KITA sering mendengar pendapat bahwa masyarakat Indonesia punya kebudayaan yang cukup tinggi yang mempengaruhi ketabahan hidup yang dimilikinya. Salah satu indikasinya muncul pada sambutan masyarakat atas Peristiwa Terror Bom Sarinah beberapa waktu lalu. Masyarakat—beberapa saat setelah peristiwa tersebut—kembali beraktivitas seperti biasa di tempat kejadian. Selain itu, muncul pula tagar-tagar positif di media sosial yang, lagi-lagi, menunjukkan hal yang sama.
Banyak kalangan melihat hal ini sebagai kematangan sikap serta sense of humor yang tinggi dari masyarakat Indonesia. Kedua hal ini berakar pada sejarah adat tradisi masyarakat Nusantara masa lampau. Di dalam tradisi masyarakat Indonesia kita bisa menemukan mentalitas ‘menerima’ (nrimo), yang bukan saja ada di masyarakat Jawa, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Sense of Humor yang tinggi di masyarakat Indonesia tak perlu jauh-jauh dicari contohnya. Pada hari-hari ini, kita bisa menemukannya muncul dalam rupa meme-meme di media sosial, misalnya. Selain itu, di keseharian kita pun muncul begitu banyak gurauan-guraun yang mengocok perut entah di pasar, di angkutan umum, dan lain sebagainya.
Walter Benjamin, sang pemikir Jerman itu dalam tulisannya “On The Concept of History” mengatakan bahwa kelas tertindas, “…hidup dalam perjuangan sebagai sebuah keyakinan, sebuah keberanian, humor, kecerdikan dan ketabahan dan [semua itu] memiliki efek yang jauh mencapai masa lalu”. Sense of humor muncul dari ketertindasan demi ketertindasan yang diderita dari hari ke hari. Di dalam cara hidup keseharian yang meresikokan hidup. Maka tidak heran bila dahulu, ketika sistem transportasi kereta api kita belum serapih sekarang, kita bisa menemukan orang berjubelan dengan begitu rupa, saling berhimpitan di dalam kereta api kelas ekonomi antar kota. Sistem transportasi yang buruk menghadirkan cara hidup yang ‘meresikokan hidup’ dan sungguh melahirkan solidaritas antar pengguna kereta api kelas ekonomi, sebagaimana juga tawuran pelajar yang hidup di dalam gerbong-gerbong kereta.
Satu ilustrasi lagi perihal sense of humor. Mop (cerita lucu) dari masyarakat Papua dewasa ini beredar begitu rupa. Banyak dari kita menikmatinya. Silahkan saja anda cek follower akun media sosial Mop Papua untuk membuktikannya. Ketika membaca mop-mop itu, minimal kita pasti bergelak tawa. Namun ketika masuk pada narasi perihal perjuangan mereka melawan pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua, lebih sedikit peminatnya (untuk menghindari tidak ada sama sekali).
Bagi saya dengan demikian, kenyataan adanya sense of humor yang tinggi bukanlah sebuah ‘berkah’. Justru hal itu harus dilihat sebagai sebuah kesatiran hidup; sebuah tawa di tengah kesulitan hidup. Lebih jauh, keberanian untuk menghadapi teror muncul lantaran sudah terbiasanya masyarakat menghadapi hidup yang sulit. Ketika kita merayakan sense of humor dan keberanian meresikokan hidup sebagai sebuah warisan kebudayaan kita, pertanyaan yang muncul adalah, apakah kebudayaan kita memang sungguh sesadomasokis itu? Atau, apakah kita memang ingin merayakan kebudayaan yang terbentuk dari penindasan demi penindasan?
Lagi-lagi, Walter Benjamin, masih dalam “On the Concep of History” mengatakan bahwa “tidak ada dokumen kebudayaan yang pada saat yang bersamaan bukanlah sebuah dokumen barbarianisme”. Barbarianisme dan kebudayaan, di dalam kaca mata Benjaminian, merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.
Kebudayaan tidak bisa eksis dalam sejarah tanpa kerja dari para pekerja anonim atau budak. Namun, mereka yang bekerja ini tidak mendapatkan kenikmatan dari benda-benda kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, kebudayaan bisa dikatakan merupakan hasil dari ketidakadilan sosial, ekonomi serta ketidaksetaraan. Dari masa ke masa, golongan berkuasa melestarikan penindasan itu di dalam sistem sosial dan sistem ideologi.
Salah satu contoh sistem ideologi itu adalah pandangan hidup nrimo masyarakat Jawa yang terkenal dengan pepatahnya “urip kuwi mung mampir ngombe” (Dahana, 2016). Di dalam sistem masyarakat feodal lama Nusantara, pandangan hidup yang demikian ini membuat masyarakat menerima begitu saja nasibnya. Lebih jauh, ia menerima begitu saja ‘kodratnya’ sebagai pekerja yang menggarap tanah-tanah milik para sultan dan raja. Masyarakat yang ‘nrimo’ ini tidak punya hak sama sekali—atau haknya begitu minim—atas hasil kerjanya. Hidup sengsara, jauh dari layak, merisikokan hidup adalah ampas-ampas kopi pahit yang hanya untuk sementara disesapnya.
Sejarah peradaban dan kebudayaan yang begitu kita banggakan tentu saja juga berasal dari jejak-jejak penindasan yang demikian. Candi Borobudur, Prambanan, Monumen Nasional, misalnya, adalah artefak-artefak kebudayaan besar kita. Kita menghafal di masa dinasti siapa ia dibangun, pada kepemimpinan presiden siapa ia direncanakan dan lantas diresmikan. Tetapi kita tidak pernah berpikir tentang mereka-mereka yang menarik batu, mereka-mereka yang menggali tanah untuk membangun semua itu.
Sesekali waktu, muncul masyarakat kecil yang kepala batu hendak melawan ‘kodratnya’ sebagai hamba sahaja. Begitulah yang bisa kita tangkap, misalnya, dari interpretasi Pramoedya Ananta Toer atas kisah Ken Arok di dalam novelnya Arok Dedes (1999). Pram menghadirkan mereka yang mencoba melawan itu tetapi tak kuasa menghadapi struktur kebudayaan masyarakat yang terlalu mengamini ‘hidup sebagai sekadar numpang minum kopi’. Di dalam Gadis Pantai, Sang Gadis Pantai kerap menerima nasihat perihal menerima nasib, entah dari orang tuanya atau pun dari pelayan tua di rumah Sang Bupati (Toer, 2002).
***
Ketika kita menghadapi kenyataan adanya sense of humor dan keteguhan sikap masyarakat di dalam menghadapi kesulitan, ada baiknya kita melihatnya sebagai sebuah sisi negatif kebudayaan kita. Betapa sebegitu sulitnya hidup di negeri ini sehingga bahkan ancaman bom pun dianggap seperti gigitan nyamuk di lengan kiri. Betapa masyarakat sudah kebal terhadap kesulitan hidup sehingga ketika ada peristiwa yang mungkin membawa kesulitan itu lebih lanjut, mereka menerimanya dengan gelak tawa. Mereka menertawakan kegetiran hidup itu sendiri. Itulah kebudayaan kita hari ini; sebuah kebudayaan ‘via negativa’.
Pada titik yang demikian, apa yang dipikirkan tentang kebudayaan bukanlah bagaimana mempertahankan sifat-sifatnya itu tetapi mengubahnya. Bukan mempertahankan sikap meresikokan hidup dan sense of humor nan satir itu, melainkan bagaimana mengupayakannya untuk berada di jalur apresiasi yang positif. Dengan kata lain, kebudayaan perlu diarahkan pada jalan yang positif. Optimisme atas kekuatan kebudayaan kita ada baiknya tidak dibangun di atas ekspresi-ekspresi yang menunjukkan penindasan, tetapi justru yang berusaha ke luar dari penindasan. Dan inisiatif-inisiatif yang seperti itu, saya kira, bertebaran secara mandiri di seluruh nusantara.***