APA LAGI yang menjadi cita-cita perjuangan gerakan buruh, jika bukan kebebasan dari segala bentuk penindasan?
Sungguh cita-cita besar, yang sejatinya tak akan pernah dapat terengkuh. Sebentuk impian akan kebebasan, yang tidak akan mungkin dapat menjadi kenyataan, selama buruh tetaplah menjadi buruh. Selama kehidupan ditopang oleh upah, yang didapat dengan menukarkan waktu, kerja, dan bahkan hidup itu sendiri, selama itu pula penindasan akan terus terjadi.
Nilai kerja yang dihasilkan buruh, akan selalu jauh lebih tinggi dibanding upah yang dibayarkan. Pada tingkat upah setinggi apapun itu, nilai kerja yang dihasilkan buruh pasti akan selalu jauh lebih tinggi.
Tak bisa disangkal, bahwa penindasan adalah sesuatu yang tidak mungkin enyah dari kehidupan buruh. Penghisapan nilai kerja, ketimpangan, dan ketidakadilan adalah satu paket yang integral dari identitas buruh.
Terkecuali buruh bergerak membebaskan diri dan keluar dari identitasnya sebagai buruh, rupa-rupa penindasan ini akan selamanya hadir dan menjadi bagian yang melekat di dalam kehidupan buruh.
Hanya jika perjuangan buruh dikerahkan menuju terwujudnya suatu bentuk penghidupan di mana kesejahteraan dapat dicapai tanpa harus menjadi buruh, sederet penindasan tersebut baru dapat dienyahkan. Yakni, sebentuk penghidupan di mana kebutuhan dapat dipenuhi melalui pengorganisasian ekonomi secara otonom, secara mandiri, tanpa harus menukarkan waktu, kerja dan bahkan kehidupan, demi upah yang nilainya pasti selalu lebih rendah dibanding nilai kerja yang dihasilkan.
Namun, tidak pula berarti bahwa buruh harus berbondong-bondong menjadi pengusaha. Terlebih, menjadi pengusaha yang kesejahteraannya tersusun di atas, dan lagi-lagi, mensyaratkan penindasan terhadap buruh.
Jika tidak demikian, bagaimana pengorganisasian ekonomi yang dapat meretas kebebasan ini dapat diwujudkan?
Sederhana sebenarnya. Kebebasan buruh ini dapat diwujudkan melalui pengorganisasian aktivitas ekonomi yang berjalan tanpa berlandaskan dan mensyaratkan perbedaan serta ketimpangan di dalam relasi sosial buruh-pengusaha. Sebuah organisasi ekonomi, di mana kolektivitas dan kesetaraan menjadi pilar utamanya.
Apakah mungkin sebuah organisasi ekonomi dapat berjalan dengan prinsip dan cara yang demikian? Bukan hanya mungkin, namun telah nyata eksistensi dan keberhasilannya.
Koperasi adalah perwujudannya. Sebuah organisasi ekonomi, di mana kegiatan produksi berjalan atas dasar kolektivitas dan kesetaraan, tanpa syarat ketimpangan dan perbedaan. Mungkin bagi masyarakat Indonesia, kiprah dan eksistensi koperasi belumlah benar-benar nyata sebagai wujud pengorganisasian ekonomi yang dapat meretas kesejahteraan berbasis kolektivitas dan kesetaraan. Sedari, sekalipun diamanatkan oleh konstitusi, keberadaan koperasi masih berada di sisi pinggir dari perekonomian Indonesia.
Sebaliknya, di belahan bumi yang lain, keberadaan koperasi justru tengah memperlihatkan geliat pertumbuhan dan keberhasilan yang semakin nyata, pesat dan luas. Bahkan, di negara-negara industri maju, geliat koperasi secara berangsur mulai menjadi pemompa denyut nadi perekonomian masyarakatnya. Ini, misalnya, dapat disaksikan di Perancis. Tepat ketika krisis mengguncang perekonomiannya di tahun 2008-2011, jumlah koperasi pekerja (worker cooperatives) justru mengalami peningkatan sebesar 14,20 persen (Eum, Dovgan & Terrasi, 2012).
Tentu, yang dimaksud dengan koperasi pekerja di sini, tidak dapat disamakan dengan koperasi karyawan yang lazim dapat ditemui di hampir setiap perusahaan di Indonesia. Bukan dalam wujud koperasi yang hanya bergerak di ranah pinggiran kegiatan ekonomi. Melainkan koperasi pekerja, yang benar-benar menjadi wadah penggerak dari inti kegiatan produksi.
Perubahan struktur kegiatan produksi di Perancis pun tampak berlangsung seiring dengan geliat pertumbuhan koperasi ini. Kegiatan produksi yang tadinya berlangsung dalam bingkai perusahaan, diubah secara mendasar menjadi koperasi pekerja. Sebentuk dinamika yang terjadi seiring dengan banyaknya perusahaan mengalami kebangkrutan akibat krisis. Kekuatan kolektif pekerja melalui dana kompensasi, segera membeli perusahaan-perusahaan tersebut, dan mengubahnya menjadi koperasi pekerja.
Ketika bertransformasi menjadi koperasi, maka mutlak kegiatan usaha tersebut menjadi milik dari seluruh anggota, yang tadinya adalah buruh. Sehingga, terhapuslah perbedaan, ketimpangan dan ketidaksetaraan di antara pengusaha dan pekerja..
Lebih dari itu, berjalan di atas prinsip kolektivitas dan kesetaraan, perkembangan koperasi di Eropa pun mencerminkan kekuatan ekonomi yang memiliki daya tahan terhadap krisis. Di sektor perbankan misalnya, di tengah hantaman krisis yang meluluhlantakkan perbankan di negara-negara maju, tercatat tak satupun bank koperasi yang kolaps akibat krisis tersebut (Eum, Dovgan & Terrasi, 2012). Tidak hanya di sektor perbankan, berdasarkan laporan International Labour Organization (ILO) pada tahun 2009, kinerja koperasi di seluruh sektornya, terbukti lebih mampu bertahan di tengah resesi ekonomi dibanding entitas lainnya (Birchall & Ketilson, 2009).
Apakah mungkin koperasi pekerja di Indonesia dapat tumbuh dalam geliat dan kekuatan sebagaimana yang justru menjadi nyata di negara industri maju tersebut?
Tentu, tidak hanya mungkin, tetapi harus. Karena, adalah koperasi yang sedari awal bangsa ini merdeka, dipancangkan dan diamanatkan oleh konstitusi sebagai bangun usaha yang sejatinya menggerakkan perekonomian masyarakat. Tidak hanya itu, secara faktual sesungguhnya gerakan buruh di Indonesia pun memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat membangun kekuatan ekonomi berbasis koperasi.
Pertama, harus diakui bahwa gerakan buruh di Indonesia telah berhasil membangun kekuatan berbasis pengorganisasian jumlah anggota.
Jumlah adalah basis utama dari kekuatan gerakan buruh di tengah relasi yang berlandaskan pada kepemilikan kapital secara timpang. Merujuk kepada data Kementerian Tenaga Kerja, pada tahun 2015 tercatat total jumlah anggota serikat pekerja di Indonesia mencapai 3.414..455 orang. Tersebar di 11.852 serikat pekerja tingkat perusahaan dan 170 serikat BUMN, yang sebagian besar tergabung ke dalam 101 federasi dan 8 konfederasi.
Kedua, tidak hanya berhasil membangun kekuatan berbasis jumlah anggota, gerakan buruh di Indonesia juga menunjukkan kapasitas pengorganisasian anggota ke dalam bangun organisasi yang cukup tertata dan terkoordinasi. Membentang mulai dari jenjang Pimpinan Unit Kerja (PUK) atau serikat pekerja tingkat perusahaan, hingga ke tingkatan federasi dan konfederasi, agenda dan program perjuangan buruh berjalan.
Ketiga, gerakan buruh selama tiga tahun ke belakang juga memperlihatkan sebuah dinamika baru, yang jangkauannya telah menyentuh agenda perjuangan dan pengorganisasian kekuatan politik di ranah legislatif dan eksekutif. Sebuah dinamika, yang sesungguhnya membuktikan kapasitas gerakan buruh dalam mengorganisasikan jumlah anggota menjadi kekuatan politik yang patut diperhitungkan.
Kesemuanya, mencerminkan potensi nyata, yang sesungguhnya dimiliki gerakan buruh untuk dapat membangun pengorganisasian ekonomi di mana kebebasan sejati dapat direngkuh.
Selaras dengan kapasitas dan potensi yang dimiliki gerakan buruh tersebut, koperasi pun menyandarkan kekuatan ekonominya pada agregasi kekuatan kolektif yang dimiliki anggota. Itulah kenapa koperasi merupakan perkumpulan orang, bukan perkumpulan kapital.
Kunci dari keberhasilan koperasi terletak pada pengorganisasian kekuatan anggota secara kolektif untuk mencapai satu tujuan yang sama. Bangun organisasi gerakan buruh yang tertata dan terkoordinasi cukup rapi selama ini, menunjukkan kapasitas dalam pengorganisasian anggota menuju satu tujuan yang sama.
Lebih dari itu, dinamika keberhasilan gerakan buruh dalam membangun kekuatan politik, mencerminkan suatu potensi yang sangat besar, di mana gerakan buruh pun sesungguhnya memiliki kemampuan dalam membangun kekuatan ekonomi. Secara kasat mata, potensi besar sesungguhnya tercermin dari kapasitas gerakan buruh dalam pengorganisasian kekuatan finansial yang berbasis iuran anggota bulanan. Iuran, yang bahkan ditetapkan dalam nominal sebesar 1 persen dari upah minimum setiap bulannya.
Sungguh besar potensi, yang sejatinya dimiliki gerakan buruh untuk dapat meretas kebebasan berbasis koperasi. Sebagai contoh, dengan iuran, yang anggaplah, sebesar Rp. 20.000 saja per bulan, maka sebuah konfederasi serikat pekerja dengan anggota sebanyak 200.000 orang, dapat menghimpun dana hingga sebesar Rp. 4 miliar per bulan. Dalam satu tahun, sedikitnya dapat terhimpun dana hingga Rp. 48 miliar di dalam konfederasi tersebut.
Kekuatan dana yang sangat besar, yang sayangnya bukan dikerahkan untuk membangun kekuatan ekonomi kolektif buruh, di mana kebebasan dari sistem yang mensyaratkan eksploitasi atas kehidupan mereka dapat diretas. Melainkan, untuk membiayai perjuangan guna melindungi dan menjamin hak buruh di dalam suatu sistem yang sama. Sistem yang keberlangsungannya selalu mensyaratkan ketimpangan dan eksploitasi terhadap buruh.
Sementara, dapat dibayangkan betapa besarnya potensi kekuatan ekonomi yang dapat terbangun, jika dana ini diorganisasikan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi kolektif buruh berbasis koperasi. Terlebih, kegiatan ekonomi kolektif koperasi tidaklah berbasis iuran, melainkan simpanan. Melalui simpanan, dana yang disetorkan tetaplah menjadi milik anggota, yang kemudian dialokasikan untuk membiayai kegiatan usaha bersama.
Berbasis simpanan sebesar Rp. 10.000 per bulan saja, sebuah koperasi konfederasi serikat pekerja yang beranggotakan 200.000 orang, dapat mengumpulkan dana simpanan sebesar Rp. 2 miliar per bulan, atau sebesar Rp. 24 miliar dalam satu tahun. Dengan dana sebesar ini, dapat dibayangkan berapa hektar lahan yang dapat dimiliki secara kolektif oleh seluruh anggota koperasi guna memproduksi kebutuhan pangan berkualitas bagi mereka dan keluarga.
Suatu hal yang sangat mungkin, dengan dana ini koperasi pekerja dapat membangun unit produksi tekstil secara kolektif yang dapat memenuhi kebutuhan sandang seperti pakaian sekolah bagi anak-anak mereka, yang tentunya berkualitas sekaligus dengan harga murah.
Dapat pula dibayangkan secara perlahan koperasi pekerja pun akan mampu menyediakan kebutuhan perumahan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan secara kolektif bagi anggotanya. Lebih dari itu, jika kekuatan ekonomi kolektif ini terus dibangun, terbayang berapa ribu dari anggota konfederasi serikat pekerja yang akhirnya tidak lagi harus bekerja sebagai buruh guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka kini telah beralih posisi sebagai pemilik dari kegiatan ekonomi kolektif yang berlangsung dalam wadah koperasi.
Pada titik inilah, sebentuk cita-cita akan terwujudnya kebebasan yang sejati itu dapat direngkuh dan menjadi kenyataan.***
Penulis adalah Anggota Koperasi Riset Purusha; Pegiat Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (APPI)
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Harian Kompas, “Gerakan Ekonomi Buruh,” 3 Mei 2016. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.