TEPAT sepekan lalu, 3 April 2016, sebuah kisah sedih datang dari sebuah desa di Karawang, Jawa Barat. Seorang biduan dangdut bernama panggung Irma Bule – lantaran berkulit putih dengan rambut dicat pirang – dikabarkan mati dipagut ular di sebuah panggung hajatan kampung.
Irmawati, nama aslinya. Berusia 29 tahun. Selepas SMP, ia melakoni hidup sebagai penyanyi dangdut dengan ciri seekor ular sebagai teman atraksinya. Sabtu malam itu adalah pertunjukan terakhirnya. Pada pertengahan lagu kedua, tanpa sengaja ekor sang ular terinjak oleh sepatunya. Tanpa ampun, binatang berbisa itu langsung memagut pahanya. Tak mau lepas hingga lebih dari 10 menit. Tapi Irma seperti tidak merasakan sakit. Ia terus menyanyi dan bergoyang hingga lagunya usai. Penonton bertepuk tangan dan bersorak girang. Sejam kemudian, efek racun ular kobra mulai menyebar. Irma terjungkal di belakang panggung, kejang-kejang dan meninggal tak lama kemudian. Ia menjemput ajal, di panggung yang menjadi sumber penghidupannya selama ini.
Ajaib memang cara-cara manusia untuk bertarung mempertahankan hidupnya. Diganjar bayaran 500 ribu rupiah, ia bergoyang sambil membawa seekor ular yang dililitkan ke tubuhnya. Menghibur penonton hingga tengah malam.
Di layar televisi, Encum (52 tahun), ibu Irma meratap sambil memeluk putri sulung Irma yang masih kelas 2 SD. Dengan raut muka lelah, ia berkisah tentang anak perempuannya yang pekerja keras. Nyaris saban malam memenuhi tanggapan menyanyi dari kampung ke kampung. Siangnya berjualan sepatu dan pakaian. Merawat ketiga anak dan merampungkan tetek bengek urusan domestik. Irma jarang mengeluh. Ibunya bilang, Irma menyimpan impian indah, menyekolahkan ketiga anaknya serta membiayai kedua orangtuanya ibadah umroh ke tanah suci.
Kematian orang-orang pinggiran, nyaris saban hari melesat di depan mata kita. Ada tukang becak tua yang mati kelaparan di atas becaknya. Ada buruh migran yang mati terkapar disiksa majikannya. Ada petani mati dibantai ketika pertahankan desanya dari jarahan kaki tangan penguasa tambang. Sehari yang lalu, Sabtu, 9 April 2016, seorang petani bernama Suharno (85 tahun), terjungkal mati ketika ikut dalam barisan aksi jalan kaki bersama 500 petani Jambi, menuju Jakarta. Apa yang ia bela? Tanahnya yang dirampas oleh kesewenangan korporasi. Periuknya. Hidup dan matinya.
Demikian juga Irma. Seorang perempuan yang berjuang untuk penghidupan anak-anaknya. Ia membela periuk nasinya. Ia memperjuangkan masa depan anaknya. Di tengah dera kemiskinan menganga lebar dan sistem ekonomi politik yang tak pernah berpaling pada mereka, Irma mencari peruntungan dengan caranya sendiri. Lulusan SMP, tanpa modal, keahlian dan dukungan. Pilihannya amat terbatas, seperti teman-teman sebaya di kampungnya, menjadi buruh migran, jadi korban trafficking yang diperjualbelikan di tempat-tempat hiburan malam, atau jadi biduan dangdut kelas hajatan kampung. Kalau nasib baik menghampiri, bisa masuk televisi dengan honor berlipat.
Kompetisi industri hiburan pun tak kalah sengitnya. Mereka harus bertempur dengan sesamanya. Harus tampil dengan aneka rupa gaya dan kostum di panggung agar tetap laku di pasaran. Makin disuka penonton, makin laku di pasaran. Konon, saat itu pawang ular sempat mencegah atraksinya bersama ular, karena ular yang ia bawa terlihat tidak tenang sejak masih di belakang panggung. Irma menolak. Ia tetap berjoget sambil melilitkan ular di tubuhnya. Penonton berdatangan, dengan demikian saweran pun pasti lebih tebal. Gigih, juga nekat. Bukankah demikian potret hidup kaum pinggiran. Daya hidup dan kenekatan, betapa tipis batasnya. Mereka nyaris tak pernah peduli risiko atas nyawanya sendiri.
Lantas, apa yang tersisa dari kematian Irma? Seperti biasa, berita-berita lantas berseliweran di semua media. Juga sampai ke media luar negeri. Orang-orang berkomentar riuh rendah. Membicarakannya sambil makan siang di kantor. Meributkannya di sosial media. Tragis, ungkap sebagian orang. Itu risiko pekerjaan, kenapa harus bawa binatang berbisa! Ungkap lainnya. Ah kasian, penyanyi seronok itu meninggal dalam maksiat, demikian komentar berikutnya. Pejabat, tak satupun yang hirau. Apalagi merasa perlu meminta maaf, bahwa tragedi ini adalah wajah kegagalan negara menyejahterakan rakyat.
Ah, perempuan, dalam cengkeraman kemiskinan, betapa harus disaduk-saduk dengan segala macam penindasan. Bertempur dengan sesamanya. Juga berhadapan dengan masyarakat yang seringkali kejam dan penuh topeng. Pernahkah kita meraba suara dari palung hati Irma: ia, ibu tiga anak, harus meliuk-liuk dan jumpalitan di atas panggung, berpakaian seksi, dijahili, diraba-raba dengan tangan dan tatap jelalatan para pria hidung belang? Pun, disinisi, dicuih-cuih, dicap sebagai perempuan murahan oleh para perempuan lain yang gemar berpetuah tentang moral.
Irma Irma lainnya mungkin ada seribu. Mungkin juga ada sejuta. Potret perempuan yang bertarung demi memperjuangkan hidup yang lebih baik, dengan gagah berani, dengan segala daya yang ia punya. Sementara di seberang sana, kaum yang berbaju agamis, berjas berdasi dan bertutur santun, dengan tertib melanjutkan hidup dengan caranya sendiri: menilep dan menggarong uang rakyat. Daya hidup dan cita-cita manusia seperti Irma, tak pernah dihargai dan diperhitungkan.
Irma telah pergi. Dan kini ketiga anaknya, yang semuanya perempuan, kehilangan ibunya yang selama ini menjadi tiang raja kehidupan mereka. Diam-diam, langit gelap seperti di depan mata. Semoga kau masih bisa sekolah tinggi, dik. Agar kelak punya banyak pilihan dalam menentukan hidupmu. Tak hanya terlempar dalam nasib pedih seperti ibumu: mati tumbang dipagut ular, di atas panggung yang jadi sumber penghidupan. ***