Sumber foto: www.klikaktifis.com
Pendahuluan
Pelarangan dan pembubaran kegiatan diskusi Festival Belok Kiri bukan pertama kalinya terjadi. Peristiwa serupa telah berulangkali terjadi, dan sepertinya peristiwa-peristiwa pelarangan dan pembubaran diskusi tersebut masih akan terus terjadi. Berulangnya pembubaran diskusi yang dianggap beraroma kiri menunjukkan satu hal, bahwa komunisphobia masih menjalar kuat dalam kesadaran sejarah rakyat Indonesia yang disebabkan oleh propaganda anti komunisme Soeharto selama lima puluh tahun ini. Melalui propaganda anti komunisme orde baru, kiri, (khususnya komunisme) telah menjadi kata yang paling disalahpahami dan dicurigai.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk melawan propaganda anti komunisme Orde Baru. Di antaranya menerbitan buku sejarah komunisme di Indonesia dan wacana Marxisme, menyelenggarakan diskusi seputar sejarah peristiwa 65, memproduksi film (Jagal dan Senyap menjadi film yang paling banyak mendapat perhatian), rekonsiliasi akar rumput hingga digelarnya International Peoples’ Tribunal (IPT) 65 di Den Haag. Festival Belok Kiri sendiri merupakan bagian dari rangkaian panjang melawan propaganda anti komunisme Orde Baru. Kegiatan diskusi dan pameran tersebut telah menyita perhatian banyak pihak, tak hanya mengenai riuhnya berita pembubaran. Tapi juga memicu perdebatan di kalangan aktivis gerakan (kiri). Ada yang menganggap kegiatan tersebut sebagai kegenitan intelektual ke-kiri-kirian (dianggap tak sepenuhnya kiri/pseudo kiri), dan ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah kegiatan mubazir dan telah gagal sebelum dimulai.
Terlepas dari penilaian serampangan yang berseliweran, tak ada alasan bagi siapapun yang percaya dengan perjuangan demokrasi untuk tidak mengapresiasi Festival Belok Kiri. Karena tak bisa bagi siapapun menilai gagal dan berhasilnya sebuah perjuangan karena perjuangan tersebut menghadapi tantangan dan rintangan (atau menuai kekalahan). Justru karena adanya tantangan dan rintangan itulah perjuangan dimungkinkan. Bahkan, kalau boleh jujur, semua elemen demokrasi (tak hanya kiri) di negeri ini harusnya berani mencoba semua eksperimentasi perlawanan terhadap bangkitnya fasisme yang terus menebar kebencian dan anti demokrasi. Sayangnya itu tidak terjadi dan banyak aktivis yang lebih memilih untuk hanya berkeluh kesah dengan maraknya kebencian dan ketidakadilan, atau lebih senang menggerutu ketimbang berani melakukan sesuatu. Sibuk menyalahkan ketimbang menyumbang pikiran dan mengulurkan tangan.
Dari situlah, tulisan ini mencoba membaca persoalan yang tengah mengemuka ini dengan mengaitkan tiga hal sekaligus. Membaca bahaya fasisme bagi demokrasi, pentingnya pelurusan sejarah dan posisi penting gerakan kiri di Indonesia. Sebelum membahas mengenai pelurusan sejarah dan menunjukkan pentingnya gerakan kiri di Indonesia, perlu kiranya kita analisa terlebih dahulu beberapa hal mengenai bangkitnya fasisme. Mengapa fasisme begitu kuat, mengapa para aktivis pro demokrasi tak menganggap fasisme sebagai musuh bersama (setidaknya sejauh ini kita tak pernah melihat adanya perlawanan berarti terhadap semua aksi teror dan kekerasan kaum fasis), dan terakhir, mengapa Festival Belok Kiri dan berbagai diskusi yang berusaha melawan propaganda anti komunisme Soeharto mudah sekali digagalkan. Analisa ini penting untuk bisa diambil pelajaran berharga darinya.
/1/ Ancaman Fasisme
Apa yang seringkali diabaikan dalam membaca bangkitnya fasisme agama di Indonesia adalah peran penting Tentara Nasional Indonesia (TNI) di belakangnya. Bahkan hampir sebagian besar analisis mengenai fasisme agama selama ini tak ada yang menyinggung TNI di dalamnya. Seolah-olah TNI dan industri fasisme di negeri ini tak terkait satu dengan lainnya. Padahal, jika diamati dengan jeli, akan segera diketahui bahwa hampir semua kelompok agama dimanfaatkan oleh TNI, khususnya Islam, sebagai alat propaganda anti komunisme. Ada dua kelompok besar Islam yang dijadikan sebagai alat propaganda anti komunisme TNI, yaitu kelompok Islam garis keras semacam FPI, FUI, dan FAKI dan kelompok Islam tengah moderat semacam NU dan Muhammadiyah.
Jika di masa Orde Baru kelompok Islam (khususnya Islam garis keras) direpresi oleh rezim Soeharto keberadaannya, maka saat ini mereka justru disokong dan dimanfaatkan (atau bisa juga saling memanfaatkan) oleh sisa-sisa Orde Baru, yaitu TNI, aparatur negara korup, politisi hipokrit, dan borjuasi untuk memukul gerakan kiri. Ini bisa terjadi karena kemampuan mereka memanfaatkan momentum kebebasan dan demokrasi untuk mengkonstitusi gagasan dan melipatgandakan kekuatannya. Meski tidak ada data yang bisa dijadikan sebagai rujukan bersama, kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh mereka terhadap elemen pro demokrasi, khususnya gerakan kiri, menunjukkan eksistensinya.
Pertanyaannya kemudian, mengapa TNI memanfaatkan kelompok Islam? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, sudah bisa diduga, TNI tak menghendaki tiap upaya pelurusan sejarah Indonesia yang selama lima puluh tahun telah dimanipulasi Orde Baru diketahui kebenarannya oleh generasi muda Indonesia. Segala cara akan TNI tempuh untuk menghalang-halangi agar kebenaran tidak muncul ke permukaan. Jangan sampai aib, kekejian dan kejahatan Orde Baru dan para penyokongnya terkuak dan kemudian terbit kesadaran sejarah baru rakyat Indonesia. Karena itu tak heran, selama ini setiap upaya pelurusan dan pengungkapan sejarah akan diserang habis-habisan olehnya. Bahkan TNI gencar sekali mempropagandakan komunisme sebagai musuh negara dan agama dengan memanfaatkan sentimen umat Islam. Disinilah common interets antara TNI dan Islam garis keras yang berusaha memurnikan ajaran Islam Aswaja bertemu untuk menghancurkan gerakan kiri. TNI akan terus memproduksi kebohongan dan kebencian untuk menghalau semua politik emansipatoris kiri yang berpihak pada rakyat. Bahkan dalam hampir semua propaganda anti komunisme yang dilakukan oleh kelompok islam ada TNI dibelakangnya.
TNI terus berupaya memprovokasi kelompok Islam khususnya NU dan Muhammadiyah untuk ikut ambil bagian dalam memberangus gerakan kiri. Namun sepertinya upaya ini tak mudah karena NU dan Muhammadiyah, sebagai kelompok tengah, tak akan membiarkan dirinya terprovokasi untuk kedua kalinya sehingga akan melucuti posisi historisnya selama ini sebagai penjaga moderatisme Islam. Pada titik inilah NU dan Muhammadiyah benar-benar diuji konsistensinya. Moderatisme Islam ala NU dan Muhammadiyah tak akan mengizinkan dirinya untuk bersikap gegabah dengan mengambil opsi menjadi bagian dari agenda peneguhan Indonesia ala TNI. Meski pada batas tertentu, NU lebih sering terseret pada tafsir Indonesia ala TNI dibanding Muhammadiyah, setelah mangkatnya Gus Dur. Ini bisa dilihat dengan adanya buku putih yang diterbitkan oleh PBNU beberapa waktu lalu dan kegiatan halaqah atau seminar bertema ‘Sinyalemen Kebangkitan PKI’ yang di akukan bersama di beberapa pesantren (meski ada beberapa kiai yang menganggap kegiatan itu dilakukan oleh oknum saja).
Jadi, propaganda Orde Baru (baca: TNI) tentang bahaya laten komunisme yang anti agama memainkan peran penting dalam berhasil atau tidaknya provokasi terhadap kelompok Islam. Menariknya, terhadap kelompok Islam garis keras semacam FPI yang seringkali bertindak brutal dan berseberangan dengan NU dan Muhammadiyah, oleh TNI justru dilindungi. Karena bagi TNI, FPI dinilai jauh lebih efektif sebagai anjing pemukul gerakan kiri dan semua gerakan rakyat, ketimbang NU dan Muhammadiyah yang lebih terdidik dan terbuka pandangan islam dan politiknya. Dengan demikian kita tak heran, sebrutal apapun ormas semacam FPI, FAKI, sejauh mereka tak berupaya membangun negara Islam, TNI akan terus memanfaatkannya.
Kedua, adanya propaganda halus mengasosiasikan gerakan kiri (khususnya komunisme) dengan terorisme semacam ISIS. Cara pandang keliru ini tak hanya diidap oleh eksponen utama Orde Baru semacam TNI, melainkan juga intelektual yang selama ini mentahbiskan dirinya sebagai demokrat dan toleran. Para intelektual yang lebih layak disebut sebagai intelektual reaksioner atau fasis itu, beberapa berafilasi dengan NU dan Muhammadiyah. Meski mereka terdidik secara modern, namun karena minimnya pengetahuan—atau tidak mau tahu—mengenai Marxisme (dengan mengandaikan marxisme sebagai ide pejal) dan kebutuhan pragmatis untuk mendapatkan posisi strategis dalam ormas Islam besar, mereka tak sungkan-sungkan menebar fitnah gerakan kiri dan seluruh perjuangan rakyat dalam melawan ketidakadilan sebagai ancaman bagi NKRI. Para intelektual fasis ini juga ikut aktif dalam proyek bela negara.
Jadi, beberapa intelektual (Islam) yang selama ini dianggap sebagai penganjur demokrasi dan toleransi, diam-diam mengamini pembubaran tiap hal yang dianggap beraroma kiri. Intelektual semacam ini sangat alergi terhadap isu kiri, marxisme, dan peristiwa 65. Mereka akan menjadi sangat reaksioner jika membicarakan pemikiran dan gerakan kiri. Salah satu kerja teoritik yang tengah diembannya adalah melakukan pemurnian ajaran Islam Aswaja yang lebih akademis ketimbang FPI. Ini bisa dilihat dengan dipaksanya PMII untuk menjadi badan otonom di bawah PBNU dan menghapus materi pengkaderan yang dianggap beraroma kiri, seperti teologi pembebasan dalam materi Pengkaderan Dasar.
Sedemikian, fasisme sangat berbahaya bagi seluruh gerakan rakyat, di mana salah satu ciri umumnya adalah glorifikasi atas kemurnian, dan keotentikan sebuah identitas dengan membangun diferensiasi ontologis: aku murni dan di luar diriku tidak murni (atau mengancam kemurnian). Cara pandang inilah yang mempertemukan TNI, politisi hipokrit, birokrat korup dan bojuasi dengan fasisme agama untuk saling memanfaatkan satu dengan lainnya. Mereka mempunyai kebutuhan yang sama akan dahaga kemurnian. Ada rasa lack yang terus meminta segera dipenuhi yaitu otentisitas. Mereka sebisa mungkin membuktikan (meski sering terlihat lucu) bahwa Indonesia tak ada sangkut pautnya dengan Komunisme.
/2/ Pelurusan Sejarah
Di tengah ancaman gerombolan pendusta agama (fasisme agama) sebagaimana sudah kita ulas sebelumnya, tugas meluruskan sejarah dan menjernihkan ajaran Marxisme, perannya dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia tak bisa lagi ditunda-tunda.
Para fasis semacam kader HMI Jakarta yang hendak membubarkan Festival belok Kiri dengan berteriak-teriak hendak menyelamatkan Indonesia dari komunisme sembari menganjurkan berpegang teguh pada Sumpah Pemuda, sepertinya telah lupa atau jangan-jangan tak tahu bahwa salah seorang otak di balik Sumpah Pemuda adalah Amir Syarifudin, seorang Kristen taat dan komunis tulen yang sampai sekarang belum direhabilitasi namanya. Mereka lupa bahwa Sumpah Pemuda merupakan keberhasilan pembangunan kesadaran kelas pertama dalam sejarah Indonesia modern.
Adalah kekeliruan fatal melihat Sumpah Pemuda sebagai panggung politik identitas dan bukan sebagai politik kelas. Karena itu, justru gerakan kiri lah yang paling konsisten dan setia dengan politik kelas sebagai alat perjuangan bangsa terjajah yang wajib hukumnya melawan ketidakadilan dan penghisapan kolonialisme. Sumpah Pemuda bukanlah gerakan multikulturalisme à la liberal yang disuplai lembaga donor untuk mengalienasi tugas sejarah pemuda Indonesia sebagaimana selama ini, melainkan terbitnya kesadaran sebagai bangsa jajahan yang harus bersatu dan meraih kemerdekaan. Artinya, gerakan kiri menerima keragaman adat dan agama tapi tak mungkin menerima ketidakadilan dan penghisapan.
Mereka juga menuding seolah-olah komunisme mengajarkan kekerasan. Sebelum menjawabnya kita perlu bertanya pada mereka terlebih dahulu. Siapakah yang selama ini terbukti telah mempraktikkan kekerasan dengan membantai jutaan rakyat Indonesia di awal pembentukan rezim Orde Baru? Siapakah yang turut membunuh, memperkosa dan merampok aset-aset CGMI dan Baperki? Siapakah yang selama ini paling banyak mendapat remah-remah rezim Orde Baru? Semua rakyat sudah tahu siapa pelakunya. Hanya orang-orang picik dan hipokrit saja yang tak bisa menjawabnya.
Yang wajib diketahui oleh mereka adalah kaum komunis memiliki keberpihakan yang nyata terhadap kaum krama dan seluruh rakyat yang tertindas. Apa yang menjadi mimpi perjuangan kaum komunis hanyalah memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda. Mereka tak pernah takut terhadap ancaman pemerintah kolonial. Bagi kaum komunis, penangkapan, pemenjaraan, dan pembuangan adalah resiko perjuangan. Bahkan orang semacam Semaoen, yang ada dalam pikirannya hanyalah rakyat yang diperjuangkannya. Salah satu suratnya selama dalam pembuangan menunjukkan konsistensi perjuangannya:
Moga-mogalah tjita-tjita kita oentoek keselamatan persoedaraan doenia dan ra’jat bisa terjapai. Berat sekali ichtiar ra’jat tetapi dengan roekoen achirnya slamat semoea. Tentang nasibkoe djangan dipikir, sebab wadjib memikoel beban ini goena soedara ra’jat.[1]
Apa yang disampaikan Semaoen dalam suratnya mengingatkan kita pada nabi Muhammad yang menjelang meninggalnya yang diingat hanyalah umatnya. Kaum komunis seperti Semoaen, Haji Misbach dll. tak pernah memikirkan kondisi dirinya. Bahkan Haji Misbach meninggal dalam pembuangan di Manokwari, Papua. Mereka siap dengan segala resiko perjuangan. Apakah kaum fasis beragama, khususnya kader-kader HMI Jakarta, mengerti semua ini? Para fasis itu lupa, atau mungkin juga tidak tahu bahwa Soekarno menganggap PKI sebagai pelopor kekuatan revolusi, jika dibandingkan dengan Masyumi dan PSI. Bahkan ketika didesak untuk segera membubarkan PKI, Soekarno mengatakan, “kami membutuhkannya bagi pelaksanaan keadilan sosial dan masyarakat yang makmur”. Dalam pidatonya pada rapat raksasa ulang tahun ke 45 PKI, Soekarno terang-terangan mendukung dan berharap atas kemajuan PKI sebagai kekuatan utama revolusi Indonesia. Di hadapan ribuan kader dan simpatisan PKI ia menunjukkan rasa bangga dan cintanya terhadap PKI dengan mengatakan, “yo sanak yo kadang yen mati aku kelangan” (ya famili, ya saudara, kalau mati aku ikut kehilangan—pen). Bahkan dengan keras ia mengecam siapapun yang masih mengidap komunisphobia[2] dan ingin memberantasanya. Berikut kutipannya,
Terus terang sadja, terus terang sadja, di kalangan Nas ada jang Komunisto Phobi, di kalangan Agama ada jang Komunisto Phobi, di kalangan Angkatan Bersendjata dulu ada jang ber-Komunisto Phobi. Nah, ini penjakit Phobi ini hendak saja brantas saudara-saudara, hendak saja brantas (hlm. 12-13)
Bahkan Soekarno sendiri seorang Marxis tulen. Ia membangun Partai Nasionalis Indonesia tak lain hanyalah untuk memperjuangkan apa yang sudah dilakukan oleh partai komunis. Ia telah dengan berhasil mempribumisasikan Marxisme melalui konsep Marhaein untuk mengatakan proletar. Artinya, dengan ini Soekarno tak bisa dikatakan sebagai bukan Marxis. Bahkan Pancasila itu lahir karena ada Marxisme (bukan liberalisme).
Sedemikian, tak ada satu pun orang di negeri ini yang bisa menghapus fakta sejarah ini. Bahkan, mohon maaf, seandainya Mun’im DZ dan Taufiq Ismail berlipat ganda dan menulis ribuan jilid buku sejarah untuk membantahnya. Siapapun tak bisa memungkiri fakta sejarah bahwa komunisme telah menyumbang penting bagi perjuangan Indonesia. Bahkan partai komunislah yang pertama kali memakai nama Indonesia pada tahun 1920. Tan Malaka menerbitkan buku yang pertama kali memakai nama Indonesia pada tahun 1925. Jadi, terhadap semua upaya penghancuran gerakan kiri kita tak bisa melihatnya sebagai semata penghancuran gerakan kiri, melainkan penghancuran cita-cita perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Persis sebagaimana tindakan kontra revolusi dan pembantaian besar-besaran terhadap PKI dan kaum Soekarnois yang dilakukan oleh Soeharto di tahun 1965, tak bisa dilihat hanya sekedar menghabisi kaum komunis, melainkan penghancuran terhadap revolusi Indonesia menuju sosialisme. Dari sinilah selanjutnya akan saya tunjukkan posisi penting gerakan kiri di Indonesia hari ini yang siapapun tak bisa mengelak darinya.
Semoga saja kaum fasis bisa memahami dengan baik perintah berbuat adil yang dianjurkan al-Qur’an, ‘Wa’aqshitu innallaha yuhibbul muqsithin’ dan berbuat adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil (QS. Al-Hujurat/49: 9) dan hadis nabi ‘Ittaqu dzulma fainna dzulma dzulmatun yaum alqiyamah’. Takutlah berbuat zalim karena sesungguhnya kezaliman itu mendatangkan kegelapan-kegelapan di hari kiamat. Saat ini saya justru khawatir, jangan-jangan umat Islam yang memilih menjadi fasis semacam kader-kader HMI Jakarta, mulai tidak percaya dengan janji Allah dan hari kiamat. Bisa jadi mereka lebih takut pada seniornya yang sebagian besar fasis, politisi hipokrit dan birokrat predator, ketimbang pada Allah swt.
/3/ Gerakan Kiri dan Masa depan Indonesia
Penghancuran terhadap gerakan kiri merupakan kerugian terbesar bagi Indonesia. Sesaat setelah penghancuran PKI dan Soekarnois yang menjadi garda depan revolusi Indonesia oleh Soeharto pada 1965, modal asing kapitalisme merangsek masuk dan mengekstraksi sumber daya alam Indonesia melalui undang-undang penanaman modal asing. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing—BKPM, modal yang masuk ke Indonesia antara tahun 1967 hingga 1976 adalah sebagai berikut:
Sejak itu jalan sosialisme yang dicanangkan oleh para pejuang kemerdekaan diubah haluannya menuju kapitalisme dengan menerima ideologi pasar. Negara yang dulunya bercita-cita menjadi pelayan rakyat, hari ini menjadi pelayan perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Dengan itu membela negara, sebagaimana yang diglorifikasi oleh TNI, bohong belaka jika tanpa menyinggung sama sekali kapling-kapling korporasi internasional di Indonesia, tanpa pernah berupaya melakukan nasionalisasi aset-aset Indonesia. Bahkan hari ini Indonesia tengah menghadapi proses percepatan penghancuran yang tak bisa dibayangkan sebelumnya. Dalam rancangan mega proyek MP3EI—meski telah habis di masa SBY, bukan berarti tak dilanjutkan oleh Jokowi—setiap kepulauan Indonesia dibanjiri oleh rencana mega proyek yang berjalan serentak, cepat dan diliputi ketidakadilan (perampasan dan kekerasan). Jika dihitung keseluruhan, proyek MP3EI memiliki nilai investasi sebesar Rp 4.934,8 triliun, mencakup sekitar 4.632 proyek. Sejak diluncurkan 2011, sampai bulan Oktober 2013, investasi MP3EI yang telah ground breaking mencapai Rp 737,9 triliun yang terdiri atas 259 proyek.[4] Ini artinya, ekspansi produksi kapitalisme global di negeri ini telah menciptakan krisis sosial-ekologis yang sangat kronis, yakni suatu penghancuran ruang hidup secara total. Perampasan tanah; kekerasan atas nama pembangunan dan investasi; eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran; kemiskinan kronis dan penghisapan buruh tak bisa dielakkan.
Indonesia tanpa kekuatan gerakan kiri telah meluncur ke dalam jurang kehancuran. Lembaga-lembaga internasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia dengan mudah mendikte kepentingan nasional Indonesia. Mereka telah mengeluarkan program yang dijadikan sebagai jalan kolonialisme baru yang menjerat negara-negara dengan utang luar negeri yang besar sejak dasawarsa 1970-an hingga 1980-an. Program tersebut diluncurkan ke negara-negara berkembang seperti Indonesia pada dekade 1990-an yang disebut sebagai “Konsensus Washington” yang berisi sepuluh poin yang dirancang oleh John Williamson, mantan penasehat IMF di era 1970-an[5] agar Indonesia masuk dalam jerat kepentingan kapitalisme global.
Situasi yang tengah dihadapi oleh Indonesia hari ini tidak bisa tidak akan menggiring semua pihak untuk menentukan posisi politik dan historisnya di hadapan mesin penghancur kapitalisme. Apakah akan berada di barisan mesin penghancur atau berada dibarisan ratusan juta rakyat Indonesia dengan memanggul kembali gerakan kiri. Mungkin pernyataan ini akan dianggap berlebihan. Sebagaimana gugatan salah seorang kawan. “Apakah menganalisis Kapitalisme harus dengan marxisme?” Tentu saja tidak harus dengan Marxisme. Jika ada yang sanggup menganalisis kapitalisme tanpa perlu menengok tradisi pemikiran marxisme, boleh-boleh saja karena kiri tidaklah marxis. Bahkan seandainya ada yang bisa menemukan teori baru yang lebih jitu dalam menganalisis kapitalisme ketimbang tradisi marxisme, tentu akan sangat kita hargai. Namun yang jelas, dengan tiadanya gerakan kiri di negeri ini, tak akan ada politik alternatif keluar dari ideologi pasar dan Indonesia tidak pernah benar-benar menjadi tuan bagi dirinya sendiri.
Penutup
Masih minimnya kerja-kerja pengetahuan dan kebudayaan yang terorganisir dan tidak berjarak dengan massa rakyat untuk menginskripsikan imajinasi kiri pada generasi muda inilah yang menyebabkan fasisme kuat di masa reformasi. Arti penting kerja pengetahuan dan kebudayaan ini selain untuk menginskripsikan imajinasi kiri pada seluas-luasnya rakyat Indonesia, juga menjadi alat yang jitu sebagai medan perdebatan terbuka untuk menciptakan konvergensi berbagai elemen kiri yang masih belum bisa disatukan, sekaligus untuk menjawab kepicikan intelektual reaksioner yang seringkali menyerang gerakan kiri dan seluruh perjuangan rakyat melawan ketidakadian dengan berkedok membela NKRI dan Pancasila. Karena mustahil bagi siapapun hendak menumbangkan fasisme tanpa kemampuan mengiskripsikan imajinasi kiri pada kesadaran sejarah rakyat Indonesia.
Pendeknya, pembangunan kerja pengetahuan dan kebudayaan yang terorganisir dengan melibatkan berbagai elemen progresif anti fasisme dan kapitalisme untuk menumbangkan neo-fasisme merupakan prasyarat yang tak bisa dielakkan. Kedua hal tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Karena itu, menginskripsikan imajinasi kiri juga berarti menumbangkan fasisme. Nah, Festival Belok Kiri sesungguhnya berada di trayek ini, namun sayangnya—bukan bermaksud meremehkan apa yang sudah dikerjakan—belum dibarengi dengan kekuatan pengorganisiran dan kerja kolektif dari berbagai elemen kiri dan simpul-simpul perjuangan rakyat yang mulai tumbuh di berbagai belahan wilayah sebagai penopangnya. Dengan dukungan luas berbagai elemen gerakan kiri, aksi-aksi brutal fasis yang hendak menggagalkan kerja-kerja pengetahuan dan kebudayaan bisa diantisipasi.
Sedemikian, mengapa fasisme sulit ditumbangkan karena diskursus pengetahuan marxisme dan demokrasi yang marak diperbincangkan di ruang-ruang kedap suara akademis tak sampai pada massa rakyat. Lebih-lebih hari ini gerakan kiri sebenarnya mempunyai peluang besar melakukan kerja pengorgansirian dan membangun politik emansipatoris di tingkat basis massa bila dibandingkan dengan apa yang dihadapi intelektual-cum aktivis kiri pro demokrasi di masa orde baru semacam PRD. Namun sayangnya, kita belum mampu memanfaatkan peluang ini. Bahkan masih banyak para penganjur gerakan kiri membayangkan bahwa diskusi dan percakapan ilmiah memiliki kakinya sendiri, di mana gagasan akan dengan sendirinya membawa perubahan meski tanpa pernah dibarengi oleh kerja-kerja pengoganisiran di tingkat basis massa rakyat. Kekeliruan ini mesti dijawab dengan keberanian kita melibatkan diri menjadi bagian dari kerja-kerja pengetahuan dan pengorganisiran sekaligus. Karena tanpa itu semua, saya membayangkan apa yang disebut sebagai kiri hari ini tak lebih hanya olah raga otak yang hanya bisa dicerna oleh beberapa kelompok elit terdidik saja. Kondisi ini mesti diterabas dan dijebol dengan mempertautkan kembali teori dan praksis dengan mengujinya di tingkat basis massa rakyat. Minimal kelak, elan pembebasan gerakan kiri itu bisa diterjemahkan dan ditangkap secara baik oleh massa rakyat, khususnya buruh dan petani yang menjadi kekuatan utama gerakan kiri di negeri ini. Selama fasisme masih belum bisa ditumbangkan, maka fitnah terhadap geraka kiri akan terus dilancarkan secara bertubi-tubi oleh para demagog orde baru.
Oh ya, sebelum terlewatkan. Tugas lain gerakan kiri yang tak kalah pentingnya adalah meluaskan imajinasi kiri. Bahwa NU dengan Resolusi Jihadnya melawan agresi militer Belanda juga kiri. Karena itu apa yang dianjurkan oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihadnya untuk bertempur hidup mati mengusir penjajah bukanlah sedang menganjurkan kekerasan. Melainkan tindakan revolusioner yang sudah semestinya diambil. Dan siapapun bisa menjadi kiri kalau pada dirinya mengajukan kritik moral dan struktural atas penghisapan kapitalisme dan istiqamah dalam garis perjuangan menegakkan kesetaraan, keadilan dan tergetar hatinya melihat ketidakadilan.***
Penulis adalah editor Islam Bergerak
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Islam Bergerak Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Catatan akhir
[1] Semoen, “Soerat dari Semaoen”, dalam Ra’jat Bergerak, 1 November 1923, hlm. 1.
[2] Secara khusus saya telah mengulas pidato Soekarno, Subur, Subur, Suburlah PKI, pada esai, Soekarno, PKI dan jalan Revolusi Indonesia, yang saya sampaikan dalam diskusi kelompok epistemik SALIK (Santri Anti Liberalisme dan Kapitalisme).
[3] Siauw Giok Tjhan, G30S dan Kejahatan Negara, bandung: Ultimus, 2015, hlm. 150-151.
[4] Lih. Dian Yanuardy dkk, MP3EI Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, Bogor: Sajogyo Institute, 2015.
[5] Sepuluh poin Konsensus Washington tersebut adalah: 1. Menjamin disiplin fiskal, dan mengendalikan defisit anggaran. 2. Mengurangi pengeluaran publik, khususnya militer dan adminiatrasi publik. 3. Reformasi pajak dengan tujuan menciptakan sistem dengan basis yang luas dan pelaksanaan yang efektif. 4. Liberalisasi keuangan dengan tingkat bunga yang ditentukan oleh pasar. 5. Nilai tukar mata uang yang kompetitif untuk membantu pertumbuhan berbagai ekspor. 6. Liberalisasi perdagangan yang disertai oleh penghapusan ijin impor dan pengurangan tariff. 7. Mendorong investasi asing langsung (foreign direct investmen). 8. Privatisasi BUMN demi manajemen yang efisien dan kinerja yang lebih baik. 9. Deregulasi ekonomi. 10. Perlindungan atas hak cipta (property rights). Dikutip dari Richard Gott, In the Shadow of the Liberator: Hugo Chavez and the Transformation of Venezuela, London: verso, 2000, 52-53.