Ilustrasi gambar oleh Alit Ambara
SERANGAN berdarah terhadap petani kembali terjadi di Sulawesi Tengah (Sulteng). Sebanyak 14 orang petani dari Dongi-Dongi terkena peluru yang ditembakkan aparat kepolisian pada siang hari tanggal 29/3/2016. Kejadian ini berlangsung di Pos Polisi Kehutanan (Polhut) Ranoromba, Desa Bora, Kabupaten Sigi. Hasil investigasi LBH Sulteng melaporkan, Sekitar 900 personil aparat Kepolisian bersenjata lengkap memblokir jalan poros Palu-Napu sejak pagi. Tujuannya untuk mencegah petani dari Dongi-Donggi yang hendak melakukan aksi damai peringatan “Hari Ketiadaan Tanah Internasional” bersama berbagai elemen masyarakat sipil dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR).
Peristiwa ini dikaitkan oleh banyak pihak sebagai rangkaian operasi penertiban penambangan rakyat. Polisi melakukan blokade jalan dan melakukan sweeping batu ref (bongkahan emas) terhadap setiap pengendara yang melintas. Puncak operasi ini melahirkan serangan berdarah terhadap rombongan petani yang hendak melakukan demonstrasi damai di Kantor DPRD Provinsi Sulteng, Kapolda, Gubernur Sulawesi Tengah dan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL). Demonstrasi ini mengusung kampanye anti perampasan tanah dan monopoli tanah oleh perkebunan dan pertambangan skala besar.
Akar Masalah
Sejak awal, transisi petani Dongi-Dongi menjadi penambang rakyat menyulut reaksi pemerintah Sulawesi Tengah dan resistensi mendadak dari aktivis LSM Kota Palu. Sebagian LSM mengkritik dan menyalahkan petani karena dianggap telah merusak cagar biosfer dunia Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Sementara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Poso telah mengeluarkan instruksi penertiban sejak 23 Maret 2016 dengan maksud untuk mengeluarkan penambang dari wilayah itu.
Padahal, baik Pemerintah dan LSM, sama-sama tahu bahwa sejak Dongi-Dongi direbut melalui aksi pendudukan oleh ribuan petani miskin belasan tahun lalu, pengakuan secara sungguh-sungguh dari Pemerintah Sulawesi Tengah baru bisa didapatkan pada momentum DPCLS (Dampak cakupan luas strategis). Kawasan Dongi-Dongi dijadikan sebagai wilayah enclave tahap pertama seluas 1.531 Hektare, sebagai implikasi perubahan RT-RW Sulteng tahun 2013. Tetapi hingga saat ini, tapal batas yang menjadi garis pemisah antara kawasan BTNLL dengan wilayah enclave Dongi-Dongi belum disepakati. Sebaliknya, BTNLL secara sepihak membuat garis batas dan menuduh petani telah menambang di wilayahnya.
Sejak 1999 sampai 2013, petani di kawasan ini tidak mendapatkan bantuan apapun dari negara. Justru yang terjadi adalah kriminalisasi, penangkapan dan ancaman relokasi menghantui sepanjang waktu. Sekolah dibangun secara swadaya oleh gereja dengan petani sendiri. Petani beragam suku dan agama itu, dengan gagah berani bertahan hidup di dalam kawasan bekas HPH milik PT Kebun Sari untuk menghidupi keluarga mereka sebagai petani korban relokasi paksa (resettlement).
Orang Dongi-Dongi Menambang
Penambangan rakyat bukan pekerjaan mudah. Nyawa dan tenaga yang dipergunakan di luar batas normal. Sehingga ketika masyarakat yang bercorak produksi pertanian memilih jalan ini selalu dilatari sebab yang paling krusial: kemiskinan. Dari beberapa pengamatan yang dilakukan, ada beberapa penyebab mengapa petani beralih menjadi penambang:
Pertama, merosotnya ekspor produksi komoditas Kakao. Sebagian besar sumber pendapatan ekonomi keluarga petani Dongi-Dongi selain bertumpu pada tanaman jangka pendek, adalah usaha tanaman jangka panjang seperti kakao. Namun dalam 7 tahun terakhir, produksi kakao di daerah ini menurun drastis. Selain penyakit internal tanaman Kakao, faktor penyebab yang lain adalah perubahan cuaca yang tidak menentu. Walaupun harga Kakao meroket pada tahun 2015, tetapi pada yang saat bersamaan produksi menurun. Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) melansir, pada 2010 ekspor biji kakao Sulawesi Tengah sebanyak 109.512 ton dengan nilai $297,4 juta AS. Sedangkan pada 2011, ekspor komoditas unggulan provinsi ini turun drastis menjadi 45.218 ton dengan nilai sebesar $126,7 juta AS. Penurunan ekspor kian terjadi pada 2012, dimana Sulawesi Tengah hanya mampu mengekspor biji kakao sebanyak 36.870 ton dengan capaian devisa 82,3 juta dolar AS. Pada 2013, Sulawesi Tengah hanya mengekspor sebanyak 20.750 ton dengan devisa 42,2 juta dolar AS, sedangkan 2014 provinsi ini hampir tidak menjual biji kakao ke luar negeri, dan hanya meraih devisa sebanyak $1,64 juta AS (Antaranews, 18 Maret, 2015).
Kedua, petani di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2015 mengalami gagal panen akibat dampak musim kemarau (el nino). Seluruh hasil pertanian di lembah Palolo, mulai dari Dongi-Dongi hingga ke Lembangtongoa merosot total. Produksi padi sawah dan komoditas lainnya mengalami gagal panen, tanaman cengkeh dan kopi sebagian besar mati kekeringan. Harga-harga tiap komoditas melambung tinggi, terutama beras yang harus dipasok dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat.
Ketiga, usaha untuk keluar dari kemiskinan telah ditempuh oleh petani Dongi-Dongi sebagai akibat tidak adanya kebijakan akses reform dari pemerintah. Sejak awal pemerintah menempatkan “Orang Dongi-Dongi” dalam pendekatan “makluk pendatang” sebagai konsepsi luas konservasi taman nasional. Sehingga secara otomatis tidak ada dukungan terhadap pembaharuan agraria di wilayah itu dan pemenuhan segala hak-hak mendasar sebagai warga negara, termasuk pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, ketiadaan modal memaksa petani menjalin kerjasama dengan ijon dan tengkulak agar hasil pertanian jangka pendek bisa dipasarkan di Kota Palu hingga ke Balikpapan. Tetapi bukan kemakmuran yang datang, jeratan kemiskinan justru makin melingkar sejak praktik ijon dan tengkulak merajai produksi petani Dongi-Dongi. Saya ingat betul kata papa Late,” orang Dongi-Dongi sekarang barangkali tinggal hidup dari labu siam”.
Potret kemiskinan secara umum di kalangan petani terlihat dari data Sensus Pertanian Sulawesi Tengah tahun 2013. Dalam laporan itu disebutkan, golongan luas lahan lebih dari 30.000 m2 tercatat mempunyai jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 64.852 rumah tangga pada tahun 2013, meningkat sebanyak 14.868 rumah tangga jika dibandingkan tahun 2003 (29,75 persen). Sedangkan untuk golongan luas lahan kurang dari 5.000 m2 usaha rumah tangga pertaniannya tergolong sedikit. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin banyak rumah tangga usaha pertanian yang memiliki luas lahan yang besar. Tercatat jumlah rumah tangga usaha pertanian dengan luas lahan kurang dari 1.000 m2 pada tahun 2013 adalah sebanyak 35.009 rumah tangga, menurun dibandingkan dengan tahun 2003 yang tercatat sebanyak 45.486 rumah tangga.
Ini berarti dinamika agraria perdesaan Sulawesi Tengah akan terus mendorong lahirnya bentuk kemiskinan baru di kalangan petani. Selain oleh tata kelola rantai produksi hasil pertanian yang merugikan petani produsen, konsentrasi penguasaan tanah yang massif akan semakin memperburuk kehidupan petani bila perspektif pemerintah dan kalangan pegiat lingkungan tetap memandang hutan sebagai objek proteksi dari sasaran perubahan agraria. Termasuk menutup akses petani perdesaan. Disamping belum adanya perubahan mendasar dalam struktur agraria, ketimpangan yang diintrodusir (dipaksakan) lewat serbuan investasi modal skala besar menjadi bagian yang beriringan.
Tambang Rakyat
Sifat tambang rakyat adalah booming yang dikerjakan antara 5-7 tahun waktu normal bagi setiap penambang. Sehingga ledakan tambang rakyat terjadi pada waktu-waktu tertentu yang tersiar lewat pengabaran dari mulut ke mulut. Setiap titik kerumunan tambang rakyat akan menjadi magnet bagi orang untuk datang mengundi nasib. Karena sifatnya yang cenderung “tak bertuan” akibat tidak ada hak hukum dari pemerintah, maka siapa saja dapat mengundi “peruntungan”.
Keterlibatan secara massal dalam penambangan rakyat dimungkinkan karena proses produksi yang relatif sederhana. Rantai produksi yang umum dikenal dalam tambang rakyat adalah sebagai berikut: 1. Konsesi (Lubang Tambang); 2. Transportasi (biasanya menggunakan buruh pikul); 3. Transportasi bahan baku ke pabrik; 4. Mesin tumbuk, tromol, tong; dan 5. Perdagangan bahan makanan, pembelian hasil emas dan perdagangan bahan-bahan kimia. Pada tahapan itulah setiap orang mengambil peran masing-masing sesuai yang disanggupi.
Konsepsi ini memang terkesan atau dicurigai merupakan mainan taipan kelas menengah akibat ketiadaan modal atau intervensi pemerintah pada sektor hilir. Dalam kasus Dongi-Dongi, penambangan rakyat baru sebatas pada konsolidasi produksi bongkahan galian. Selain itu, faktor yang paling penting dari carut-marutnya tambang rakyat karena tidak pernah dipelajari secara konseptual dalam suatu uji coba yang serius.
Menggugat Konsepsi Kesetaraan Hak Hukum
Dalam beberapa kasus konsesi pertambangan skala besar, status hutan lindung mudah sekali turun statusnya menjadi APL. Salah satu contoh adalah konsesi tambang PT Bintang Delapan Mineral di Kabupaten Morowali. Kasus ini jelas suatu kontradiksi, apakah teritorialisasi kehutanan dipetakan sejak awal untuk melindungi hutan atau untuk menyimpan deposit mineral? Hal ini perlu diperjelas dari sikap dan perspektif bersama memandang setiap geliat perubahan di perdesaan Sulawesi Tengah.
Dari sini kita dapat mengerti bagaimana mendudukkan konteks petani yang hidup dalam atau sekitar kawasan hutan. Karena refleksi mendasar dari pokok pertentangan ini adalah berkaitan dengan pertanyaan apakah melarang petani masuk dalam kawasan hutan dan memberikan izin pada korporasi menjadi pengecualian? Fakta lapangan menunjukkan suatu kenyataan yang menggambarkan inkonsistensi perlindungan kawasan hutan. Korporasi, lewat perkebunan sawit dan pertambangan, dapat mengubah fungsi kawasan hutan secara legal melalui pemberian konsesi oleh negara dalam bentuk keputusan pejabat publik.
Bentuk penguasaan secara kongkrit dapat dilihat dari Laporan Walhi Sulteng 2015. Walhi menyebutkan, luas konsesi perkebunan sawit yang diterbitkan berdasarkan izin pemerintah luasnya mencapai: 693,699.60 hektar yang terdiri dari: Izin Lokasi(INLOK) seluas 250,763.42 hektar; Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas 294,545.30 Hektar ; dan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 148,390.88 hektar. Perizinan perkebunan sawit di Sulteng ini dikuasai oleh 48 Perusahaan melalui lima group besar, yaitu: Citra Cakra Murdaya (CCM), Astra Agro Lestari (AAL), SMART, Kencana Agri, dan Bukit Berlian Group.
Keberadaan perusahaan tersebut tidak hanya mengubah fungsi hutan menjadi kegiatan perkebunan atau pertambangan. Tetapi konsesi mutlak berada di bawah penguasaan korporasi yang bisa diperpanjang lewat akses izin baru. Hal itu sekaligus menunjukkan hak perpanjangan konsesi adalah wujud nyata dari penguasaan tanah secara monopoli yang tidak ada batasnya. Negara menguasai sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945, hanya sebatas cover pembuka nomenklatur. Sesungguhnya yang terjadi adalah penguasaan tanah skala luas oleh korporasi yang berlangsung di bawah kerjasama negara; merusak hutan dengan legal dan monopoli tanah sekaligus.
Solusi
Jika pemerintah memang hendak berlaku adil maka beberapa hal mendesak berikut ini penting untuk dilakukan; Pertama, Masyarakat Dongi-Dongi bukan gerombolan preman melainkan korban dari struktur agraria yang timpang. Dengan demikian, solusi untuk menyelesaikan masalah kaum tani di Dongi-Dongi bukan dengan penertiban dengan cara-cara kekerasan. Melainkan yang dibutuhkan adalah dialog perencanaan kawasan; apakah tambang atau pertanian. Semua pilihan itu harus ditempatkan pada pengakuan legal pemerintah disertai akses pemenuhan syarat-syarat yang diperlukan.
Kedua, mestinya Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah memberikan hak yang sama antara penambangan rakyat dan korporasi. Hal itu sejalan dengan definisi penambangan rakyat dalam UU Minerba tahun 2009, bahwa “tambang rakyat” adalah pemberian konsesi atau hak hukum baru bagi pengusahaan mineral atau bahan galian terhadap individu, kelompok atau koperasi dengan durasi paling lambat 20 tahun.
Pertambangan rakyat apabila sudah terkonsesi; maka rumusan batasan galian dan dampak lingkungan seharusnya dapat dicegah berdasarkan syarat teknis dan kesanggupan dari perbantuan pemerintah. Bukan malah menggusur dan mengusir mereka, sehingga pemerintah sama saja dengan membiarkan rakyat bertindak seolah-olah pencuri di tanah air sendiri, mengendap-ngendap di hutan jauh dari jangkauan publik, menggali lubang, dan beradu nasib antara rejeki dan reruntuhan batu ref.***
Penulis adalah aktivis Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Palu, Sulteng