pengetahuan untuk melawan produksi pengetahuan mengenai kasus 65 yang selama ini digaungkan oleh kalangan reaksioner—yang tentunya melalui fitnah dan hasutan belaka.[3]
Kaum progresif, dalam melakukan framing, harus memperhatikan tiga hal. Pertama, diagostic framing, yakni upaya pendefinisian terhadap berbagai masalah dan situasi beserta sumber yang dihadapi oleh gerakan. Hal ini menyangkut siapa yang salah dan patut dilawan, mengartikulasikan tujuan alternatif dan mendorong anggota-anggotanya untuk menghasilkan efek yang signifikan bagi gerakan. Singkatnya, kaum progresif harus mampu menjelaskan bahwa ada suatu masalah dalam kasus 65 yakni adanya “keadaan yang tidak adil” bagi para korban. Kedua, prognostic framing, yakni kaum progresif harus mampu memengartikulasikan solusi terhadap pembacaan masalah yang ditawarkan. Hal ini juga penting untuk melawan segala bentuk “counterframing” yang dilakukan oleh kelompok lawan—dalam hal ini kelompok reaksioner. Ketiga, motivational framing, yakni untuk mengajak, atau dalam istilah Benford, “call to arms”, orang-orang untuk terlibat aksi konkret dalam gerakan sosial (Benford & Snow, 2000: 615-617).
Kaum progresif hari ini harus mampu mengembangkan isu mengenai kasus 65 melampaui dari persoalan minta maaf dan tidak, tetapi juga harus mengarahkan isu kepada pembangunan infrastruktur kapitalisme sebagai conditio sine qua non bagi peristiwa 65 seperti tertera dalam tujuan Simposium 65[4]. Bahkan tidak berlebihan jika kaum progresif menawarkan suatu analisa berbasis kelas kepada masyarakat sebagai dasar dalam memahami kasus 65 maupun kasus-kasus lain yang disebabkan oleh Orde Baru. Suatu analisa yang berlainan dengan kalangan reaksioner, yang menuduh komunis dan para korban sebagai biang keladi G30S 65, namun menghadirkan suatu pembacaan ekonomi-politik secara sistematis dan ilmiah.
***
Setelah pemarapan tadi, setidaknya ada dua hal yang ingin ditekankan dalam tulisan ini. Pertama, hal ini menjadi refleksi bagi segenap kaum progresif dalam melakukan pergerakan dalam dunia aktual hari ini. Bersandar pada kerangka teoritik gerakan sosial di atas, kaum progresif dapat melihat pengalaman-pengalaman yang terjadi di belahan dunia lain untuk selanjutnya dipelajari dan dicerna untuk diaplikasikan ke dalam gerakan di tanah air, khususnya penanganan kasus 65.
Kedua, pentingnya kaum progresif untuk memahami kondisi objektif bagi keberlangsungan gerakan untuk selanjutnya mengorganisir diri serapi mungkin dan menggunakan model kepemimpinan yang demokratis dan partisipatoris. Di samping itu, kaum progresif juga harus mampu memproduksi dan mereproduksi pengetahuan mengenai kenyataan ekonomi-politik dalam kasus 65 sebagai kondisi yang disebabkan oleh kapitalisme—yang bukan tidak mungkin menawarkan analisa berbasis kelas secara komprehensif.***
Penulis adalah pegiat Komunitas Lingkar Studi Tangerang Selatan (LiNTAS)
Kepustakaan
Benford, Robert D. & David A. Snow. 2000. Framing Process and Social Movements: An Overview and Assesment. Annual Review of Sociology, Vol. 26 (Agustus), No. 1.
Benford, Robert D. 1997. An Insider’s Critique of The Social Movement Framing Perspective. Sociological Inquiry, Vol. 67 (November), No. 4.
Buechler, Steven M. 1995. New Social Movement Theories. The Sociological Quarterly, Vol. 36 (Summer) No. 3.
Lopes, Amanda Rohr. 2014. The Impact of Social Media on Social Movements: The New Opportunity and Mobilizing Structure. Journal of Political Science Research.
McAdam, Dough, John D. McCarthy & Mayer N. Zald. 1996. Comparative Perspectives on Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing Structure, and Cultural Framings. Cambridge: Cambridge University Press.
McCharty, John D. & Mayer N. Zald. 1977. Resource Mobilization and Social Movements: A Partial Theory. The American Journal of Sociology, Vol. 82 (May), No. 6.
Meyer, David S. 2004. Protest and Political Opportunities. Annual Review of Sociology, Vol. 30 (Februari)
Porta, Donatella Della & Mario Diani. 2006. Social Movement: An Introduction. Second Edition. Oxford: Blackwell Publishing.
Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Tilly, Charles. 2004. Social Movements, 1768-2004. London: Paradigm.
Touraine, Alain. 1985. An Introduction to the Study of Social Movements. Social Research, Vol. 52 (Winter), No. 4.
————-
[1]https://indoprogress.com/2016/06/kepentingan-melawan-histeria-anti-komunis/
[2] Untuk persoalan resource, Freeman (1979) membaginya ke dalam dua tipe: tangible resource dan intangible resource. Yang pertama berupa uang, fasilitas, tenaga dan cara berkomunikasi, sementara yang kedua merupakan “human assets” mencakup kemampuan mengorganisir dan tenaga pendukung. (Lihat J. Craig Jenkins, 1983, Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements, Annual Review No. 9, Columbia: University of Missouri, hlm. 533)
[3] Untuk lebih lengkapnya mengenai pembangunan rantai intelektual, lihat Martin Suryajaya, 2011, Membangun Rantai Intelektual Kiri. Dapat diakses di https://indoprogress.com/2011/05/membangun-rantai-intelektual-kiri/
[4] http://www.rappler.com/indonesia/129348-simposium-nasional-tragedi-1965