“…Kamilah lelaki perempuan yang menganggap “negara”, “demokrasi”, “kebebasan” dan “keadilan”
bukan cuma kata-kata besar nan agung, namun juga realitas hidup,…
Bagi kami, hidup tanpa mencapai tujuan tersebut adalah nista, dan mati dalam memperjuangkannya adalah kehormatan.”
-Subcommandante Insurgents Marcos, Pejuang HAM Meksiko-
SETIAP jatuh tanggal 29 Maret, kader KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) di seluruh penjuru tanah air antusias merayakan kelahiran organisasi yang didirikan di Malang pada 1998 silam itu. Begitu pun dengan tahun ini, di mana KAMMI kini genap berusia 18 tahun. Suatu usia, yang jika diibaratkan dengan usia manusia, bisa dikatakan telah memasuki usia dewasa. Kendati, kualitas usia KAMMI tentu tidak dapat disamakan dengan kualitas hidup manusia yang kita ketahui berproses lama. Walaupun saat ini cabang KAMMI telah tersebar di kampus-kampus dari Aceh hingga Papua. Begitu pun kontribusi KAMMI bagi gerakan mahasiswa secara nasional, sudah tidak diragukan lagi daya pukulnya.
Di usia yang masih sangat belia ini, jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lainnya, KAMMI tentu saja perlu banyak belajar dan melakukan refleksi. Sudahkah keberadaan KAMMI selama 18 tahun ini memberikan sumbangsih besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia atau belum? Refleksi ini penting, mengingat organisasi kemahasiswaan pasca reformasi mulai di pandang para cendekiawan semakin jauh dari keberpihakannya pada rakyat. Terkhusus organisasi kemahasiswaan Islam seperti KAMMI. Organisasi kemahasiswaan hanya di anggap sebagai kelompok intelektual kelas menengah, yang bertugas menjembatani kepentingan rakyat dengan pemerintah, tetapi jarang terlibat dalam perjuangan bersama rakyat.
Terbukanya keran reformasi pada 1998 silam, rupanya tidak seiring sejalan dengan membaiknya kesejahteraan rakyat Indonesia. Konflik yang menghadapkan pemerintah di satu pihak dan rakyat di pihak lain masih terus saja berlangsung. Penggusuran tanah rakyat di Kedungombo pada dekade 1980-an masih terjadi di era sekarang. Konflik agraria di Mesuji, Jambi, Riau, Kulonprogo, Rembang dan Gane merupakan beberapa contoh dari ratusan kasus lainnya.
Pada akhir 2015 kemarin, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merilis data terjadinya 252 konflik agraria di atas tanah seluas 400.430 hektar di seluruh Indonesia. Jika pada 2014, sektor pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang konflik tertinggi, maka pada 2015 bergeser pada sektor perkebunan. Dengan rincian, perkebunan 127 kasus (50 persen), infrastruktur 70 kasus (28 persen), kehutanan 24 kasus (9,6 persen), pertambangan 14 kasus (5,2 persen), kemudian lain-lain 9 kasus (4 persen) (Berdikari Online, 2015). Data tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan sejak 2011 di mana terjadi 198 kasus. Imbasnya, 440 ribu (0,2 persen) penduduk Indonesia saat ini menguasai 56 persen aset di seluruh tanah air (Kompas, 2012).
Tidak hanya tanahnya saja yang di gusur, rakyat juga masih mengalami pemiskinan secara struktural selama beberapa tahun terakhir. Pada September 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 28,51 juta jiwa (11,13 persen). Lebih tinggi dari September 2014 yang mencapai 27,73 juta jiwa (10,96 persen). Begitu juga angka ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin juga semakin lebar (baca: koefisien gini). Pada Desember 2015, koefisien gini kita 0,42. Lebih tinggi dari 2010 yang mencapai 0,38, lebih-lebih pada tahun 2000 yang hanya berada pada angka 0,30 (Liputan6.com, 2015). Tidak heran, BPS menyebutnya sebagai angka ketimpangan tertinggi sejak negara ini merdeka.
Fakta di atas juga diperkuat oleh data Credit Suisse pada 2014 yang dicatat Bank Dunia tentang adanya 10 persen penduduk yang menguasai 77 persen dari keseluruhan aset dan kekayaan negara ini (Lampost.co, 2015). Tentu saja data ini praktis menunjukkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya memang tak seberapa, jika dibandingkan dengan keberpihakan pada aktivitas perusahaan-perusahaan besar yang tidak sedikit memicu konflik dengan rakyat.
Nicos Poulantzas (1972) mengemukakan, bahwa akar ketidakberpihakan pemerintah berangkat dari tugasnya sebagai penjaga stabilitas (Arief Budiman, 1996). Sementara, dalam menciptakan stabilitas, pemerintah selalu bergantung pada kemampuannya menjalankan roda pemerintahan. Di mana roda pemerintahan mustahil bergerak jika tak ada pemasukan. Yang tentu saja datang dari pajak dan royalti yang dibayarkan perusahaan.
Kini, KAMMI dituntut untuk mempertanggungjawabkan posisinya sebagai penyambung lidah rakyat. Masihkah hanya terus terpaku pada isu-isu klasik yang tak jarang jauh dari permasalahan rakyat sehari-hari? Isu korupsi, energi, kasak kusuk kabinet pemerintahan dan imperialisme di belahan dunia lain memang penting, tetapi apakah isu kemiskinan, penggusuran, perampasan lahan rakyat yang letaknya hanya puluhan kilometer tidak jauh lebih penting?
Memasuki usia ke 18 ini, telah tiba saatnya bagi KAMMI untuk memulai gerakan berorientasi kerakyatan. Pola gerakan yang tidak lagi menjadikan rakyat sebagai objek penindasan, tetapi sebagai subjek yang mampu mengakhirinya. Karena KAMMI lahir di tengah-tengah rakyat, maka sudah sepatutnyalah bersama rakyat KAMMI berjuang.***
Penulis adalah Pegiat KAMMI Kultural Maluku Utara