Beberapa Catatan Kritis
SALAH satu alasan kesuksesan Jokowi, menurut kami, adalah kekaburan ideologi, atau tidak nampaknya idelogi yang dia anut. Itu mungkin rahasia kesuksesan tokoh politik Indonesia 50 tahun setelah 1965: kampanye tanpa ideologi tertentu, hanya menggunakan slogan-slogan yang tidak mengganggu atau mengkritik sebagian masyarakat. Gagasan “Revolusi Mental“ itu adalah salah satu contoh terbaiknya. Siapa yang mau protes, siapa yang menolak slogan ini?
Kesadaran bahwa ada banyak masalah di Indoensia memang ada, tapi analisis terhadap masalah-masalah itu tidak berdasar dari analisis ekonomi yang kritis. Gagasan revolusi mental itu sangat cocok dengan gagasan yang sudah ada pada zaman reformasi: Hanya KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) harus ditolak, kejahteraan dan kedilan sosial datang secara otomatis: Itu jadi tugas elit yang tidak korup lagi. Itu narasi liberal atau master naratif post-orba. Pada satu tingkat, liberalisme itu adalah sesuatu yang ditolak oleh sebagian besar elit politik (karena ditolak rakyat); sebagai retorika, liberalisme itu adalah kebalikan dari keindonesiaan: dengan tujuan menciptakan dan melestarikan identitas bangsa, retorika politik harus menyebut kebalikan identitas bangsa, supaya bangsa itu muncul sebagai gagasan, sebagai identitas. Di sisi lain, liberalisme ekonomi itu jauh lebih kuat di Indoensia daripada di banyak negara barat yang biasanya disebut sebagai negara liberal.
Dalam bingkai tersebut, gagasan “Revolusi Mental” itu punya fungsinya: revolusi mental itu adalah narasi yang menciptakan kesadaran sudah mengubah sesuatu, walaupun tak ada perubahan yang sejati. Kata “mental” ini adalah kebalikan “material”. Karena revolusi atau perubahan material itu tidak diinginkan oleh elit-elit politik dan ekonomi, revolusi mental itu cocok karena orde ekonomi tidak menjadi bagian dari kritik. Kata “revolusi” ini masih mempunyai konotasi positif di Indonesia, karena kata ini terkait dengan revolusi nasional yaitu Gerakan Kemerdekaan.
Kemudian, gagasan revolusi mental menimbulkan pikiran kepada masyarakat bahwa revolusi ini bisa dilakukan bersama sebagai bangsa, sebagai bangsa yang merupakan satu entitas yang tidak terpisah atas dasar kaum ekonomi, yaitu petani, buruh di satu sisi dan pemilik modal di sisi lain. Karena itu, dasar dari gagasan revolusi mental adalah kesimpulan bahwa tidak ada kontradiksi kelas melainkan satu kesatuan bangsa yang bisa memperbaiki kondisinya melalui memperbaiki etika – sebenarnya, hal ini sudah dipahami masyarakat Indonesia sejak jaman Orde Baru sebagai kampanye sloganistik belaka. Gagasan itu menciptakan persepsi dalam masyarakat yang sebenarnya hanya dipaksakan untuk bekerjasama secara harmonis – baik bagi orde ekonomi maupun kontradiksi antar kelompok masyarakat yang tidak dikritik.
“Revolusi Mental” Dalam Konteks Kesenjangan Sosial
Omongan tentang keperluan untuk perubahan mental, biasanya muncul pada periode ketimpangan orang kaya dan orang miskin melaju pesat. Pada waktu ekonomi neoliberal diberlakukan di Eropa pada dasawarsa 80-an, calon Kanselir Jerman Helmuth Kohl menggunakan gagasan „Geistig-moralische Erneuerung“ (pembaharuan mental-moral) sebagai slogan kampanyenya. Masyarakat harus siap untuk perubahan, yaitu memeluk kondisi ekonomi yang lebih liberal, harus bertangung jawab untuk diri sendiri. Pembaruan mental ini membuat warga bersedia mengorbankan kesejahteraan sosial karena sudah mempersepsikan diri sendiri sebagai perusahaan perseorangan. Apa kondisi ekonomi Indonesia dewasa ini? Setelah kapitalisme otoriter pada Orde Baru, sekarang kapitalisme liberal sudah berjalan selama 17 tahun. Negara sebagai alat untuk membantu kaum yang tertinggal dalam orde kapitalis otoriter dan liberal, semakin lemah dan sebagai efek kapitalisme, kesenjangan sosial naik terus. Koefisien Gini terus meningkat dari 30 poin pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2014, yang merupakan rekor tertinggi di Asia. Tingkatnya sudah seperti yang terjadi di banyak negara di Amerika Latin atau Afrika. Itu artinya: Yang mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi itu adalah kelas menengah keatas; kondisi masyarakat miskin tidak berubah dan tentu saja.
Larangan terhadap Marxisme di Indonesia sangat membantu untuk tidak menjadikan kesadaran bahwa gagasan revolusi mental ini sebenarnyakosong belaka, tanpa isinya. Dalam dialektika materialis, kondisi ekonomi adalah dasar kesadaran. Yang kita percaya adalah efek-efek dari kondisi orde ekonomi, bukan bolak balik, walaupun beberapa pemikir Marxis dan Post-Marxis memberi tekanan bahwa pikiran, filsafat dan pola pikir relatif otonom dari dasar ekonomi, dasar ekonomi ini hanya bisa dilanjutkan dan dilestarikan dengan kesadaran tertentu. Dalam konteks ini, gagasan „Revolusi Mental“ membantu melestarikan dasar ekonomi kapitalis ini.
Apa isi “revolusi mental” ini? Pada saat kampanye, Jokowi menggambarkan revolusi mental ini sebagai visi dan misinya. Menurut Jokowi, “masyarakat Indonesia sering tidak percaya diri saat menghadapi tantangan-tantangan zaman”. Karena itu, pola pikir rakyat Indonesia harus diubah. Tetapi, apa saja “tantangan-tantangan zaman” itu tidak begitu jelas, sehingga jawabannya hanya bisa ikut pikiran mainstream dan sangat tidak konkrit: kerja keras, percaya kepada Tuhan, rajin belajar, supaya orde ekonomi ini bisa dilanjutkan. Pemerintah Jokowi memimpin Indonesia sebagai perusahan yang sedang berusaha untuk memotivasi pegawai dan buruhnya, supaya mereka bersemangat dan lebih produktif.
Berikutnya timbul pertanyaan, apakah hanya rakyat yang harus direvolusi mentalnya? Jawabannya adalah TIDAK! Jokowi, sebagai orang pertama dan yang mempunyai slogan “Revolusi Mental” justru menjadi kunci utama dari revolusi yang juga harus direvolusi. Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Jokowi masih mempertahankan kebijakan yang kontroversial. Diantaranya kebijakan tentang hukuman mati, masih mengambangnya kasus pelanggaran HAM, kontrak kerjasama ekonomi yang bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 45 dan sistem pendidikan yang belum mempunyai kejelasan arah. Kalau revolusi material sudah tidak mampu, mungkin ada politik yang terinspirasi gagasan baru.
Hukuman mati merupakan salah satu bentuk kebiadaban dan kontra produktif dengan semangat penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Setiap manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan oleh siapa dan hidup dimana. Sehingga menjadi kepatutan bagi setiap orang dan pemerintah, pada khususnya, untuk melindungi hak paling mendasar ini. Kita tidak bisa memilih dilahirkan dan meninggal secara alami. Oleh karenanya, tidak seorangpun berhak mencabut kehidupan manusia yang sejauh ini masih menjadi rahasia sang pencipta kehidupan – seandainya pemerintah membuat keputusan atas dasar itu, keputusan yang mungkin sudah bisa disebut revolusioner. Tetapi keputusan untuk hukuman mati hanya melestarikan gagasan bahwa kehidupan orang seseorang tidak begitu penting untuk negara ini. Keputusan Jokowi adalah keputusan menolak HAM dan karena itu keputusan yang melestarikan ideologi Orba.
Masih mengambangnya kasus pelanggaran HAM di Indonesia hingga setahun kepemimpinan Jokowi, merupakan salah satu PR berat bagi aktivis HAM dan para korban yang harus terus-menerus meneriakkan tuntutannya tanpa lelah. Mengingat Jokowi masih ‘dikepung’ oleh orang-orang yang diduga kuat menjadi pelaku pelanggaran HAM di Indonesia. Kalau tidak berani mengambil tindakan ‘gila’ seperti yang telah dicontohkan oleh Gus Dur, artinya Jokowi tidak menghargai rakyat yang memilih dan mendukungnya. Jokowi harus sadar bahwa, rakyatlah yang mendudukkan dia di kursi presiden. Bukan partai-partai pengkhianat rakyat ataupun para pengusaha yang menikmati segala kemewahan di atas penderitaan rakyat dan mulai berusaha mengambil alih kekuasaan yang semestinya menjadi kedaulatan rakyat sepenuhnya. Kalau hari ini Jokowi belum bisa memenuhi janji, maka patut diragukan komitmennya untuk memenuhinya suatu hari nanti.***
Timo Duile adalah Post-Doc di department Ilmu Asia Tenggara di Universitas Bonn, Jerman
Isti Komah, sekarang jadi Koordinator Perintis di Yayasan Para Perintis dan Kabid Pendidikan di DPD Serikat Buruh RTMM DIY, Indonesia