* Ilustrasi oleh Timoteus Anggawan Kusno
Karya – Puisi-Puisi Himas Nur
Karya – Puisi-Puisi Putu Alit Panca Nugraha
Catatan Kawan – Kepikiran Dangdut (Koplo): Renungan di Atas Bus Kota
Kliping – Wong CIlik Kejepit Sampai Mendelik
Teori – Lansekap Etika dalam Pemikiran Deleuze tentang Sinema
FEBRUARI YANG BELUM LAMA LEWAT adalah bulan bagi “penyimpangan”. Sebagaimana galibnya tengah Februari di Indonesia, publik Indonesia menggelar upacara perdebatan tentang—atau, yang lebih spesifik tahun ini, pelarangan atas—perayaan Hari Valentine. Kali ini diwarnai kelanjutan kampanye #ValentineBukanUntukKami yang digalakkan oleh Walikota Banda Aceh, sampai surat edaran dinas pendidikan kota Bandung dan Kediri yang melarang siswa SD hingga SMA merayakan Hari Kasih Sayang. Untuk melindungi generasi masa depan dari perilaku seks bebas yang menyimpang dari norma-norma agama, katanya.
Perilaku seks menyimpang memang jadi wacana besar yang menandai awal tahun ini. Ya, barangkali kita sudah muak membicarakan kebebalan banyak orang soal LGBT. Tapi, di luar kemuakan itu, siapa sangka kalau Negara dan filantropi Indonesia adalah pihak yang punya andil paling besar dalam tumbuh suburnya LGBT—bukan Amerika atau Barat sebagaimana banyak orang kira? Begini. Tiap ada bencana alam, rakyat Indonesia dan Pemerintah berbondong-bondong memberikan bantuan sandang-pangan. Kalau kita tilik liputan media, kita tahu persis menu utama para penyintas di kamp pengungsi yang disumbangkan orang-orang penuh rasa empati ini: mie instan. Menariknya, penelitian transendental Walikota Tangerang menemukan salah satu penyebab LGBT. Ya. Mie instan! Dengan temuan ini, pelarangan mie instan dan kuliner mengandung micin kegemaran rakyat jelata tinggal menunggu waktu saja.
Bicara soal penyimpangan selalu juga berarti bicara soal pelarangan. Penyimpangan adalah “penyakit” yang mesti “disembuhkan” dengan disiplin yang segaris dengan horison “normal” menurut “budaya Indonesia”. Kalau kita bicara soal gender dan seksualitas, maka obat mujarab ini adalah kecintaan dan ketaatan pada phallus, sang maha kont(r)ol. Dalam kata lain, heteronomativitas.
Di luar masalah seksualitas, Februari adalah juga ajang pamer ngacengnya phallus lain: aparat ideologis Negara. Belok Kiri.Fest yang digelar pada penghujung Februari pun mengalami pembredelan; kali ini oleh organisasi massa, dengan dibantu oleh birokrasi. Di kepala banyak orang, segala yang berbau “kiri” memang masih merupakan tabu. “Kiri” itu “bertentangan dengan Pancasila”, dan identik dengan upaya “penyimpangan sejarah”. TAP MPRS 25/1966 tentang Pelarangan PKI dan Ideologi Marxisme-Leninisme menjamin “normalitas” itu.
Ini bukan masalah baru. Dua isu ini punya preseden historis yang panjang dan, bisa dibilang, merupakan proyek utama dalam ideologi Pembangunan Orde Baru. Pengaturan seks dalam keluarga heteronormatif terjadi bukan hanya dalam arti harfiahnya, melainkan juga secara metaforis. Negara adalah sebuah keluarga besar. Kalau Sukarno jadi “Bung Besar”, maka Soeharto adalah “Babeh Besar”. Ketaatan aparatur Negara dan Rakyat pada si Babeh adalah ketaatan istri dan anak pada suami. Dalam kerangka imajinasi inilah segala macam sumberdaya diolah dan kapital diakumulasi. Keluarga besar ini adalah hasil dari pernikahan darah antara tentara dan modal transnasional yang dihelat pada 1965. Pembantaian besar orang PKI dan simpatisannya pada pesta perkawinan Orde Baru itu tidak sekadar membunuh manusia, tapi juga imajinasi tentang pengaturan masyarakat yang sepenuhnya lain. Yang mati adalah juga mimpi tentang relasi sosial yang setara, yang tidak direduksi dalam pembentukan serta akumulasi kapital.
Tumbangnya Orde Baru bisa dibilang merupakan coming of age-nya anak-anak ideologis si Babeh; mereka yang beruntung jadi raja-raja kecil dalam pemerintahan pusat maupun daerah, jadi konglomerat begundal, atau intelektual kolaborator macam Asosiasi Psikologi Islam Indonesia. Mereka yang kurang beruntung jadi pegawai rendahan yang suka memasang stiker si Babeh dengan caption “penak jamanku tho?” atau bergabung dengan ormas karbitan seperti PECAT, Front Aktivis Jakarta, hingga Gerakan Bela Negara.
Meski rentetan represi masih terjadi, konsolidasi antar anak-anak ideologis si Babeh juga menyingkapkan satu titik terang. Reformasi adalah medan permainan yang berbeda dari Orde Baru. Ada “virus” yang menumbangkan si Babeh, “virus” yang berusaha—tapi tak sepenuhnya berhasil—ditundukkan oleh Orde Baru. Mereka mesti menjinakkan virus-virus ini, atau mereka bakal dihantar ke liang kubur seperti si Babeh. Virus ini ada di mana-mana. Mereka adalah orang-orang yang tersisih dari keluarga besar si Babeh. Mereka yang menyadari bahwa sebenarnya si Babeh adalah virus itu sendiri; yang menjajah tanah serta penghidupan mereka, yang memaksakan relasi sosial yang asing melalui bedil, yang mendandani mereka dengan batik karena koteka itu aib. Meski Reformasi masih merupakan taman bermain yang asyik buat anak-anak si Babeh, virus-virus ini tidak tinggal diam. Perlawanan rakyat terjadi di mana-mana, tanpa harus mendaku “kiri” atau “marxis”. Mimpi-mimpi yang dulu dikira mati, kini mulai punya kendali.
Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS terbitan Maret ini berupaya mengangkat virus-virus, penyimpangan-penyimpangan ini. Catatan Kawan Mahfud Ikhwan mengangkat perversi dalam dangdut koplo yang populer di kalangan jelata. Perversi ini tidak sebatas lirik dan ekspresi musikal yang melanggar “norma kesopanan”, tapi juga terjadi dalam pola persebaran musik ini, yang mengandalkan praktik haram industri musik kapitalistik: pembajakan.
Dalam rubrik Kliping, kami menghadirkan sebuah catatan tanpa nama yang dimuat dalam Medan Prijaji keluaran 9 April 1910 bertajuk “Wong Cilik Kejepit Sampai Mendelik”. Dalam artikel itu, kita mendapati bagaimana representasi “wong cilik” dalam politik justru menjadi pembungkaman atas suara “wong cilik” itu sendiri. Hal semacam ini tentu tidak hanya terjadi di awal abad ke-20. Kita masih mengalaminya. Dalam kondisi serba mencekik ini, Panji Wibowo dalam rubrik Teori, menegaskan posisi kebudayaan—khususnya sinema. Dalam tulisan panjang yang sedikit rumit itu (perjuangan memang rumit, Bung!), Panji berupaya menggali pemikiran Deleuze dan Guattari untuk menemukan dimensi etis sinema di tengah dunia yang kian lama kian asing, direbut oleh berbagai macam ketidakadilan.
Dalam rubrik Karya, kami menghadirkan puisi-puisi Himas Nur dan Putu Alit Panca Nugraha. Penyair-penyair muda ini (keduanya lahir pada pertengahan 1990-an) mengeksplorasi kondisi kita hari ini dalam delapan buah karya: dari trauma masa lalu yang hidup dan menubuh dalam ingatan kolektif, hingga sinisisme khas milennial yang muncul akibat impasse politik pasca-Reformasi.
Demikianlah suguhan kami dalam edisi ini.