Ilustrasi oleh Alit Ambara
ANTI-KOMUNISME kembali bergema di Indonesia. Di sini, ungkapan bahwa ‘ada hantu bergentayangan, hantu komunisme’ seakan-akan dianggap benar dan betul-betul diamini keberadaannya oleh elemen-elemen represif negara dan kekuatan-kekuatan konservatif di masyarakat. Anti-komunisme menjadi bagian dari sentimen ‘anti-anti’ lain yang sempat menjadi kontroversi di masyarakat, seperti sentimen anti-Syiah, anti-LGBT, dan anti-separatisme. Tujuan akhirnya sama, yaitu sebagai alat untuk mengalihkan perhatian kita dari hal-hal lain yang lebih penting dan mendesak, menutup ruang kritik dan perbedaan, serta mendelegitimasi perlawanan rakyat.
Kali ini, anti-komunisme kembali muncul dalam bentuknya yang paling vulgar, mulai dari pembubaran diskusi, pelarangan buku, hingga kriminalisasi warga dan aktivis yang dianggap memakai memakai atribut-atribut ‘komunis.’ Tren ini mengingatkan saya atas aksi-aksi serupa di tahun-tahun awal reformasi, di mana sentimen anti-komunis begitu merebak. Anehnya, kita kembali menemukan hal serupa baru-baru ini.
Bagi para aktivis dan penggerak gerakan yang terbiasa dengan tindakan represif aparat serta ormas-ormas anti-demokrasi, ini mungkin bukan hal yang yang asing dan terlampau aneh. Tetapi bagi sebuah masyarakat di mana doktrin-doktrin anti-komunisme masih ditelan mentah-mentah, tindakan represif dan otoritarian tersebut dapat menemukan justifikasinya.
Kita tahu bahwa sentimen anti-komunisme memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Anehnya, bahkan setelah tumbangnya Orde Baru dan transisi menuju demokrasi, anti-komunisme masih tetap hidup dan berkembang. Sepertinya benar bahwa di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Ariel Heryanto (1999), anti-komunisme tidak pernah mati – isu tersebut terus dihembuskan, dibuat seakan-akan nyata, untuk meredam hal-hal yang dianggap melawan kepentingan rezim.
Ironisnya, sentimen konyol ini masih tetap hidup di masa sekarang, di era pemerintahan Jokowi-JK, sebuah pemerintahan yang bisa naik karena dukungan gerakan sosial. Dan sejauh ini, tidak ada respon yang berarti dari pemerintah kecuali berupa imbauan-imbauan kepada aparat untuk tidak melakukan tindakan yang ‘berlebihan.’ Bahkan, anggapan-anggapan ahistoris, simplistis, dan vulgar atas anti-komunisme justru kembali digaungkan. Ini aneh, seakan-akan kita masih hidup di jaman Orde Bau – padahal terakhir kali saya cek kalender, tahun ini sudah tahun 2016.
Yang menjadi masalah bukan hanya asosiasi-asosiasi vulgar terhadap komunisme dan ide-ide yang dianggap berbau kiri lainnya yang masih mengakar di masyarakat – bahwa PKI kejam, anti-agama, dan tidak bermoral, bahwa peristiwa 1965 adalah sebuah pengkhianatan alih-alih tragedi, bahwa Marxisme dan Komunisme adalah sinonim dengan Stalinisme, dan lain sebagainya, yang menyuburkan tendensi anti-demokratik dan anti-pengetahuan. Yang juga menjadi masalah besar adalah bahwa sentimen anti-komunis dipakai untuk membungkam kebebasan berekspresi dan melabeli perlawanan-perlawanan rakyat atas haknya yang semakin bergaung di banyak tempat sebagai aksi-aksi ‘komunis’ (seperti biasa, selain aparat, ormas-ormas ultra-konservatif juga dipakai untuk melakukan tugas teror sipil itu). Dengan kata lain, sentimen anti-komunisme dipakai untuk memberangus hak-hak dan perlawanan demokratik rakyat. Bahkan, sentimen tersebut secara efektif dapat dipakai sebagai pintu masuk yang lapang bagi militerisme. Ini bahaya!
Label komunis misalnya, sering disematkan kepada rakyat-rakyat desa yang melakukan berbagai aksi protes, pendudukan lahan, dan upaya politik lainnya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dan penghidupan mereka. Baru-baru ini di Cilacap misalnya, setidaknya delapan ribu hektar tanah rakyat dirampas oleh Perhutani, TNI AD, dan korporasi swasta dengan alasan bahwa para pemiliknya dianggap pernah terlibat dalam peristiwa G30S dan DI/TII. Saya ulangi, delapan ribu hektar tanah! Situasi pelik ini juga terjadi di banyak tempat lain. Perlawanan rakyat untuk hak-hak mereka atas tanah dan gerakan petani acapkali mendapatkan tuduhan ‘komunis.’
Tidak hanya itu, isu ‘PKI bangkit lagi’ atau, dalam bahasa yang lebih Orbais, ‘bahaya laten komunisme’ juga berhasil memecah dan mengalihkan perhatian kita dari isu-isu yang lebih genting, seperti kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak-anak, pembatasan atas kebebasan berekspresi dan hak-hak sipil dan politik lainnya, serta konflik agraria dan sumber daya alam terutama perampasan tanah.
Di tengah-tengah kondisi politik yang seperti ini, maka hanya ada satu pilihan: lawan! Kita harus melakukan perlawanan di berbagai lini, mulai dari produksi pengetahuan, diseminasi gagasan, di kota dan di desa, terutama di jalanan. Kita perlu mengangkat topi dan bersolidaritas kepada kawan-kawan kita yang tetap teguh dan berlawan menghadapi sweeping aparat dan ormas-ormas di saat mereka sedang asyik nonton bareng, berdiskusi, atau membedah buku, kepada mereka yang bergeming dan tidak mau kalah dalam ‘perang urat syaraf’ melawan ancaman elemen-elemen konservatif dari negara dan masyarakat, kepada rakyat pekerja yang terus melakukan aksi-aksi langsung dan perlawanan baik di desa maupun di kota – kepada kawan-kawan yang tetap berani dan konsisten melawan tindakan-tindakan fasis dan militeristik dengan dalih anti-komunisme.
Inilah tugas yang musti kita lakukan sebagai bagian dari gerakan sosial di Indonesia. Kita musti melakukan pertarungan baik di level gagasan maupun aksi langsung, baik di tulisan-tulisan dan mimbar-mimbar maupun di jalanan dan ruang-ruang publik lainnya melalui pembangunan aliansi-aliansi yang luas. Inilah sesungguhnya tugas dan strategi kita sebagai bagian dari gerakan progresif yang pro-demokrasi dan hak-hak rakyat – sebuah strategi yang, meskipun dalam pandangan kita manifestasinya sangat vulgar, dimainkan dengan sangat cantik oleh kaum konservatif dan militeris.
Adalah suatu kesalahan yang besar apabila kita berharap bahwa negara – dalam hal ini rezim investasi Jokowi-JK – akan mendorong kebijakan yang lebih tegas, konsisten, dan progresif untuk melindungi hak-hak demokratik rakyat dari tindakan-tindakan otoritarian dengan dalih anti-komunisme dalam waktu dekat. Tugas gerakan sosial adalah memperjuangkan hak-hak demokratik itu untuk sekarang dan menyebarkan informasi dan pendidikan mengenai pentingnya hak-hak demokratik rakyat untuk jangka panjang – tidak mungkin kan kita berharap kepada figur-figur seperti Ryamizard atau Luhut untuk melakukan itu? Di dalam kondisi di mana gerakan sosial kita sangat terkooptasi dan terfragmentasi, hal itu memang tidak mudah, tetapi bukan mustahil.
Sebagai penutup, kembali perlu diingat bahwa sentimen anti-komunisme merupakan sisa-sisa fosil Orde Baru yang masih bergentayangan hingga sekarang. Sentimen inilah yang terus menguatkan sikap anti-pengetahuan, anti-dialog, dan anti-demokratik di masyarakat kita. Sentimen ini juga menjadi salah satu pintu masuk yang melanggengkan pelanggaran atas hak-hak demokratik rakyat – untuk berekspresi, untuk berhimpun, dan untuk melawan penindasan dan mempertahankan penghidupannya. Oleh karena itu, kita perlu melawannya untuk mempertahankan hak-hak kita.
Kalau mempertahankan dan konsisten dengan itu saja susah, apalagi melaksanakan agenda-agenda progresif yang lain?***
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc