* Ilustrasi oleh Timoteus Anggawan Kusno
Membangun Dinasti
panggung bukan lagi jadi tempat sandiwara
sebab di sinilah sebenarnya akting berbicara
berbagai topeng beragam merek
maka jangan salahkan kami
bila kami lebih peduli
pada dota, line, instagram, siwon, dan rvp
dan kami akan jadi lebih setia membesarkan bibit ini
tapi jangan alpa perihal kalianlah yang menanamkannya pada kami
bila semua sudah jadi terlanjur
dan keadaan di ujung hancur
maka bangunlah suatu dinasti
bertindaklah sebagai pemuji kiri
maka kau akan dapat banyak simpati
sebab zaman kini orang lebih suka anti
namun kukatakan padamu katakata penting ini
selebihnya terserah ada pada dada sebelah kiri
: sebaiknya berguru dulu pada penyu air
sebelum menasbihkan diri sebagai penyair
Perihal Sejarah dan Sejengkal Ajal
: lawangsewu
senja wafat
jendela meruwat
kenangan jelma ruangan berpagut ngeri
mengunduh bebiji kecemasan yang datang dari
beranda rumahmu, temboktemboknya mengukir anyir dan getir
senja wafat
dikubur pekat dan nyenyap
satusatu semesta pergi menziarahi
selasar sejarah yang disodomi
Serupa Sajak yang Begitu Lugu Menamai Senja, Aku Merinduimu
Aku merindui cerita dan bau tubuhmu, nang. Selengkap aku merindui waktu yang selalu datang lebih dulu. Kita yang begitu asik pada serenada. Menyerahkan segala pada semesta. Meski entah telah dengan setia menjemput asa. Nyatanya, tetap juga kita layangkan rasa.
Lengkung sabit di rautmu itu nang, mengingatkanku pada jingga yang setia menanti senja. Kita begitu lugu. Ketika napas menyisakan helanya di mesinmesin pencari. Maka lengkap sudah kita menjadi penjala. Bertukar seluka dan sesuka antara.
Aku merindui cerita dan bau tubuhmu, nang. Tepat ketika selasar berujung pada angka 98. Ranjang ini seketika jadi piatu. Malam pekat menggenang di beranda. Dan aku tak melihatmu, nang. Segalanya terbias merah. Gelap.
Nang, kurindui kau pada tiap detak sukma ini. Pada rahwana dan sinta yang sempat kau kisahkan padaku. Pada tanah ini, negeri yang telah mengenalkanku padamu. Yang telah dengan rela merekam jejak jantung kita. Yang telah mengembalikanku pada muasal segala.
Selamanya aku tak akan pernah paham, nang. Jejalan ini memang menjaring anakanak rencana. Namun kita menuju muara yang sama. Bukankah itu satu.
Katanya, ini reformasi. Dan segalanya akan jadi lebih baik setelah ini.
Entahlah nang. Hingga sia kunapasi kini, segalanya berumah pada mengapa. Untuk kesekian kalinya, aku tak peduli. Sebab bahagia kita yang tentukan.
Cukup satu yang perlu akukau pahami. Selalu akan kurindui cerita dan bau tubuhmu itu. Selalu, nang. Selalu.
Mungkin Sekali Kita
mungkin sekali kita telah menua
ketika anakanak masih sibuk mengumpulkan pertanyaan
mungkin sekali kita telah memutih
ketika para ibu masih sibuk berkisah tentang negeri dongeng
mungkin sekali kita telah menjadi abu
ketika kehilangan jadi bentuk budaya baru
ketika rela sudah lebih purba mengeras di dinding nisan,
mungkin sekali kita telah sempurna menjadi batu!
* Himas Nur lahir di Semarang, 2 Desember 1995. Menulis puisi, esai, dan skenario film pendek. Penyumbang suara dan lirik dalam grup musik-puisi Tekstu[r]al. Bianglala, Komidi Putar, dan Negeri Dongeng (2013) ialah antologi puisi tunggal perdananya.