TIDAK lama setelah Bung Karno meninggal, saya terima surat dari seorang teman. Teman ini sangat marah kepada si Pemimpin Besar Revolusi. Ia ikut aktif dalam penghancuran terhadap Demokrasi Terpimpin, karena merasa kedua-duanya otoriter, merusak ekonomi Indonesia, melaratkan orang kecil, dan memberi angin kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Didalam surat itu dia cerita betapa dia heran, ketika jenazah Bung Karno dibawa secara khidmat sepanjang jalan-jalan raya di Jakarta, mendadak dia mulai nangis tersedu-sedan. Dan teman ini tidak bisa menjelaskan mengapa air mata membasahi pipinya.Tetapi saya sendiri menduga bahwa sebenarnya dia cinta sama Bung Karno dan sekaligus sangat kecewa dengan kesalahan-kesalahannya.
Sekarang, setelah lebih dari 30 tahun, sangat mungkin bahwa tidak ada orang lagi yang marah pada Bung Karno, karena kemarahan itu sudah terberai di bawah ombak-ombak raksasa kemarahan-kemarahan yang lebih baru dan lebih sengit. Tetapi cinta itu tak pernah padam. Cuman kadang-kadang berobah menjadi pemujaan, seolah-olah Bung Karno adalah semacam dewa atau raja besar, bukan seorang manusia biasa yang juga luar biasa. Dengan demikian, sebagian dari pikirannya yang masih segar dan tepat pada situasi ketika dicetuskan, lama-lama memfosil menjadi “wejangan” yang dikira kebal terhadap Sang Batara Kala.
Dalam hal ini pikiran-pikiran Bung Karno mengalami nasib yang mirip pemfosilan tertentu terhadap pikiran-pikiran perintis Islam moderen di Indonesia, Kyai Haji Dahlan; perintis revolusi Marxis sedunia, Vladimir Lenin; perintis pengglobalisasian agama Nasrani, Santo Paulus; dan banyak lain. Untuk bangsa Indonesia yang sedang dalam krisis besar seperti sekarang ini, rasanya segala macam fosil (pikiran yang sudah membatu) justru berbahaya. Juga cinta yang bau kemenyan.
Kalau Bung Karno bukanlah titisan dewa, toh harus diakui bahwa lelakonnya banyak dibentuk oleh Dewi Sejarah, yang nama jalanannya Si Andai. Seandainya Bung Karno lahir pada tahun 1881, bukan pada tahun 1901, tak mungkin dia mendapat pendidikan HBS yang terbaik di Hindia Belanda. Tak mungkin lulus dari ITB cetakan pertama, dan tipis kemungkinan menjadi Presiden pada tahun 1945, karena sudah berusia 64 tahun, yang untuk orang Indonesia pada masa itu, terhitung tua banget.
Dengan lahir pada tahun 1901, dia juga beruntung sekali menjadi ahli waris perintis-perintis besar gerakan-gerakan pembebasan di Asia dan di Timur Tengah: José Rizal, pahlawan dan martir nasional Filipina lahir pada tahun 1861, dan dieksekusi penjajah Spanyol 5 tahun sebelum Bung Karno sempat melihat dunia kita. Sun Yat-sen, tokoh besar nasionalisme Tionghoa, lahir pada tahun 1866, dan meninggal dua tahun sebelum PNI dibentuk. Mahatma Gandhi lahir pada tahun 1869, dan sudah terkenal di seluruh dunia ketika Bung Karno masih bocah ingusan. Malahan Kemal Pasha (Ataturk), yang lahir pada tahun 1881, menjadi Presiden Negara Nasional Turki ketika Bung Karno masih senang-senang di bangku HBS.
Dan dia baru empat tahun umurnya ketika Jepang menjadi negara Asia pertama yang bisa mengalahkan bangsa Eropa (Rusia dalam kasus ini) di medan peperangan. Bung Karno mengagumi tokoh-tokoh ini, belajar dari perjuangannya, dan dengan demikian merasa bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia harus menjadi satu bagian dari gerakan emansipasi dari seluruh dunia jajahan. Disitu tertanam suatu kesadaran global yang belakangan berbunga dalam bentuk Konferensi Bandung dan gagasan New Emerging Forces (Nefos).
Si Andai masih punya peranan lain lagi yang perlu disebut. Kebetulan, revolusi Marxis pertama meletus di St. Petersburg ketika Bung Karno masih sweet sixteen, usia mana biasanya penuh idealisme, dinamisme, dan romantika. Dan sampai tua, Bung Karno masih suka bicara tentang romantika revolusi, suatu bahasa yang lain sekali dari bahasa angkatan Marxis muda bangsanya Aidit, Lukman, Nyoto, dan Sudisman, yang menjadi dewasa ketika gerakan orang Bolshevik 1917 sudah lama memfosil di bawah kediktaturan kejam Josef Stalin. Menjadi Marxis pada tahun 1920an belum berarti menjadi anggota aparat tertentu, tetapi hanya bersedia diilhami uraian jitu Karl Marx dan Vladimir Lenin tentang kapitalisme and imperialisme global, dan ikut bergerak di lapangan politik yang praktis.
Dalam hal ini, Bung Karno sama sekali tidak sendirian. Hampir seluruh angkatannya dipengaruhi visi Marxis dalam batas berbeda-beda. Untuk angkatan ini, sosialisme mirip mata hari yang sedang naik megah jauh nun di ufuk Alam. Seandainya dia lahir pada tahun 1881, mungkin sekali tidak demikian. Dan kalau di 1921, yah, ketika dia dewasa sosialisme bukan lagi impian umum, tetapi menjelang menjadi monopoli politik kubu-kubu tertentu.
Dan kebetulan lagi Bung Karno lahir sebagai anak dari seorang priyayi kecil Jawa dan seorang putri dari Pulau Dewata (yang baru saja ditaklukkan keseluruhannya oleh imperialis Belanda). Pada masa itu, pribumi campuran macam ini cukup jarang, apalagi di kalangan terdidik. Tokoh-tokoh lain dari angkatannya hampir semuanya Padang tulen, Jawa totok, Sunda turun-temurun, dan sebagainya. Mungkin hanyalah kelompok Tionghoa peranakan sudah bisa menjadi orang campuran dengan kebudayaan campurnya.
Bisa diduga bahwa sebagian karena pola keluarganya, Bung Karno bisa cepat melepaskan diri dari segala sukuisme yang picik, dan memeluk gagasan nasionalisme yang luas. Tetapi, mungkin juga, asal campurannya membuka matanya kepada perlunya perkembangan sehat kebudayaan-kebudayaan dan swasembadanya para daerah di kepulauan raksasa yang namanya Indonesia.
Kebetulan satu lagi juga penting. Adalah ironis bahwa perkawinan yang melahirkan Bung Karno sekarang ini, kalau tidak mustahil menurut Undang-Undang Perkawinan, toh cukup angel. Jadi munculnya Bung Karno di dunia yang fana ini dimungkinkan oleh keadaan dimana sinkretisme masih biasa di Nusantara dan belum ada dinding angker-tebal antara kelompok-kelompok. Salah satu tanda sinkretisme yang mendalam itu ialah bahwa pemberontakan PKI terhadap Belanda pada tahun 1926-27 terjadi di dua daerah, Sumatra Barat dan Banten, yang terkenal kuat Islamnya.
Jadi, bukan saja pikiran-pikiran Bung Karno berwarna sinkretis, tetapi untuk sementara warna itu juga mencerminkan sebagian besar kebudayaan-kebudayaan pribumi. Betapa pentingnya corak masyarakat Nusantara ketika itu untuk mungkinnya karir politiknya Bung Karno bisa dilihat kalau dibandingkan dengan nasibnya Mahatma Gandhi dan nasionalismenya India Raya. Boleh dikatakan, secara gampangan, bahwa Islam masuk India Raya dengan pedangnya penyerbu-penyerbu dari Afghanistan, dan dari abad ke-13 sampai pertengahan abad ke-19, raja-raja penting dan kelas penguasa sebagian besar berasal dari minoritas Islam, sedangkan mayoritas rakyatnya beragama Hindu. Tetapi imperialis Inggris akhirnya menghapuskan dinasti Mughal yang Islam, dan berangsur-angsur mendirikan sistem politik baru berdasarkan hak pungut suara dalam pemilihan. Dengan sendirinya perobahan-perobahan itu menimbulkan kemarahan di kalangan mantan-penguasa Islam yang takut akan jatuh menjadi minoritas tanpa privilese-privilese. Dari situ timbul ketegangan-ketegangan sosial yang makin menjadi, sehingga akhirnya India Raya terpaksa pecah menjadi dua negara yang terpisah, India Kecil dan Pakistan, bukan tanpa pembunuhan massal antara kaum Muslimin dan kaum Hindu. Gandhi sendiri, walaupun Hindu tulen, punya pikiran luas dan berusaha keras untuk mencegah malapetaka ini; dengan akibat bahwa dia sendiri dibunuh oleh seorang teroris fanatik yang menganggap tokoh besar itu sudah mengkhianati umat Hindu.
Di Indonesia, sebaliknya, Islam masuk berangsur-angsur dan pada umumnya secara damai melalui para pendakwah partikelir dan pedagang maritim. Berangsur- angsur juga kerajaan Hindu-Budha hilang atau mengubah diri menjadi Islam; dan lembaga-lembaga resmi agama lama lenyap. Toh dalam proses yang memakai beberapa abad ini, sinkretisme sangat menyolok. Kepercayaan-kepercayaan animis dan Hindu-Budha tetap hidup kuat, seperti dibuktikan oleh popularitas cerita Mahabharata dan Ramayana, bukan hanya di Jawa, Sunda, dan Madura tetapi juga di semenanjung Melayu. Dengan demikian, tidak ada dinding agama antara penguasa dan rakyat. Diponegoro bisa memakai simbol baik Islamiyah maupun kejawen untuk mendirikan bolonya. Pada abad ke-19, mungkin hanyalah di Sumatra Barat terjadi peperangan dahsyat (Perang Paderi) berdasarkan afiliasi agama.
Dengan demikian, Bung Karno, paling sedikit pada masa mudanya, bisa meneruskan politik sinkretisnya, yang terbuka untuk semua unsur agama, tanpa menghadapi nasibnya si Mahatma. Sampai Bung Karno tutup usianya, Republik Indonesia tetap utuh.
Toh lama-lama Indonesia masa mudanya tak bisa luput dari perobahan-perobahan yang berangsur-angsur menggerogoti sinkretisme lama itu. Dan pengotakan makin menjadi-jadi. Misionaris, baik Muslim maupun Nasrani, berusaha untuk menghapuskan apa saja yang dianggap takhayul sisa zaman purba yang primitif. Pendidikan negara sekuler yang makin meluas juga makin memojoki pemandangan-pemandangan lama. Makin melek huruf masyarakat makin terbaca tulisan-tulisan yang menjunjung patokan standar dan internasional.
Kyai terpaksa mundur menghadapi jurnalis dan intelektual berhaluan Islam modern yang bersih takhayul. Orang Marxis condong mau membersihkan diri dari manusia tipenya Haji Misbach, Semaun dan Tan Malaka, dan mengikuti garis internasional versi Moskow atawa Peking. Dan pada jamannya Babe (baca: Soeharto) setiap orang Indonesia harus punya agama yang berkitab (standar), dengan kepercayaan yang sinkretis terpukul ke luar gelanggang resmi.
Bung Karno berusaha membendung de-sinkretisasi yang mendasar ini dengan sekuat tenaganya, tetapi tidak selalu secara bijaksana. Akibat Darul Islamnya Sekarmadji Kartosoewirjo, Peristiwa Tjikini, macetnya Konstituante, dan juga PRRI, dia makin curiga kepada sebagian Muslim modernis, tanpa cukup membedakan antara yang moderat dan yang berkepala batu. Justru NU yang sinkretislah yang disenanginya. Larangan terhadap Masyumi (sebagai keseluruhan), ternyata beleid yang gegabah yang sia-sia dan berakibat buruk jangka panjang. Pun terhadap PKI, dia hati-hati terhadap standardisasi. Tan Malaka, momoknya PKI Aidit, dijadikan Pahlawan Nasional. Dan pada akhirnya terasa sekali bahwa Bung Karno paling suka kepada Nyoto, yang dianggapnya tokoh PKI yang paling luwes dan sinkretis. Menurut kabar angin, Bung Karno ingin supaya Nyoto (yang ketika itu mengalami banyak masalah intra-partai) mendirikan partai marxis (sinkretis-nasionalis) di luar PKI-standar. Tapi akhirnya semua usaha ini gagal, dalam malapetaka 1965-66 yang mengingatkan kita pada malapetaka yang dialami Gandhi duapuluh tahun sebelumnya.
Bagaimanapun juga harus diingat bahwa, walaupun Bung Karno menjadi ahli waris sinkretisme lama dan asli, dia juga seorang politikus moderen, sehingga dalam tangannya sinkretisme mendapat bentuk baru, yang tidak sesinkretis leluhurnya. Gejala ini sudah terlihat jelas dalam karangannya yang terkenal dan hebat: Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Dari judulnya saja, apalagi isinya, nampak sekali bahwa paling sedikit Islam dan Marxisme dianggap sebagai kotak, atau mukim yang berdinding. Islam yah Islamlah tanpa variasi lokal, Marxisme yah Marxismelah, juga tanpa variasi lokal. Sampai batas tertentu, nasionalisme juga kena, karena baik Islam maupun Marxisme di Indonesia tak terlepas dari gerakan-gerakan Islam dan Marxis di dunia internasional. Jadi pengkotakan ini harus diatasi dengan sangat sadar dan berkepala dingin: sinkretisme terencana daripada sinkretisme alamiah. Dan alat untuk mengatasinya ialah nasionalisme yang mendalam dan meluas. Marhaenisme, saya menduga, bahwa tidaklah kebetulan kalau bunyi-mula kata ini sama dengan bunyi-awal Marxisme disebut, yakni sebagai Marxisme yang diterapkan kepada kondisi khas Indonesia. Ketika ide-ide ini dicetuskan, waktunya sangat tepat: PKI berantakan akibat pemberontakannya yang gagal, dan Sarekat Islam yang pernah raksasa sudah sekarat, dengan diganti oleh macam-macam organisasi Islam yang lebih kecil dan sering bersaingan.
Dalam usaha yang besar itu, Bung Karno juga beruntung dari karunianya Si Andai.
Pada tahun 1930an, Presiden Manuel Quezon mengeluh bahwa pada 150 kilometer ke utara ibukota Manila, dia memerlukan penerjemah untuk bicara dengan rakyat setempat yang berbahasa Ilokano. Pada puncak kekuasaannya, pidato-pidatonya Ketua Mao Tse-tung di radio toh tidak dimengerti oleh mayoritas rakyat RRT, karena dia memakai bahasa Mandarin (dialek Peking dan sekitarnya) dengan logat Hunan yang tebal. Hal yang sama berlaku untuk Mahatma Gandhi.
Tapi di Hindia Belanda situasi bahasa sangat lain. Pada abad ke 17 dan 18 Jan Kumpeni terlalu pelit, dan pada abad ke-19 Negeri Belanda terlalu miskin, kecil, dan tak penting, untuk memaksakan bahasa Belanda di Nusantara, seperti bahasa Inggris dipaksakan ke India Raya dan bahasa Perancis kepada Senegal dan Pantai Gading. Karena itu, dari dulu kaum penjajah memakai bahasa Melayu blasteran sebagai bahasa administratif di seluruh daerah kekuasaannya. Dan pada akhir abad ke-19, bahasa campur aduk ini makin dibikin standar demi keperluan pendidikan modern untuk pribumi yang mulai didirikan. Sementara itu semacam Melayu pasaran berkembang dengan pesat di dunia pers, dipelopori oleh kaum Indo dan kaum Tionghoa peranakan (yang sebenarnya menjadi perintis kesusasteraan Indonesia modern). Walaupun ada koran dan majalah yang memakai beberapa bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa, pada ketika Bung Karno lulus HBS, bahasa Melayu sedang mutlak menang baik di aparat administratif maupun di pasar bebas. Lebih bagus, dan lebih kebetulan lagi, bahasa pemenang ini bukanlah milik suku besar apapun di Nusantara. Sehingga gampang menjadi bahasa yang betul-betul nasional (paling sedikit kalau peranan Mbahnya si Jan Kumpeni dilupakan). Kebetulan juga, di antara bakatnya Bung Karno, tidak ada yang lebih khas dari bakat berpidatonya. Dengan demikian dia memakai hadiah Dewi Sejarah dengan sekuat tenaganya untuk menyebarkan bahasa nasional ini ke seluruh penjuru angin; dan sekaligus, dengan kata-kata yang manis, merangsang, lucu, dan mengharukan, mengajak para pribumi untuk mengubah diri dan kesadarannya menjadi anggota bangsa Indonesia yang baru itu. Dengan suaranya yang merdu-berat itu, Bung Karno menunjukkan cintanya pada sesama orang Indonesia (bukan sumber alam tanah leluhurnya) dan sekaligus mengajak mereka untuk mencintainya sebagai pemimpin dan wakil aspirasi mereka. Karena suara itu bisa didengar pun oleh mayoritas pribumi yang belum melek huruf, solidaritas nasional makin menjadi luas dan kukuh. Mungkin bisa dikatakan bahwa Bung Karno adalah pemimpin paling cocok untuk zaman radio.
Pada kedua dasawarsa antara apa yang biasanya bule sebut sebagai Perang Dunia Pertama dan Kedua, di Asia Selatan dan Asia Tenggara nampak sekali ada perbedaan penting antara beleid imperialis berbahasa Inggris dan yang berbahasa Perancis dan Belanda. Di Filipinanya Paman Sam, sistem demokrasi oligarkis dengan munculnya pemimpin hasil pemilu terbatas mulai ada sejak tahun 1900an. Sistem ini berkembang terus, sehingga pada tahun 1930an sudah ada presiden Indo, dan kemerdekaan dijanjikan untuk tahun 1945.
Di India Raya, yang sampai pertengahan tahun 1930an masih mencakupi Birma, pemilihan-pemilihan sudah melembaga, dan unsur-unsur demokrasi sudah tertanam. Setelah Birma dipisahkan dari India Raya (1937), tiga tokoh pribumi berganti-gantian menjadi perdana menteri sebelum balatentara Jepang masuk. Walaupun kemerdekaan tidak dijanjikan London, toh arus ke sana sudah terasa.
Sebaliknya di Hindia Belanda dan Indocina Perancis, sama sekali tak ada pemilihan yang berarti, dan kedua-duanya malahan menjadi negara intel-intelan, dimana kemungkinan kemerdekaan kelak kemudian tidak masuk di akal sang penjajah. Dengan demikian, kedua kawasan menjadi tanah yang subur untuk ide revolusi dan aktivitas di luar hukum kolonial, dan juga di bawah tanah.
Seandainya politik Belanda lain, atau seandainya orang Inggris menjajahi Nusantara, bagaimana kira-kira karir dan ide-ide Bung Karno? Sulit dibayangkan bahwa dia tak merasa terpaksa ikut pemilihan-pemilihan umum, menjadi anggota parlemen, dan mungkin sekali menjadi perdana menteri, mirip U Saw di Birma. Walaupun sementara di bawah naungannya seorang Gubernur-Jendral. Buktinya, peranannya pada masa Jepang yang tak terlalu jauh dari peranannya Jose Laurel, Sr. di Filipina, dan Dr. Ba Maw di Birma. Tapi Belanda yah Belanda, dan mungkin karena itu seumur hidup Bung Karno secara pribadi tak pernah ikut langsung pemilihan umum dengan bersaing dengan tokoh-tokoh lain di kalangan pribumi.
Penyerbuan Jepang memusnahkan imperialisme Belanda dalam waktu hanya beberapa minggu. Tiga setengah tahun lagi imperialis Jepang dengan mendadak menyerah tanpa syarat akibat bom atom yang dijatuhkan di kota-kota malang Hiroshima dan Nagasaki. Belanda, yang barusan bebas dari cengkeraman Nazi Jerman, tak mampu langsung kembali ke takhtanya di Nusantara, sehingga meletus Revolusi Indonesia yang historis itu. Dari situ lama-lama timbul kemungkinan Bung Karno menganggap diri Pemimpin Besar Revolusi: — Berkat perjuangan rakyat Indonesia, tetapi juga berkat kebetulannya kejadian-kejadian yang menggemparkan pada bulan Maret 1942, dan awal Agustus 1945.
Yang menarik dalam perkara ini adalah sikap dan beleid Bung Karno pada masa Revolusi itu. Diketahui bahwa setiap kabinet antara 1945 sampai 1949 — baik yang didominasi oleh golongan sosialis marxis maupun yang didominasi oleh golongan Islam moderen dan PNI mengambil jalan Diplomasi dengan Belanda, walaupun beleid ini ditentang oleh golongan yang ketika itu masuk blok oposisi. Dan Presiden Bung Karno? Dia bekerja sama dengan hampir semua golongan dan juga terus-menerus menyokong jalan diplomasi ini. Kalau membaca pidato-pidatonya di koran-koran pada masa Revolusi itu, yang pada umumnya tidak dimasukkan ke Di Bawah Bendera Revolusi, kita bisa melihat bahwa selain mengobarkan nasionalisme Indonesia, dia berusaha untuk menenangkan pergolakan massa tukang-tukang permogokan, kelompok-kelompok pro revolusi sosial, badan-badan perjuangan yang berkepala batu dan lainnya. Malahan pada Peristiwa Madiun, dia mengutuk PKI baru bikinan Muso, yang jauh lebih kiri dari golongan-golongan kirinya Amir Sjarifuddin, Setiadjit, Maruto Darusman, cs sebelumnya, dan sepenuh-penuhnya menyokong beleid kabinet Hatta dan Nasution untuk menumpasnya.
Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949, sepengetahuan saya, dia tak pernah mengucapkan penyesalan atas eksekusi perdana menteri R.I. yang kedua dan kawan-kawannya. Begitulah, padahal Bung Karno terkenal sebagai orang yang tidak suka pembunuhan dan kekerasan-kekerasan lain.
Dalam tingkah lakunya Bung Karno selama Revolusi seperti digambarkan di atas, nampak sekali persetujuannya dengan sikap umum tokoh-tokoh nasionalis moderat. Mereka yakin bahwa TNI tidak bisa mengalahkan tentara Belanda di medan peperangan. Dan kalau ini berlaku untuk Jawa dan Sumatera, lebih lagi berlaku untuk Indonesia Timur. Jadi Indonesia baru akan mencapai kemerdekaan dengan diplomasi (tentunya dengan TNI dan badan-badan perjuangan sebagai kartu kuat dalam diplomasi itu). Mereka juga ingin supaya Indonesia Merdeka menjadi ahli waris sepenuhnya dari Hindia Belanda, dari Sabang sampai ke Merauke, bukan hanya Jawa-Sumatera-Bali saja.
Dan Indonesia Timur? Perlu diingat bahwa sedikit sekalilah tokoh-tokoh nasional yang kenal daerah yang sangat luas ini dengan dekat. Bung Karno sendiri pernah dibuang ke Flores, tetapi belum pernah ke Kalimantan, Timor, Sulawesi, Maluku, dan Lombok. Hatta dan Syahrir ditahan di Banda dan Tanah Tinggi, tetapi selain itu kekuperan mereka sama dengan kekuperan Bung Karno. Mereka tidak tahu sampai kemana nasionalisme Indonesia berkobar di Indonesia Timur, kecuali di Sulawesi Selatan dimana orang-orang Bugis dan Makasar melawan pendudukan Belanda dengan senjata dan banyak mengalami korban di tangan Westerling. Nah, kalau Belanda tak mungkin diusir dari Indonesia Timur, dan Indonesia Timur harus masuk Republik Indonesia Merdeka, tak ada jalan lain kecuali jalan perundingan. Sikap ini menunjukkan realismenya Bung Karno, disamping retorika yang romantis itu. (Salah satu sebab mengapa setelah 1950 isu Irian Barat/Papua Barat begitu penting di mata dia, ialah karena merasa beleid diplomasi itu akhirnya sebagian gagal, akibat akal-akalan Belanda dan grup tertentu di Washington.).
Perhitungan Bung Karno dan tokoh-tokoh nasional lain juga berdasarkan fakta bahwa setelah Perang Dunia ke-II, Amerika Serikat nongol sebagai negara yang paling kuat dan kaya di atas bumi manusia. Sampai kemenangan Ketua Mao pada tahun 1949, tak ada kekuatan apa-apa di Asia yang secara serius bisa bertandingan dengannya. Apalagi untuk negara berkepulauan seperti Indonesia, angkatan laut dan angkatan udara Amerika sama sekali dominan. Uni Soviet jauh lebih lemah dan letaknya sangat jauh. Jadi sokongan Washingtonlah yang harus dicari bukan permusuhannya. Mungkin sekali bahwa perhitungan ini menjadi salah satu faktor kunci yang membuat Bung Karno menjadi penyokong beleid menghancurkan PKInya Muso, yang seolah-olah nongol dengan mendadak di Indonesia sebagai utusan Moskow.
Menarik, dalam perkara ini, untuk membandingkan Bung Karno dengan seorang tokoh nasionalis besar lain di Asia Tenggara, yang memproklamirkan kemerdekaan bangsanya hampir pada waktu yang sama dengan Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56: Ho Chi Minh. Sebagai seorang revolusioner kawakan dan serius, selain patriot, Paman Ho mencoba menjalankan sekaligus perang kemerdekaan dan satu revolusi dalam negeri.
Karena tahu bahwa yang kedua akan dibenci oleh Amerika, dia akhirnya berafiliasi dengan Uni Sovyet dan RRT. Revolusi itu toh jalan, tetapi bangsa dan negaranya pecah menjadi dua, dan baru bisa bersatu lagi 31 tahun belakangan, setelah dia sendiri sudah wafat, dan setelah pengorbanan orang-orang Vietnam yang mahabesar, dan sekaligus mengerikan dan mengagumkan.
Pada tahun 1950-51, Bung Karno sudah berumur 50 tahun. Mungkin masa itu adalah puncak sebenarnya dari karir politiknya. Dia dihormati dan dicintai sebagai pemimpin yang bijaksana dan terbuka, dan sebagai seorang pejuang untuk bangsanya sejak masa mudanya. Tujuh tahun setelah itu dia nyaris dibunuh secara mengerikan dalam Peristiwa Tjikini, oleh segerombolan kecil bangsanya sendiri. Menyusullah banyak usaha lain untuk membunuhnya, dan akhirnya dia didongkel dari jabatannya dan kekuasaannya oleh segerombolan lain bangsa dhewe. Nampaknya pada akhir tahun 1950an, dia mulai juga dibenci. Apa pasalnya?
Memang, manusia seolah-olah ditakdirkan akan kekurangan ide baru dan kesegaran/keluwesan pikiran dalam proses menua. Bung Karno tak terkecuali. Dalam 19 tahun terakhir kekuasaannya, dia banyak mencipta semboyan baru dan gagasan baru, tetapi hampir semuanya bisa dikatakan reformulasi dari pikiran-pikiran masa mudanya. Kutipan-kutipan dari karangan tokoh-tokoh politik dan intelektual internasional masih menghias pidatonya, tetapi kutipan ini bisa dibaca juga dalam pidato-pidato dan karangan-karangannya dari masa 20 tahun sebelumnya. Bung Karno rupanya tak ada waktu lagi (dan mungkin tak ada interest) untuk baca lagi. Dan apakah dia pernah baca buku-buku Pramoedya Ananta Toer atau puisinya Chairil Anwar? Sementara dunia dan pikiran manusia selalu berobah terus.
Bisa diduga bahwa lama-lama dia juga ditelan oleh jabatannya. Dalam album historis yang berjudul Lukisan Revolusi, terdapat banyak foto Bung Karno yang memilukan. Setelannya selalu neces tetapi sederhana, dan tidak jauh dari pakaian menteri-menterinya (walaupun mereka juga kadang-kadang masih memakai celana pendek). Ketika itu dia benar-benar pemimpin revolusi kemerdekaan. Foto-foto ini jauh berbeda dari figur publik Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin. Di era itu, ia biasanya nampak dalam setelan perlente setengah berbau jendral, dengan selusin medali di atas dadanya, dan kacamata hitam yang besar pada mukanya, pun pada senja hari. Sehingga menjadi sasaran mudah untuk karikaturis-karikaturis jahil di luar negeri yang menyamaratakannya dengan jendral-jenderal reaksioner pimpinan kup di Amerika Latin. Mirip juga Marsekal Tito, dan jauh sekali dari Paman Ho. Ketika itu dia sudah menjadi Pemimpin Besar Revolusi.
Menjadi Presiden — jabatan yang tanpa preseden dalam sejarah Indonesia, apalagi tradisi kuat mengenai kewenangannya. Bung Karno sendiri tak ada pengalaman yang betul-betul mempersiapkannya. Sama sekali tidak ada pengalaman administratif. Tak pernah berpengalaman sebagai anggota badan legislatif. Dan bersentuhan dengan kehidupan anggota organisasi politik, seperti partai, serikat buruh, badan perjuangan, dan lain-lainnya cuman sepintas lalu. Mungkin juga dia tidak punya bakat atau perhatian untuk aktivitas-aktivitas semacam ini, yang pada umumnya di dunia modern menjadi latar belakang dan pengalaman seorang Presiden. Karena ini semua, jabatan Presiden di Indonesia pada semulanya tidak punya fungsi dan batas yang jelas dan yang diterima semua orang warganegara.
Apalagi karena jeleknya Undang-undang Dasar 1945 yang dibikin secara bergegas-gegas di bawah pengawasan kediktaturan militer Jepang, dan dalam beberapa aspek dipengaruhi oleh konstitusi Tiongkok masa Sun Yat-sen/Tjiang Kai-sjek. Ini semuanya membuka kesempatan untuk satu sinkretisme yang lama-lama berbahaya. Fungsi kepala negara – setaraf dengan Ratu Elisabeth dicampuradukkan secara gampangan dengan fungsi pemimpin atau tokoh nasional setaraf dengan Winston Churchill atau Mahathir bin Muhammad. Dengan demikian, kewibawaan sering dikacaukan dengan kekuasaan, dan lama-lama yang kedua melebihi yang pertama. Apa yang tidak boleh untuk Kepala Negara boleh saja untuk Bapak Bangsa.
Dan pada bagian terakhir dari masa jabatannya terasa juga bahwa pengaruh samar-samar dari tradisi kerajaan-kerajaan Jawa membesar. Bukan hanya dengan makin bertambah upacara-upacara negara yang megah-megahan. Seorang raja adalah manusia unik sebagai penerima wahyu dari Tuhan/Dewa. Sama sekali bukan primus inter pares. Dan kalau wahyu tetap bersamanya, si raja dengan sendirinya akan menjadi raja seumur hidup. Pada zaman revolusi, Bung Karno masih disayangi sebagai primus inter pares. Tetapi lama-lama kebanyakan kawan seperjuangan dan seangkatan disisihkannya atau menyisihkan diri. Dan, malangnya, pada akhirnya dia sampai bersedia diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup 100 persen di luar UUD 1945. Dengan demikian mungkin lonceng masa jayanya sudah berbunyi, karena seorang presiden seumur hidup tidak bisa diganti kecuali oleh Malaikat Jibril atau kekerasan manusia.
Dua kejadian kecil tetapi menarik menunjukkan keruwetan yang bisa timbul kalau Kepala Negara, Pemimpin Bangsa, dan Maharaja saling melebur. Pertama: Karena merasa diri sebagai bagian dari arus emansipasi manusia, tokoh-tokoh pergerakan angkatannya Bung Karno pada umumnya menjunjung tinggi (paling sedikit di depan umum) prinsip monogami, sebagai komitmen untuk meningkatkan martabat dan hak-hak kaum wanita sebangsa. Prinsip ini juga berlaku untuk sebagian besar politisi Muslim. Rasanya kalau seorang aktivis tahun 1930an mendengar ramalan bahwa kemudian hari Bung Karno akan beristeri empat, dia tidak akan percaya, malahan akan merasa tersinggung. Sebagai Presiden, Bung Karno meninggalkan norma lama ini, dan menjadi tokoh penting pertama yang berbuat begitu. Memang beristeri empat boleh menurut tradisi Islam, tetapi Bung Karno bukan seorang santri, dan di masyarakat umum, perkawinan-perkawinan ini diterapkan kepada tradisi poligami tanpa batas pada raja-raja. Ada yang mengutuk, ada yang senyum, ada juga yang masa bodo.
Kedua, dan ini pengalaman saya sendiri, pada tahun 1963, karena berbagai faktor termasuk panen yang gagal, kelaparan menjalar sebuas-buasnya di Jawa Tengah. Saya sendiri sering lihat orang mati atau setengah mati geleparan di trotoar jalan-jalan kota. Kepada bencana ini, Bung Karno menjawab dalam salah satu pidatonya, dengan mengajak orang-orang untuk makan tikus sawah — enak koq dan banyak zat baiknya. Ajakan ini diterima dengan sinis: tidak ada yang yakin bahwa tikus sawah sering masuk menu makanan di Istana Negara. Ketika itu, saya teringat pada ucapan Ratu Marie Antoinette di Perancis, sebentar sebelum Revolusi Perancis meletus. Ketika ada laporan bahwa rakyat sangat menderita karena harga roti melejit tinggi di atas kemampuan finansialnya, Sang Ratu menjawab dengan keluguan khas putri pingit bangsawan: Lho, kalau begitu kenapa mereka tidak makan kue lapis saja? Terasa Bung Karno sudah jauh dari kehidupan sehari-hari rakyat jelata.
Dan nasionalismenya Bung Karno? Rasanya tidak ada seorangpun yang akan menyangkal bahwa nasionalismenya Bung Karno mendalam, kuat, dan berapi-api. Tetapi nasionalismepun tidak luput dari Batara Kala dan keadaan yang berobah tanpa berhenti. Pada masa mudanya Bung Karno, sebagian besar manusia di Nusantara masih hidup dalam permukiman desa/kampung tradisional. Sebagian yang sama besarnya masih buta huruf, dan dibesarkan oleh kebudayaan lisan yang lokal. Jarang seorang Kalimantan Timur akan punya teman seorang Aceh, apalagi kawin dengan saudaranya. Jadi tujuan utama dakwahan nasionalis pada masa itu adalah untuk menyadarkan orang, dari Sabang sampai ke Merauke, bahwa mereka adalah orang Indonesia.Tanpa kesadaran itu, dan pergerakan nasional yang timbul karenanya, penjajahan Belanda tidak bisa dihantam sampai habis. Puluhan pemberontakan lokal selama periode 1825-1910 semua dihancurkan oleh kekuatan bersenjata Belanda (dimana cukup banyak orang pribumi punya andil). Tanpa kesadaran itu, birokrasi kolonial (yang personilnya pada tahun 1930an 90 persen pribumi) akan tetap patuh-utuh. Bung Karno mengerti masalah itu, dan berjuang sekuat tenaganya untuk menyebarkan kasadaran nasional, yang landasannya adalah persatuan bangsa. Orang-orang sadar akan bisa mengatasi semua prasangka dan kepicikan yang diwariskan kepadanya.
Orang Batak yah Indonesia, orang Hindu Bali yah Indonesia, orang Kaharingan yah Indonesia, orang Tionghoa yah Indonesia, dan orang Jawa pun harus sama. Perlu diperhatikan bahwa nasionalisme ini berupa suatu komitmen dalam tindakan, bukan cuman identitas baru. Umpamanya, justeru karena Batak Protestan dan Padang Islam jauh berbeda dan secara tradisional malahan kadang-kadang bermusuhan, sekarang harus ada komitmen oleh seorang nasionalis Padang untuk memperlakukan orang Batak Protestan sama dengan sesama Padang. Dan, tentu, sebaliknya.
Perjuangan Bung Karno dan angkatannya berhasil secara gemilang. Budi Utomo yang terlalu berbau Jawa lama-lama habis. Jong Java, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond (yang sebenarnya bisa dijulukkan Jong Minangkabau) hilang atau meleburkan diri dalam Indonesia Muda. Organisasi politik yang bersifat suku tak pernah hidup subur di bawah pengawasan Bendera Merah-Putih-Biru.
Tetapi bagaimana setelah Indonesia menjadi anggota PBB, dan imperialisme Belanda sudah kapok? Dengan habisnya beban dan ancaman Belanda ini, orang Indonesia bisa membuat aturan rumah tangga sendiri dan saling menghadapi pada setiap tingkat masyarakat. Dengan meminjam dari kata-kata Bung Hatta, di samping persatuan juga ada persatean. Tentu saja masalah ini tak luput dari perhatian Bung Karno, apalagi karena negara baru ini langsung mengalami beberapa pemberontakan di daerah yang hampir semuanya dipimpin oleh orang-orang yang dulu ikut pergerakan nasional atau Revolusi.
Yang menarik adalah cara-cara yang dipakai Bung Karno untuk mengatasi problem pasca-kemerdekaan ini, yang menurut hemat saya, lebih berlandaskan pengalaman lama dan interpretasinya terhadap peranan-ganda diri sendiri, daripada refleksi yang mendalam terhadap situasi baru. Cara-cara ini bisa secara gampangan dibagi tiga.
Yang pertama adalah menekankan perlunya nasionalisme persatuan bangsa gaya lama untuk menghadapi bahaya dari luar: Belanda, Inggris, Amerika dan, dalam taraf lebih kecil, Malaysia. Bahwa bahaya macam ini, dalam batas tertentu, dan dalam kasus-kasus tertentu memang ada, tak tersangkal. Tetapi kalau DI dan RMS dikatakan cuman boneka Belanda, dan PRRI-Permesta cuman bonekanya Inggris dan Amerika, itu berarti menutup mata terhadap ketidakpuasan-ketidakpuasan kongkrit kelompok-kelompok besar dari bangsa Indonesia terhadap beleid pemerintahnya. Ikut pemberontakan bersenjata bukan suatu keputusan yang enteng, karena tentunya penuh risiko yang berat. Dan kalau pemberontak-pemberontak tertentu memang menerima senjata dan latihan dari orang asing, hal yang sama berlaku untuk pusat. Ribuan perwira angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, dan polisi dilatih di luar negeri,
Dan persenjataan dan alat-alat perang hampir semuanya didatangkan dari AS, US, dan lainnya. Terlalu cepat mengecap lawan politik sebagai pengkhianat atau boneka bukan hanya membuat penyelesaian yang baik lebih sulit, tetapi juga, sebenarnya, mengurangi meluasnya nasionalisme. Tidak lagi semua orang Indonesia menjadi orang Indonesia. Persatean, memang.
Yang kedua dan ketiga sebenarnya bertalian secara semu. Pada tahun 1950an, paling sedikit sebelum Peristiwa Tjikini, Bung Karno rajin mengunjungi daerah-daerah yang sebelum itu belum dilihatnya dengan mata sendiri. Jadi langsung merasakan majemuknya dia punya bangsa. Lagipula dia tahu betul bahwa di negaranya tidak ada mayoritas apapun, dari sudut suku, ideologi, ibu-bahasa, ataupun komitmen agama. (Hasil pemilu 1955 membuktikan realitas itu). Timbullah masalah konkrit yang ruwet: Bhinneka dicocokkan dengan Eka bagaimana, tanpa merusak kedua-duanya?
Logika realistis dan perkembangan-perkembangan di negara-negara lain yang besar dan sangat majemuk seharusnya meyakinkan Bung Karno bahwa sebaiknya Indonesia Merdeka menjadi negara federal. Amerika Serikat dari tanggal kelahirannya, Brasil setelah penghapusan monarki pada akhir abad ke-19, Nigeria setelah horor perang Biafra, Jerman pada masa demokrasi Weimar dan setelah hancur di Perang Dunia ke-II, India Kecil (yang masih raksasa) setelah merdeka, Yugoslavia pada masa kuasanya si Marsekal yang gendut dan lihai itu. Seandainya Bung Karno hidup sampai masa kini, dia akan lihat Spanyol menjadi negara federal, Rusia juga sampai batas tertentu. Sri Lanka mengarah ke situ, malahan Perancis yang tradisi sentralismenya kuat sekali terpaksa membuka jalan untuk otonominya pulau Korsika. Hanya di RRT gagasan federal ditolak mutlak, dengan masalah di Tibet, Sinjiang, dan Taiwan yang sulit diselesaikan dengan baik.
Bentuknya federalisme ada macam-macam. Komponen-komponennya bisa disadarkan atas dasar tradisi administratif melulu tanpa menghiraukan masalah suku dan agama. Pola ini diwakili dengan baik oleh Amerika Serikat. Dalam hal ini Arizona pada prinsipnya mirip Nusa Tenggara Barat, dan Texas Sumatera Timur. Bisa juga di atas konsentrasi permukiman-permukiman suku, bahasa dan agama seperti di Nigeria (mirip Sumatra Barat dan Bali). Bisa juga, seperti di India Kecil suatu kombinasi antara kedua prinsipnya.
Bagusnya sistem federal ialah bahwa konflik-konflik dalam negeri, yang kadang-kadang sangat sengit, tidak dipaksa selesai, pada tingkat pusat/nasional dengan kemenangan mutlak salah satu blok. Sistem federal dus membantu meredakan ketegangan-ketegangan, kecemasan-kecemasan, dan suasana pejah gesang. India, yang sejak Partition yang berlumuran darah itu di 1947-48, cukup stabil, tak pernah mengalami kup atau pemberontakan yang sangat serius. Bertahun-tahun orang Komunis memerintah negara bagian Kerala dan Bengal; orang-orang setengah fasis lama dominan di Bombay; setiap sukubangsa yang besar punya negara bagian sendiri dengan otonomi yang berarti untuk mengurus rumah tangga sendiri. Sistem ini menjadi berakar di bawah pimpinan berkaliber internasional Jawaharlal Nehru, yang juga aktif memimpin Partai Kongres yang besar dan mencakupi banyak kepentingan. Birokrasi nasional yang kuat, warisan imperialisme Inggris, juga menjadi faktor kestabilan.
Dan Bung Karno? Dia menolak segala macam federalisme dan aktif ikut menghancurkan Negara Indonesia Serikat yang didirikan setelah Konperensi Meja Bundar. Tentunya tidak tanpa alasan (jangka pendek). Selama periode 1946-49, Belanda mendirikan banyak negera-negara federal (yang sering diketuai oleh pemimpin feodal setempat, atau orang yang kolaborator) untuk mengimbangi Republik Yogya, dan, kalau bisa, menghancurkannya. Karena itu, kata federalisme bernuansa jelek di kuping banyak orang Indonesia, dan sebagian besar pemimpin nasional alergi terhadapnya. Sayang sebenarnya.
Seperti dikatakan di atas, sebagian besar pemberontakan pasca-1950 dipimpin oleh tokoh-tokoh yang dulu ikut pergerakan nasional dan Revolusi. Diantaranya hanya Republik Maluku Selatanlah yang bersifat separatis. Seandainya suatu sistem federal yang masuk akal sehat diterapkan secara sungguh-sungguh, mungkin sekali kebanyakan pemberontakan ini tak perlu jadi. Bukan itu saja, kita bisa membayangkan PKI memerintah di negara bagian Jawa Tengah, Masyumi di Sumatera Barat, Parkindo di Tapanuli Utara, NU di Jawa Timur, Partai Katolik di Flores, PNI di Bali, dan Partai Aceh di Aceh – dengan kesempatan untuk belajar bertanggungjawab dan juga menunjukkan ke negara bagian lain di Indonesia kira-kira bagaimana masyarakat akan maju di bawah naungannya. Tapi supaya sistem federal macam ini berhasil, harus ada pungutan suara yang bebas setiap tiga atau empat tahun; dan otonomi negara bagian harus dijamin sepenuhnya di Undang-Undang Dasar. Juga supaya Si Eka sama kuat dengan Si Bhinneka, — sebaiknya diusahakan pembentukan partai besar dan majemuk (a la Partai Konggres) yang langsung dipimpin sehari-hari oleh si Bapa Bangsa.
Seandainya Bung Karno bersedia memimpin PNI secara langsung dan turba berpartisipasi dalam pemilihan umum 1955, bisa diduga dia akan menarik mayoritas suara. (Putrinya saja bisa mendapat sepertiga koq). Tetapi Bung Karno memutuskan lain. Walaupun dibelakang layar dia menyokong dan memakai PNI pada tahun 1950an, dia tidak mau terikat ketat oleh organisasi atau lembaga apapun juga. Dia ingin menjadi pemimpin besar seluruh rakyat Indonesia bukan hanya mayoritasnya. Padahal ini satu impian saja. Dan Dewi Sejarah cukup membuktikannya pada kemudian hari. Dari sudut tertentu boleh dikatakan bahwa dengan demikian Bung Karno mengelak sebagian tanggung-jawab seorang pemimpin besar.
Tetapi dan ini cara ketiga – di lain pihak Bung Karno berusaha dengan caranya sendiri supaya beberapa fungsi federalisme berjalan, khususnya dalam hal keamanan minoritas-minoritas yang relatif kecil. Tanpa prasangka rasial, dia mencoba memberi tempat yang sewajarnya kepada orang-orang Tionghoa dalam lembaga-lembaga politik sampai tingkat menteri; dia merestui dan membela Baperki yang ingin supaya orang Tionghoa diterima sebagai sukubangsa biasa di antara sekian sukubangsa di Indonesia. Minoritas Hindu-Bali, Protestan, Katolik dan Kepercayaan juga dilindungi dan dikasih angin. Tetapi justeru itu masalahnya: Mereka harus dilindungi, tidak punya hak langgeng sendiri. Mereka harus bergantung kepada Yang Paduka Mulia. Artinya dilindungi bukan oleh hukum atau UUD, tetapi oleh pribadinya Bung Karno yang bagaimanapun pada suatu hari akan dipanggil oleh Penciptanya. Lantas akan dilindungi apa dan siapa selanjutnya?
Mengapa begitu? Tentu saja banyak faktor main peranan termasuk alergi terhadap federalisme akibat beleid Belanda, dan pengaburan fungsi-fungsi kepala negara-pemimpin besar-maharaja. Tapi mungkin yang paling dasar ialah bahwa dia telah menjadi korban dari masa lalunya yang gemilang itu. Setelah merdeka Indonesia memerlukan kepemimpinan baru dan nasionalisme gaya baru. Mungkin justru suksesnya pada zaman lalu menjadikan Bung Karno melupakan hal itu.
Pola yang sama bisa dilihat dari sikapnya Bung Karno terhadap revolusi. Dalam kondisi penjajahan Belanda, dan dengan konsep-konsep Lenin yang dipegangnya yaitu bahwa negara-negara jajahan justru menjadi anak rantai yang lemah dalam sistem imperialisme global, konsep revolusi bisa diartikan sebagai: rakyat bersatu untuk menghancurkan penjajahan Belanda dalam kerangka emansipasi bangsa Asia-Afrika malahan dunia seluruhnya. Yang disebut Revolusi Indonesia ada keberhasilan besar dalam kerangka ini. Karena itu, pada tahun 1950 Bung Hatta mengatakan bahwa revolusi [nasional] sudah selesai. Tetapi Bung Karno tidak demikian. Dia sangat bangga atas Revolusi Indonesia dan tak ingin revolusi masuk kotak sejarah di Indonesia.
Lantas apa? Warisan Lenin dari masa kecilnya mendorongnya untuk bergerak menyumbang kepada pergerakan emansipasi di seluruh dunia. Tapi tanpa pedoman yang kukuh dan konsisten. Untuk suatu waktu dia menjadi tokoh terkenal dari grup netral-bebas di antara blok Amerika dan blok US-RRT. Dus di tengah negara-negara kontrarevolusioner dan revolusioner. Kawannya memang pada zaman penjajahan menjadi orang berani. Tetapi selanjutnya? Nasser dan Nkrumah membikin kediktaturan berkultus individu yang gila-gilaan, menteror lawannya dan akhirnya masing-masing mati putus asa dan jatuh untuk selamanya. U Nu juga bikin kultus individu, memporandakan ekonomi dan sistem politik di Birma dan akhirnya digulingkan tentara. Kegagalan Marsekal Tito sudah bisa diduga sebelum dia wafat, padahal dia satu-satunya tokoh yang pernah revolusioner dalam arti sepenuhnya.
Setelah itu Bung Karno mengeluarkan konsep Nefos melawan Oldefos dan poros Pyong Yang-Peking-Hanoi-Pnomh Penh-Jakarta. Yang pertama menjadi cucu Lenin, tetapi karena dunia sudah lain, tak banyak digubris. Yang kedua tak ada hubungan dengan Lenin dan menunjukkan bahwa dunia global masa muda Bung Karno sudah menciut ke batas Asia Timur dan Tenggara. Juga tanpa hasil yang nyata: Asia Timur Raya tanpa Jepang? Merasa sudah menjadi seorang tokoh internasional (benar), Bung Karno meyakinkan diri bahwa Indonesia bisa menjadi pemain revolusioner pada tingkat internasional juga (salah). Menghadapi raksasa Jepang, RRT, Eropa, Amerika, dan Uni Soviet — daripada Belanda yang cilik itu ternyata bangsa Indonesia yang miskin dan Negara Indonesia yang kekuatan bersenjatanya bergantungan kepada negara-negara asing tidak bisa banyak berkutik. Sementara itu, Jose Ramos Horta dan kawan-kawannya di Timor Timur, yang menaruh banyak harapan atas bantuan Bung Karno untuk mendirikan negara merdeka lepas dari cengkeraman kedikaturan setengah fasis Antonio Salazar tak diperhatikan.
Revolusi dalam negeri? Untuk Bung Karno ide ini pada dasarnya rada sulit. Revolusi macam itu tak pernah terjadi tanpa pertumpahan darah antara sesama bangsa, karena berarti dijatuhkan kelas penguasa oleh orang bawah, dan usaha-usaha kearah itu akan selalu menghadapi perlawanan sengit. Revolusi Besar Inggris pada abad ke17, Revolusi Besar Perancis pada abad ke-18, Revolusi Besar di Rusia Lama dan di Tiongkok pada abad ke-20: korban-korban di kedua belah pihak sulit terhitung jumlahnya. Perang saudara macam ini, rasanya, justru bertentangan dengan nasionalisme sinkretis Bung Karno, apalagi keperi-kemanusiaannya.
Tidak bisa dikatakan bahwa Bung Karno tidak berbuat apa-apa untuk merombak struktur sosial-ekonomi masyarakat. Tetapi pada umumnya usaha ini gagal, diantaranya karena kurang bijaksananya presiden sendiri, dan akhirnya justru menjadi bumerang. Menasionalisasikan semua perusahaan Belanda pada akhir tahun 1957, ketika Indonesia sudah berada di bawah SOB, selain dilaksanakan dengan gegabah dan tanpa perencanaan yang memadai, berakibat bahwa sektor ekonomi yang paling maju mau tidak mau jatuh ke tangan angkatan darat. Kemudian sarekat-sarekat buruh di sektor ini dilumpuhkan oleh majikan-majikan baru; perusahaan-perusahaan nasional biasanya salah urus sehingga produktivitasnya jatuh seperti batu yang dilemparkan ke dalam air, belum terhitung penjarahan diam-diam terhadap aset-asetnya oleh banyak perwira yang tidak beres. Bencana ekonomi Indonesia tahun 1960an, sebenarnya mulai pada Desember 1957. Tapi seandainya program nasionalisasi dikerjakan berangsur-angsur dan terencana pada jaman demokrasi liberal, apakah efeknya akan begituan?
Undang-undang Agraria dan Bagi Hasil cetakan tahun 1960-61 punya target yang baik: menghapuskan tuan-tuan tanah, membagi-bagi tanah lebih kepada buruh tani, dan memaksakan pembagian hasil panen yang fair antara pemilik dan penyewa tanah. Tetapi tanah-tanah lungguh, sisa zaman feodal, yang sangat luas dikecualikan; juga tanah-tanah milik lembaga agama. Cukup banyak orang yang punya tanah lebih memindahkannya ke lembaga waqaf ini (sering mereka sendiri menjadi anggota pengurusnya), dan di tengah krisis agraria yang berat sekali, identifikasi tanah luas dengan lembaga agama (baik Islam maupun Kristen dan Hindu-Bali) menjadi-jadi secara berbahaya. Waktu penetapan undang-undang ini juga kurang diperhatikan.
Ketika itu inflasi melejit di luar kontrol pemerintah, dan harga uang rupiah menurun dari minggu ke minggu; orang-orang tak percaya lagi kepadanya dan melarikan diri ke barang, diantaranya tanah. Gejala ini sangat menonjol di kalangan atas birokrasi, khsusnya di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria, Kejaksaan, Polisi, dan Tentara. Pada akhirnya timbul kampanye aksi sepihak PKI yang gagal, dan suasana tegang yang mencekam di dunia perdesaan. Pembantaian massal tahun 1965-66, dimana puluhan ribu orang sipil ikut menjadi algojo tidak bisa dijelaskan tanpa memikirkan akibat sosial, ekonomi, dan psikologis dari suatu reforma agraria yang dilaksanakan dalam keadaan dimana inflasi tak terkontrol lagi, dan SOB masih berlaku. Tetapi seandainya dicoba pada zaman parlementer yang relatif stabil, bagaimana?
Perlu juga digarisbawahi bahwa berkumandangnya retorika revolusioner yang berkobar-kobar tanpa beleid yang praktis, kongkrit dan berpandangan jauh untuk melaksanakannya, mirip tancap gas tanpa masuk persneling. Mesinnya jadi panas, mobil tidak jalan. Pada masa akhir Demokrasi Terpimpin, suasana makin panas di Indonesia, tetapi roda sedan merk Kemajuan apalagi merk Revolusi justru macet. Dan kontras yang menyolok ini berangsur-angsur menggerogoti kewibawaan Bung Karno. Untuk golongan yang prorevolusi timbul banyak frustrasi, dan di kalangan yang anti, momok revolusi itu makin menimbulkan kecemasan dan kemarahan. Apakah Bung Karno betul-betul mengerti situasi yang demikian? Pertanyaan yang sulit dijawab. Sulit juga untuk menghindari kesimpulan bahwa kalau Bung Karno menjadi seorang pemimpin besar pada masa Revolusi Kemerdekaan yang meletus dari bawah secara spontan di luar perhitungan elite Pergerakan, dia tidak bisa dikatakan seorang Pemimpan Besar Revolusi.
Dalam uraian yang kelewat panjang ini, diusahakan untuk mencoba mengerti Bung Karno sebagai makhluk masanya, sesuatu masa yang sudah lama lewat. Bukan untuk memuji-mujinya ataupun untuk memaki-makinya. Bapak Bangsa Indonesia sekarang kebal terhadap pujian dan makian manusia. Dia dibentuk oleh kelahirannya, pendidikannya, sejarah Hindia Belanda, dan sejarah dunia modern. Juga oleh pengalaman-pengalamannya di masa mudanya, baik yang menggembirakan maupun yang menyakitkan. Tetapi semua faktor-faktor ini pada akhirnya tidak bisa menjelaskan mengapa si lulusan HBS dan ITB kolonial memutuskan menjadi pejuang bangsa (pada ketika negara kolonial Belanda begitu kuat dan seolah-olah langgeng) daripada jadi seorang arsitek profesional yang tenang dan berada.
Setelah horor-horornya Orde Babibuta, mungkin terlalu mudah dikatakan bahwa bagaimanapun juga Bung Karno tak pernah disiksa, isterinya tak diperkosa, dan anak-anaknya tak diisolasikan dari masyarakat sebagai anak-anak haram politik. Barang miliknya juga tak dirampas. Toh dia dipantau, diancam, difitnah, ditertawakan, diadili di depan semacam Mahmilub kolonial, dan kehilangan kebebasannya selama hampir sepuluh tahun. Seandainya Jepang tidak mengalahkan Belanda, masa tahanan itu mungkin berlangsung sampai masa tuanya. Dia cinta pada bangsanya yang sangat majemuk yang dia sendiri ikut bentuk. Lebih dari setiap orang lain dari angkatannya, dia mampu menyebarluaskan kesadaran nasional dan cita-cita kemerdekaan sampai kepada rakyat gembel. Hubungan yang begitu erat dengan bangsanya, ditambah sekian bakat lainnya, berakibat bahwa, pada masa Proklamasi, tidak ada lain pribumi yang masuk di akal sebagai kepala negara yang pertama. Dia memang dicintai.
Sebagai pemimpin gerakan untuk mencapai kemerdekaan, dia berhasil secara gemilang. Tetapi sebagai pemimpin negara pasca-kemerdekaan, harus diakui, bahwa dalam banyak hal dia gagal. Demokrasi Terpimpinnya runtuh menjadi puing-puing dan dia sendiri mengakhiri usianya di tahanan. Dalam hal ini dia tidaklah unik. Banyak sekali pahlawan pergerakan kemerdekaan juga gagal ketika menjadi presiden atau perdana menteri setelah kemerdekaan tercapai: U Nu, Nasser, Sekou Toure, Nkrumah, Bandaranaike, Mugabe, Arafat, Kim Il Sung, Kaunda, dan sebagainya. Sun Yat-sen pun gagal. Kalau Gandhi tak dibunuh dan sempat menjadi Kepala Negara, apakah dia akan sukses? Belum tentu. Apakah Ho Chi Minh bisa membayangkan bahwa 33 tahun setelah matinya, Vietnam akan dinilai nomor satu atau nomor dua di dunia dalam korupsi yang menjalar kayak kanker? Tantangan periode ini lain lagi dari periode heroik sebelumnya. Dan dunia juga berobah dengan kecepatan yang membingungkan.
Dalam semua ini apakah ada pelajaran-pelajaran yang berguna untuk masa kini? Mungkin ada dua. Pertama: bahaya pemfosilan. Kalau ada yang benar dalam analisa di atas, bisa disimpulkan bahwa proses pemfosilan dalam kasus pikiran dan sikap Bung Karno sebenarnya mulai pada dirinya sendiri setelah Indonesia menjadi Merdeka dan dia menjadi presiden. Berangsur-angsur tentunya. Setelah wafatnya, pemfosilan ini malahan menjadi-jadi dalam suasana penuh bau kemenyan. Kesimpulan ini sama sekali tidak berarti bahwa secara total pandangan-pandangan dan nilai-nilai Bung Karno sudah usang; cuman berarti bahwa pikiran-pikiran itu perlu direnungkan dengan sikap yang kritis (bukan anti), dan berkesadaran historis atas jarak jauh antara masa kini dan masa Bung Karno. Borobudur, candi/stupa Budha yang terbesar dan mungkin terindah di dunia, kini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Tapi masyarakat Indonesia sekarang bukan masyarakat yang beragama Budha. Agama Borobudur, yang mendorong pencipta-penciptanya, tak banyak digubris lagi, tetapi kemegahan, kecantikannya, serta suasana khidmatnya masih merangsang.
Menilai karangan-karangannya Bung Karno sebagai Kitab Suci atau Wejangan Leluhur yang Keramat akan memustahilkan pikiran yang jitu dan mendalam terhadap masalah-masalah Indonesia sekarang ini: seperti keadilan sosial pada zaman globalisasi dan komputerisasi; federalisasi yang sehat supaya si Bhinneka dan Si Eka tak saling menerkam; alternatif kepada kebrutalan neoliberalisme, cengkeraman konglomerat-konglomerat transnasional dan nihilisme Hollywood; penghancuran terhadap alam; keamanan minoritas-minoritas; hak-hak manusia dan lebih lagi hak-hak warga negara Indonesia; pengeroposan total di bidang hukum, dan banyak lain. Terhadap sebagian besar masalah ini, tidak tertemu jawaban apa-apa dalam Wejangan Bung Karno. Masanya begitu lain.
Kedua: dari Bung Karno dan zamannya kita bisa menggali kembali bibit gagasan penting tentang nasionalisme, bukan sebagai warisan nenek moyang tetapi sebagai komitmen untuk masa sekarang dan masa depan. Memang dia sering bicara secara gampangan tentang 350 tahun penjajahan Belanda, walaupun sadar betul bahwa Aceh dan Bali Selatan dan sebagian Sulawesi Selatan belum ditaklukkan ketika dia lahir. Mungkin dengan kata-kata demikian dia ingin membuat pendengar-pendengar merasa malu, dan karena malunya itu lalu berbangkit. Dia juga mengetahui bahwa pun Kartini belum sempat merasa diri seorang manusia Indonesia ketika dia mati terlalu muda. Angkatan Bung Karnolah yang pertama yang membayangkan diri sebagai orang Indonesia.
Dus, menjadi orang Indonesia bukan suatu yang alamiah, tetapi sesuatu yang modern, yang memerlukan tekad, solidaritas, kerelaan berkorban, dan harapan. Khususnya harapan. Manusia Indonesia yang dibayangkan oleh orang-orang Pergerakan adalah manusia yang berdiri tegak, tidak bongkok dan tidak menginjak, terbuka, dinamis, inklusif, bernyali, dan berperikemanusiaan. Manusia macam ini bukan suatu makhluk alamiah, tetapi harus digemblengkan, saban haripun, oleh dia sendiri dan sesamanya. Itulah kiranya pelajaran dari Bung Karno yang paling penting yang masih tinggal segar untuk bangsanya. Dan optimisme yang tak terpatahkan, pun ditengah puing-puing.
Requiescat in pace, Bung Karno.***
Catatan Redaksi: Tulisan ini nongol secara bergerilya di internet pada tahun 2003. Pengarangnya adalah Ben Anderson, yang menulis langsung dalam bahasa Indonesia gaya tahun 1950an. Dia menyoroti pribadi yang sangat dikenal dan dikaguminya: Bung Karno. Ketika tulisan ini ditulis, Indonesia dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Tulisan ini menjadi catatan kritis Ben Anderson agar orang Indonesia tidak ‘memfosilkan ajaran-ajaran Bung Karno.’