Ilustrasi oleh Alit Ambara
Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya. Maka pastilah bangsa itu akan musnah (Milan Kundera)
Kau boleh bakar kebun bunga tapi engkau tak bisa menghambat datangnya musim semi (Pepatah Afganistan)
YANG saya tahu Resist didatangi. Ada serdadu dan polisi. Beritahu tentang ancaman kiri. Dimulai dari buku dan gagasan yang ada di dalamnya. Buku kemudian disimpan, disembunyikan dan dipindah. Juga ada petugas ke toko buku. Dibelinya buku kiri. Tak untuk dibaca tapi dikirim ke kantor Kejaksaan di Ibu Kota dengan permintaan: “Mohon diteliti patut atau tidak dilarang”. Serta ada peristiwa yang kurang lebih serupa: anak baca buku atau kaos kiri dipantau. Para penggiat buku, penulis hingga penerbit mulai gelisah. Hingga muncul maklumat yang menolak itu semua. Banyak orang percaya: musim orba datang tanpa diduga. Meski Soeharto telah mati tapi kebijakannya bergentayangan. Hendak melahap apa saja yang dianggap bahaya. Dan itu dimulai dari buku. Buku-buku kiri yang dianggap meracuni. Sekujur aparat di berbagai tempat siaga. Pameran buku disorot hingga sejumlah buku yang ada tulisan 65 dirampas. Tiba-tiba kita seperti masuk dalam lorong gelap bernama kebodohan dengan tindak tanduk yang dungu.
Jujur kita jadi malu pada diri sendiri. Ini kebodohan yang dikerjakan dengan sistematis. Semula film, lalu kaos, kemudian buku. Seolah kita tak ingin anak-anak muda kritis muncul. Kita tak mau ada lapisan anak muda yang menggugat peristiwa 65. Bagi kita soal 65 mustinya disudahi dengan kepercayaan yang selama ini digariskan oleh Soeharto. Begitu pula buku-buku kiri, sebaiknya tak usah dibaca. Terutama anak-anak muda yang tak betah dengan bacaan yang ada dan buku yang itu-itu saja. Tak ada jawaban untuk anak-anak muda yang selalu sibuk bertanya mengapa ada kemiskinan, kenapa ada kesenjangan dan untuk tujuan apa para serdadu berpolitik. Harusnya mereka percaya itu semua untuk kebaikan bersama. Sayangnya anak-anak muda itu bergaul dengan buruh, petani, kaum miskin yang selama ini jadi lapisan yang dipinggirkan. Tak hanya itu mereka juga diajak untuk terlibat pada persoalan mereka dan tahu apa yang terjadi di antara mereka. Pada sisi itu ada kebutuhan untuk mendapat referensi yang bisa memperjelas posisi dan memberi tanggapan. Tak mungkin bacaan mereka buku pelajaran yang memuat hal membosankan. Juga mustahil mereka membaca memoar pejabat yang isinya hanya pamer diri sendiri. Lebih tak mungkin lagi mereka baca buku peraturan yang tak jarang diabaikan. Mereka pasti membaca buku kiri dan sedikit banyak mereka pasti berurusan dengan gagasan kiri.
Sebab buku ini memberi mereka kejujuran: kenapa kemiskinan terjadi dan kenapa eksploitasi itu mudah dilakukan. Tak hanya itu, buku kiri juga memberi tauladan tentang sikap militan, berkorban dan keteguhan. Di samping buku itu memberi gambaran masa lalu yang berbeda. Tentang peristiwa 65 hingga peristiwa jauh sebelumnya. Dirajut oleh argumen, bahan dan data mereka seperti diberi sajian ruhani yang membuka banyak kotak misteri. Tentang peran militer, tentang Soeharto dan tentang tapol (tahanan politik) itu sendiri. Disiram oleh pengetahuan dan informasi yang meyakinkan mereka tentu tak mudah percaya dengan propaganda. Mereka tak mau lagi ditipu apalagi dimanipulasi. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa sejarah memang tak bisa mengarah seperti ini. Mereka muncul dengan rasa percaya diri yang tinggi bahwa mengetahui tentang ideologi kiri tak lantas menjadi PKI. Kini mereka tak lagi sendiri dan mereka lebih berani.
Jadi buku kiri memang bukan lagi urusan dengan bangkit-tidaknya PKI. Tapi buku kiri telah menanam keyakinan sekaligus pengetahuan. Keyakinan bahwa membela soal kemanusiaan memang harus berhadapan dengan resiko. Pengetahuan kalau kebenaran itu tak bisa dibungkam lagi. Kebenaran bahwa altar sosial yang padat ketidakadilan dipicu oleh eksploitasi ekonomi yang keji. Maka lumrah saja jika anak muda merasa penting untuk membaca buku kiri. Juga absah saja kalau banyak anak muda mengindentikkan diri dengan gerakan kiri. Salah penguasa sejak lama yang mengutuk gerakan kiri dengan cara membabi buta. Menyatakan buku kiri sebagai larangan seperti ajakan untuk menikmati petualangan. Sungguh ini era dimana perburuan akan jawaban pada beberapa soal membutuhkan sudut pandang alternatif. Sudut pandang itu muncul melalui produksi gagasan kiri dan itu yang diam-diam membentuk identitas banyak anak muda. Mereka yang tak lagi percaya dengan doktrin, dogma bahkan anjuran yang membuat mereka kelihatan tampak bodoh serta tak tahu apa-apa. Kalau kini buku-buku itu hendak dibasmi sungguh ini sebuah kebijakan yang naif.
Mau memakai metode apa pembasmian ini dijalankan? Keputusan melarang tak membuat sebuah buku kemudian tak dibaca sama sekali? Jika dilarang maka popularitas buku makin meroket dan lebih banyak lagi anak muda akan mencari buku itu. Begitu pula alasan melarang sulit untuk dinalar. Seandainya sebuah komik dinyatakan bahaya maka itu hal yang membuat kita jadi bangsa tolol di hadapan dunia. Kita akan jadi bahan tertawaan semua bangsa karena takut dengan gambar. Itupun bukan gambar yang tak terjadi melainkan ada, pernah berlangsung dan tak diadili. Jika itu kemudian diumumkan kita akan meluncur menjadi bangsa yang sesuai dengan anggapan dunia: takut sama buku sekaligus tak suka baca buku. Masak penguasa lupa kalau dalam urusan literasi kita masih berada di posisi paling buncit. Artinya dalam soal membaca bangsa ini amat ketinggalan jauh. Jauh dibanding negara manapun yang bisa anda sebut. Maka larangan buku kiri makin membuat bangsa ini jadi tawanan kebodohan. Maknanya jelas, larangan membaca buku kiri hanya akan mencemarkan akal sehat dan lagi-lagi kita akan jadi tempat dimana pengetahuan jadi sumber ketakutan.
Maka selayaknya kita mulai berani menghargai akal sehat dan kecerdasan. Biar pun bangsa ini sudah tercemar soal korupsi, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi lingkungan dan lebih banyak lagi lainnya-kita masih punya kebanggaan karena-masih ada buku kritis yang dibaca. Andaikata itupun kita hancurkan, rasanya kita jadi sulit untuk mengklaim diri sebagai bangsa beradab. Bangsa yang punya penghargaan pada tradisi diskusi, punya kesempatan untuk berlaganya pikiran progresif sekaligus penulis yang bisa menerobos batas-batas pandangan yang lazim. Karena belajar pengalaman selama Orba kita benar-benar tak pernah maju dalam gagasan sosial. Selama Orba buku-buku kiri itu diabaikan, tak pernah jadi anjuran dan tak diperkenankan untuk referensi. Itu sebabnya dalam soal-soal sosial kita punya kemampuan terbatas menanganinya: kemiskinan, kesenjangan dan ketidak-adilan seakan sebuah takdir. Dalam tradisi berfikir kiri hal itu bisa dijelaskan, dipetakan dan didorong gagasan-gagasan baru. Hal itu yang dulu dilakukan oleh semua pendiri Republik: Soekarno, Hatta, Sjahrir hingga Haji Agus Salim pernah melahap bacaan kiri. Saat Orba buku jenis itu dianggap wabah: yang menjual di penjara dan yang membaca diawasi. Implikasinya serius dan bahaya. Kita jadi melihat ide kiri seperti menyaksikan mekarnya Dajjal atau terbitnya iblis. Lama kelamaan kita jadi bangsa yang dikutuk oleh sihir orba sehingga tak bisa keluar dari lingkaran pengaruhnya.
Kini ada banyak anak-anak muda yang tak mau zaman jahiliah itu kembali. Mereka berusaha untuk membaca, menulis dan menjual buku-buku itu. Sungguh tak ada ruginya sama sekali negara dengan perangai seperti itu. Kita kemudian punya banyak ide sosial yang berani, kritis dan konstruktif. Kita malah akan kehilangan kesempatan jika menangkap, memenjarakan atau melarang mereka. Seperti benih mereka bisa menjadi tanaman segar yang membawa banyak ide perubahan. Ibarat bibit mereka berusaha untuk menanam benih yang benar tentang sejarah masa lalu. Kelak saat tumbuh hasilnya kita akan menyaksikan kehidupan kebangsaan yang tak diliputi oleh kebencian dan tak dirudung oleh kewaspadaan. Juga kita akan memberikan bekal di masa depan generasi yang tak lagi takut dengan lambang palu arit maupun mengucapkan kata PKI. Sungguh usaha ini memang beresiko, tapi mau sampai kapan kita hidup sebagai bangsa dengan beban kutukan kebodohan? Sampai kapan kita akan punya pejabat yang mutu bicaranya benar-benar seperti tak pernah baca aksara sama sekali? Kita tak mau menjadi bahan tertawaan masa depan karena hari ini kita sudah dicemarkan oleh ulah kita sendiri.
Maka saatnya anak-anak muda dan siapa saja yang punya akal sehat berbaris melawan ini semua. Kita bukan hanya berperang melawan para budak orba tapi menentang kebodohan yang mau dirayakan. Kita tak lagi mau dikatakan pengusung ideologi kiri yang akan bawa bangsa ini kembali jadi komunis. Kita tak ingin muncul argumentasi yang punya pikiran kiri harusnya keluar dari NKRI. Jelas ini bukan hanya argumen yang lemah tapi juga gaya bicara yang tak dituntun oleh akal dan pengetahuan. Itulah orang yang ditawan oleh masa lalu dan hidup dengan gaya masa lampau. Ibarat dinosaurus, mustinya mereka sudah musnah. Hanya kebaikan Tuhan saja mereka dibiarkan berkeliaran. Supaya menjadi ingatan bahwa tiap warisan yang busuk penting untuk jadi contoh dan diambil hikmah. Bahwasannya pikiran sesat itu bertahan bukan karena kebutuhan untuk hidup melainkan keinginan untuk tak mau dimusnahkan. Siasat bertahan paling baik adalah menyerang. Serangan yang paling menusuk ada pada pikiran. Maka buku kiri jadi pertaruhan untuk semuanya: kesadaran kritis melawan kepatuhan naif. Ini laga yang paling menentukan bangsa ini di masa depan. Akankah ia bertahan jadi bangsa besar dengan pikiran terbuka atau bangsa kerdil yang hidup dalam tempurung kebodohan. Kita, kaum muda, yang bisa menjawabnya bukan mereka: yang memang akan ditelan oleh usia dan perubahan!***
Penulis adalah aktivis Social Movement Institute, Jogjakarta