LAYAKNYA sebagian besar anak muda di negeri ini, saya dididik untuk menjadi pemuda yang nasionalis—kalau bukan fasis, malah. Saya dilatih untuk mencintai Indonesia, mengagungkan sejarahnya, dan membelanya mati-matian. Malaysia nampak begitu buruk dan “asing”—terlepas dari siapa yang betul-betul dirujuk oleh kata itu—jadi sesuatu yang seolah terus mengancam kita. Ada desir yang terasa di dada ketika melihat tentara memanggul senjata—seolah itulah bentuk bela negara yang paling ideal. Ungkapan J.F. Kennedy, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country”, jadi jargon yang melekat di pikiran—terkadang, ditambah jargon Benjamin Disraeli, “Right or wrong it’s my country”.
Meski begitu, mempelajari ilmu sosial dan politik di Yogyakarta membuat pikiran itu sedikit goyah. Pada suatu hari, saya membaca buku Y.B. Mangunwijaya, Menjadi Generasi Pasca-Indonesia (1999) di perpustakaan universitas. Romo Mangun—sebagaimana ia biasa disapa—memberi tahu saya sesuatu. Nasionalisme Indonesia yang hari ini kita yakini berbeda dengan nasionalisme Indonesia yang tumbuh ketika negeri ini melawan imperialisme demi kemerdekaan dirinya sendiri. Nasionalisme Indonesia berubah dan, bagi Romo Mangun, itu sama sekali bukan perubahan yang baik. Nasionalisme kita hari ini, menggunakan istilah Romo Mangun, berdiri di atas “nurani” yang mati. Kehendak untuk menghapuskan eksploitasi manusia oleh sesamanya, keinginan untuk melawan imperialisme, atau kemauan untuk membebaskan sesama manusia dari penderitaan jadi sesuatu yang hilang dari imajinasi kita tentang “Indonesia” hari ini. Lubang itu kemudian diisi dengan tuntutan agar rakyat bekerja keras dan rela berkorban demi negara. Jargon-jargon yang saya kutip di awal jadi sesuatu yang makin wajar dan terasa romantis walau, di sisi lain, memiliki konsekuensi yang amat merusak.
Setelah tujuh belas tahun kematiannya, tulisan ini akan membicarakan ide Romo Mangun lagi. Dengan membaca kembali Romo Mangun, tulisan ini berharap untuk menunjukkan bahwa kita bisa mencintai Indonesia dengan cara lain; bahwa cara kita menghidupi Indonesia hari ini bukanlah satu-satunya cara yang ada; dan bahwa ada cara lain yang bisa lebih kita percayai.
***
Romo Mangun, dengan meminjam konsep Blaise Pascal, berangkat dari satu asumsi penting: bahwa manusia memiliki hati nurani. Hati nurani manusia memiliki kemampuan untuk menemukan kebenaran secara intuitif. Apa yang dipahami Romo Mangun sebagai kebenaran di sini cukup spesifik, yakni apa hal-hal yang memperkaya kemanusiaan dan apa yang mengancamnya.[1] Dengan hati nurani yang terasah, seseorang dapat melihat dan memahami penderitaan yang diderita orang lain dan terdorong untuk mengambil tindakan demi melindunginya (Mangunwijaya, 1999a, 1999b).
Manusia memiliki hati nurani semenjak ia dilahirkan. Namun, nurani manusia bisa berkembang ke arah manapun. Hati nurani seseorang bisa tumbuh jadi nurani yang terasah—tapi bisa juga tidak. Bagi Romo Mangun, seseorang dengan nurani yang mati tak akan memiliki kemampuan untuk memilah mana yang baik dan buruk. Seseorang bukannya akan dengan sengaja membuat orang lain menderita. Ia justru akan merasa bahwa tindakannya baik dan luhur ketika tindakan itu sesungguhnya membuat orang lain menderita. Di dalam diri manusia itu, tak ada kemampuan untuk merasakan apa yang diderita orang lain (Mangunwijaya, 1999b).
Dalam catatan-catatannya, Romo Mangun berpikir bahwa hati nurani akan dibentuk oleh pendidikan. Pendidikan yang baik akan mengarahkan nurani seseorang menjadi sensitif. Sebaliknya, pendidikan yang keliru akan membuat nurani seseorang tak berfungsi. Ia kehilangan orientasi mengenai benar/salah dan, karenanya, berbuat sesuatu yang menindas sambil di saat yang sama merayakannya sebagai tindakan yang luhur. Walau tak eksplisit, Romo Mangun melihat bahwa negara punya kepentingan besar dalam menentukan bagaimana masyarakatnya dididik dan dibentuk. Belanda dan Jepang, misalnya, menggunakan pendidikan untuk melanggengkan fasisme. Di lain sisi, ia juga melihat bahwa nurani masyarakat merupakan arena pertarungan. Cara negara membentuk masyarakatnya tak harus diterima. Alternatif bisa dibuat. Sepanjang hidupnya, Romo Mangun pun berusaha untuk menciptakan cara mendidik yang menurutnya lebih manusiawi (Mangunwijaya, 1999a, 1999e).
***
Romo Mangun banyak menulis tentang nasionalisme Indonesia ketika Suharto berkuasa. Ketika itu, ia melihat nasionalisme Indonesia mengalami pendangkalan. Ia menyebutnya sebagai “nasionalisme sempit” atau “nasionalisme dangkal”. Secara sederhana, Romo Mangun melihat nasionalisme dangkal sebagai nasionalisme yang berpijak di atas semangat “right or wrong it’s my country”. Nasionalisme dangkal adalah nasionalisme yang meletakkan negara di atas rakyatnya. Negara menjadi ukuran benar/salah. Sebuah tindakan diukur berdasarkan seberapa jauh tindakan itu melindungi, memperkuat, atau membuat negara menjadi jaya. Bagi Romo Mangun, bentuk nasionalisme semacam ini bukan hanya berubah dari bentuk sebelumnya, tetapi juga keliru.
Bagi Romo Mangun (1999a, 1995b, 1999f), “right or wrong it’s my country” harus diganti dengan “right or wrong is right or wrong”. Bagi Romo Mangun, ukuran kebenaran adalah seberapa besar sebuah tindakan berhasil mengangkat manusia dari penderitaan yang dihadapinya. Nasionalisme dangkal praktis menghapus ide ini. Nasionalisme dangkal mengganti keharusan untuk membela manusia menjadi keharusan untuk membela negara—termasuk apabila tindakan negara telah membuat manusia menderita. Di dalam nasionalisme dangkal, satu-satunya hal yang harus dibela adalah kepentingan negara. Di hadapan kepentingan ini, segalanya harus disishkan—termasuk kemanusiaan. Di titik ini, nasionalisme dangkal sebetulnya telah mematikan nurani manusia. Tindakan manusia dilakukan berdasarkan imajinasi tentang kejayaan negara dan bukan lagi keharusan untuk membela yang lemah dan tersisih. Lebih jauh, karena seseorang merasa bahwa kepentingan negaranya-lah yang paling utama, seseorang akan melihat bangsanya lebih tinggi di atas bangsa-bangsa lain. Dalam sebuah catatannya, Romo Mangun sempat mengkritisi reaksi publik Indonesia ketika Uskup Belo dari Timor Leste memperoleh anugerah Nobel Perdamaian. Anugerah itu dipandang sebagai penghinaan “asing” terhadap Indonesia. Bagi Romo Mangun, reaksi itu justru merefleksikan betapa tak sanggupnya nurani manusia Indonesia untuk melihat, memahami, dan merasakan apa yang telah diderita rakyat Timor Leste selama masa pendudukan.
Mengganti “right or wrong it’s my country” dengan “right or wrong is right or wrong” berarti mengembalikan kedudukan manusia sebagai ukuran tindakan. Benar tidaknya tindakan harus diukur berdasarkan apakah tindakan itu berhasil membebaskan manusia. Ditinjau dari posisi ini, melawan negara bukan hanya diperkenankan, tetapi juga harus dilakukan ketika kita menyaksikan manusia dilukai olehnya. Manusia juga jadi memiliki kewajiban untuk melindungi sesamanya tanpa mempedulikan batas-batas negara. Persatuan di antara manusia, dengan kata lain, dibangun di atas kemampuan mereka untuk ikut merasakan penderitaan dan melindungi satu sama lain. Persatuan bukanlah sesuatu yang secara abstrak diajarkan lewat ruang kelas. Persatuan, ringkasnya, adalah soal solidaritas (1995a, 1999c, 1999d).
Bagi Romo Mangun, nasionalisme Indonesia semula tak menyimpan spirit nasionalisme dangkal. Kemerdekaan Indonesia, bagi Romo Mangun, direbut bukan karena Indonesia merasa diri mereka superior di atas bangsa-bangsa lain. Perang Kemerdekaan dilakukan bukan untuk melawan penjajah, melainkan penjajahan itu sendiri. Perang Kemerdekaan dilakukan untuk menghapus ‘exploitation de l’homme par l’homme’. Perang Kemerdekaan adalah sebuah gerak ganda. Di satu sisi, rakyat Indonesia berada dalam keadaan yang tak manusiawi di bawah penjajahan. Perang Kemerdekaan dilakukan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari keadaan ini. Hal ini dilakukan dengan menghabisi kapasitas penjajah untuk menjajah. Di lain sisi, Perang Kemerdekaan juga berusaha untuk memulihkan nurani penjajah sehingga penjajah tak memiliki kehendak untuk mengeksploitasi rakyat Indonesia demi kepentingan mereka sendiri. Tanpa memiliki kehendak untuk menindas, penjajah tak akan menindas walau mereka memiliki kapasitas untuk melakukannya. Jauh dari nasionalisme dangkal, bagi Romo Mangun, nasionalisme Indonesia di masa-masa kemerdekaan dipenuhi dengan semangat humanisasi. Nasionalisme Indonesia berniat untuk membebaskan semua pihak dari kondisi yang tak manusiawi. Nasionalisme Indonesia tak berniat untuk membalik keadaan, dari semula sebagai pihak yang tertindas menjadi pihak yang menindas. Nasionalisme Indonesia menyimpan misi untuk menciptakan kesetaraan dalam bentuknya yang radikal, dimana tak ada satu pun manusia mengeksploitasi manusia lain. Karenanya, nasionalisme Indonesia mengharuskan orang-orang yang meyakininya untuk mengambil tindakan demi melindungi sesama manusia dari penderitaan yang timbul dari eksploitasi alih-alih menundukkan dirinya di hadapan negara. Konsekuensinya: semakin nasionalis seseorang, semakin ia memiliki kemampuan untuk bersolidaritas dengan orang-orang yang paling lemah, paling marjinal, dan paling tersisih—entah di sebelah rumahnya maupun di belahan bumi yang lain (1999f, 1999g).
***
Dalam karyanya, The Darker Nations, Prashad (2007) memotret bagaimana nasionalisme di dunia ketiga berubah setelah 1960an-1970an. Semula, nasionalisme dunia ketiga—termasuk Indonesia—dipenuhi dengan semangat anti-imperialisme. Dunia ketiga membangun solidaritas yang begitu kuat di antara mereka sambil memperjuangkan dunia yang lebih adil, egaliter, dan demokratis. Konferensi Asia Afrika (KAA) serta Gerakan Non-Blok (GNB) menjadi tanda betapa majunya politik negara Dunia Ketiga saat itu. Walau demikian, kondisi internal negara-negara dunia ketiga sebetulnya dipenuhi ketegangan. Kelas borjuis—yang dalam berbagai kasus menjadi pemimpin gerakan nasionalisme—bersitegang dengan kelas proletar, terutama tentang bagaimana negara mesti diatur. Namun, kondisi rakyat yang sangat terorganisasi di negara-negara itu membuat kelas borjuis tak memiliki banyak ruang. Intervensi AS di berbagai negara pada tahun 1960-an sampai 1970-an—yang diikuti dengan aliran modal ke dalam negara-negara itu—mengubah konfigurasi politik di dalam negara. Organisasi rakyat terpukul. Dominasi kelas borjuis—dengan kepentingannya untuk mengakumulasi kapital—bukan hanya mengubah arah politik luar negeri Dunia Ketiga, tetapi juga mengubah nasionalisme negara-negara itu. Negara Dunia Ketiga memerlukan narasi nasionalisme yang lebih kondusif bagi akumulasi kapital; sebuah nasionalisme yang memungkinkan massa untuk bekerja keras bagi negara; sebuah nasionalisme yang lebih sempit dan dangkal alih-alih nasionalisme yang menuntut keadilan, politik anti-imperialisme, dan kesetaraan.
Hal inilah yang, menurut saya, sebetulnya dipotret oleh tulisan-tulisan Romo Mangun tentang nasionalisme. Romo Mangun, seperti yang telah dibahas, melihat bagaimana nasionalisme Indonesia berubah begitu drastis. Nasionalisme yang semula dipenuhi dengan kehendak untuk menciptakan solidaritas, kesetaraan, keadilan, dan kehormatan bagi manusia berubah menjadi nasionalisme yang sempit, tak peka terhadap ketimpangan dan penderitaan sesama manusia, xenofobik, dan, bahkan, menyimpan tendensi imperialistik. Tentu ada pengecualian-pengecualian. Tetapi, setidaknya bagi Romo Mangun, ada tanda yang kuat bahwa nasionalisme Indonesia telah mengalami pendangkalan.
Tujuh belas tahun setelah wafat, pemikiran Romo Mangun di atas masih mengusik dengan pertanyaan penting: apa artinya menjadi Indonesia? Romo Mangun sudah memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Di tengah retorika nasionalisme yang menguat hari ini, jawaban Romo Mangun memberi kita bantuan yang lebih dari cukup untuk mengambil posisi.***
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol UGM
* Versi yang lebih formal dari tulisan pernah dipresentasikan dalam diskusi panel Bandung Conference and Beyond, UGM, 8-9 April 2015 dengan judul “The Cosmopolitanism of Y.B. Mangunwijaya”.
Daftar Pustaka
Mangunwijaya, Y. B ‘Memasuki era Globalisasi’, Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein (Yogyakarta: Kanisius, 1999f)
Mangunwijaya, Y. B ‘Realitas Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein’, Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein (Yogyakarta: Kanisius, 1999g)
Mangunwijaya, Y. B ‘Right or Wrong’, Gerundelan Orang Republik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) Mangunwijaya, Y. B, ‘Patriot’, Gerundelan Orang Republik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995a)
Mangunwijaya, Y. B., ‘Integrasi and Disintegrasi Bangsa dan Sastra’, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999c)
Mangunwijaya, Y. B., ‘Novel Saya dan Lakon Wayang, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999h)
Mangunwijaya, Y. B., ‘Pengakuan Seorang Amatir, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999e)
Mangunwijaya, Y. B., ‘Sastra dan Bentuk Hidup’, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999d)
Mangunwijaya, Y. B., ‘Sastrawan Hati Nurani’, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999a)
Mangunwijaya, Y.B., ‘Patriot’, Gerundelan Orang Republik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995b).
Mangunwijaya, Y.B., Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 1999b).
Prashad, Vijay.The Darker Nations. (London: The NewPress: 2007).
———–
[1] Romo Mangun tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa hanya hati nurani-lah yang menyusun manusia. Di luar hati nurani, manusia juga memiliki akal yang menggunakan logika untuk menemukan, misalnya, kebenaran saintifik. Namun, dalam hal memahami sesama manusia, Romo Mangun nampaknya berpikir bahwa manusia lebih bertumpu pada hati nurani.