SIAPA tak kenal Butet Kertaradjasa? Ia lebih dari sekadar seniman penghibur. Bersama Djaduk Ferianto dan Agus Noor, ketiganya sering membuat pementasan akbar. Cirinya selalu sama: melakukan kritik dengan cara menghibur. Kita bisa dibuat ketawa dengan caranya bertutur. Di tanganya sebuah soal bisa diramu dengan cara unik dan jenaka. Rubrik kebudayaan di majalah maupun koran sering mengulas pementasan mereka. Kebanyakan kagum dan memuji. Meski harga tiket untuk menyaksikan pementasannya mahal tapi semua maklum: Butet selalu memberi pertunjukan yang memuaskan. Popularitasnya pernah meroket gara-gara mahir menirukan suara Soeharto. Tak ada iklan maupun film yang tak mengundangnya. Sherina hingga serial Laskar Pelangi menjadikan dirinya bintang. Begitu pula iklan motor hingga iklan makanan. Butet seperti magnet yang akan menarik siapa saja.
Termasuk perusahaan yang banyak dirundung kasus: PT Freeport Indonesia. Satu hari, salah satu perusahaan terkaya di dunia itu mengundang ketiganya ke markasnya. Mengikuti keterangan Butet, mereka diajak untuk melihat bagaimana ‘kebajikan’ perusahaan: membuang limbah yang membuat Butet yakin bahwa Freeport mengerti etika lingkungan. Dua jempol buat Freeport karena bisa membekuk akal sehat dan kesadaran kritis tiga seniman tenar Jogja. Seakan Freeport adalah perusahaan biskuit yang memberi mereka makanan lezat sehingga mereka kagum dan terpesona. Di akhir tamasyanya, Butet kemudian memberi pernyataan yang membuat kita terperangah dan marah!
Di tayangan itu, Butet dengan kaos dan kaca matanya memberi komentar yang mirip dengan anak kecil yang baru diajak piknik: Freeport perusahaan yang bertanggung jawab mengembalikan apa yang diambil dari alam untuk dikembalikan pada alam. Di ujung pernyataannya, Butet menyimpulkan bahwa Freeport adalah perusahaan tambang yang mempertahankan keberadaban manusia. Luar biasa. Dan persis seperti bocah yang baru diberi permen: Butet mengakhiri pernyataannya dengan senyum yang dikulum agak malu.
Saya tak tahu makanan apa yang ditelan Butet selama di Freeport hingga mulutnya berkomentar ngawur seperti itu. Tapi sejak dulu mulut Butet memang ajaib: bisa meniru suara Soeharto.
Tak ingin berpolemik, Butet merasa tak bersalah atas kedatanganya ke Freeport. Tamu yang diundang dan tak kuasa menolak. Baginya mungkin komentar itu hanya pernyataan sekilas atas apa yang disaksikan. Bisa jadi, menurutnya, itulah komentar yang tepat bagi seorang tamu yang dijamu habis-habisan. Tapi kita pantas bertanya pada mereka: dorongan apa yang membuat mereka harus perlu memenuhi undangan Freeport? Motivasi apa sehingga mau-maunya Butet memberi komentar sarat pujian pada Freeport? Diberi apa sebenarnya oleh Freeport mereka ini sehingga bisa memuji perusahaan yang siapapun tahu bergelimang masalah? Apa tujuannya seorang seniman memuji pembuangan limbah yang jauh sekali dari pengetahuan yang dimilikinya?
Yah, kita bisa komentar dan mengutuk sikap Butet. Tapi Butet adalah gejala umum dari sikap seniman besar yang sulit memahami soal keadilan. Terlampau sering mereka membuat kemiskinan, ketidakadilan dan soal kemanusiaan hanya dalam ‘adegan’ panggung. Hidup mereka sendiri berlimpah dengan kenikmatan dan kemakmuran. Kenikmatan telah membuat mereka dengan mudah mendapat kekayaan hanya dengan aksi satu kali iklan. Kemakmuran dapat diperoleh karena sebuah pementasan. Jika tak percaya, datangi saja kediaman mereka dan saksikan apa yang didapat dari hasil membuat semua soal jadi candaan. Diam-diam mereka tak bercanda dengan nasibnya sendiri, tapi mereka yang, bisa jadi, mempermainkan nasib banyak orang.
Di tangan aktor semacam Butet maupun yang setara dengannya, mungkin soal Papua bukan hidup dan mati. Sebab apapun yang diperjuangkan orang Papua, mereka tak terkait sama sekali. Ikatan mereka pada sponsor dan jaminan kebebasan. Bersama para sponsor, yang kebanyakan perusahaan, mereka bisa mementaskan apapun: kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan. Jaminan kebebasan juga memberi perisai pada mereka untuk bisa bersikap sesuka-sukanya: memuji Freeport atau berdalih dalam soal Freeport. Sikap itu mencuatkan apa yang selama ini jadi bahaya pada sikap kebanyakan seniman: meletakkan soal keadilan hanya dalam batas kreativitas dan netralitas. Butet tak pernah terlibat dalam soal keadilan pada Papua maupun keadilan dalam soal 65. Baginya yang berbahaya adalah ancaman kebebasan berekspresi, yang biasanya dituduhkan pada kelompok agama militan. Butet keras bersuara kalau itu menyangkut hidup-matinya kebebasan berkesenian. Tapi soal keadilan buat warga Papua, sepertinya dirinya berseberangan.
Kini garis berseberangan itu dinyatakan lugas olehnya. Berdiri bersama Freeport mereka memasang posisi. Tak seperti Setya Novanto yang secara kasar minta saham, Butet lebih brutal lagi, memuja sistem pembuangan Freeport. Beruntung Freeport ajak mereka melihat sistem pembuangan. Seandainya Butet bersama Djaduk dan Agus Noor diajak ke kantor direksi Freeport yang – meminjam istilahnya sendiri beradab – pasti pujaanya lebih memukau. Seharusnya mereka bersyukur tak ada yang merekam perjalanan mereka yang pasti menyenangkan itu: sebab jika ditayangkan ulang mungkin Butet dan kedua temanya tak sekedar memuji, tapi bisa jadi menyembah dan memuja. Singkatnya kita bukan hanya marah pada ketiganya, tapi kita malu pada rakyat Papua. Ternyata kita tak hanya punya wakil rakyat yang tamak, tapi budayawan yang mau-maunya melacurkan keyakinan!***