Ilustrasi oleh Alit Ambara
DI TENGAH gencarnya fitnah, provokasi, dan aksi-aksi inkonstitusional yang dilakukan oleh TNI/Polri dan begundal-begundal sipilnya terhadap apa yang mereka sebut ‘Kebangkitan Kembali PKI”, ada dua kegilaan yang paling menonjol: pertama, kegilaan untuk membangkitkan kembali PKI justru oleh mereka yang paling memusuhinya. Kedua, kegilaan akan pertunjukan kebebalan dan sikap anti-intelektualisme di kalangan para jenderal dan begundal-begundal sipilnya itu. Bayangkan, mereka tidak tahu objek dan subjek yang mereka benci, yang hendak mereka hancur luluhlantakkan dengan segala sumberdaya yang dimilikinya.
Kegilaan yang dipertontonkan secara massif ke publik ini, kemudian disambut secara suka-cita oleh kegilaan lainnya. Kali ini datang dari sebagian kalangan demokrat, yang ironisnya mencoba untuk menentang orang-orang gila bersenjata dan berpentungan itu. Kalangan demokrat kita ini, dalam upayanya untuk membela kebebasan sipil dan politik dari terjangan sepatu lars dan popor senapan itu memberikan argumen sebagai berikut: “buat apa takut akan komunisme, takut pada PKI yang sudah mati? Bahkan di tingkat internasional, komunisme sudah bangkrut bahkan di negara asalnya (maksudnya Uni Sovyet). Di Cina komunisme tinggal cangkangnya saja dan bendera palu arit hanya berkibar jika Partai mengadakan Kongres. Jadi, buat apa mengurus ideologi yang sudah membusuk di lantai terbawah ideologi?” Pernyataan ini masih ditambahi dengan kalimat ini: “Bahaya paling nyata saat ini adalah fundamentalisme agama, yang nyata-nyata anti Pancasila dan anti NKRI”.
Para demokrat kita ini, tampaknya telah gagal membedakan antara teori dan sejarah. Ketika mereka bicara tentang Marxisme, mereka secara membabi-buta mencampurardukkannya dengan eksperimen sejarah dari ideologi ini. Bahwa teori Marxis itu adalah apa yang ditunjukkan dalam sejarah itu, sehingga ketika eksperimentasi sejarah itu gagal maka teori Marxis tidak bisa lagi diandalkan sebagai seperangkat alat analisis atas peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi. Dan ketika mereka bicara tentang sejarah, mereka bukan hanya abai terhadap kompleksitas dan kekhususan dari masing-masing eksperimentasi sejarah itu, tapi juga menarik kesimpulan yang semena-mena bahwa begitulah teori Marxis adanya. Sehingga ketika tembok Berlin runtuh, runtuh pula teori Marxis. Sungguh sebuah cara berpikir yang serampangan.
Dari sini, kita harus mengatakan bahwa baik para jenderal dan kaum demokrat kita setali tiga uang: mereka sama-sama tidak mengetahui tentang Marxisme dan dinamika yang berkembang dalam ideologi ini. Dengan kadar yang berbeda, pada dasarnya mereka sama-sama anti Marxis. Celakanya, penolakan mereka pada Marxisme bersumber dari ketidaktahuan. Sikap serba anti mereka ini datang dari dunia gelap.
Dalam konteks Indonesia, kebutahurufan Marisme ini merupakan sebuah produk sejarah sosial-politik menyusul tragedi berdarah 1965. Sebagai kelanjutan dari proses konsolidasi politik pasca 1965, rezim orde baru Soeharto kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS XXV 1966, yang berisi larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/ Marxisme-Leninisme.
Akibat larangan ini maka membaca atau mempelajari Marxisme adalah sebuah tindakan subversif. Menyebarkan buku-buku tentang Marxisme atau yang menggunakan Marxisme sebagai alat analisis, juga merupakan tindakan yang subversif. Dan karena larangan ini sudah bertahan selama 50 tahun, maka ada sekian generasi masyarakat Indonesia yang buta huruf pengetahuan Marxis. Kalau toh ada yang berani mempelajari dan konsisten mengamalkannya, maka jumlahnya sangatlah sedikit.
Inilah kenyataan sosiologis generasi terdidik kita sekarang ini. Generasi yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam berteori dan berdebat. Generasi yang gampang memberikan label pada sesuatu padahal pengetahuannya akan sesuatu itu pincang. Tidaklah heran jika dari generasi ini tidak muncul (kecuali satu dua) intelektual berkaliber internasional, sesuatu yang justru begitu mereka idam-idamkan. Dan adalah wajar jika dari generasi hasil didikan orba ini tidak muncul sebuah paradigma pemikiran yang bisa menyumbang khazanah pemikiran dunia keilmuan lebih luas.
Apa yang sering dilakukan oleh generasi terdidik yang berteduh di bawah payung Tap MPRS XXV 1966 ini adalah pertama, memamah biak teori-teori modernisasi dan memolesnya melalui pendayagunaan bahasa. Kedua, mereka memoderasi atau bahkan menyimpangkan teori-teori radikal yang merupakan kritik atas kapitalisme, agar sesuai dan tidak bertentangan dengan UU larangan penyebaran Marxisme. Dan ketiga, mereka lebih suka kembali ke zaman lampau, mengais-ngais contoh kehidupan dan kebijkasanaan di masa itu untuk menjawab tantangan hari ini. Padahal telah jelas bahwa mustahil untuk membangun kembali kejayaan masa lalu yang telah ambruk.
Kita tidak tahu sampai kapan dunia gelap yang memproduksi buta huruf Marxisme serta generasi yang tanggung dalam berilmu ini akan terus eksis. “Akademisi” Mohammad Mahfud M.D. satu ketika pernah berfatwa bahwa Tap MPRS XXV 1966 ini tidak bisa dicabut, tidak ada yang bisa mencabutnya. Tapi kita bukan Mohammad Mahfud, yang telah nyaman hidup di dunia gelap itu. Kita percaya bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Apalagi Tap MPRS itu adalah sebuah produk politik, sehingga jika terjadi sebuah perubahan politik ke arah yang lebih progresif maka pencabutan Tap dari dunia gelap itu bukanlah hal yang mustahil.***