Tanggapan Untuk Angga Septiano
DALAM tulisannya di Qureta.com berjudul “Kasus Pemerkosaan dan Peliknya Cara Berpikir Masyarakat”, Angga membahas perihal kasus pemerkosaan yang menimpa Yuyun oleh 14 pemuda sehabis pesta minuman keras (miras).
Ia menunjukkan, di tengah-tengah isu seputar kasus pemerkosaan itu, masih ada ‘suara sumbang’ yang mencoba menyalahkan si korban ‘yang diduga menggunakan pakaian yang terlalu terbuka atau menggoda sehingga terjadi kejadian tersebut’. Bahkan, suara ini mendapat dukungannya dari salah seorang anggota DPR, yang mengatakan bahwa ‘si korban berjalan sendiri tanpa ditemani orang tua’ juga ikut menyumbang terjadinya tindak pemerkosaan.
Hal demikian, menurut Angga, mempertontonkan peliknya cara berpikir ‘sebagian orang yang cenderung mencari kambing hitam dan alasan-alasan lain yang tidak masuk akal atas terjadinya suatu peristiwa pemerkosaan’.
Padahal, masih menurutnya, ‘faktor utama pemerkosaan terjadi semata-mata karena niatan si pelaku dan pikiran-pikiran si pelaku yang sudah ditelanjangi dan dibutakan oleh nafsu birahi yang tidak dapat terbendung’. Dengan begitu, alasan-alasan seperti ‘wanita berpakaian minim’, ‘perilaku yang memancing birahi’, hanyalah pembenaran dan pembelaan bagi pelaku untuk melancarkan aksinya. Selain itu, ‘mengatur cara berpakaian serta berprilaku seorang wanita dengan alasan menghindarkan mereka dari tindakan jahat lawan jenis’ dipandang tidak adil.
Dalam melihat panorama kekerasan yang terjadi marak di negeri ini, pelimpahan kesalahan atau faktor-faktor yang melatarbelakangi tindak pemerkosaan pada ‘tubuh perempuan’ memang tak dapat diterima. Saya setuju akan hal itu. Sebab ini menunjukkan bekerjanya logika kekuasaan yang patriarkal. Logika ini selalu menempatkan—dan mengawetkan—posisi laki-laki sebagai ‘yang superior’, sementara wanita sebagai ‘yang inferior’. Laki-laki sebagai subjek, sementara perempuan sebagai objek; atau meminjam istilah De Beauvoir, sebagai “the other” (yang liyan).
Oleh karena itu, maka laki-laki selalu berkepentingan untuk ‘mengatur’ kehidupan perempuan sesuai dengan kehendaknya. Perempuan dijadikan objek sasaran bagi berbagai kebijakan atau aturan-aturan yang bersifat diskriminatif. Inilah politik kekuasaan laki-laki atas perempuan. Maka peristiwa pemerkosaan bukan cuma soal ‘pakaian seksi’, atau ‘hasrat birahi’, namun soal kekuasaan. Seperti ungkapan tenar, ‘Rape is not about seks; it’s about power’.
Sampai di sini saya setuju dengan Angga, sebab ia turut ingin membersihkan mitos soal peminggiran perempuan dihadapan laki-laki.
Namun begitu, upaya bersih-bersih yang dilakukan Angga masih setengah hati. Ia (bahkan) masih terjebak pada cara pandang mistis, yakni soal ‘faktor utama’ tindak pemerkosaan. Ini memiliki beberapa problem serius.
Pertama, dengan menyebut ‘niat dan pikiran’ si pelaku yang sudah ‘ditelanjangi dan dibutakan’ oleh ‘nafsu birahi’ sebagai faktor penentu, ia melupakan segala ikhwal yang mengondisikan hal itu. Ia menempatkan niat, pikiran dan nafsu birahi sebagai realitas tunggal. Padahal, realitas itu tidak datar, melainkan berjenjang. Niat dan nafsu birahi hanyalah realitas kesekian, yang memiliki prakondisi-prakondisi material tertentu sebagai realitas yang lebih dalam.
Cara pandang mengenai “realitas yang berjenjang” dapat membawa kita pada pemeriksaan soal kenyataan material yang mengondisikan sesuatu “tampakan”. Niat, pikiran dan nafsu birahi tidaklah berlaku universal, tapi partikular: terikat pada situasi tertentu, dan waktu tertentu.
Dalam hal ini, niat, pikiran dan nafsu birahi berada dalam kondisi patriarki; ia terikat pada relasi sosialnya, sebagai cermin dari relasi produksinya. Tata hubungan produksi kapitalistik—yang bercorak feodal—ikut membentuk tata pergaulan manusia yang patriarkis. Jadi, niatan dan pikiran yang tertutup oleh nafsu birahi dapat tersusun tidak lepas dari konjungtur sosial-politik yang mengondisikannya. Ia tersembul akibat dari pencitraan perempuan sebagai makhluk ‘kelas dua’ yang lemah, hanya pantas di ruang domestik dan dapat dijadikan komoditas seksual bagi lelaki.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kondisi patriarki dibangun dan dipelihara? Jawabannya tak bisa disederhanakan pada oknum-oknum saja, namun beberapa variabel harus diperhitungkan seperti ‘kolonialisme’, ‘peranan negara’, ‘kepentingan pemodal’, ‘penguasa lokal’, ‘neoliberalisme’, dsb yang membentuk konstruksi mengenai relasi laki-laki-perempuan di ruang publik (gender). Pembacaan ini penting sebab menempatkan subjek pelaku dalam keterkaitannya dengan kondisi objektif struktur sosial, politik, dan ekonomi yang konkret.
Angga absen melihat ini. Ia ingin membersihkan mitos soal wanita sebagai penyebab tindak pemerkosaan. Namun, ia masih terjebak pada mitos yang lain, yakni soal sebab-musabab tindak pemerkosaan yang disandarkan pada niatan, pikiran dan nafsu birahi belaka. Tidak melihat kaitannya dengan prasyarat-prasyarat material yang mengondisikannya.
Yang lucu, pandangannya tentang sebab-musabab ini justru mirip dengan para moralis yang memandang nafsu birahi—atau bisikan syetan—sebagai dalang kejahatan sembari menggunakan justifikasi ayat-ayat dari langit. Namun lupa soal konteks dinamika lingkungan materialnya yang terjadi di atas bumi yang konkret.
Kedua, Angga juga keliru dengan menempatkan sumber persoalan pada (hanya) subjek (individu) semata. Ia meninggalkan keterkaitan individu dengan konteks dinamika sosial, politik, dan ekonominya yang berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu. Inilah penyakit inheren kalau menempatkan pikiran dan nafsu yang berada dalam tubuh individu sebagai ‘pusat’ segala sesuatu. Pandangan yang bersumber pada filsafat yang mengadihulungkan individu: liberalisme.
Dengan tesis begitu, seolah-olah individu punya kebebasan murni (pure freedom) untuk memilih dan menentukan kehidupannya tanpa terkait dengan prakondisi materialnya. Pikiran dan kehendak dipandang otonom—bahkan bebas—dari pengaruh konjungtur masyarakatnya (bahkan negaranya). Kehendak bebas manusia memang ada, tapi selalu terkait dan beririsan dengan lingkungan materialnya.
Hal ini memiliki implikasi praksis yang juga cacat. Kalau persoalan ditumpukan pada individu, berarti solusinya juga harus dimulai dari individu. Dalam hal pemerkosaan, maka yang harus dibenahi adalah ‘birahi si pelaku’, ‘pikiran-pikiran kotor lelaki’, ‘mengedepankan rasionalitas laki-laki’, ‘perbaikan moral’, dsb sembari melupakan sistem ekonomi politik (kapitalisme) yang melandasinya.
Bahwa persoalan pemerkosaan bukan hanya soal bobroknya moral atau mesumnya otak si pelaku, namun lebih besar dari itu, yakni bagaimana bangunan kapitalisme yang barbar menciptakan perilaku barbar si pelaku. Ini bukan soal ‘fantasi bokep’ atau ‘hasrat berereksi’ laki-laki semata, tapi soal bagaimana konstruksi sosial membentuk perilaku-perilaku individunya.
Ini adalah penolakan sekaligus penegasan. Penolakan terhadap posisi individu di ruang hampa sebagaimana dilihat Angga, sekaligus penegasan mengenai posisinya sebagai subjek sejarah, yang selalu kait-mengait dengan konteks ruang dan waktu yang konkret.***
Penulis adalah pegiat Komunitas Lingkar Studi Tangerang Selatan (LiNTAS)