Sekelompok massa membubarkan paksa acara Lady Fast, di Jogjakarta, 2/4/2016. Foto diambil dari belokkirifest.org
“Demi Allah, aku berjanji bahwa kalian tidak akan mendapatkan keselamatan di hari akhir nanti,
kecuali kalian bisa menghalangi kaum zalim untuk berbuat zalim”. (Rasulullah SAW)
“Mereka mengingatkan kami bahwa perjuangan kebebasan bukan hanya masalah mengucapkan pidato, melakukan pertemuan, menyusun resolusi-resolusi dan mengirim utusan, tetapi bahwa perjuangan memerlukan organisasi yang sangat teratur, tindakan massa yang militan, dan di atas segalanya memerlukan kesediaan untuk menderita dan berkorban”. (Nelson Mandela)
TIAP kali kita mendengar acara kiri dibubarkan, segera muncul rasa kecewa. Pada panitia yang tak siap untuk mempertahankan. Pada aparat yang tak bisa melindungi. Pada massa yang selalu ingin menang sendiri. Paling kita kemudian melakukan apa yang selalu dikerjakan: melakukan kutukan, mengajak solidaritas, dan meminta aparat untuk bertindak tegas. Seakan keadaan ini tak dikehendaki dan seolah semua ini harusnya tak terjadi. Pengandaian ini membuat setiap orang kemudian harus hati-hati dalam membuat kegiatan. Bisakah kegiatan ini berjalan aman dan jika perlu dapatkah kegiatan ini dilindungi? Praktek ini secara perlahan-lahan membentuk sikap mental yang paling buruk: mengalah dan menghindar. Kita bukan berdiri mempertahankan keyakinan, tapi mundur untuk membuat siasat. Siasat untuk tak diserang dan siasat untuk tetap bertahan.
Padahal medan pertarungan kini berbalik arah. Banyak anak-anak muda yang mulai dicerahkan pemahamanya dan mulai curiga pada propaganda palsu kekuasaan. Yang selalu meyakini bahwa bicara soal PKI sama halnya dengan keinginan mendirikannya. Membicarakan mengenai gagasan kiri sama halnya dengan ketidak-percayaan pada apa saja yang berbau kanan. Bahkan tak hanya itu, anak-anak muda mulai berani meneguhkan keyakinanya dengan praktik kegiatan radikal: membuat diskusi Kiri, memutar film kiri, menyelenggarakan workshop hingga mendorong festival. Luapan kreativitas itu tak mau dibunuh dengan sewenang-wenang dan untuk itu semua mereka mau berkorban apa saja. Keberhasilan pemutaran senyap di UIN Jogja, didasarkan atas keberanian pada prinsip-prinsip itu. Prinsip dasar bahwa menjadi kiri tak seharusnya dilarang apalagi ditekan. Berpikir dan mendiskusikan gagasan kiri bukan kegiatan illegal.
Kini keyakinan tak lagi bisa hanya dituliskan. Keyakinan itu butuh diperjuangkan. Keyakinan itu butuh konfrontasi. Pada apa saja yang mau membajak, menyamun dan meruntuhkannya. Tak banyak barisan yang mau membubarkan acara.. Kelompok anti kiri bukan mayoritas yang punya kuasa segalanya. Kelompok mereka diisi oleh orang itu-itu saja dan dilindungi oleh aparat itu itu melulu. Kekuatan mereka hanya pada otoritas dan ancaman. Otoritas itu tak sekuat dulu, karena terus dilucuti oleh kesangsian dan pertanyaan. Ancaman itu tak sehebat dulu karena terus ditentang dan digugat. Maka anak-anak muda itu bisa jadi kekuatan pelopor selama dimobilisasi, digerakkan, dan diyakinkan. Tugas aktivis kiri tak hanya sibuk membangun konsep canggih tentang apa itu Kiri dan bagaimana Kiri itu dipertarungkan dengan konsep selain kiri. Tugas itu harus disejajarkan dengan menyambut barisan massa yang mulai ingin menggerakkan gagasan kiri pada praktik pembebasan.
Maka saatnya tugas klasik itu datang. Berpeluh keringat dan tenaga untuk menemani mereka yang mau mendirikan kegiatan kritis. Mengorganisir mereka untuk mau menyelenggarakan kegiatan kiri. Tak hanya mempertahankan agar acara itu tetap berjalan, tapi juga membuat gentar para penentang. Bahwasanya kita-sebagai penyelenggara acara- bukan lapisan dungu yang mudah diintimidasi. Keyakinan dapat berdiri teguh bukan karena argumentasi tapi juga kesungguhan untuk mempertahankan dengan resiko apapun. Susul-menyusul tugas itu dengan mulai melibatkan sebanyak-banyaknya anak muda dalam pengalaman mempertahankan kebebasan. Makin sering mereka berada dalam medan tempur kebebasan akan muncul banyak taktik dan siasat. Bahwa siasat itu tak terdiri dari negosiasi dan taktik tak mesti dengan membuat penyataan sikap. Maka tiap kali meluncur sebuah kegiatan, akan banyak hal yang bisa diperbuat untuk melindunginya: menjaga agar acara berjalan, membuat para undangan tetap bertahan dan mendapat apresiasi yang kian meluas. Tiap kegiatan adalah sarana untuk mengorganisir gagasan dan mendorong lahirnya gagasan baru.
Itu makanya kita jangan terlampau mengukur besar lawan. Yang dihadapi ini memang organ represif, tetapi kekuatan mereka kian lama kian luntur. Ketidak-percayaan yang jadi sumber otoritas sudah porak poranda. Banyak kecurigaan pada agenda kelompok ini dan kian banyak pertanyaan mengenai loyalitas kelompok ini. Tak hanya kepercayaan tapi juga popularitas yang makin surut. Tak banyak anak muda mau bergabung dalam kelompok ini. Terutama mereka yang masih menggunakan akal sehat dan perasaan. Jika begitu maka kelompok ini sebenarnya tak punya dasar pembenar bagi semua tindakannya. Mengatakan bahwa acara itu berbau komunis sudah tak lagi mempan karena bau itu tak punya bukti pembenarnya. Komunis yang dijadikan sasaran kutukan malah menimba banyak dukungan karena membuat banyak orang jadi penasaran. Masak tiap orang yang menolak penggusuran, membela buruh, dan menanyakan sebab kemiskinan selalu disebut komunis? Jika komunis berarti membela yang lemah, melindungi yang miskin dan melawan yang sewenang-wenang: maka semua orang pasti berminat jadi komunis.
Kebesaran kelompok ini juga dihidupkan oleh rasa takut. Takut itu merayap saat kelompok ini memaki, menghardik hingga memukul. Seolah mereka meletakkan kebenaran pada pukulan dan teriakan. Balasan bagi pukulan adalah pukulan serupa. Jawaban untuk teriakan ada pada teriakan yang lebih keras. Itu artinya butuh pupuk keberanian yang setara dosisnya. Pada anak-anak muda di sejumlah tempat, keberanian itu terbit. Bukan karena nekat tapi pertimbangan yang matang dan jernih. Pertimbangannya yang pasti bahwa kebenaran itu tak mungkin bertabur rasa takut. Rasa takut akan membuat keyakinan jadi luntur dan kebenaran jadi serupa dengan kenaifan. Itu sebabnya keberanian tak bisa dipelajari tapi dialami. Kian sering berhadapan dengan resiko maka keberanian akan gampang mekar. Tanpa upaya menjemput resiko maka keberanian akan teronggok begitu saja. Lagi-lagi kelompok ini bertahan dan beroperasi karena didukung oleh rasa takut yang mudah menjalar.
Tapi kebesaran ini juga karena dukungan. Alirannya dari mana-mana. Terkadang para agamawan palsu yang meniupkan keyakinan buta bahwa memukuli yang komunis bagian dari Iman. Jelas pengetahuan setan ini perlu dienyahkan dengan semangat agama yang sebenarnya. Bahwa menjadi komunis tak kemudian jadi atheis. Haji Misbach dan banyak haji lain pada masa sejarah punya keyakinan sejajar: punya pandangan komunis tapi memiliki Iman yang konfrontatif. Pada kemapanan, ketidak-adilan dan kebodohan. Maka saatnya para Gus-Gus yang progresif membina ummatnya agar tidak dikendalikan oleh ulama pembohong yang memalsu firman untuk kepentingan dirinya sendiri. Begitu pula anak-anak muda Islam yang berani hendaknya tidak mudah jadi kaki tangan para pendusta. Tak ada keyakinan yang mengobarkan kebodohan dengan cara sesat: menjuluki tiap orang yang suka mempertanyakan kemiskinan dengan label komunis. Maka untuk melawan ini hanya cukup dengan satu langkah sederhana: membongkar kebohongan yang digemakan dengan cara culas.
Kebohongan itu telah dibuka oleh banyak buku. Riset-riset terkini memberi bukti mengenai hal itu. Kini buku itu perlu ‘dibumikan’ dalam kenyataan empiris. Propaganda mengenai hal itu jadi penting untuk diedarkan kemana-mana. Lewat cara yang gampang dan sederhana. Memutar film Senyap dan Jagal bentuk paling mudah. Tiap orang jadi tahu kenapa algojo itu kejam dan untuk tujuan apa mereka melakukannya. Kekejaman itu ternyata meyentuh nurani siapapun yang menyaksikannya. Jadi banyak anak muda tahu bahwa Peristiwa 65 bukan karena sebab yang dikatakan oleh penguasa. Efek peristiwa itu jauh lebih keji dan brutal. Mengantarkan itu dalam logika dan kesadaran massa merupakan tugas utama hari ini. Terutama pada anak-anak muda yang tertantang untuk menghapus semua bentuk pembodohan yang dicetak oleh rezim sebelumnya. Maka acara-acara penyadaran adalah ritual penting untuk meneguhkan ingatan. Monumen ingatan itu selalu mau dirubuhkan. Dulu mereka berhasil tapi sekarang saatnya kita menggagalkan upaya itu.
Maka saatnya kita tidak diam pada acara pembubaran maupun pelarangan acara. Mempertahankan acara itu bukan soal sederhana. Ini menyangkut martabat dan harga diri sebuah keyakinan. Jika gampang kita menyerah, takluk dan mengaku kalah: selamanya kita akan jadi sasaran serangan. Hari ini mereka bisa katakan kita komunis, besok atheis, lusa kita jadi sesat. Ketika ungkapan konyol itu dikatakan berulang-ulang maka ada banyak orang yang bisa ditipu untuk menyerang. Saat itulah kita akan terlambat untuk sadar bahwa kita sebenarnya sudah berada di tubir jurang. Kita tak ingin perjuangan ini mengulang kegagalan dan mencetak kekalahan lagi. Kita sudah terlanjur maju di level kesadaran dan saatnya kita lebih maju lagi pada praktik pembebasan. Sungguh, pada sisi ini, menjadi seorang ‘Kiri’ bukan sekedar karena isi tulisan, tapi juga ikut terlibat aktif dalam praktik ‘pembebasan’. Praktik yang paling sederhana adalah mempertahankan acara kiri agar tak selalu diserang dan bubar.
Ayo bung waktunya menulis dan berjuang. Di sana yang kita hadapi bukan lagi pembaca tapi pasukan yang mau merampok keyakinan kita. Saatnya bung untuk tidak hanya memegang pena, tapi juga mengepalkan tinju perlawanan!***
Penulis adalah aktivis di Social Movement Institute